15 Juni 2013
Makna kalimat "La ilaha illa_Llahu"
Kewajiban terbesar bagi seorang muslim adalah mengetahui dan memahami kalimat tauhid, "La ilaha illa_Llahu".
Makna "La ilaha illa_Llahu" adalah,
لا معبود بحقّ إلا الله
"Tiada sesembahan yang hak kecuali Allah semata".
Hal ini bermakna penafian (penolakan) hak uluhiyyah dari yang selain Allah Ta'ala, dan menetapkannya hanya untuk Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya.
Makna ( الإله ) adalah ( المعبود ), yaitu yang disembah dan diibadahi. Siapa yang menyembah dan beribadah terhadap sesuatu, maka dia telah menjadikan sesuatu itu sebagai "ilaah" selain Allah Ta'ala. Dan seluruh sesembahan itu adalah kebatilan kecuali satu "ilaah" saja, yaitu Allah semata.
Allah Ta'ala, Dia-lah "ilaah" yang tunduk pada-Nya hati dengan landasan cinta, pemuliaan dan pengagungan, ketundukan, rasa takut dan tawakkal hanya kepada-Nya, serta permohonan hanya kepada-Nya saja.
Tidak ada kebahagiaan dan kegembiraan bagi hati kecuali dengan mewujudkan makna "La ilaha illa_Llahu". Karena sungguh, kebahagiaan yang sempurna, kehidupan yang baik dan penuh kenikmatan hanya ada pada peng-Esa-an Allah Ta'ala dalam segala bentuk peribadatan dan penghambaan, tanpa mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, baik itu para Malaikat yang dekat kepada Allah atau pun para rasul yang diutus-Nya.
*****
Rukun "La ilaha illa_Llahu"
Kalimat agung "La ilaha illa_Llahu" memiliki dua rukun, yaitu an-Nafyu/النفي (penafian) dan al-Itsbat/الإثبات (penetapan).
Rukun pertama, kalimat ( لا إله ) adalah penafian/peniadaan peribadatan kepada yang selain Allah Ta'ala, membatalkan syirik dan mewajibkan kufur terhadap segala sesuatu yang disembah dan diibadahi selain Dia.
Rukun kedua, kalimat ( إلا الله ) adalah itsbat/penetapan peribadatan hanya untuk Allah semata, meng-Esa-kan Dia dalam semua jenis dan bentuk peribadatan tersebut.
Dalilnya adalah firman Allah Ta'ala,
فَمَنْ يَكفُرْ بِالطَاغوْتِ وَيُؤْمِنْ بِاللهِ فَقَد اسْتَمْسَكَ بِالعُرْوَةِ الوُثْقَى
"Barangsiapa yang ingkar kepada taghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat." (QS. al-Baqarah ayat 256)
Firman Allah ( فَمَنْ يَكْفُرْ بالطَاغُوْت ), itulah makna rukun pertama ( لا إله ); dan firman-Nya ( وَيُؤْمِنْ بِاللهِ ), itulah makna rukun kedua ( إلا الله ). Wallahu a'lam.
_____________________
Sumber :
Aqidah at Tauhid li an Nasyi-ah wa al Mubtadi-in, Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad Aalu Abdul Lathif.
11 Juni 2013
Kesabaran dalam Menuntut Ilmu
Seorang tokoh ulama, Baqiy bin Makhlid, berjalan menuju Baghdad untuk menuntut ilmu kepada Imam Ahmad bin Hanbal, mendengarkan hadits darinya. Di umur 20 tahun, ia menyeberangi selat yang memisahkan Andalus (Spanyol Islam) dengan Benua Afrika, mengarungi padang pasir dan pegunungan, berjalan kaki menuju Baghdad. Ketika mendekati kota Baghdad, sampai kepadanya berita tentang fitnah yang menimpa Imam Ahmad, yaitu fitnah perkataan bahwa Al-Quran adalah makhluk. Ia mendengar bahwa Imam Ahmad dilarang mengajar dan membuka majelis-majelis ilmu. Ia hanya berdiam di rumahnya dan dipaksa menjadi tahanan rumah. Berkata Baqiy, "Saya pun sangat sedih mendengarkan berita tersebut."
Akan tetapi, ia terus memaksa untuk melanjutkan perjalanannya. Ketika tiba di Baghdad, ia letakkan barang bawaannya dan langsung pergi ke Masjid Jami' di kota tersebut, kemudian keluar untuk pergi mencari rumah Imam Ahmad.
Ia mengetuk pintu, dan pintu itu dibuka sendiri oleh Imam Ahmad. Baqiy berkata, "Aku seorang asing yang jauh dari rumah dan seorang penuntut ilmu hadits. Aku tidak mengadakan perjalanan ini selain untuk bertemu denganmu."
Imam Ahmad bertanya, "Dimanakah negerimu?"
"Barat Jauh. Aku menyeberang dari negeriku menuju Afrika." (Maksudnya adalah Andalus).
"Negerimu sangat jauh. Aku sangat ingin membantumu. Akan tetapi, aku sekarang sedang dalam ujian dan ditahan dalam rumahku sendiri..."
Baqiy berkata, "Wahai Abu Abdillah! Aku adalah orang asing, tidak ada seorang pun dari penduduk Baghdad yang mengenalku. Jika engkau izinkan, aku akan mendatangimu dalam rupa seorang peminta-minta, mengetuk pintu dan meminta sedekah. Engkau kemudian keluar menjumpaiku, dan menyampaikan padaku walaupun hanya satu buah hadits pada setiap harinya."
Imam Ahmad menjawab, "Baik, tapi dengan syarat, engkau tidak boleh hadir di majelis-majelis ilmu dan di sisi para ahli hadits..."
*****
Berkata Baqiy bin Makhlid :
Aku pun mengambil sebuah tongkat di tanganku, mengikat kepalaku dengan kain, dan menaruh kertas dan tintaku dalam lipatan kain lenganku. Aku mendatangi pintu rumah dan berteriak, "Sedekah, semoga Allah merahmati kalian!!"
Ahmad pun keluar, menutup pintu dan menceritakan padaku dua atau tiga hadits, hingga akhirnya terkumpul padaku sekitar 300 hadits!!
Kemudian, akhirnya Allah mengangkat ujian tersebut dari Imam Ahmad dan beliau diizinkan untuk mengajar dan membuka majelis ilmu. Jika aku mendatanginya di majelisnya, ia akan melapangkan majelis untukku dan mempersilahkan aku duduk di sampingnya. Ia berkata kepada murid-muridnya, "Orang ini layak untuk disebut sebagai penuntut ilmu sejati...", dan ia pun menceritakan kisahku bersamanya.
Suatu ketika aku sakit, dan Ahmad datang menjengukku bersama sahabat-sahabatnya. Mereka datang dengan membawa pena-pena mereka dan menuliskan setiap perkataan syaikh (guru) mereka, Imam Ahmad.
Sumber kisah : Siyar A'lam an-Nubala', Imam adz-Dzahabi, XIII/292
10 Juni 2013
Apakah Dianjurkan Berpuasa pada Bulan Sya'ban Seluruhnya
Apakah berpuasa di bulan Sya’ban secara penuh sesuai dengan sunnah?
Jawab :
Alhamdulillah. Dianjurkan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Terdapat riwayat bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam sering berpuasa di bulan Sya’ban.
Jawab :
Alhamdulillah. Dianjurkan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Terdapat riwayat bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam sering berpuasa di bulan Sya’ban.
Diriwayatkan oleh Ahmad, 26022. Abu Daud,
2336. Nasa’i, 2175. Ibnu Majah, 1648 dari Ummu Salamah radhiallahu 'anha
berkata: ”Aku tidak melihat Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam berpuasa dua
bulan secara berurutan kecuali beliau melanjutkan bulan Sya’ban dengan
Ramadhan."
Dalam riwayat Abu Daud (dikatakan),
"Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah berpuasa sebulan
penuh dalam setahun kecuali pada bulan Sya’ban dilanjutkan ke Ramadhan."
(Dishahihkan oleh Al-Albany dalam shahih Abu Daud, no. 2048)
Dalam hadits ini tampak bahwa Nabi shallallahu
'alaihi wasalam biasanya berpuasa penuh pada bulan Sya’ban. Akan tetapi ada
(hadits) lain bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam biasanya berpuasa pada
bulan Sya’ban kecuali sedikit saja (darinya yang beliau tidak berpuasa).
Diriwayatkan oleh Muslim, 1156, dari Abu
Salamah dia berkata, saya bertanya kepada A'isyah radhiyallahu 'anha tentang
puasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka ia menjawab:
كَانَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ قَدْ
صَامَ ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ قَدْ أَفْطَرَ ، وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا
مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ ، كَانَ يَصُومُ
شَعْبَانَ كُلَّهُ ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلا قَلِيلا (رواه مسلم، رقم
1156)
"Beliau biasanya berpuasa sampai kami
mengatakan : Sungguh beliau telah berpuasa (terus). Dan beliau berbuka sampai kami
mengatakan : Sungguh beliau telah berbuka (tidak lagi berpuasa). Dan aku tidak melihat beliau
berpuasa yang lebih banyak dibandingkan pada bulan Sya’ban. Biasanya beliau
berpuasa pada bulan Sya’ban semuanya, dan biasanya beliau berpuasa pada
bulan Sya’ban kecuali sedikit (darinya yang beliau tidak berpuasa)." (HR. Muslim)
Para ulama
berbeda pendapat dalam mengkompromikan dua hadits ini,
Sebagian mereka berpendapat hal ini terkait
dengan perbedaan waktu. Pada sebagian tahun beliau shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa Sya’ban secara penuh. Dan pada sebagian tahun lainnya beliau
shallallahu alaihi wa salam berpuasa kecuali sedikit saja (yang tidak berpuasa padanya).
Pendapat ini adalah pilihan Syaikh Ibnu Baz rahimahullah." (Silakan lihat
Majmu Fatawa Syaikh Ibnu Baz, 15/416).
Sebagian lainnya berpendapat, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa sebulan penuh kecuali
Ramadhan. Sementara hadits Ummu Salamah maksudnya adalah berpuasa bulan
Sya’ban kecuali sedikit (yang tidak berpuasa). Mereka mengatakan bahwa dari
sisi bahasa kalau seseorang sering berpuasa, dibolehkan mengatakan berpuasa
sebulan penuh.
Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata: “Sesungguhnya hadits Aisyah
menjelaskan bahwa maksud dari hadits Ummu Salamah, bahwa 'beliau shallallahu
'alaihi wa sallam tidak berpuasa dalam setahun sebulan penuh kecuali Sya’ban
bersambung dengan Ramadhan'; yakni bahwa beliau lebih banyak berpuasa padanya.
At-Tirmidzi mengutip dari Ibnu Mubarak sesungguhnya beliau berkata : Dalam bahasa Arab dibolehkan mengatakan telah berpuasa sebulan penuh bagi orang yang berpuasa pada sebagian besar hari dalam satu bulan tersebut.
At-Tirmidzi mengutip dari Ibnu Mubarak sesungguhnya beliau berkata : Dalam bahasa Arab dibolehkan mengatakan telah berpuasa sebulan penuh bagi orang yang berpuasa pada sebagian besar hari dalam satu bulan tersebut.
Ath-Thayyibi berkata : Dimungkinkan beliau
sekali berpuasa Sya’ban secara penuh, dan di lain waktu berpuasa sering
dalam bulan itu, agar tidak disimpulkan kalau hal itu wajib dilakukan
sebulan penuh, seperti Ramadhan." Kemudian Al-Hafiz mengomentari, "Pendapat
pertama lebih tepat."
Maksudnya bahwa Nabi shallallahu alaihi wa
sallam tidak melakukan puasa Sya’ban sebulan penuh. Dengan dalil riwayat
Muslim, no. 746 dari A'isyah radhiyallahu 'anha, beliau berkata, "Tidak aku
ketahui bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membaca Al-Qur’an semalam
penuh, tidak juga melakukan shalat malam sampai subuh. Dan tidak berpuasa
sebulan penuh kecuali Ramadhan."
Begitu juga berdasarkan riwayat Bukhari, no.
1971 dan Muslim, no. 1157 dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma dia berkata,
"Nabi shallallahu alahi wa sallam tidak pernah berpuasa sebulan penuh kecuali
Ramadhan."
As-Sindy berkata dalam menjelaskan hadits
Ummu Salamah, “Teks 'Melanjutkan (puasa) Sya’ban ke Ramadhan’ yakni
berpuasa di kedua bulan. Yang tampak dari teks tersebut adalah berpuasa
Sya’ban sebulan penuh. Akan tetapi terdapat riwayat yang menunjukkan
sebaliknya. Oleh karena itu, yang bisa dipahami bahwa beliau berpuasa pada sebagian
besar harinya, sehingga seakan-akan beliau berpuasa penuh dan bersambung
ke bulan Ramadhan."
Kalau dikatakan, apa hikmahnya memperbanyak
berpuasa di bulan Sya’ban? Maka jawabannya adalah perkataan Al-Hafidz, “Yang
lebih tepat apa yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan Abu Daud serta dishahihkan
oleh Ibnu Huzaimah dari Usamah bin Zaid, dia berkata, saya bertanya: 'Wahai
Rasulullah, aku tidak melihat engkau (sering) berpuasa dalam satu bulan
seperti engkau berpuasa di bulan Sya’ban?' Beliau bersabda: 'Itu adalah
bulan yang kebanyakan orang melalaikannya yaitu antara Rajab dan
Ramadhan. Yaitu bulan yang di dalamnya di angkat amalan-amalan kepada Allah, Rabb seluruh alam. Maka aku ingin amalanku diangkat sementara aku dalam keadaan
berpuasa.” (Dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Shahih An-Nasa’i, no.
2221)
Wallahu’alam.
Sumber : Islam Tanya-Jawab
Memotong Rambut dan Kuku Saat Haid
Apakah seorang wanita berdosa ketika memotong
rambut, kuku dan membuang keduanya pada waktu haid? Apakah
disela-sela waktu haid, harus dicuci terlebih dahulu sebelum dibuang.
Terima kasih.
Jawab :
Alhamdulillah. Masalah ini seringkali terjadi pada kebanyakan para wanita. Terkait dengan hukum memotong rambut, kuku dan semisalnya diantara sunnah-sunnah fitrah disela-sela haid. Hal itu muncul karena keyakinan yang salah pada sebagian orang diantara mereka, bahwa anggota tubuh manusia akan kembali kepadanya di hari kiamat nanti. Kalau dihilangkannya sementara kalau dia dalam kondisi hadats besar baik junub, haid atau nifas, maka ia akan kembali dalam kondisi najis yang belum dibersihkan. Perkataan ini keliru dan tidak ada kebenarannya.
Jawab :
Alhamdulillah. Masalah ini seringkali terjadi pada kebanyakan para wanita. Terkait dengan hukum memotong rambut, kuku dan semisalnya diantara sunnah-sunnah fitrah disela-sela haid. Hal itu muncul karena keyakinan yang salah pada sebagian orang diantara mereka, bahwa anggota tubuh manusia akan kembali kepadanya di hari kiamat nanti. Kalau dihilangkannya sementara kalau dia dalam kondisi hadats besar baik junub, haid atau nifas, maka ia akan kembali dalam kondisi najis yang belum dibersihkan. Perkataan ini keliru dan tidak ada kebenarannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah -sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa, (XXI/120-121)- ditanya
tentang seseorang dalam kondisi junub dan dia memotong kuku, kumis atau
menyisir rambutnya; apakah dia jatuh kepada sesuatu (yang diharamkan)? Sebagian kalangan mengisyaratkan akan
hal ini, dengan mengatakan,"Kalau seseorang memotong rambut atau kukunya
maka anggota (tubuhnya) akan kembali kepadanya di akhirat. Maka ketika
dibangkitkan pada Hari Kiamat, ada bagian junub sesuai dengan apa yang berkurang
darinya. Dan pada setiap rambut ada bagian dari janabah (junu) tersebut"; apakah hal itu
(benar) atau tidak?
Maka beliau rahimahullah
menjawab:
“Telah ada ketetapan dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dari hadits Hudzaifah dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ’anhuma ketika disebutkan kepadanya masalah junub, maka beliau berkata : 'Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis'. Dalam Shohih al-Hakim disebutkan : 'Baik saat hidupnya maupun setelah matinya'.
Sepengetahuan saya tidak ada dalil syar’i yang melarang menghilangkan rambut orang junub dan kukunya. Bahkan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda : 'Hilangkan rambut kekufuranmu dan berkhitanlah'. [HR. Abu Dawud (356) dinyatakan hasan oleh Al-Albany di Irwa-ul Ghalill (1/120)].
Beliau memerintahkan orang yang baru masuk Islam untuk mandi, dan tidak memerintahkan mengakhirkan khitan dan memotong rambut dari mandi. Keumuman perkataannya mengandung makna diperbolehkannya kedua hal tersebut. Begitu juga orang haid diperintahkan menyisir sewaktu mandi. Padahal menyisir dapat menghilangkan sebagian rambutnya. Wallahu a'lam.”
“Telah ada ketetapan dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dari hadits Hudzaifah dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ’anhuma ketika disebutkan kepadanya masalah junub, maka beliau berkata : 'Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis'. Dalam Shohih al-Hakim disebutkan : 'Baik saat hidupnya maupun setelah matinya'.
Sepengetahuan saya tidak ada dalil syar’i yang melarang menghilangkan rambut orang junub dan kukunya. Bahkan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda : 'Hilangkan rambut kekufuranmu dan berkhitanlah'. [HR. Abu Dawud (356) dinyatakan hasan oleh Al-Albany di Irwa-ul Ghalill (1/120)].
Beliau memerintahkan orang yang baru masuk Islam untuk mandi, dan tidak memerintahkan mengakhirkan khitan dan memotong rambut dari mandi. Keumuman perkataannya mengandung makna diperbolehkannya kedua hal tersebut. Begitu juga orang haid diperintahkan menyisir sewaktu mandi. Padahal menyisir dapat menghilangkan sebagian rambutnya. Wallahu a'lam.”
Syaikhul Islam mengisyaratkan
hal itu pada hadits Aisyah radhiyallahu ’anha ketika ia haid pada Haji Wada’, maka
Nabi shallallahu ’alaihi wasallam memerintahkan kepadanya "Uraikan rambutmu
dan bersisirlah, serta ber-ihlal (talbiyah) dengan haji dan tinggalkan
umrah." Terjemah HR. al-Bukhari, (1556) dan Muslim, (1211).
Saat bersisir, seringkali sebagian
rambut akan berjatuhan. Meskipun begitu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
mengizinkan hal itu bagi orang yang berihram dan orang haid. Para ahli fiqih
dari kalangan Mazhab Syafi’iyyah mengatakan seperti dalam kitab Tuhfatul Muhtaj,
(4/56): "Yang sesuai nash, bahwa orang haid diperbolehkan mengambilnya."; yaitu mengambil kuku, rambut kemaluan, rambut ketiak. Maksud "nash"
dalam perkataan beliau adalah madzhab.
Ada pertanyaan dalam Fatawa Nurun
‘Ala Ad-Darb yang dijawab (saat itu) oleh Syaikh Ibnu Utsaimin (Fatawa Az-Ziinah Wal Mar-ah/ soal no
9) : "Saya mendengar bahwa menyisir waktu haid tidak diperbolehkan, begitu
juga (tidak diperbolehkan) memotong kuku dan mandi. Apakah hal ini benar atau tidak?"
Maka beliau rahimahullah
menjawab, “Ini tidak benar. Orang haid diperbolehkan memotong kuku dan
menyisir rambutnya. Diperbolehkan mandi dari janabah. Seperti ketika dia
bermimpi sementara dia dalam kondisi haid, maka dia mandi janabah. Atau
bercumbu dengan suaminya tanpa bersenggema sampai keluar (air mani), maka
dia mandi janabah. Sepengetahuan saya bahwa pendapat yang dikenal dikalangan
sebagian wanita bahwa tidak boleh mandi, tidak boleh bersisir, tidak menyentuh
kepala dan tidak memotong kukunya adalah pandangan yang tidak ada asalnya dalam agama.”
Dan tidak dikenal pendapat
yang memakruhkan hal itu satupun dari pendapat para ahli fikih yang
terkenal. Akan tetapi disebutkan pada sebagian kitab ahli bid’ah dari
golongan yang menyalahi Ahlus Sunnah, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Syarkh
An-Nail Wa Syifai’ ‘Alil, (1/347) karangan Muhammad bin Yusuf Al-Ibadhi (Ibadhiyah satu sekte Khawarij, pen.)
Wallahu’alam.
Sumber : Islam Tanya-Jawab