27 Desember 2015
Hadits Munqathi’
Menurut istilah, hadits al-munqathi’ (المنقطع) adalah hadits yang tidak bersambung sanadnya, dalam bentuk apapun.
Penjelasan
Dari
definisi diatas, munqathi’ mencakup semua hadits yang terputus
sanadnya di bagian manapun, baik sejak permulaan sanad, di akhirnya,
atau di pertengahannya, sehingga masuk pula di dalamnya hadits-hadits mursal, mu’allaq dan mu’dhal.
Namun, para ulama mushthalah
generasi terakhir mengkhususkan munqathi’ untuk sanad yang tidak masuk
dalam definisi atau bentuk mursal, mu’allaq atau mu’dhal. Demikian juga
definisi yang umum digunakan di kalangan generasi awal para ulama mushthalah.
Dengan ini dipahami bahwa munqathi’ adalah istilah umum untuk semua jenis inqithâ’
dalam sanad kecuali dalam tiga bentuk, yaitu : hilangnya permulaan
sanad, atau hilangnya akhir sanad atau gugurnya dua perawi secara
berurutan di bagian manapun dari sanad.
Kemudian
yang perlu dipahami juga, terputusnya sanad dalam istilah munqathi’ bisa
terjadi di satu tempat dari sanad, dan bisa juga lebih dari itu; dua
atau tiga tempat.
Contoh Hadits Munqathi'
روى عبد الرزاق عن الثوري عن أبي إسحاق عن زيد بن يثيعٍ عن حذيفة مرفوعًا : إن وليتموها أبا بكرٍ فقويٌّ أمينٌ
Diriwayatkan Abdurrazzaq, dari ats-Tsauri, dari Abu Ishaq, dari Yazid bin Yutsai’, dari Hudzaifah secara marfu’, “Jika kalian mengangkat Abu Bakr, maka ia adalah seorang yang kuat lagi amanah.”
Riwayat
ini telah hilang/gugur dalam sanadnya seorang perawi di pertengahan
sanad, yaitu Syuraik, yang gugur diantara ats-Tsauri dan Abu Ishaq.
Ats-Tsauri
tidak pernah mendengar dari Abu Ishaq secara langsung, dan hanya
mendengarkannya dari Syuraik, dan Syuraik mendengarkannya dari Abu
Ishaq.
Jenis inqithâ’
seperti ini tidak masuk dalam definisi mursal, mu’allaq dan tidak juga
mu’dhal. Dan inilah yang dimaksud sebagai hadits munqathi’ dalam
pembahasan kita ini.
Hukum Hadits Munqathi'
Hadits
munqathi’ dha’if dengan kesepakatan ulama karena tidak terpenuhinya satu
syarat dari syarat-syarat diterimanya sebuah hadits, yaitu ittishâl as-sanad (sanad yang bersambung), dan juga karena ketidak tahuan tentang status perawi yang hilang dalam sanad.
20 Desember 2015
Darah Nifas
Nifas
adalah darah yang keluar dari seorang wanita saat melahirkan dan setelah
melahirkan. Darah nifas merupakan darah yang tertahan dan tidak bisa
keluar dari rahim selama masa kehamilan.
Tidak ada batasan minimal bagi masa nifasnya seorang wanita. Adapun batas maksimalnya adalah 40 hari menurut mayoritas ulama.
Dalil yang mereka gunakan adalah hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha,
ia berkata, “Dahulu para wanita di masa Rasulullah ﷺ berdiam setelah
nifasnya (melahirkan) selama 40 hari atau 40 malam.” (Diriwayatkan oleh
Abu Dawud no. 307, At-Tirmidzi no. 139 dan Ibnu Majah no. 648. Hadits yang memiliki kelemahan dalam sanadnya, dan diperselihkan tentang layak tidaknya untuk naik ke level “hasan”, namun
mayoritas ulama mengamalkan isi hadits ini).
Berkata Imam at-Tirmidzi rahimahullahu, “Telah bersepakat para ulama dari kalangan
Shahabat, Tabi’in dan orang-orang yang datang setelah mereka bahwa
wanita-wanita yang nifas meninggalkan shalat selama 40 hari, kecuali
jika dia melihat dirinya suci sebelum itu, maka dia mandi dan
melaksanakan shalat.”
Para ulama
juga bersepakat bahwa hukum wanita yang menjalani masa nifas sama
dengan wanita haid dalam semua perkara yang dihalalkan atau diharamkan,
kecuali dalam persoalan ‘iddah. Karena ‘iddahnya wanita nifas telah
berakhir dengan melahirkan bayinya.
Jika
seorang wanita hamil keguguran, hukum nifas berlaku atasnya jika janin
yang gugur itu telah berbentuk manusia dan darah tetap keluar setelah
itu. Masa yang memungkinkan untuk melihat bentuk tersebut adalah pada
masa 3 bulan kehamilan. Minimalnya dalam masa 81 hari.
Jika
wanita yang keguguran tersebut hanya mengeluarkan gumpalan darah yang
belum berbentuk manusia, hal itu tidak dianggap sebagai darah nifas dan
tidak berlaku baginya hukum-hukum nifas. Tetap wajib baginya shalat,
puasa Ramadhan dan suami tetap boleh menggaulinya.
Begitupun dalam kasus nifas pada kelahiran bedah (caesar),
hukumnya sama dengan wanita-wanita yang mengalami nifas karena
persalinan normal. Jika dia melihat darah keluar dari kemaluannya, dia
tetap wajib meninggalkan shalat, puasa dan tidak digauli suami hingga
dia suci. Sebaliknya hukum-hukum tersebut tidak berlaku jika tidak ada
darah yang keluar darinya.
Walahu a’lam.
09 Desember 2015
Mengundang & Melayani Tamu
Saat mengundang seseorang ke rumah kita, ada adab-adab yang harus diperhatikan dan dijaga oleh kita sebagai tuan rumah. Demikian pula saat melayaninya sebagai tamu di rumah kita. Berikut adalah hal-hal penting yang selayaknya diamalkan berkenaan dengan perkara tersebut,
1. Hendaknya mengundang orang-orang shalih yang bertakwa dan bukannya justru mengundang orang-orang fasik. Nabi ﷺ bersabda,
لا تصاحب إلا مؤمنًا ولا يأكل طعامك إلا تقيٌّ
“Jangan engkau berteman kecuali dengan seorang mukmin dan jangan menyantap hidanganmu kecuali orang yang bertakwa.” (HR. Al-Bukhary).
2. Tidak
mengkhususkan undangan hanya untuk orang-orang kaya tanpa menyertakan
orang-orang miskin. Nabi ﷺ bersabda,
شر الطعام طعام الوليمة، يدعى إليها الأغنياء دون الفقراء
“Seburuk-buruk makanan adalah makanan resepsi. Diundang padanya orang-orang kaya tanpa menyertakan orang-orang fakir.” (Hadits muttafaq ‘alaihi).
3. Tidak
memaksudkan undangan tersebut untuk kesombongan dan kebanggaan.
Hendaknya Anda meniatkan undangan itu untuk meneladani Nabi ﷺ dan
memberi kebahagiaan kepada saudara-saudara muslim.
4. Jangan membiarkan tamu bekerja melayani Anda di rumah Anda sendiri, karena hal itu sama sekali tidak termasuk dalam etika kesopanan.
5. Jangan menampakkan kejenuhan di hadapan tamu. Perlihatkan padanya kebahagiaan
Anda atas kunjungannya, dengan wajah yang berseri dan ucapan yang baik.
6. Bersegeralah menghidangkan jamuan untuk tamu karena hal itu termasuk dalam memuliakan tamu.
7. Jangan terburu-buru membereskan makanan dari meja sebelum tamu Anda selesai dari hajatnya.
8. Dianjurkan mengantar tamu sampai ke pintu, karena hal itu termasuk dalam kesempurnaan pelayanan Anda terhadap tamu.
08 Desember 2015
Adab Berkunjung & Bertamu
Berikut ini adalah beberapa adab yang harus dijaga oleh seorang muslim saat diundang, bertamu dan berkunjung ke rumah orang lain :
1. Memenuhi undangan dan tidak menunda-nundanya kecuali karena uzur. Dalam hadits shahih, Nabi ﷺ bersabda,
من دُعي إلى عُرسٍ أو نحوه فليُجب
“Siapa yang diundang kepada sebuah resepsi atau yang semacamnya hendaknya dia memenuhinya.” (HR. Muslim).
2. Tidak
membeda-bedakan antara undangan yang datang dari orang kaya atau orang
miskin. Tidak memenuhi undangan orang miskin akan melukai perasaannya.
3. Jangan
terlambat memenuhi undangan hanya karena alasan sedang berpuasa. Bahkan
seharusnya ia tetap datang. Nabi ﷺ bersabda,
من دُعي إلى طعامٍ وهو صائمٌ فليُجب، فإن شاء طَعِمَ وإن شاء تَرَكَ
“Siapa
yang diundang kepada jamuan makan sementara ia sedang berpuasa,
hendaknya ia penuhi undangan itu. Jika dia mau dia boleh makan, jika
tidak, dia boleh tinggalkan.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan al-Albani)
4. Jika telah membuat janji berkunjung, jangan
sampai membuat orang yang mengundang menunggu lama kehadiran diri Anda, dan
jangan pula datang terlalu cepat hingga membuatnya kaget karena belum mempersiapkan diri untuk menyambut Anda.
5. Jika
Anda bertamu dan menginap di rumahnya, maka jangan menginap lebih dari
tiga hari. Kecuali jika tuan rumah mendesak untuk tetap tinggal lebih
dari tiga hari tersebut.
6. Pergi dengan hati yang lapang dan memaafkan kekurangan yang dia dapatkan dari pelayanan tuan rumah.
7. Mendoakan orang yang menjamunya setelah selesai makan. Diantara doa yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ dalam persoalan ini adalah,
اللهُمّ بَارِكْ لَهُم فِيْمَا رَزَقْتَهُم وَاغْفِرْ لَهُم وَارْحَمْهُم
Allâhumma bârik lahum fîmâ razaqtahum, wa_ghfir lahum, wa_rhamhum.
“Ya Allah, berkahi mereka dalam rezki yang Engkau anugerahkan kepada mereka, ampuni mereka dan sayangi mereka.” (HR. Muslim).
Jika berkait dengan undangan berbuka puasa, disunnahkan mendoakan orang yang menjamu dengan doa,
أفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَائِمُوْنَ وَأكَلَ طَعَامَكُمُ الأبْرَارُ وصَلَّتْ عَلَيْكُمُ المَلاَئِكَةُ
Afthara ‘indakum ash shâ-imûn, wa akala tha’âmukum al abrâr, wa shallat ‘alaikum al malâ-ikah.
“Telah
berbuka pada kalian orang-orang yang berpuasa, telah menyantap makanan
kalian orang-orang yang shalih, dan mudah-mudahan malaikat bershalawat
atas kalian.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan an-Nasa’i dalam ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, dishahihkan al-Albani dalam Shahîh Sunan Abî Dâwûd).
06 Desember 2015
Menuntut Ilmu Syar’i bagi Muslimah
Tidak
diragukan bahwa ilmu penting bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun
perempuan. Dengan ilmu seorang muslim beribadah kepada Rabb-nya diatas
kebenaran dan petunjuk yang diridhai Allah subhanahu wa ta’ala.
Namun,
ilmu sangat luas dan bertingkat-tingkat. Seorang muslim, laki-laki
maupun perempuan dituntut untuk mempelajari dan mengetahui ilmu yang
dengannya dia bisa menegakkan agamanya, seperti persoalan thaharah,
shalat, puasa dan sebagainya.
Sebagian
ilmu terkadang tidak dibutuhkan kecuali di saat tertentu ketika muslim
itu akan menunaikan kewajibannya, seperti ibadah haji.
Yang
paling besar tanggungjawabnya terhadap persoalan menuntut ilmu dan
mengajarkannya adalah kaum laki-laki, karena merekalah yang
bertanggungjawab terhadap urusan keluarga perempuannya. Laki-laki juga
lebih mudah keluar rumah untuk urusan penghidupan dan menuntut ilmu,
tidak sebagaimana keadaan perempuan yang dituntut untuk berdiam di rumah
karena tanggungjawabnya yang besar dalam rumah dan juga karena
statusnya sebagai fitnah bagi kaum laki-laki. (Baca juga : Wanita adalah aurat)
Karenanya,
bukanlah hal yang dianjurkan dalam Islam untuk secara sengaja
mengeluarkan kaum wanita dari rumahnya untuk dakwah dan menuntut ilmu
tanpa ada hajat yang memang “penting” untuk hal tersebut.
Setinggi-tingginya
ilmu yang dimiliki seorang wanita, tanggungjawabnya terhadap rumah,
suami dan anak-anaknya tidak mungkin diabaikan dengan dalih untuk
menambah ilmu dan mengajarkan ilmu kepada sesama kaum wanita.
Ya,
terkadang memang dibutuhkan beberapa orang wanita yang memiliki
kompetensi dalam ilmu untuk sebuah hajat yang dibutuhkan komunitas
wanita di masyarakat kita, tapi jika sampai secara sengaja memotivasi
dan memobilisasi kaum muslimah keluar rumah untuk menuntut ilmu yang
melebihi hajat yang diperlukan untuk menunaikan kewajiban, maka hal itu
bukanlah sunnah para as-Salaf ash-Shalih. Apalagi jika para muslimah
diharuskan hadir di majelis-majelisnya kaum laki-laki.
Katakanlah
seandainya pun ada hijab yang membatasi antara dua jenis manusia
tersebut, tapi fitnah wanita tidaklah hilang hanya karena adanya hijab
itu. Mereka masih nampak dan mungkin saja bercampur saat diluar ruangan.
Kami tidak ingkari jika itu dilakukan dalam momen tertentu, tapi jika
dilakukan rutin pada setiap hari atau pekannya, sangat jelas hal itu
akan membawa pada kemungkaran yang lain lagi.
Para ulama
menyebutkan bolehnya seorang wanita hadir dalam shalat berjamaah jika
keluarnya itu tidak mendatangkan fitnah untuk dirinya dan orang lain.
(Lihat diantaranya perkataan Imam asy-Syaukani dalam Nail al-Authâr, III/140-141).
Dan berkata Imam Ibnul Jauzi rahimahullahu,
“Sepantasnya seorang wanita tidak keluar rumah jika hal itu
memungkinkan baginya. Andai ia selamat dalam persoalan dirinya (saat
keluar rumah), belum tentu manusia akan selamat dari (fitnah)nya. Jika
ia terpaksa harus keluar rumah, ia keluar dengan izin suami dalam
penampilan yang sederhana, mengambil jalannya di tempat-tempat yang
kosong bukan jalan-jalan besar dan pasar, menjaga agar suaranya tidak
terdengar dan berjalan di pinggiran jalan bukan di tengah-tengahnya.” (Kitab Ahkâm an-Nisâ’, hal. 39).
Berikut adalah kutipan nasehat Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafidzhahullahu
ketika beliau ditanya tentang para wanita membaca al-Quran secara
berjamaah di masjid untuk pengajaran dan mengulang-ulangi hafalan; maka
beliau menjawab, “Demi Allah, tidak diragukan bahwa wanita (berdiam) di
rumah. Baik dalam urusan shalat atau mempelajari al-Quran. Diamnya
mereka di rumah –tidak diragukan- bahwa itulah hukum asalnya. Adapun
jika kita biasakan mereka keluar (dengan dalih) untuk mempelajari
al-Quran, saya tidak tahu bagaimana hal itu?!… Yang seperti ini
menjadikan mereka nantinya tidak akan peduli lagi untuk berdiam di
rumah… Saya memandang bahwa pengajaran kaum wanita dilakukan di rumah,
shalat mereka di rumah; itulah hukum asalnya dan lebih selamat untuk
mereka… Sekarang ini, mereka (kaum laki-laki) membiarkan para wanitanya
dan mengeluarkan mereka dari rumah-rumahnya,,, dengan kendaraan dan
pergi (begitu saja)… Wanita suka keluar, datang dan pergi (sesuka
hatinya)… Sekarang kalian telah membuka pintu kesempatan itu untuk
mereka. Mereka akhirnya tidak terbiasa lagi dengan rumah. Tidak
menginginkan (diam di) rumah. Dengan dalih bahwa mereka mau belajar…
Saya tidak mengerti bagaimana itu (bisa terjadi)!… Saya memandang bahwa
perkara ini selayaknya ditinggalkan, dan para wanita berdiam di rumah.
Apa yang telah mereka pelajari telah mencukupi insyaallah, dan
tidak ada hajatnya mereka berlebihan memperdalam ilmu di majelis ta’lim
dan (sebagainya)…” (Rekaman fatwa dalam situs web Syaikh al-Fauzan, no.
8485, dinukil dari “Hukm Khurûj al-Mar’ah li ad-Da’wah” hal. 80).
Syaikh
tentu saja tidak mengingkari pentingnya ilmu bagi kaum wanita. Yang
beliau ingkari adalah ketika niat suci itu telah membawa kepada
kebiasaan baru para wanita untuk suka keluar rumah dan tidak betah lagi
berdiam dalam rumahnya. Cukuplah bagi seorang wanita memiliki ilmu
syar’i yang dengannya ia melaksakanan kewajiban-kewajiban ibadahnya
kepada Rabb-nya, dan selebihnya hendaknya ia beribadah kepada Allah
dengan berdiam dalam rumah, melayani suami, mengurus urusan rumah dan
anak-anaknya.
Mungkin
akan ada yang mengatakan, “Kebutuhan telah sangat mendesak bagi para
wanita untuk belajar dan mendakwahi kaum wanita, sementara berdiam di
rumah tidak lagi mencukupi untuk kebutuhan tersebut. Kepada siapa kita
akan meninggalkan kaum wanita untuk belajar agamanya? Apakah kita akan
membiarkan mereka dalam kesyirikan? Apakah kita akan biarkan mereka
dalam bid’ah? Apakah…?”
Kami jawab
: Sungguh aneh! Bagaimana dahulu para wanita shahabiyat yang mulia itu
belajar?! Bagaimana keadaan generasi wanita Islam sepanjang masa sebelum
datangnya masa modern ini yang mengajarkan kebebasan bagi para wanita
untuk keluar rumah?!
Orang yang
beribadah kepada Allah diatas ilmu dan memahami sifat-sifatNya yang
mulia akan meyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah Maha Mengetahui
dan Maha Bijaksana. Dia akan mengadakan untuk para wanita orang yang
akan mengajarkan mereka dan mendatangkan kepada mereka ilmu, walaupun
mereka berada di rumahnya! Dan itu sangat nampak di zaman sekarang.
Ceramah dan pengajaran oleh para ulama senior dan para da’i bisa diikuti
oleh para wanita dari rumahnya tanpa harus meninggalkan keluarganya.
Adapun rekaman ceramah dan pelajaran agama dari para ulama dan para da’i
begitu banyak tersebar dan mudah didapatkan. Saking banyaknya,
seseorang tidak memiliki waktu untuk mengumpulkan seluruhnya! Bahkan
umurnya habis, ceramah dan pelajaran itu tidak bisa dia selesaikan!
Bukanlah
termasuk kebenaran mencampakkan diri dan keluarga kepada kebinasaan
dengan menyelisihi petunjuk para Salaf hanya demi untuk menyelamatkan
orang lain!
Semoga Allah menjaga kita dari keburukan diri-diri kita sendiri.
Semua
orang mungkin saja berniat baik dan ingin berbuat kebaikan. Tapi
hendaknya setiap kita waspada agar jangan sampai dakwah kebaikan itu
akan berujung pada keburukan baru yang tidak kita harapkan hanya karena
karena kita selalu longgar dalam menerapkan aturan-aturan Allah atas
nama niat baik, mashlahat dan kepentingan dakwah.
Wallahul musta’an.
03 Desember 2015
Penindasan terhadap Kaum Muslimin di Makkah
Tidak cukup hanya dengan tuduhan batil, pendustaan dan menyakiti Rasulullah ﷺ, Quraisy bahkan menunjukkan puncak kekejian dan kebengisannya, khususnya terhadap orang-orang lemah dari kaum muslimin.
Berkata Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu : Yang pertama kali menampakkan keislamannya tujuh orang; Rasulullah ﷺ, Abu Bakr, Ammar dan ibunya, Sumayyah, Shuhaib, Bilal dan Miqdad.
Adapun Rasulullah ﷺ, maka Allah melindunginya dengan perantaraan pamannya. Abu Bakr, dilindungi oleh kaumnya.
Yang
sisanya, mereka ditangkap orang-orang musyrik, dipakaikan baju besi dan
dipanggang di bawah terik matahari. Tidak ada seorang pun dari
orang-orang lemah itu kecuali diperlakukan sesuka hati mereka, kecuali Bilal.
Jiwanya begitu murah dalam menanggung siksaan karena Allah dan juga
murah dalam pandangan kaumnya, dan akhirnya mereka menyerahkannya kepada
anak-anak yang mengambilnya dan mengaraknya di lembah Makkah
sementara Bilal hanya mengatakan, “Ahad… Ahad…!”[1]
Abu Bakr akhirnya membeli Bilal dan membebaskannya.[2]
Urwah
menyebutkan bahwa Zunairah hilang penglihatannya, dan ia termasuk satu
dari orang-orang yang disiksa karena Allah, namun ia enggan kecuali
berpegang teguh pada Islam. Orang-orang musyrik berkata, “Tidak ada
yang memberikan penyakit pada matanya kecuali al-Laat dan al-‘Uzza!” Ia
berkata, “Apakah demikian?! Demi Allah, bukanlah seperti itu!” Maka
Allah kemudian mengembalikan penglihatannya.[3]
Abu
Bakr radhiyallahu 'anhu suka membebaskan orang-orang lemah dari budak-budak muslim.
Ayahnya, Abu Quhafah, berkata, “Kalau engkau membebaskan para lelaki
yang kuat niscaya mereka akan melindungimu.” Abu Bakr menjelaskan bahwa
ia melakukan semata-mata mengharapkan Wajah Allah, bukan mencari
perlindungan. Maka turunlah ayat,
فأمَّا مَن أعْطَى واتَّقىَ وَصَدَّقَ بالحُسْنىَ فَسَنُيَسِّرُهُ لِليُسْرىَ
“Adapun
orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan
membenarkan adanya pahala yang terbaik (Surga), maka Kami kelak akan
menyiapkan baginya jalan yang mudah.”; sampai pada firmanNya,
وَمَا لِأحَدٍ عِنْدَهُ مِن نِعْمَةٍ تُجْزىَ إلاّ ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الأعْلىَ وَلَسَوْفَ يَرْضىَ
“Padahal,
tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus
dibalasnya. Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari
keridhaan Rabbnya Yang Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat
kepuasan.”[4]
Riwayat-riwayat
yang banyak juga menyebutkan tentang berbagai siksaan yang menimpa
Ammar dan keluarganya, dan itu cukup sebagai penguat untuk menetapkan
kisah tersebut dari sisi sejarah. Para ahli tafsir juga menyebutkan
bahwa ayat,
إلاّ مَن أكْرهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنُّ بالإيْمَانِ
“Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa).”[5]; turun berkait dengan Ammar.[6]
Termasuk yang disiksa karena Allah adalah Khabbab bin al-Aratt, sampai-sampai ia meminta agar Rasul ﷺ berdoa kepada Allah untuk memberi keringanan dan pertolongan bagi orang-orang yang lemah.
Khabbab berkata : Aku mendatangi Rasulullah ﷺ
sementara ia sedang (berbaring) beralaskan selimut, di bawah bayangan
Ka’bah. Dan kami telah mendapatkan siksaan dari orang-orang musyrik. Aku
berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau berdoa untuk kami?”
Beliau pun duduk dengan wajah yang memerah. Beliau ﷺ bersabda, “Sungguh
ada orang sebelum kalian yang disisir dengan sisir besi yang merobek daging dan urat yang membungkus tulangnya. Hal itu sama sekali
tidak memalingkannya dari agamanya. Sungguh, Allah pasti akan
menyempurnakan agama ini sehingga seorang pengendara akan berjalan dari
Sana’a ke Hadhramaut, dia tidak takut kecuali kepada Allah!”[7]
Tidak
diragukan lagi bahwa kaum muslimin, walaupun mereka dalam posisi yang
lemah, mereka pun punya keinginan untuk membela diri. Dan yang nampak,
sikap diam kaum muslimin telah membuat sebagian mereka marah, khususnya
para pemudanya. Abdurrahman bin ‘Auf dan kawan-kawannya pernah
mendatangi Nabi ﷺ, mereka berkata,
“Wahai Nabiyyullah, kami dahulu dalam kemuliaan ketika kami masih
musyrik. Ketika kami beriman, kami justru menjadi hina?!”
Beliau ﷺ bersabda, “Aku diperintahkan untuk memaafkan. Jangan sekali-kali kalian memerangi kaum itu!”
Ketika
Allah telah menyelamatkan beliau ke Madinah dan memerintahkan mereka
berperang, mereka justru enggan. Maka Allah turunkan ayat,
ألَمْ تَرَ إلىَ الَّذِيْنَ قِيْلَ لَهُم كُفُّوا أيْدِيَكُم
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka : Tahanlah tanganmu (dari berperang)!”[8].[9]
Rasulullah ﷺ
memerintahkan para shahabatnya untuk menahan diri dan bersabar, tidak
membalas keburukan dengan keburukan, permusuhan dengan permusuhan, demi
untuk menjaga hidup mereka dan keberlangsungan dakwah di masa mendatang.
Beliau ﷺ sangat menjaga agar dakwah yang baru itu tidak hancur oleh
kekuatan musuh yang sangat menginginkan terjadinya bentrokan antara dua
kekuatan tersebut yang dengannya mereka akan menyelesaikan urusan ini.
Akan tetapi, kebijaksanaan dakwah Islam telah menggugurkan maksud mereka
itu.[10]
————————
[1] HR. Ahmad dengan sanad yang hasan
[2] HR. Al-Bukhary dan Ibnu Syaibah
[3] Ibnu Ishaq, as-Siyar wa al-Maghazi, dari riwayat mursal Urwah bin az-Zubair
[4] QS. Al-Lail ayat 5-21
[5] An-Nahl ayat 106
[6] Ath-Thabari dalam Tafsir (XIV/182) dengan sanad yang hasan dari mursal Abu Ubaidah bin Muhammad bin Ammar bin Yasir
[7] HR. Al-Bukhary
[8] QS. An-Nisa ayat 77. Ayat ini turun di Madinah, dan mengisyaratkan apa yang terjadi di Makkah dahulu ketika diperintahkan untuk tidak berperang
[9] Ath-Thabari dalam Tafsir (V/170-171)
[10] Disadur dari as-Sîrah an-Nabawiyyah ash-Shahîhah, Dr. Akram Dhiya’ al-Umari. Untuk mengetahui hal yang berkait dengan keshahihan/kelemahan riwayat-riwayat dalam Sirah Nabawiyah, disarankan merujuk ke buku tersebut
01 Desember 2015
Hadits Mu’dhal
Hadits al-mu’dhal (المعضل) menurut istilah adalah hadits yang gugur dari sanadnya dua orang perawi atau lebih secara berurutan.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dalam kitab Ma’rifah Ulûm al Hadîts
(hal. 46) dengan sanadnya sampai kepada al-Qa’nabi, dari Malik bahwa telah sampai
kepadanya bahwa Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata : Rasulullah ﷺ bersabda,
للمملوك طعامه وكسوته بالمعروف، ولا يُكلف من العمل إلا ما يطيق
“Hak seorang hamba sahaya adalah makanan dan pakaiannya dengan cara yang ma’ruf, serta tidak dibebani pekerjaan kecuali apa yang dalam kemampuan.”
Berkata al-Hakim : Hadits ini mu’dhal dari Malik. Ia meriwayatkannya seperti itu dalam kitab al-Muwaththa’.
Hadits
tersebut mu’dhal karena gugur secara berurutan dua orang perawi antara
Malik dan Abu Hurairah. Kita bisa mengetahui hilangnya nama dua perawi
tersebut dari riwayat hadits yang ada pada selain kitab al-Muwaththa’,
yaitu “… dari Malik, dari Muhammad bin ‘Ijlan, dari ayahnya, dari Abu
Hurairah.” (Ma’rifah Ulûm al Hadîts, hal. 47)
Hukum Mu'dhal
Hadits mu’dhal adalah hadits dha’if, dan bahkan statusnya lebih buruk daripada munqathi’ dan mursal, karena banyaknya perawi yang hilang dalam sanadnya.
Antara Mu’dhal dan Mu’allaq
1. Mu’dhal
memiliki kesamaan dengan mu’allaq dalam satu bentuk, yaitu ketika
dihapuskan dari permulaan sanadnya dua orang perawi secara berurutan.
Dalam kasus ini, hadits tersebut adalah hadits mu’dhal sekaligus
mu’allaq.
2. Mu’dhal dan mu’allaq akan berbeda dalam dua bentuk berikut ini;
- Jika dihilangkan pada pertengahan sanad dua orang perawi secara berurutan, maka ini disebut mu’dhal dan bukan mu’allaq.
- Jika dihapuskan seorang perawi pada permulaan sanad, maka ini adalah mu’allaq dan bukan mu’dhal.
(Sumber : Taysîr Mushthalah al Hadîts, ath-Thahhan)