23 Maret 2014
Bertahap dalam Menyampaikan Dakwah
Apakah tahapan dalam pensyari'atan telah berhenti dengan sempurnanya Risalah (Islam)? Apakah boleh bagi seorang da'i menyampaikan dakwah secara bertahap seperti berlemah lembut terhadap muslim yang masih baru, bertahap dalam menyampaikan perintah-perintah Islam, dan bertahap dalam menyampaikan larangan-larangan agar tidak berbenturan?
Jawab :
Disyariatkan untuk melakukan tahapan dalam penyampaian dakwah untuk mengamalkan hadits Mu'adz ketika ia diutus Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ke Yaman.
Al-Jama'ah[1] telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma ia berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada Mu'adz bin Jabal ketika ia mengutusnya ke Yaman,
إنك
ستأتي قوما من أهل الكتاب ، فإذا جئتهم فادعهم أن يشهدوا أن لا إله إلا
الله وأن محمدًا رسول الله ، فإن هم أطاعوك بذلك فأخبرهم أن الله قد فرض
عليهم خمس صلوات في كل يوم وليلة ، فإن هم أطاعوا لك بذلك فأخبرهم أن الله
قد فرض عليهم صدقة تؤخذ من أغنيائهم فترد على فقرائهم ، فإن هم أطاعوا لك
بذلك فإياك وكرائم أموالهم ، واتق دعوة المظلوم ؛ فإنه ليس بينها وبين الله
حجاب
"Engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan Ahli Kitab. Jika engkau mendatangi mereka maka ajaklah mereka untuk mempersaksikan bahwa tiada ilaah (yang hak) kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Jika mereka telah mematuhimu dalam perkara itu, maka kabarkanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka lima shalat pada sehari dan semalam. Jika mereka telah mematuhimu dalam perkara itu, kabarkanlah pada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka sedekah (zakat), yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diserahkan kepada orang-orang fakir mereka. Jika mereka telah mematuhimu dalam perkara itu, maka berhati-hatilah terhadap harta-harta mereka yang paling berharga. Takutlah terhadap doa orang yang terzalimi, karena sungguh, tidak ada batas antara doanya dengan Allah."
Adapun persoalan tasyri' (pensyari'atan), maka hal itu telah sempurna dengan wafatnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Allah Ta'ala berfirman,
اليَوْمَ أكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيْنًا
"Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam menjadi agama bagimu." (QS. Al-Maidah ayat 3)
----------------
[1] Al-Jama'ah yaitu para Imam hadits yang enam dan Imam Ahmad, rahimahumullahu.
16 Maret 2014
Orang yang Tidak Berhukum dengan Apa yang Diturunkan Allah
Orang yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah; apakah dia seorang muslim ataukah kafir kufur akbar dan diterima amal-amalnya?
Jawab :
Allah Ta'ala berfirman,
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أنْزَلَ اللهُ فَأولَئِكَ هُمُ الكَافِرُوْنَ
"Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (QS. Al-Maidah ayat 44)
Firman-Nya,
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أنْزَلَ اللهُ فَأولَئِكَ هُمُ الظَالِمُوْنَ
"Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim." (QS.
Al-Maidah ayat 45)
Dan firman-Nya,
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أنْزَلَ اللهُ فَأولَئِكَ هُمُ الفَاسِقُوْنَ
"Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik." (QS.
Al-Maidah ayat 47)
Akan tetapi, jika dia menghalalkan hal itu dan meyakini kebolehannya maka dia kafir kufur akbar (kafir besar), dzhulm akbar (kezaliman besar) dan fisq akbar (kefasikan besar) yang mengeluarkan dari agama.
Adapun jika dia melakukannya karena disuap atau tendensi lainnya dan dia meyakini haramnya perkara tersebut maka dia berdosa, dianggap telah melakukan kekafiran kufur ashghar (kafir kecil), kezaliman dzhulm ashghar dan kefasikan fisq ashghar yang tidak mengeluarkannya dari agama, sebagaimana yang telah dijelaskan para ulama dalam tafsir ayat-ayat yang disebutkan.
Wa bi_llahi at-taufiq.
Al-Lajnah ad-Da'imah li al-Buhuts al-'Ilmiyyah wa al-Ifta' (fatwa no. 5741 pertanyaan ke 11)
09 Maret 2014
Menyembelih untuk Bertaqarrub kepada Makhluk
Menyembelih adalah salah satu dari jenis-jenis ibadah yang hanya boleh dipersembahkan untuk Allah saja, dan tidak boleh mempersembahkannya kepada makhluk dalam bentuk taqarrub (pendekatan diri) kepadanya.
Siapa yang menyembelih untuk bertaqarrub kepada makhluk dan pengagungan terhadapnya, maka dia terjatuh pada syirik akbar dan sembelihannya haram dikonsumsi. Baik makhluk yang diagungkan itu berbentuk seorang manusia, jin, malaikat, kubur atau yang lainnya.
Allah Ta'ala berfirman,
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ لاَ شَرِيْكَ لَهُ
"Katakanlah : Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya." (QS. Al-An'aam ayat 161-162) [1]
Allah berfirman,
فَصَلِّ لِرَبَِكَ وَانْحَرْ
"Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu dan berqurbanlah." (QS. Al-Kautsar ayat 2)
Dan dari Ali radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Berkata Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
لعنَ الله منْ ذبحَ لِغير اللهِ
"Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah." (HR. Muslim)
Imam an-Nawawi rahimahullahu menyebutkan dalam syarah Shahih Muslim (XIII/141) bahwa orang yang menyembelih untuk selain Allah, maka perbuatannya itu adalah haram. Kemudian beliau berkata, "Demikian yang disebutkan asy-Syafi'i, dan disepakati oleh sahabat-sahabatnya. Jika yang demikian itu dimaksudkan juga untuk mengagungkan dzat yang dipersembahkan sembelihan untuknya selain Allah Ta'ala dan untuk beribadah kepadanya, maka hal itu adalah kekafiran. Jika orang yang menyembelih adalah muslim sebelum itu, maka dia murtad dengan sembelihan tersebut."
-------------------
[1] An-Nusuk yang dimaksud dalam ayat adalah menyembelih.
08 Maret 2014
Pernikahan 'Urfiy
Pada saat ini dikenal sebuah istilah "pernikahan" yang disebut sebagai pernikahan 'urfi (zawaj 'urfiy). Jenis "pernikahan" (demikian mereka menyebutnya) adalah fenomena yang banyak muncul di zaman sekarang, dimana seorang laki-laki memiliki hubungan khusus dengan seorang wanita (teman kampus atau yang semacamnya), dan mereka melakukan hubungan kelamin tanpa ada ikatan resmi pernikahan. Hubungan akad mereka hanya sebuah simbol diatas kertas perjanjian, atau dipersaksikan oleh orang-orang fasik yang tidak memiliki wewenang. Hubungan ini sama sekali tidak diketahui oleh seorang pun, atau diketahui oleh beberapa kawan mereka saja(!!).
Akad "pernikahan" seperti ini tidak sah, dan pada hakikatnya adalah zina, na'udzubillah. Karena akad ini tidak memiliki sebuah syarat penting dalam pernikahan agar pernikahan itu dianggap sah, yaitu tidak ada izin wali perempuan.
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
لا نكاح إلا بوليٍّ
"Tidak ada pernikahan tanpa adanya wali." (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain)
Beliau juga bersabda,
أيما امرأةٍ نكحتْ بغير إذنِ مواليها فنكاحها باطل -ثلاثًا- ولها مهرها بما أصاب منها
"Siapa saja wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahannya batal -beliau mengucapkannya tiga kali-, dan bagi si wanita maharnya dari apa yang didapatkan laki-laki itu darinya." (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Jika telah diketahui rusaknya pernikahan tersebut, maka wajib membatalkan pernikahan semacam ini walaupun telah berlangsung lama. Wallahul musta'an.
02 Maret 2014
Jenis-Jenis Naskh dalam Al-Quran
An-Naskh adalah diangkatnya sebuah hukum syar'i dengan sebuah dalil syar'i yang datang belakangan.
Terdapat beberapa jenis naskh dalam al-Quran, yaitu :
Terdapat beberapa jenis naskh dalam al-Quran, yaitu :
1. Naskh bacaan dan hukumnya.
Contohnya adalah dihapusnya ayat sepuluh kali penyusuan. Dalam hadits Aisyah radhiyallahu 'anha ia mengatakan, "Diantara apa yang pernah diturunkan dari al-Quran adalah sepuluh kali penyusuan yang bisa mengharamkan, kemudian dinasakh dengan lima kali penyusuan..." (HR. Muslim).
2. Naskh bacaan dan tetapnya hukum.
Contohnya adalah ayat tentang rajam bagi pezina yang telah menikah.
Berkata Umar bin al-Khattab radhiyallahu 'anhu, "Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dengan kebenaran dan menurunkan untuknya al-Kitab. Dan diantara apa yang Allah turunkan adalah ayat tentang rajam. Kami membacanya dan kami memahaminya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengamalkan rajam tersebut dan kami pun melakukannya sesudahnya. Aku khawatir jika masa semakin panjang atas manusia, akan ada yang berkata : 'Demi Allah, kami tidak dapatkan ayat rajam dalam Kitab Allah!' Mereka pun akhirnya sesat karena meninggalkan kewajiban yang Allah turunkan. Rajam dalam Kitab Allah adalah hak adanya bagi orang yang berzina jika dia telah menikah dari laki-laki maupun perempuan, jika telah ada saksi, atau karena kehamilan atau pengakuan." (HR. Al-Bukhary dan Muslim).
3. Naskh hukum dan tetapnya bacaan.
Inilah yang terbanyak dalam al-Quran dari ayat-ayat yang dinasakh (mansukh).
Diantaranya adalah perintah untuk mengurung para pezina di rumah.
Allah Ta'ala berfirman,
وَاللاَّتيِ يَأْتِيْنَ الفَاحِشَةَ مِن نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أرْبَعَةً مِنكُمْ فَإنْ شَهِدُوا فَأمْسِكوْهُنَّ فىِ البُيُوتِ حتىَّ يَتَوَفَّاهُنَّ المَوتُ أوْ يَجْعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيْلاً
"Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya." (QS. An-Nisa ayat 15)
Dalam hadits yang diriwayatkan Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,
خذوا عني خذوا عني، قد جعل الله لهنّ سبيلاً، البكر بالبكر جلد مائة ونفي سنة، والثيب بالثيب جلد مائة والرجم
"Ambillah dariku, ambillah dariku!. Sungguh Allah telah menjadikan jalan keluar bagi wanita-wanita itu. Pelaku yang belum menikah dengan yang belum menikah dicambuk seratus kali dan diasingkan setahun. Pelaku yang telah menikah dengan yang telah menikah dicambuk seratus kali dan rajam." (HR. Muslim).
(Silahkan dirujuk : Al-Itqan fi 'Ulum al Quran oleh as-Suyuthi dan Manahil al 'Irfan oleh az-Zarqani)