Haid atau
menstruasi adalah peluruhan dinding rahim yang terdiri dari darah dan
jaringan tubuh yang terjadi secara berkala pada setiap bulannya selama
usia produktif seorang wanita. Dengan kata lain, haid adalah suatu
proses pembersihan rahim terhadap pembuluh darah, kelenjar-kelenjar dan
sel-sel yang tidak terpakai karena tidak adanya pembuahan.
Sifat darahnya berwarna merah kehitaman, kental, bersifat panas dan memiliki aroma yang tidak sedap.
Haid merupakan ketetapan Allah yang Dia jadikan pada kaum wanita semenjak ibunda mereka, Hawwa’. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha,
إن هذا أمرٌ كتبه الله على بنات آدم
“Sesungguhnya haid ini adalah perkara yang telah Allah tetapkan atas anak-anak perempuan Adam…” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).
Batas Masa Haid
Ulama
berbeda pendapat tentang batas masa haid. Imam asy-Syafi’i dan Imam
Ahmad berpendapat bahwa batas minimal haid adalah sehari semalam.
Sementara maksimalnya menurut jumhur –Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad-
adalah 15 hari. Menurut mazhab Hanafiyah, minimalnya adalah 10 hari.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah memiliki pendapat lain dalam masalah ini. Beliau berpendapat bahwa
tidak ada batasan minimal atau maksimal yang disebutkan dalil dalam
batasan waktu haidnya seorang wanita. Masa haid tersebut kembali kepada
kebiasaan di masing-masing negeri. (Majmu’ Fatawa, XXI/623).
Karena
perbedaan ini, selayaknya setiap wanita harus berusaha maksimal untuk
mengenal kebiasaan dan kondisi haidnya. Dengan mengenali masa dan
karakteristik haidnya itulah seorang wanita mampu membedakannya dengan
darah-darah lainnya.
Datangnya
haid ditandai dengan keluarnya darah kehitaman, kental dan berbau di
waktu yang menjadi kebiasaan wanita tersebut untuk haid, dan selesai
dengan berhentinya darah dalam bentuk kering di vagina atau adanya
gumpalan atau lendir putih yang keluar dari jalan rahim. Keringnya darah
haid bisa dicek dengan memasukkan kapas putih di vagina. Jika kapas itu
bersih dan tidak terdapat bercak sedikit pun, maka wajib mandi dan
shalat.
Hukum Cairan Kekuningan dan Kekeruhan setelah Haid
Cairan
yang seperti ini jika didapatkan oleh seorang wanita setelah berhentinya
haid atau kering, maka itu tidak dianggap sebagai haid. Wanita itu
tetap dalam keadaan suci, wajib baginya shalat, puasa Ramadhan dan boleh
digauli oleh suaminya.
Berkata Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha,
كنا لا نعدّ الكدرة والصفرة بعد الطهر شيئًا
“Kami tidak menganggap kekeruhan dan cairan kekuningan setelah suci.” (HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan lain-lain).
Adapun jika cairan keruh atau kekuningan itu bersambung dengan haid maka itu masih dihitung sebagai haid.
Jika Darah Keluar lebih dari Kebiasaan?
Jika
–misalkan- seorang wanita kebiasaan haidnya selama 6 hari pada tiap
bulannya, kemudian pada satu bulan tertentu menjadi 7 hari atau lebih.
Dalam kasus seperti ini, apa yang mesti dilakukan wanita tersebut?
Kasus yang seperti tidak lepas dari dua keadaan;
- Wanita
tersebut mampu membedakan darah haidnya dengan darah lainnya. Jika
darahnya berwarna dan berbau seperti darah haidnya, maka dia tidak
shalat, puasa dan bersetubuh. Jika darahnya yang selain itu, maka dia
wajib mandi dan shalat.
- Jika dia
tidak bisa membedakan darahnya, maka menurut pendapat Ibnu Taimiyyah
yang telah kami sebutkan, wanita itu tetap dalam keadaan haid selama hal
itu tidak terjadi pada seluruh bulan, dan tidak ada indikasi bahwa
darah tersebut adalah darah istihadhah.
Jika Anda
memilih pendapat mayoritas ulama, maka masa haid tersebut kurang lebih
selama 15 hari. Jika telah melewati masanya, maka darahnya dihukumi
sebagai istihadhah.
Kami
sarankan untuk kasus seperti ini, hendaknya seorang wanita memperhatikan
dengan seksama darahnya yang dengannya dia mengetahui apakah darah itu
haid atau darah istihadhah. Jika kesulitan untuk hal itu, dia bisa
bertanya dan memeriksakannya kepada dokter.
Demikian
juga dalam kasus seorang wanita berada di masa haidnya kemudian darah
keluar –misalkan- dua hari, kemudian darahnya terputus di hari ketiga,
kemudian keluar lagi di hari keempat dan seterusnya. Dalam kasus ini, wallahu a’lam,
terputusnya haid pada masa haid normal tetap dianggap sebagai haid.
Yang menjadi patokan bagi berhentinya masa haidnya adalah dengan melihat
tanda bersihnya yaitu keringnya vagina atau keluarnya lendir putih.
Wallahu a’lam.
(Ditulis oleh Ustadz Taufiq Rahman, Lc)
——————————
Bahan bacaan :
- Jâmi’ Ahkâm an Nisâ’ oleh Syaikh Mustafa al-Adawi
- Majmû’ al Fatâwâ oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah
- Fatâwâ al Mar-ah oleh Syaikh Muhammad al-Utsaimin
0 tanggapan:
Posting Komentar