Untuk mencari pembenaran atas perbuatannya, para pengagung kuburan paling sering berdalih dengan kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berada dalam bagian Masji Nabawi tanpa ada yang mengingkari masuknya makam tersebut ke dalam area masjid. Kalau seandainya hal itu diharamkan, niscaya beliau tidak akan dikuburkan di dalamnya… Demikian ungkapan mereka
Jawabannya :
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dikuburkan di kamar Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berada di sebelah timur masjid, karena para nabi ‘alaihimussalam dikuburkan di tempat mereka meninggal.
Alasan lainnya mengapa para Sahabat radhiyallahu ‘anhum menguburkan beliau dalam kamar Aisyah adalah agar tidak ada seorang manusia pun yang bisa menjadikannya sebagai tempat ibadah sebagaimana yang disebutkan Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata : Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
لعنة الله على اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبياءهم مساجد
“Semoga Allah melaknat Yahudi dan Nasrani! Mereka telah menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat ibadah”.
Aisyah berkata : “Kalau bukan karena hal itu, niscaya kuburnya akan dikeluarkan. Hanya saja dikhawatirkan akan dijadikan sebagai tempat ibadah (masjid)”. (Riwayat Al Bukhary dan Muslim).
Di sisi lain, kubur tersebut masuk menjadi bagian masjid di masa Khalifah al-Walid bin Abdul Malik setelah kematian seluruh Sahabat radhiyallahu ‘anhum. Pada tahun 88 H, al-Walid memerintahkan perluasan masjid kearah timur yang merupakan bekas kamar-kamar Ummahatul Mukminin termasuk kamar (hujrah) Aisyah yang berada di dalamnya makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jadi, masuknya makam tersebut ke masjid semata-mata karena untuk kepentingan perluasan masjid bukan secara sengaja ingin memasukkan makam ke dalam masjid.
Karena itu, tidak sah berargumen dengan apa yang terjadi setelah masa Sahabat radhiyallahu ‘anhum, terlebih hal itu jelas-jelas menyelisihi hadits-hadits shahih dan apa yang dipahami oleh para Salaf radhiyallahu ‘anhum. Al-Walid telah keliru ketika memerintahkan hal tersebut. Alangkah baiknya kalau ia memerintahkan perluasan masjid dari sisi yang lainnya sebagaimana yang terjadi di masa Umar dan Utsman tanpa menyentuh Hujrah Nabawiyyah.
Adapun klaim bahwa tidak ada yang mengingkari hal tersebut adalah dakwaan tanpa bukti. Tidak adanya pengetahuan bukanlah dalil akan ketiadaan hal tersebut. Diamnya para ulama juga tidak mesti sebagai wujud atas keridhaan dan persetujuan. Terlebih dimasukkannya makam tersebut ke dalam masjid dilakukan oleh seorang Khalifah yang memiliki kekuatan. Dan walaupun demikian keadaannya, yang menjadi rujukan adalah dalil, bukannya keadaan dan perbuatan manusia, wallahul musta’an.
0 tanggapan:
Posting Komentar