Sponsors

14 Januari 2014

Diantara Syubhat Perayaan Maulid

Perayaan Maulid Nabawi sama sekali tidak memiliki landasan syar'i dalam agama Alla Ta'ala. Tapi, saking populernya perayaan ini di kalangan kaum muslimin semenjak jauhnya umat dari pemahaman Islam yang benar, banyak orang yang tergelincir. Bahkan sebagian kalangan orang-orang yang dikenal dengan ilmu dan keshalehannya. Namun tentu saja, perbuatan orang bukanlah landasan untuk membuat satu ritual tertentu dalam agama Allah tanpa disertai dalil yang jelas, yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah nanti.

Diantara syubhat perayaan Maulid Nabawi adalah sebuah "dalil" yang disebutkan Imam as-Suyuthi rahimahullahu dalam bukunya al-Haawi fi al-Fataawi[1]. "Dalil" itu adalah sebuah atsar sejarah yang diriwayatkan bahwa Abu Lahab yang celaka diperlihatkan dalam mimpi dan ditanya tentang keadaannya. Maka ia menjawab bahwa ia disiksa di Neraka dan diberikan keringanan baginya dari siksa tersebut pada setiap malam Senin. Ia mengisap air diantara kedua jarinya dengan kadar seperti ini, dan ia pun berisyarat dengan ujung jarinya. Keringanan itu diberikan karena ia telah membebaskan budak perempuannya ketika budak itu memberikan kabar gembira kepadanya dengan kelahiran Muhammad -shallallahu 'alaihi wasallam, putra saudaranya, Abdullah bin Abdil Muththalib. Dan budak itu telah menyusukan beliau shallallahu 'alaihi wasallam.

Bantahan untuk syubhat ini dari beberapa sisi :

Pertama,

Kaum muslimin sepakat bahwa Syari'at tidak ditetapkan dengan apa yang dilihat manusia dalam mimpi, siapapun orang itu dengan iman, amal dan ketakwaannya, kecuali seorang nabi, karena mimpi para nabi adalah wahyu, dan wahyu ada sebuah kebenaran.

Kedua,

Pemilik mimpi tersebut adalah al-Abbas bin Abdil Muththalib, dan orang yang meriwayatkan darinya telah meriwayatkannya dengan perantara. Dengan demikian, hadits ini mursal[2], dan hadits mursal tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak boleh menetapkan suatu aqidah atau ibadah dengan hadits mursal yang masuk dalam kategori hadits dha'if. Dan kemungkinan bahwa Abbas melihat mimpi itu sebelum keislamannya, dan mimpi seorang kafir di masa kekafirannya tidak bisa dijadikan hujjah (argumen) dengan kesepakatan para ulama.

Ketiga,

Sebagian besar ulama dari kalangan Salaf dan Khalaf berpendapat bahwa seorang kafir tidak diberi pahala atas perbuatan baiknya jika dia mati dalam kekafirannya, dan inilah pendapat yang benar. Allah Ta'ala berfirman,

وَقَدِمْنَا إلىَ مَا عَمِلُوا مِن عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

"Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan." (QS. Al-Furqan ayat 23)

Dan firmanNya,

أولَئِكَ الّذِيْنَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِم وَلِقَائهِ فحَبِطَتْ أعْمَالَهُم فَلاَ نُقِيْم لَهُم يَوْمَ القِيَامَةِ وَزْنًا

"Mereka itu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Rabb mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada Hari Kiamat." (QS. Al-Kahf ayat 105)

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata : Aku berkata : Wahai Rasulullah, dahulu (Abdullah) bin Jud'an di masa Jahiliyah menjalin siltaurrahim, memberi makan orang miskin, apakah hal itu bermanfaat (untuknya)?

Beliau menjawab,

لا ينفعه، إنه لم يقل يومًا ربّ اغفر لي خطيئتي يوم الدين

"Tidak akan bermanfaat baginya. Dia sama sekali tidak mengucapkan dalam satu hari pun : Ya Rabb, ampunilah untukku dosa-dosaku pada hari pembalasan!" (HR. Muslim)

Imam an-Nawawi membuatkan judul bab untuk hadits ini : "Dalil bahwa orang yang mati dalam kekafiran, tidak akan bermanfaat baginya satu amal pun".

Keempat,

Kegembiraan yang diekspresikan Abu Lahab dengan kelahiran putra saudaranya adalah kegembiraan yang merupakan tabiat manusia, tidak bersifat ibadah (ta'abbudi), karena setiap orang akan bergembira dengan kelahiran anaknya, atau anak dari saudara atau kerabatnya. Dan kegembiraan itu, jika bukan karena Allah, maka pelakunya tidak akan diberi pahala. Lagi pula, kegembiraan seorang mukmin terhadap nabinya adalah kegembiraan yang mesti ada pada dirinya dan tidak akan berpisah darinya. Maka bagaimana kita akan membuat peringatan tahunan untuk mendatangkan cinta itu?!

Ya Allah, "dalil" mereka ini adalah makna yang batil dan syubhat murahan yang tidak bernilai, maka bagaimana itu akan menetapkan sebuah Syari'at? Allah Yang Maha Mulia tidaklah mensyari'atkan sesuatu karena kelemahan atau lupa, akan tetapi karena karena kasih sayang terhadap hamba-hambaNya yang mukmin, alhamdulillah.


Catatan kaki :

[1] Tidak perlu heran dengan Imam as-Suyuthi rahimahullahu dalam masalah ini karena beliau seorang alim yang hidup di abad X Hijri, abad yanng penuh dengan fitnah dan kemunduran bagi umat Islam. Semoga Allah mengampuni kita dan beliau.

[2] Hadits mursal dalam definisi yang umum hadits yang sanadnya terputus. Sementara menurut ahli hadits, hadits mursal adalah hadits yang tidak disebutkan nama Shahabat.

----------------------

Sumber : Al-Inshaaf fiimaa Qiila fi al-Maulid min al-Ghuluww wa al-Ijhaaf, dengan sedikit perubahan.

0 tanggapan:

Posting Komentar