27 Juli 2016
Tidak Ada Persatuan Tanpa Aqidah yang Benar
Mungkinkah bersatu dengan perbedaan dalam aqidah dan manhaj?
Jawab :
Tidak
mungkin bersatu dengan perbedaan aqidah dan manhaj. Sebaik-baik contoh
untuk itu adalah keadaan bangsa Arab sebelum diutusnya Rasul ﷺ, dimana
mereka bercerai-berai dan saling menjauh. Ketika mereka masuk ke dalam
Islam, di bawah bendera tauhid, aqidah mereka menjadi satu, manhaj
mereka satu, maka bersatulah kalimat mereka dan tegaklah negara mereka.
Allah telah mengingatkan mereka tentang hal itu dalam firmanNya,
وَاذْكُرُوا
نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ
قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً
“Dan
ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan,
maka Allah mempersatukan hati-hati kamu, lalu menjadilah kamu karena
nikmat Allah orang-orang yang bersaudara.” (QS. Alu Imran ayat 103).
Allah Ta’ala berfirman kepada nabiNya,
لَوْ
أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعاً مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ
وَلَكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Walaupun
kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu
tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah
mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Anfal ayat 63).
Allah subhânah tidak akan menyatukan hati orang-orang kafir, murtad dan firqah-firqah (aliran-aliran) sesat untuk selamanya. Allah hanya akan menyatukan hati orang-orang mukmin yang bertauhid.
Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang kafir dan munafik yang menyelisihi manhaj dan aqidah Islam,
تَحْسَبُهُمْ جَمِيعاً وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْقِلُونَ
“Kamu kira hati mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah-belah. Yang demikian itu karena sungguh mereka adalah kaum yang tiada mengerti.” (QS. Al-Hasyr ayat).
Allah Ta’ala berfirman,
وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِيْنَ إلاَّ مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ
“Mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabb-mu.” (QS. Hud ayat 118-119).
“Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabb-mu”, mereka adalah pengikut aqidah yang benar dan manhaj yang benar. Merekalah yang selamat dari perselisihan.
Orang-orang
yang berusaha menyatukan manusia dengan kerusakan aqidah (mereka) dan
perbedaan manhaj, dia telah mengusahakan perkara yang mustahil, karena
mengumpulkan dua hal yang berlawanan adalah perkara mustahil.
Tidak akan
mempersatukan hati, tidak akan mempersatukan kalimat kecuali oleh
kalimat tauhid, jika diketahui maknanya dan diamalkan konsekuensinya
secara lahir maupun batin, bukan sekedar mengucapkannya dan menyelisihi
konsekuensinya. (karena jika demikian halnya) saat itu dia tidak akan
bermanfaat.
Oleh : Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, anggota Haiah Kibar al-Ulama Kerajaan Arab Saudi.
(Dari kitab : Al Ajwibah al Mufîdah ‘an As-ilah al Manâhij al Jadîdah)
23 Juli 2016
Operasi Bedah Mayat
Berdasarkan atas kondisi darurat yang dibutuhkan dalam pembedahan jasad
orang yang telah meninggal dunia dan konsekuensi dari hal tersebut
adalah maslahat yang dibangun diatas mafsadat rusaknya kehormatan
seorang manusia yang telah meninggal dunia, maka Majelis al-Majma’ al-Fiqhi di bawah naungan Rabithah Al-‘Alam Al-Islami (Liga Muslim se-dunia) menetapkan hal-hal berikut :
Pertama : Pembedahan jasad mayat dibolehkan untuk salah satu dari tujuan-tujuan berikut ini:
- Proses otopsi dalam perkara pidana untuk mengetahui sebab-sebab kematian atau kejahatan yang dilakukan ketika hakim memiliki masalah untuk mengetahui sebab-sebab kematian dan otopsi merupakan jalan untuk mengetahui perkara tersebut.
- Untuk mengenali penyakit yang dengan pembedahan itu bisa dilakukan tindakan pencegahan atau pengobatan yang semestinya terhadap penyakit tersebut.
- Studi kedokteran sebagaimana yang ada di fakultas-fakultas kedokteran.
Kedua : Dalam pembedahan untuk kepentingan pembelajaran maka wajib diperhatikan aturan-aturan berikut :
- Jika jasad tersebut adalah milik orang yang dikenali (memiliki identitas) maka disyaratkan bahwa orang tersebut telah memberi izin pembedahan jasadnya sebelum kematiannya, atau diizinkan oleh ahli warisnya setelah kematiannya. Dan tidak dibenarkan pembedahan terhadap jasad orang yang ma’shum (terpelihara) darahnya (dalam pandangan Syari’at) kecuali untuk sebuah kondisi darurat.
- Dalam pembedahan, wajib membatasinya pada hal yang diperlukan agar jangan sampai membawa pada tindakan pelecehan terhadap jasad orang yang telah meninggal.
- Jasad seorang wanita tidak boleh ditangani pembedahannya selain dokter-dokter wanita kecuali jika mereka tidak didapatkan.
Ketiga : Dalam semua kasus diatas, wajib menguburkan bagian-bagian tubuh yang dibedah.
وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم تسليمًا كثيرًا والحمد لله رب العالمين
Ketua :
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Wakil Ketua :
Abdullah Umar Nashif
Keanggotaan :
Muhammad bin Jubair
Dr. Bakr bin Abdullah Abu Zaid (Menyelisihi.
Saya tidak sepakat terhadap bolehnya pembedahan jasad seorang muslim
untuk tujuan pendidikan dan penelitian penyakit)
Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam
Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan (Saya
tidak sepakat tentang pembedahan jasad seorang muslim untuk tujuan
studi kedokteran dan saya memiliki penjelasan rinci mengenai persoalan
ini)
Muhammad bin Abdullah bin Subail (Bersikap hati-hati tentang pembedahan jasad muslim pada poin C pasal pertama)
Mushtafa Ahmad az-Zarqa’
Muhammad Mahmud ash-Shawwaf
Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi
Muhammad Rasyid Raghib Qabbani
Muhammad Syadzili an-Naifar
Abu Bakr Joumi
Dr. Ahmad Fahmi Abu Sinnah
Muhammad al-Habib bin al-Khoujah
Muhammad Salim bin Abdul Wadood
Dr. Thalal Umar Bafaqih
Sumber : Qararat Majelis al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami, Simposium X di Makkah, Shafar 1408 H/Oktober 1987 M.
16 Juli 2016
Rasm Al-Mushaf
Yang dimaksud rasm al-mushaf
adalah kaedah-kaedah imla'iyah (penulisan) yang dengannya al-Quran ditulis.
Kaedah-kaedah ini -yaitu yang ditulis di masa Utsman radhiyallahu 'anhu- sebagiannya berbeda dari kaedah penulisan bahasa Arab
modern.
Kaum
muslimin telah berpegang dengan metode penulisan yang ada pada
mushaf-mushaf Utsmani yang berjumlah enam buah. Mereka komitmen
dengannya tanpa ada perubahan hingga masa kita sekarang. Kecuali pada
beberapa tambahan dalam pemberian titik dan tanda baca (syakl), perkara yang tidak ada pada masa Utsman radhiyallahu 'anhu.
Kemudian datanglah proses percetakan modern, pemberian nomor pada ayat, pemberian kode warna tanpa menyentuh kaedah-kaedah penulisan
yang khusus untuk mushaf al-Quran.
Pandangan ulama berbeda-beda seputar persoalan wajibnya komitmen dengan rasm tersebut;
Sebagian memandang bahwa rasm al-mushaf adalah tauqîfi, tidak boleh menyelisihinya.
Sebagian
besar memandang bahwa hal itu bersifat ijtihad, akan tetapi wajib
komitmen dengannya untuk mencegah munculnya fitnah dan mengantisipasi
bahaya perubahan metode penulisan dari masa ke masa.
Kelompok
ketiga berpendapat bahwa perkara ini adalah ijtihad dan boleh
menyelisihinya, bahkan wajib, untuk memudahkan umat dan sejalan dengan
kaedah-kaedah imla’ yang mereka pelajari pada masanya.
Pendapat yang kuat dalam masalah ini, tidak boleh menulis atau mencetak mushaf tanpa menggunakan kaedah penulisan yang telah disepakati oleh para Shahabat.
Berkata Imam As-Suyuthi rahimahullahu dalam Al-Itqân fi 'Ulum Al-Qurân (I/250), "Mereka telah berijma' atas wajibnya mengikuti rasm mushaf-mushaf Utsmani dalam waqf dan ibdâl, dalam itsbât dan hazf, dan dalam washl dan qath'."
Wallahu a'lam.