Sponsors

25 Mei 2013

Pernah Mengusap Khuf dalam Keadaan Belum Bersuci

Saya pernah suatu saat mengusap khuf (sepatu yang menutupi mata kaki), akan tetapi saya lupa bahwa syarat mengusap memakai khuf harus dalam keadan suci. Setelah itu saya tidak lagi memakai khuf kecuali dalam keadaan suci. Pertanyaannya adalah, apakah wajib bagi saya mengqadha' shalat dan puasa yang saya tinggalkan atau tidak? Juga terhadap shalat yang saya lakukan dengan menggunakan khuf yang dipakai dalam keadaan tidak suci? Padahal saya tidak mengetahui jumlah shalat yang saya lakukan dalam keadaan memakai khuf dalam keadaan tidak suci.

Jawab : 

Alhamdulillah. Syarat dibolehkannya mengusap khuf ada dua; Memakainya dalam keadaan suci, berdasarkan hadits Mughirah bin Syu'bah radhiyallahu anhu, ketika ia hendak mencopot khuf Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam agar beliau mencuci kakinya, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Biarkan dia, karena saya memakainya dalam keadaan suci." Lalu beliau mengusapnya. (Terjemah HR. al-Bukhari, 206, dan Muslim, 274)


Jika kondisinya seperti yang Anda sampaikan, bahwa Anda memakai kaos kaki dalam keadaan yang belum suci karena tidak mengetahui kewajibannya, maka Anda tidak diharuskan mengqadha berdasarkan pendapat sejumlah ulama. Jika memungkinkan bagi Anda untuk mengqadha, maka hal itu lebih utama.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Dengan demikian, seandainya seseorang tidak bersuci karena tidak ada dalil yang sampai kepadanya, seperti, makan daging onta, lalu dia tidak berwudhu lagi, kemudian sampai kepadanya dalil yang menjelaskan bahwa dia wajib berwudhu; atau dia shalat di kandang onta, kemudian sampai kepadanya dalil yang menjelaskan hal itu, apakah dia harus mengulangi shalat yang telah lalu? Dalam masalah ini terdapat dua pendapat. Kedua-duanya diriwayatkan dari Ahmad. 

Masalah yang serupa juga adalah orang yang menyentuh kemaluannya saat shalat, kemudian dia ketahui bahwa orang yang menyentuh kemaluannya wajib berwudhu. 

Pendapat yang shahih dalam masalah ini adalah tidak diwajibkan untuk mengulanginya. Karena Allah memaafkannya. Karena Dia telah berfirman,

وَمَا مُعَذِّبِيْنَ حتىَّ نَبْعَثَ رَسُوْلاً

Kami tidak akan mengazab sebelum Kami utus seorang rasul.

Orang yang tidak sampai kepadanya perintah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam suatu perkara, maka tidak berlaku baginya hukum wajib. Karena itu Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak memerintahkan Umar dan Ammar (untuk melakukan hal itu). Ketika keduanya junub, Umar tidak shalat sedangkan Ammar melakukan shalat setelah dia berguling-guling; Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak memerintahkan keduanya untuk mengulangi shalatnya. Begitu pula Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak memerintahkan Abu Dzar untuk mengulangi shalat-shalat yang dia tinggalkan karena dia mengalami junub (karena tidak tahu hukumnya). Begitu pula Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak memerintahkan para shahabat yang tetap makan untuk mengulangi puasanya karena tidak tahu apa yang dimaksud dengan benang putih dari benang hitam dalam masalah puasa. Begitu pula Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak memerintahkan para shahabat yang tetap shalat ke Baitul Maqdis (untuk mengulangi shalatnya) karena belum sampai informasi kepada mereka. 

Termasuk dalam bab ini adalah wanita istihadhah jika dalam waktu sekian lama dia tidak melakukan shalat karena meyakini bahwa orang seperti dia tidak boleh shalat. Maka kewajiban qadha baginya ada dua pendapat. Pertama: Dia tidak wajib mengqadhanya, sebagaimana pendapat Imam Malik dan selainnya. Karena wanita istihadhah yang berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, 'Aku haidh dengan deras sekali sehingga menghalangiku untuk shalat dan puasa.' Beliau memerintahkan kepadanya apa yang wajib, kemudian beliau tidak memerintahkannya untuk mengqadha shalat masa lalu." (Majmu Fatawa, 21/101)

Yang wajib bagi seorang muslim adalah mempelajari sesuatu yang terkait dengan ibadah dan mu'amalahnya. Ini merupakan ilmu yang diwajibkan baginya, meninggalkannya berdosa dan maksiat. Karena itu, yang lebih hati-hati adalah mengqadha shalat-shalat yang telah lalu. Jika Anda tidak tahu jumlah shalatnya, maka shalatnya sesuai jumlah yang Anda perkirakan lebih kuat.   

Jika Anda menginggalkan shalat dan puasa sekian lama setelah usia baligh, maka Anda wajib bertaubat kepada Allah Ta'ala dari hal tersebut dan Anda tidak diwajibkan mengqadhanya. Anda dianjurkan untuk mempebanyak shalat dan puasa sunah. Semoga taubat Anda diterima Allah Ta'ala.

Wallahua'lam.

Sumber : Islam Tanya-Jawab 

0 tanggapan:

Posting Komentar