19 Januari 2014
Sifat Al-Istiwa' diatas 'Arsy
Jika disebutkan kata al-istiwa' bergandengan dengan ( على ) maka maknanya dalam bahasa Arab adalah ketinggian diatas sesuatu dan diamnya diatasnya. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,
وَالّذِي خَلَقَ الأزْوَاجَ كُلَّهَا وَجَعَلَ لَكُم مِنَ الفُلْكِ وَالأنْعَامِ مَا ترْكَبُوْنَ، لِتَسْتَوُوا عَلىَ ظُهُوْرِهِ ثُمَّ تَذْكُرُوا نِعْمَةَ رَبِّكُم إذَا اسْتَوَيْتُم عَلَيْهِ
"Dan yang menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi. Supaya kamu duduk diatas punggungnya kemudian kamu ingat nikmat Rabb-mu apabila kamu telah duduk diatasnya." (QS. Az-Zukhruf ayat 12 & 13);
maknanya yaitu : "Agar kamu naik tinggi diatas punggungnya dan berdiam diatasnya."
Sebagaimana juga firman Allah tentang kapal Nuh 'alaihissalam,
وَاسْتَوَتْ عَلىَ الجُوْدِيِّ
"Dan bahtera itu pun berlabuh diatas bukit Judi." (QS. Hud 'alaihissalam ayat 44);
yaitu tinggi dan berdiam diatasnya.
Dan firmanNya,
فَإذَا اسْتَوَيْتَ أنْتَ وَمَن مَعَكَ عَلىَ الفُلْكِ
"Dan apabila kamu dan orang-orang yang bersamamu telah berada diatas bahtera itu." (QS. Al-Mukminun ayat 28)
Adapun 'arsy menurut bahasa adalah singgasana raja, sebagaimana firman Allah tentang Balqis,
وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيْمٌ
"Dan dia mempunyai singgasana yang besar." (QS. An-Naml ayat 23)
Dengan penjelasan ini, makna dari istiwa'nya Allah diatas 'Arsy-Nya adalah ketinggianNya diatasnya dan diamnya Dia diatasnya, dengan ketinggian dan berdiam yang hakiki dan yang layak bagi Keagungan dan KemuliaanNya, yang berbeda dari sifat-sifat makhlukNya.
Diantara dalil-dalil tentang istiwa' Allah diatas 'Arsy :
Dari Al-Quran
Allah Ta'ala berfirman,
إنَّ رَبَّكُمُ اللهُ الَذِي خَلَقَ السَمَاوَاتِ وَالأرْضَ فى سِتَّةِ أيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوىَ عَلىَ العَرْشِ
"Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia ber-istiwa diatas 'Arsy." (QS. Al-A'raf ayat 54)
Dan firmanNya,
الرَحْمَنُ عَلىَ العَرْشِ اسْتَوىَ
"Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwa' diatas 'Arsy." (QS. Thaha ayat 5)
Dari As-Sunnah
1. Dalam hadits yang panjang tentang syafa'at pada hari Kiamat, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
فآتي باب الجنةِ فيفتح لي، فآتي ربّي تبارك وتعالى وهو على كرسيه أو سريره فأخرّ له ساجدًا
"Maka aku mendatangi pintu Surga dan dibukakan untukku. Aku lalu mendatangi Rabb-ku Tabaraka wa Ta'ala dan Dia berada diatas Kursi-Nya atau Singgasana-Nya, maka aku bersungkur sujud dihadapanNya."
2. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
إن الله تعالى خلق السموات والأرضين وما بينهما فى ستة أيامٍ ثم استوى على العرش
"Sesungguhnya Allah telah menciptakan langit-langit dan bumi-bumi dan apa yang ada diantara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia ber-istiwa' diatas 'Arsy."
Dan para Salaf umat ini dari kalangan Shahabat dan para imam yang mengikuti mereka dengan baik telah ber-ijma' bahwa Allah Ta'ala berada diatas 'Arsy-Nya, beristiwa' diatasnya.
Diantaranya adalah apa yang disebutkan Imam Al-Auza'i rahimahullahu, "Kami dahulu, dan para Tabi'in masih banyak bertebaran, mengatakan : Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla diatas 'Arsy-Nya, dan kami beriman dengan apa yang disebutkan Sunnah tentang sifatNya." (Al-Asma' wa ash-Shifat, al-Baihaqi, II/150)
14 Januari 2014
Diantara Syubhat Perayaan Maulid
Perayaan Maulid Nabawi sama sekali tidak memiliki landasan syar'i dalam agama Alla Ta'ala. Tapi, saking populernya perayaan ini di kalangan kaum muslimin semenjak jauhnya umat dari pemahaman Islam yang benar, banyak orang yang tergelincir. Bahkan sebagian kalangan orang-orang yang dikenal dengan ilmu dan keshalehannya. Namun tentu saja, perbuatan orang bukanlah landasan untuk membuat satu ritual tertentu dalam agama Allah tanpa disertai dalil yang jelas, yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah nanti.
Diantara syubhat perayaan Maulid Nabawi adalah sebuah "dalil" yang disebutkan Imam as-Suyuthi rahimahullahu dalam bukunya al-Haawi fi al-Fataawi[1]. "Dalil" itu adalah sebuah atsar sejarah yang diriwayatkan bahwa Abu Lahab yang celaka diperlihatkan dalam mimpi dan ditanya tentang keadaannya. Maka ia menjawab bahwa ia disiksa di Neraka dan diberikan keringanan baginya dari siksa tersebut pada setiap malam Senin. Ia mengisap air diantara kedua jarinya dengan kadar seperti ini, dan ia pun berisyarat dengan ujung jarinya. Keringanan itu diberikan karena ia telah membebaskan budak perempuannya ketika budak itu memberikan kabar gembira kepadanya dengan kelahiran Muhammad -shallallahu 'alaihi wasallam, putra saudaranya, Abdullah bin Abdil Muththalib. Dan budak itu telah menyusukan beliau shallallahu 'alaihi wasallam.
Bantahan untuk syubhat ini dari beberapa sisi :
Pertama,
Kaum muslimin sepakat bahwa Syari'at tidak ditetapkan dengan apa yang dilihat manusia dalam mimpi, siapapun orang itu dengan iman, amal dan ketakwaannya, kecuali seorang nabi, karena mimpi para nabi adalah wahyu, dan wahyu ada sebuah kebenaran.
Kedua,
Pemilik mimpi tersebut adalah al-Abbas bin Abdil Muththalib, dan orang yang meriwayatkan darinya telah meriwayatkannya dengan perantara. Dengan demikian, hadits ini mursal[2], dan hadits mursal tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak boleh menetapkan suatu aqidah atau ibadah dengan hadits mursal yang masuk dalam kategori hadits dha'if. Dan kemungkinan bahwa Abbas melihat mimpi itu sebelum keislamannya, dan mimpi seorang kafir di masa kekafirannya tidak bisa dijadikan hujjah (argumen) dengan kesepakatan para ulama.
Ketiga,
Sebagian besar ulama dari kalangan Salaf dan Khalaf berpendapat bahwa seorang kafir tidak diberi pahala atas perbuatan baiknya jika dia mati dalam kekafirannya, dan inilah pendapat yang benar. Allah Ta'ala berfirman,
وَقَدِمْنَا إلىَ مَا عَمِلُوا مِن عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
"Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan." (QS. Al-Furqan ayat 23)
Dan firmanNya,
أولَئِكَ الّذِيْنَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِم وَلِقَائهِ فحَبِطَتْ أعْمَالَهُم فَلاَ نُقِيْم لَهُم يَوْمَ القِيَامَةِ وَزْنًا
"Mereka itu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Rabb mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada Hari Kiamat." (QS. Al-Kahf ayat 105)
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata : Aku berkata : Wahai Rasulullah, dahulu (Abdullah) bin Jud'an di masa Jahiliyah menjalin siltaurrahim, memberi makan orang miskin, apakah hal itu bermanfaat (untuknya)?
Beliau menjawab,
لا ينفعه، إنه لم يقل يومًا ربّ اغفر لي خطيئتي يوم الدين
"Tidak akan bermanfaat baginya. Dia sama sekali tidak mengucapkan dalam satu hari pun : Ya Rabb, ampunilah untukku dosa-dosaku pada hari pembalasan!" (HR. Muslim)
Imam an-Nawawi membuatkan judul bab untuk hadits ini : "Dalil bahwa orang yang mati dalam kekafiran, tidak akan bermanfaat baginya satu amal pun".
Keempat,
Kegembiraan yang diekspresikan Abu Lahab dengan kelahiran putra saudaranya adalah kegembiraan yang merupakan tabiat manusia, tidak bersifat ibadah (ta'abbudi), karena setiap orang akan bergembira dengan kelahiran anaknya, atau anak dari saudara atau kerabatnya. Dan kegembiraan itu, jika bukan karena Allah, maka pelakunya tidak akan diberi pahala. Lagi pula, kegembiraan seorang mukmin terhadap nabinya adalah kegembiraan yang mesti ada pada dirinya dan tidak akan berpisah darinya. Maka bagaimana kita akan membuat peringatan tahunan untuk mendatangkan cinta itu?!
Ya Allah, "dalil" mereka ini adalah makna yang batil dan syubhat murahan yang tidak bernilai, maka bagaimana itu akan menetapkan sebuah Syari'at? Allah Yang Maha Mulia tidaklah mensyari'atkan sesuatu karena kelemahan atau lupa, akan tetapi karena karena kasih sayang terhadap hamba-hambaNya yang mukmin, alhamdulillah.
Catatan kaki :
[1] Tidak perlu heran dengan Imam as-Suyuthi rahimahullahu dalam masalah ini karena beliau seorang alim yang hidup di abad X Hijri, abad yanng penuh dengan fitnah dan kemunduran bagi umat Islam. Semoga Allah mengampuni kita dan beliau.
[2] Hadits mursal dalam definisi yang umum hadits yang sanadnya terputus. Sementara menurut ahli hadits, hadits mursal adalah hadits yang tidak disebutkan nama Shahabat.
----------------------
Sumber : Al-Inshaaf fiimaa Qiila fi al-Maulid min al-Ghuluww wa al-Ijhaaf, dengan sedikit perubahan.
07 Januari 2014
Mengapa Aqidah as-Salaf ash-Shalih lebih Pantas untuk Diikuti?
Aqidah diatas manhaj (metode) para as-Salaf ash-Shalih memiliki beberapa keistimewaan yang bisa menjelaskan tentang keunggulannya dan pentingnya berpegang kepadanya, diantaranya :
Pertama,
Manhaj ini adalah jalan satu-satunya untuk menghilangkan perpecahan dan menyatukan barisan kaum muslimin secara umum, serta para ulama dan para da'i secara khusus. Manhaj ini adalah wahyu Allah, petunjuk nabiNya dan manhaj yang berada diatasnya generasi awal umat ini. Perkumpulan diatas manhaj yang selain ini hanya akan membawa pada apa yang kita saksikan pada hari ini dari perpecahan, perselisihan dan kemunduran. Allah Ta'ala berfirman,
وَمَن يُشاققِ الرَسُوْلَ مِن بَعْدِ مَا تبَيّنَ لَهُ الهُدَى وَيَتّبِعْ غيْرَ سَبيْلِ المُؤْمِنِيْنَ نُوَلّهِ مَا توَلىَّ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا
"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS. an-Nisa ayat 115)
Kedua,
Manhaj ini akan mengumpulkan dan menguatkan kaum muslimin, menyatukan kalimat mereka diatas kebenaran dan dalam kebenaran itu, karena ini merupakan pemenuhan terhadap seruan Allah Ta'ala,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا
"Dan berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai." (QS. Alu Imran ayat 103)
Sebab terpenting terjadinya perselisihan di kalangan umat Islam adalah karena berbedanya manhaj-manhaj mereka dan berbilangnya sumber talaqqi[1] mereka. Karenanya, menyatukan rujukan mereka dalam aqidah dan talaqqi adalah sebab penting untuk satunya umat ini.
Ketiga,
Manhaj ini mengikat kaum muslimin secara langsung dengan Allah dan rasulNya, dengan mencintai keduanya dan mengagungkan keduanya, serta tidak mendahului keduanya. Mengapa?
Karena manhaj dan aqidah para as-Salaf mata airnya adalah perkataan Allah dan perkataan rasulNya, jauh dari permainan hawa nafsu dan syubhat, dan bersih dari pengaruh-pengaruh asing berupa filsafat, mantiq, rasio dan lain-lain.
Keempat,
Manhaj ini mudah dan jelas. Jauh dari kerancuan dan penyimpangan dalil. Orang yang mengimaninya akan merasakan kenyamanan dalam pikiran, ketenangan jiwa, jauh dari keragu-raguan, khayalan dan was-was syaitan, karena dia berjalan diatas petunjuk Nabi umat ini -shallallahu 'alaihi wasallam- dan para shahabatnya yang mulia -radhiyallahu 'anhum.
Kelima,
Manhaj ini merupakan salah satu sebab terbesar untuk pendekatan diri kepada Allah dan mendapatkan keberuntungan dengan keridhaanNya.
Demikianlah keistimewaan yang dimiliki oleh manhaj ini. Dan dia tidak akan pernah berbeda di tempat mana saja, dan waktu kapan saja, alhamduli-Llah.[2]
------------------
[1] Talaqqi adalah metode dalam berdalil dan pengambilan ilmu
[2] Disadur dari al-Wajiz fi Aqidah as-Salaf ash-Shalih, oleh Abdullah bin Abdil Hamid al-Atsari
02 Januari 2014
Bilakah Meninggalkan Keburukan Bernilai Pahala?
Seorang muslim ketika meninggalkan suatu keburukan, maka hal itu akan bernilai pahala baginya. Tapi ini tidaklah mutlak dalam setiap kejahatan atau keburukan yang dia tinggalkan. Karena orang yang meninggalkan keburukan dan tidak mengerjakannya terbagi pada tiga bagian, yaitu :
1. Orang yang meninggalkannya semata-mata karena Allah, mencari keridhaanNya. Yang seperti ini dicatat baginya satu pahala, karena apa yang dilakukannya itu termasuk amal dan niat sekaligus. Dalam sebuah redaksi hadits yang shahih disebutkan,
فإنما تركها من جرّائي
"Dia meninggalkannya semata-mata karena Aku." (HR. Muslim)
2. Terkadang seseorang meninggalkan satu keburukan karena lupa. Orang yang seperti ini tidak berpahala dan tidak juga berdosa karena dia tidak meniatkan keburukan dan tidak juga mengerjakan keburukan tersebut.
3. Kasus ketiga ketika seseorang meninggalkan keburukan atau kejahatannya karena kelemahan atau kemalasan setelah berusaha mendapatkan sebab-sebabnya dan melakukan sesuatu yang mendekatkan dia pada keburukan itu. Orang yang seperti sama seperti orang yang mengerjakannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits,
إذا التقى المسلمان بسيفيهما فالقاتل والمقتول فى النار، قيل : هذا القاتل فما بال المقتول؟ قال :إنه كان حريصًا على قتل صاحبه
"Jika dua orang muslim berjumpa dengan kedua pedang mereka, maka yang membunuh dan yang terbunuh berada di Neraka."
Ditanyakan pada beliau, " Demikianlah orang yang membunuh, tapi mengapa dengan orang yang terbunuh?"
Beliau menjawab, "Dia juga sangat ingin membunuh kawannya." (HR. al-Bukhary dan Muslim)
Beliau menjawab, "Dia juga sangat ingin membunuh kawannya." (HR. al-Bukhary dan Muslim)
Wallahu a'lam.
(Dengan ringkas dari Tafsir Imam Ibnu Katsir rahimahullahu, III/379)