An-naskh adalah diangkatnya sebuah hukum syar’i dengan sebuah dalil syar’i yang datang belakangan.
Hal itu
berarti bahwa sebuah hukum syar’i yang diamalkan, datang setelahnya
sebuah hukum lainnya sebagai pengganti, yang menghapus hukum sebelumnya
dan menggantikan posisinya.
Contoh terkenal dari an-naskh
adalah dihapusnya hukum halalnya khamr (minuman keras) digantikan
dengan pengharamannya saat tiba waktu shalat, kemudian hukum itu dihapus
lagi dengan pengharaman secara mutlak dengan firmanNya,
يَا
أيُّهَا الَذِيْنَ آمنُوا إنَّمَا الخمْرُ وَالمَيْسِرُ وَالأنصَابُ
وَالأزلامُ رجْسٌ مِن عَمَلِ الشَيْطانِ فَاجْتنِبُوهُ لَعَلكمْ
تُفْلِحُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi,
(berqurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan
keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah ayat 90).
Ilmu ini
memiliki peranan penting dalam tafsir dan fatwa, karena seorang yang
jahil tentang persoalan ini sangat mungkin akan menghukumi dengan
sesuatu yang mansûkh (hukum yang dihapus) dan meninggalkan hukum
nâsikh-nya yang merupakan penggantinya.
Berkata Ali bin Abi Thalib kepada seorang tukang cerita (qâshshin) –atau seorang hakim (qâdhin), “Apakah engkau mengetahui an-nâsikh dan al-mansûkh?” Ia menjawab,
“Allahu a’lam.” Ali berkata, “Engkau telah binasa dan membinasakan
(orang lain)!” (Al-Itqân, II/326)
An-naskh terbagi kepada empat bagian :
1. Naskh Al-Quran dengan Al-Quran. Contohnya adalah naskh hukum khamr yang telah disebutkan.
2. Naskh Sunnah dengan Sunnah. Seperti perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
كنتُ نهيتكم عنْ زيَارَةِ القُبُور ألا فَزُوروها
“Dahulu aku melarang kamu menziarahi kubur. Maka (sekarang) ziarahilah kubur!” (HR. Muslim dan Ahmad).
3. Naskh Sunnah dengan Al-Quran. Seperti firman Allah Ta’ala,
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ المَسْجِدِ الحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُم شَطْرَهُ
“Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah wajahmu ke arahnya.” (QS. Al-Baqarah ayat 144).
Ayat ini adalah naskh bagi apa yang telah ditetapkan dengan Sunnah untuk menghadap ke Baitul Maqdis saat shalat.
4. Naskh Al-Quran dengan Sunnah. Seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
لا وصية لوارثٍ
“Tidak ada wasiat bagi orang yang mewarisi.” (HR. Abu Dawud).
Hadits adalah nâsikh (penghapus hukum) bagi firman Allah Ta’ala,
كُتِبَ
عَليْكمْ إذَا حَضَرَ أحَدَكمُ المَوْتُ إنْ ترَكَ خَيْرًا الوَصيَّةُ
للوَالِدَيْنِ والأقْرَبِيْنَ بالمَعْرُوفِ حَقًّا عَلىَ المُتَّقيْنَ
“Diwajibkan
atas kamu apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut,
jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan
karib-kerabatnya secara ma’ruf. (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang
yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah ayat 180)
0 tanggapan:
Posting Komentar