Disunnahkan untuk berpuasa enam hari di
bulan Syawwal selepas puasa Ramadhan dan tidak disyaratkan untuk
dilakukan secara berurutan selama enam hari. Puasa ini disunnahkan
karena pahalanya dengan puasa Ramadhan sama seperti puasa sepanjang
tahun.
Diriwayatkan dari Abu Ayyub al Anshari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
من صام رمضان ثم أتبعه
ستًا من شوال كان كصيام الدهر
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan
dan diikuti dengan (puasa) enam hari di bulan Syawwal, maka itu seperti
shiyaam ad dahr (puasa sepanjang tahun)”. (HR. Muslim, Abu Dawud, at Tirmidzi, an Nasa’i dalam al Kubra dan Ibnu Majah)
Yang demikian karena setiap kebaikan
bernilai sepuluh kali lipatnya. Puasa Ramadhan (30 hari) setara dengan
sepuluh bulan (300 hari) dan puasa enam hari Syawwal setara dengan dua
bulan (60 hari, yang totalnya 360 hari penanggalan bulan).
Dalam hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
من صام رمضان فشهر
بعشرة أشهرٍ وصيام ستةِ أيامٍ بعد الفطر فذلك تمام صيام السنة
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan
-sebulan setara dengan sepuluh bulan-, dan berpuasa enam hari setelah
Idul Fitri, maka itu adalah puasa selama setahun penuh”. (HR. Ahmad, an Nasa’i dalam al Kubra dan Ibnu Majah)
- Orang yang Belum Mengqadha’ Puasa Ramadhan, Apakah Boleh baginya Berpuasa Enam Hari Syawwal?
Yang nampak dari hadits Abu Ayyub yang
disebutkan diatas, keutamaan pahala puasa setahun penuh syaratnya adalah
puasa Ramadhan dan diikuti dengan enam hari dari bulan Syawwal. Karena
itu tidak boleh mendahulukan puasa yang enam hari tersebut atas qadha’
puasa Ramadhan. Demikian yang disebutkan oleh Yang Mulia Syaikh Muhammad
bin Shalih al Utsaimin rahimahullahu dalam kitab Syarhul Mumti’ (VI/ 448).
Kecuali kalau kita katakan bahwa sabda beliau : “Kemudian diikuti dengan puasa enam hari”
adalah penyebutan secara umum, maka saat itu boleh berpuasa enam hari
di bulan Syawwal sebelum mengqadha’ puasa Ramadhan terutama bagi orang
yang sulit untuk berpuasa enam hari Syawwal jika dia mendahulukan qadha’
Ramadhan. Pendapat ini memiliki kemungkinan dalam makna hadits Tsauban
yang disebutkan secara mutlak, wallahu a’lam.
(Sumber : Shahîh Fiqh as Sunnah wa Adillatuh wa Taudhîh Madzâhib al A-immah, Abu Mâlik Kamâl as Sayyid Sâlim)
0 tanggapan:
Posting Komentar