Sponsors

07 Agustus 2011

Latar Belakang Lahirnya Paham Menyimpang

Beberapa faktor penyebab timbulnya paham-paham nyeleneh, antara lain [1] :

1. Rendahnya Pemahaman Agama

Hal ini, misalnya, dapat lahir dari penguasaan bahasa Arab yang minim. Akibat langsungnya, akses terhadap Al Qur'an, Hadits serta literatur-literatur induk ajaran Islam otomatis jadi terbatas pula.

Sayangnya, rendahnya pemahaman agama ini tidak mampu menekan semangat tinggi sebagian orang untuk berijtihad. Padahal ijtihad memerlukan ulama dengan kualifikasi dan tingkat kompetensi serta kapasitas keilmuan yang tinggi. Karena tidak memiliki itu semua, akhirnya yang diandalkan adalah sekedar lontaran-lontaran pemikiran namun tanpa landasan metodologi yang jelas.[2]
Rendahnya kualitas pemahaman agama bisa juga akibat dari rendahnya mutu pendidikan agama secara umum. Salah satu pemicunya, input sekolah-sekolah agama yang biasanya "sisa" calon siswa yang tidak mampu bersaing memperebutkan kursi sekolah favorit. Bukan rahasia lagi bila sekolah-sekolah agama masih sering dianggap sekedar pelarian bagi mereka yang tidak lulus di sekolah-sekolah unggulan. [3]


2. Memperturutkan hawa nafsu

Baik itu karena mengejar popularitas, materi, atau kepentingan-kepentingan sesaat lainnya. Al Qur'an menggambarkan sikap manusia pemuja nafsu sebagai:

"Maka pernahkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan mereka, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (Allah mengetahui bahwa ia tidak dapat menerima petunjuk yang diberikan kepadanya), dan Allah telah menutup pendengaran dan hatinya, dan meletakkan tutup atas penglihatannya. Maka siapakah yang memberinya petunjuk sesudah Allah? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?" (terjemah QS. 45: 23)

Fenomena memperturutkan hawa nafsu ini misalnya dapat dilihat dari penolakan secara serampangan terhadap Hadits dengan klaim bertentangan dengan Al-Qur'an[4]. Selanjutnya menjadikan sejarah sebagai sumber pemahaman agama. Padahal sejarah bukanlah agama. Sejarah bukan pula "guru agama" (adillah syar'iyyah mu'tabarah).

Bila hendak objektif, justru bagian sejarah yang paling otentik adalah Hadits. Sebab, Hadits adalah rekaman peristiwa perkataan dan perbuatan Nabi yang telah melalui proses penyaringan ketat, lewat pengkajian sanad (rantai periwayat Hadits) dan matan (redaksi) sekaligus. Metode "saring" ini, sama sekali tidak dikenal dalam tradisi keilmuan manapun di luar Islam.[5]


3. Konflik dan permusuhan

Kebencian atau sikap tidak senang kepada pihak lain kerap melahirkan subjektivitas yang berlebihan. Pada gilirannya, sikap ini akan berujung pada sikap ujub dan akhirnya penolakan terhadap kebenaran.

Allah berfirman (QS. Ali Imran: 19), artinya: "Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya."


4. Mengabaikan manhaj nabawi dalam mempelajari agama dengan mengandalkan pemikiran-pemikiran sesaat serta analisis yang prematur

Metodologi ilmiah yang diperkenalkan ulama, seperti musthalahul hadits, balaghah, ushul fiqh, dst., sebenarnya adalah metode standar yang disarikan dari ajaran Islam itu sendiri untuk menjadi parameter dalam mengukur tingkat kesahihan atau keilmiahan suatu pendapat.

Mengabaikan metodologi ini sama dengan menabrak prosedur-prosedur standar dalam melakukan ijtihad. Upaya seperti ini lebih tepat disebut "mengacak-acak" agama (meminjam istilah KH. M. Amin Jamaluddin, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, Jakarta) daripada pembaruan, sebuah istilah yang sangat sering diklaim secara sepihak. Wallahu Ta'ala a'lam.

(Dikutip dari makalah yang disampaikan oleh Ketua Dewan Syariah DPP WI, H.M. Said Abd. Shamad, Lc.)


---------------------------------------------
Foot Notes :

1. Umar Sulaiman al Asyqar, Nadzharaat fii ushuul al fiqh hal. 387-390

2. Umar bin Khattab berkata, "Hati-hatilah terhadap manusia yang hanya mengandalkan logika semata (dalam masalah agama). Mereka adalah musuh Sunnah. Mereka tidak berdaya menghapal hadits-hadits, makanya mereka cuma memakai logika. Mereka sesat dan menyesatkan." Dikutip oleh Ibn Qudamah, Raudhah an Naazhir wa Junnah al Munaazhir (Beirut: Daar al Kutub al 'Ilmiyyah, 1994), h. 149

3. Faktor ini sedikit banyaknya dapat menjelaskan kenapa paham-paham nyeleneh tumbuh lebih "subur" di perguruan-perguruan tinggi yang notabene membawa label Islam daripada perguruan-perguruan tinggi "umum". Buktinya, dari Fak. Syariah IAIN Semarang terbit buku Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual (Semarang: Elsa, 2005), dari UIN Yogyakarta lahir tesis master berjudul Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan oleh Aksin Wijaya (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), dan dari UIN (dulu IAIN) Makassar lahir Rekonstruksi Sejarah Al Qur'an oleh Taufik Adnan Amal, yang isinya meragukan keabsahan Mushaf Utsmani (Yogyakarta: FKBA, 2001). Lebih jauh mengenai liberalisasi Islam di Indonesia, baca: Adian Husaini, Liberalisasi Islam di Indonesia: Fakta dan Data (Jakarta: Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, 2006).

4. Lebih menyedihkan lagi bila klaim ini dilontarkan oleh orang yang tidak hafal al Qur’an.

5. Lihat: Mahmud at Thahhan, Taisiir Musthalah al Hadiits (Riyadh: Maktabah al Ma'aarif, 1987), h. 181. Bandingkan dengan: Muhammad Musthafa al A'zhami, Diraasaat fii al Hadiits an Nabawi wa Taariikh Tadwiinih, Juz II (Beirut: al Maktab al Islaami, 1992), h. 391

0 tanggapan:

Posting Komentar