Bagaimanakah permulaan ketergantungan para pemuja kubur dengan kubur atau bangunan-bangunan kuburan? Dan bagaimana hal itu bisa membawa mereka kepada Syirik Akbar atau juga Syirik yang lebih kecil dari Syirik Akbar tersebut?

Ketergantungan itu bermula dari “pengkultusan” terhadap “simbol”… Simbol “keshalehan”, “ketakwaan” dan “derajat yang mulia” di sisi Allah Ta’ala…

Dari situlah, “disunnahkan” untuk menziarahi tempat-tempat tersebut. Bukan untuk mengingat mati dan mengingat akhirat, akan tetapi untuk mengingat “simbol” dan mengambil ibrah darinya. Karena tempat-tempat tersebut penuh dengan “keberkahan”, para malaikat dan “arwah orang-orang shaleh” bertebaran di sekelilingnya –sebagaimana yang mereka klaim-, maka berdoa kepada Allah di tempat tersebut adalah perkara yang sangat baik, bahkan lebih baik daripada berdoa di rumah, masjid atau di waktu-waktu sahur menjelang fajar (!!)
Demikian juga, keberkahan tersebut “menyebar” kepada segala sesuatu yang berada di sekeliling tempat tersebut. Maka siapa yang ingin mengambil “bekal” darinya, maka hendaknya dia menyentuh, mencium atau mengusap-usapnya.

Jika hal itu sudah tertanam dalam keyakinan, maka turunlah kepada “level” selanjutnya, yaitu yang tadinya berdoa kepada Allah di sisinya berpindah menjadi berdoa “dengannya” atau bersumpah atas nama Allah “dengannya”, yaitu menjadikan mereka sebagai “perantara” (wasilah, bertawassul) untuk mendapatkan syafa’at di sisi Allah dengan “keberkahannya”.

“Sang penghuni kubur” adalah seorang yang “suci, mulia, dekat dan memiliki kedudukan” di sisi Allah. Sementara orang yang berdosa ini –yang memiliki hajat tersebut- berlumuran dengan berbagai macam dosa dan kesalahan, tidak pantas untuk berdoa kepada Allah.

Jika hal ini sudah menjadi keyakinan, turunlah kepada “level” berikutnya : “Kalau memang penghuni kubur itu seorang yang dimuliakan Allah, maka tidak mustahil Allah akan memberikannya kemampuan untuk berbuat pada sebagian perkara yang tidak mampu dilakukan para peminta hajat tersebut”.

Maka mulailah sang penghuni kubur “yang mulia” itu dimintai dengan doa, diharapkan, ditakuti, dimintai pertolongan… Bagaimana tidak?!... Dia adalah “Shahib as-Sirr” (Pemilik Rahasia Alam Ghaib) yang ditakuti oleh jiwa, yang membuat hati bergetar dan membuat akal tercengang…

Jika hal itu telah tertanam kuat dalam keimanan, turunlah kepada “level” selanjutnya yang lebih buruk –namun bukan yang terakhir-; dimana “kuburan tersebut dijadikan sebagai berhala yang dijadikan sebagai tempat beri’tikaf, dinyalakan pelita, ditutupkan kelambu, dibangun diatasnya masjid, dan disembah dengan bersujud kepadanya, berthawaf, menciumnya (sebagaimana mencium Hajar Aswad), mengusapnya (sebagaimana mengusap Rukun Yamani di Ka’bah), berhaji kepadanya dan menyembelih di sisinya…”

Kemudian syaitan membawanya ke derajat selanjutnya, yaitu “berdakwah”, mengajak manusia untuk beribadah kepadanya, menjadikan sebagai ‘ied (perayaan) dan ibadah, dan hal itu lebih bermanfaat bagi mereka dalam kehidupan dunia dan akhirat mereka…

Wallahul musta’an… Hanya kepada Allah kita mengadukan kebodohan umat ini…