Termasuk dalam sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ketika seseorang sedang ditimpa musibah kematian salah satu keluarga atau kerabatnya, maka dianjurkan bagi kaum muslimin yang mampu untuk membawa atau mengirimkan kepada keluarga tersebut makanan.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Ja'far radhiyallahu 'anhuma, ia berkata : Ketika datang berita kematian Ja'far saat ia terbunuh, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَد أتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ
"Buatkan makanan untuk keluarga Ja'far! Telah datang kepada mereka urusan yang menyibukkan mereka." (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan sanad yang hasan).
Tujuan dari perbuatan ini tentu saja untuk meringankan beban keluarga yang sedang berduka dan mewujudkan solidaritas sosial dalam masyarakat.
Namun, apa yang umum terjadi di masyarakat kita sangat jauh dari tuntunan Islam. Bukannya dibantu, tapi justru keluarga si mayit yang membuat makanan dan memberi makan orang-orang yang datang melayat atau bertakziyah. Sebagiannya bahkan harus memotong sapi untuk acara "tahlilan", mengundang penceramah dan menyediakan kursi-kursi dan tenda, yang tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Tradisi seperti ini tentu saja termasuk perkara yang buruk dan bertentangan dengan Syari'at Islam ditinjau dari beberapa segi :
1. Perbuatan itu jelas-jelas menyelisihi Sunnah, dan apa yang menyelisihi Sunnah adalah bid'ah.
2. Menyerupai perbuatan Jahiliyyah dimana mereka akan memotong onta atau hewan ternak lainnya saat kematian salah satu tokoh mereka.
3. Menginfakkan harta pada yang diharamkan, karena masuk dalam pemborosan.
4. Boleh jadi harta yang diinfakkan adalah harta warisan yang mestinya menjadi hak milik para ahli warisnya, sehingga hal itu masuk dalam bentuk kezaliman.
Berkata seorang shahabat yang mulia, Jarir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma, "Kami menganggap berkumpul di rumah keluarga si mayit dan makanan yang mereka buat termasuk niyaahah (ratapan yang terlarang). Diriwayatkan Imam Ahmad dan Ibnu Majah.
Berkata Imam Ahmad, "Hal itu termasuk perbuatan orang-orang Jahiliyyah!"
Berkata Imam ath-Thurthusi, "Adapun al-ma'tam, maka itu terlarang dengan kesepakatan para ulama. Al-ma'tam adalah berkumpul-kumpul untuk suatu musibah. Hal itu termasuk bid'ah yang mungkar, tidak dinukil sesuatu pun tentangnya (dalam Syari'at). Demikian pula apa yang dilakukan setelahnya dari perkumpulan pada hari kedua, ketiga, keempat, ketujuh, satu bulan dan setahun."
Berkata Imam Ibnu Taimiyyah, "Mengumpulkan orang-orang yang dilakukan keluarga yang sedang ditimpa musibah dalam sebuah jamuan makan agar mereka membacakan (sesuatu) untuk si mayit bukanlah sesuatu yang dikenal di kalangan Salaf. Sekelompok ulama membencinya dari beberapa sisi. Para Salaf menganggapnya sebagai niyaahah."
Namun, kalau yang diberi makan tersebut orang yang memang pantas, maka insyaallah hal ini tidak mengapa selama tidak memberatkan. Ibnu Qudamah berkata dalam al-Mughni, "Jika keadaan mengharuskan hal tersebut, yaitu membuatkan makanan untuk mereka, maka itu dibolehkan. Karena terkadang, datang kepada mereka orang yang melayat dari penduduk kampung-kampung yang jauh, dia bermalam di rumah mereka, dan tidak mungkin bagi mereka kecuali memberinya makan.
Wallahu a'lam.
0 tanggapan:
Posting Komentar