Setelah
menelaah dan mempelajari surat yang dikirimkan beberapa organisasi Islam
di Singapura berkait penolakan mereka terhadap Piagam Hak-hak Wanita
yang membolehkan pernikahan muslim/muslimah dengan non-muslim, maka
Majelis al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami (Dewan Fiqh Islam Internasional) dibawah naungan Rabithah al-‘Alam al-Islami
(Liga Muslim se-Dunia) pada Pertemuan ke IV mereka di Makkah
al-Mukarramah pada bulan Rabi’ul Akhir 1401/Februari 1981, menetapkan
dengan ijma’ beberapa hal berikut ini yang kami nukilkan dari kumpulan
fatwa-fatwa Majma’:
Pertama :
Pernikahan seorang laki-laki kafir dengan seorang wanita muslimah
adalah haram dengan kesepakatan ulama, tidak ada keraguan dalam masalah
ini dengan konsekuensi dalil-dalil syar’i. Allah Ta’ala berfirman,
وَلاَ تُنْكِحُوا المُشْرِكِيْنَ حَتَّى يُؤْمِنُوا
”Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman.” (QS. 2:221).
Allah berfirman,
فَإِنْ
عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلاَ تَرْجِعُوهُنَّ إِلىَ الكُفَّارِ لاَ
هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلاَهُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّ وَآتُوهُم مَا أنْفَقُوا
”Jika
kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah
kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka
tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak
halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah
mereka berikan.” (QS. 60:10).
Pengulangan dalam firman-Nya :”Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka” dengan penekanan akan keharamannya serta pemutusan hubungan antara wanita mukminah dengan orang musyrik; juga firman Allah : ”Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka berikan”,
merupakan perintah untuk mengembalikan mahar yang telah diberikan
kepada istrinya jika sang istri masuk Islam. Jadi tidak terkumpul
padanya dua kerugian; kehilangan istri dan harta.
Jika saja
seorang wanita musyrik menjadi haram dan menjadi tidak halal bagi
seorang laki-laki kafir dengan ke-Islaman sang istri, maka bagaimana
bisa dikatakan bolehnya pernikahan seorang kafir terhadap wanita
muslimah? Bahkan Allah membolehkan menikahi wanita musyrik setelah dia
masuk Islam – sementara dia merupakan istri seorang kafir- karena
suaminya itu tidak halal baginya setelah ke-Islamannya. Saat itulah
boleh bagi seorang muslim menikahinya setelah selesai iddahnya
sebagaimana yang disebutkan Allah,
وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُم أنْ تَنْكِحُوهُنَّ إذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أجُوْرَهُنَّ
”Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayarkan kepada mereka maharnya.” (QS. 60:10).
Kedua : Tidak boleh seorang muslim menikahi seorang wanita musyrik dengan dalil firman Allah,
وَلاَ تَنْكِحُوا المُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ
”Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik sebelum mereka beriman.” (QS. 2 : 221), serta firman-Nya,
وَلاَ تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الكَوَافِرِ
”Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir.” (QS. 60:10)
Umar telah
menceraikan dua istrinya yang musyrik ketika ayat ini turun. Berkata
Ibnu Qudamah al-Hanbali :”Tidak ada perselisihan tentang haramnya
menikahi wanita-wanita kafir selain Ahli Kitab bagi seorang muslim”.
Adapun wanita-wanita muhshanat
(yang menjaga kehormatan diri) dari kalangan Ahli Kitab, maka seorang
laki-laki muslim boleh menikahi mereka, dan tidak ada perselisihan ulama
dalam masalah ini. Hanya saja sekte Imamiyah menyebutkan
pengharamannya.
Yang lebih
pantas bagi seorang muslim tidak menikahi wanita Ahli Kitab jika
terdapat wanita muslimah yang merdeka. Berkata Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah : ”Makruh menikahi mereka sementara ada wanita-wanita muslimah
merdeka (yang bisa dinikahi)”. Ia juga berkata dalam al-Ikhtiyârât
:”Al-Qadhi dan mayoritas ulama berpendapat demikian dengan dalil
perkataan Ibnu Umar kepada orang-orang yang menikahi wanita-wanita Ahli
Kita : Ceraikan mereka. mereka pun melakukannya kecuali Hudzaifah, namun
akhirnya ia pun melakukannya. Karena kapan seorang muslim menikahi
wanita Ahli Kitab, barangkali saja hatinya akan cenderung kepada
istrinya dan terfitnah dengannya, atau mereka dianugerahi anak dan anak
tersebut akan cenderung kepada ibunya, wallâhu a’lam.
Sumber : Qaraaraat al-Majma' al-Fiqhi al-Islami di bawah naungan Rabithah al-'Alam al-Islami
0 tanggapan:
Posting Komentar