Sponsors

17 Mei 2014

Hukum Asuransi Komersial

Dalam simposium pertama yang diadakan di Mekkah pada tanggal 10 Sya’ban 1398 H, dan berlokasi di kantor Rabithah Alam Islami, Majelis al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami membahas masalah asuransi dalam semua bentuknya. Setelah menelaah banyak hasil riset para ulama dalam masalah ini, dan setelah menelaah pula hasil keputusan Majelis Hai’ah Kibar Ulama di Kerajaan Saudi Arabia pada pertemuannya yang kesepuluh di kota Riyadh tanggal 4/4/1397 H, keputusan no. 55 yang mengharamkan semua bentuk asuransi komersial.

Setelah menelaah hal-hal tersebut dan setelah melakukan kajian yang cukup dan mendiskusikannya di antara anggota Majma’, maka seluruh anggota Majma’ -selain Syaikh Musthafa az-Zarqa- sepakat mengharamkan asuransi komersial dalam semua bentuknya; baik asuransi jiwa, asuransi barang dagangan atau yang lainnya. Keputusan ini diambil berdasarkan dalil-dalil berikut:

PERTAMA, akad asuransi komersial termasuk akad mu’âwadhah mâliyah (yaitu transaksi ekonomi seperti akad jual beli dan sewa-menyewa, baik terhadap barang maupun jasa) yang mengandung gharar (spekulasi) yang sangat buruk. Karena peserta asuransi tidak tahu berapa banyak yang harus ia bayarkan dan berapa yang akan ia terima, saat akad tersebut berakhir. Ia boleh jadi membayar premi sekali atau dua kali, lalu terjadi musibah sehingga mendapat dana asuransi yang dijanjikan oleh pihak asuransi. Atau membayar seluruh premi namun tidak mendapatkan apapun karena tidak terjadi musibah. Demikian pula pihak asuransi, ia tidak dapat menentukan jumlah total yang akan diberikan kepada koleganya, dan tidak pula bisa membatasi berapa jumlah maksimal premi yang harus dibayarkan. Padahal dalam hadits shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli yang bersifat gharar (spekulasi yang bersifat untung-untungan).

KEDUA, akad asuransi komersial identik dengan perjudian, karena ada unsur mengadu nasib dalam pengelolaan harta untuk mencari keuntungan. Ia juga bisa menimbulkan kerugian tanpa kesalahan apa-apa, atau sebaliknya mendatangkan keuntungan tanpa imbalan sama sekali, atau dengan imbalan yang tidak setara. Karena si peserta mungkin baru membayar premi satu kali lalu mendapat musibah sehingga yang rugi adalah pihak asuransi. Atau tidak terjadi apa-apa, sehingga pihak asuransi mengambil uang premi tanpa imbalan apa-apa. Bila suatu transaksi dilingkupi oleh jahâlah (ketidakjelasan) seperti ini, berarti ia termasuk gambling (judi), dan termasuk dalam keumuman larangan dalam firman Allah Ta’ala,

يَا أيُّهَا الذِيْنَ آمَنُوا إنَّمّا الخَمْرُ وَالمَيسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رجْسٌ مِن عَمَلِ الشَيطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لعَلكمْ تُفْلِحُونَ، إنَمَا يُريْدُ الشَيْطانُ أنْ يُوقِعَ بَيْنَكمُ العَدَاوَةَ وَالبغْضَاءَ فى الخَمْر وَالمَيسِر وَيَصُدَّكمْ عَن ذِكْر اللهِ وَعَن الصَلاَةِ فَهَلْ أنْتُم مُنْتَهُوْنَ

Sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. al Mâidah : 90-91).

KETIGA, akad asuransi mengandung unsur riba fadhl dan riba nasi’ah. Sebab ketika pihak asuransi menyerahkan uang asuransi kepada pesertanya, atau kepada ahli warisnya, atau pihak yang menerima manfaat dari asuransi tersebut; dan ia memberikannya lebih besar dari jumlah total premi yang di bayarkan, berarti termasuk riba fadhl. Lalu karena pihak asuransi tadi membayarkannya setelah jangka waktu tertentu, berarti mengandung pula riba nasi’ah. Namun jika pihak asuransi -Setelah jangka waktu tertentu- hanya memberikan uang yang sama besarnya dengan total premi yang ia terima, berarti hanya mengandung riba nasi’ah saja. Sedangkan kedua macam riba tadi diharamkan berdasarkan nash dan ijma’.

KEEMPAT, akad asuransi komersial termasuk jenis perlombaan (rihân) yang di haramkan. Sebab, baik si penjamin maupun penerima jaminan berada ada ketidakjelasan, dalam resiko besar (gharar) sekaligus gambling (berjudi/mengundi nasib). Sedangkan Islam tidak membolehkan perlombaan (rihan) kecuali dalam hal-hal yang menguntungkan Islam dan meninggikan syariatnya melalui hujjah maupun senjata. Nabi shalallâhu ‘alaihi wasallam bahkan membatasi keringanan bolehnya perlombaan (rihan) dengan imbalan hanya pada tiga hal, yaitu dalam sabda beliau,

لا سبق إلا فى خفٍّ أو حافرٍ أو نصلٍ

Tidak boleh ada perlombaan (sabaq) kecuali berupa balapan unta, balapan kuda atau lomba memanah.” (HR. Ahmad);

Sedangkan asuransi tidak memiliki kemiripan sedikitpun dengan hal tersebut, sehingga ia termasuk taruhan yang diharamkan.

KELIMA, akad asuransi komersial mengandung unsur mengambil harta tanpa imbalan apa-apa. Sedangkan mengambil harta tanpa imbalan dalam akad mu’âwadhah komersial hukumnya haram, karena ia termasuk dalam keumuman firman Allah,

يَا أيُهَا الذِيْنَ آمَنُوا لا تَأكُلوُا أمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالبَاطِلِ إلا أنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاصٍ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta sesama kalian secara batil, kecuali dalam bentuk jual beli atas dasar kerelaan dari kalian.” (QS. An Nisa’: 29).

KEENAM, akad asuransi mengharuskan sesuatu yang secara syar’i tidak diharuskan. Sebab peserta asuransi tidak menciptakan musibah dari diri sendiri, dan bukan ia yang menjadi penyebabnya. Yang ia lakukan sekedar membuat akad dengan pihak asuransi untuk menjamin dirinya dari bahaya yang diprediksi akan terjadi, dengan imbalan uang yang dibayarkan kepada pihak asuransi. Sedangkan pihak asuransi sendiri tidak melakukan apa-apa bagi si pembayar, sehingga hal tersebut menjadi haram.

(Sumber : Qarârât al Majma’ al Fiqhi al Islâmi)

0 tanggapan:

Posting Komentar