Sponsors

14 Desember 2014

Haid dan Beberapa Permasalahannya

Haid atau menstruasi adalah peluruhan dinding rahim yang terdiri dari darah dan jaringan tubuh yang terjadi secara berkala pada setiap bulannya selama usia produktif seorang wanita. Dengan kata lain, haid adalah suatu proses pembersihan rahim terhadap pembuluh darah, kelenjar-kelenjar dan sel-sel yang tidak terpakai karena tidak adanya pembuahan.

Sifat darahnya berwarna merah kehitaman, kental, bersifat panas dan memiliki aroma yang tidak sedap.

Haid merupakan ketetapan Allah yang Dia jadikan pada kaum wanita semenjak ibunda mereka, Hawwa’. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha,

إن هذا أمرٌ كتبه الله على بنات آدم

Sesungguhnya haid ini adalah perkara yang telah Allah tetapkan atas anak-anak perempuan Adam…” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Batas Masa Haid

Ulama berbeda pendapat tentang batas masa haid. Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa batas minimal haid adalah sehari semalam. Sementara maksimalnya menurut jumhur –Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad- adalah 15 hari. Menurut mazhab Hanafiyah, minimalnya adalah 10 hari.
 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah memiliki pendapat lain dalam masalah ini. Beliau berpendapat bahwa tidak ada batasan minimal atau maksimal yang disebutkan dalil dalam batasan waktu haidnya seorang wanita. Masa haid tersebut kembali kepada kebiasaan di masing-masing negeri. (Majmu’ Fatawa, XXI/623).

Karena perbedaan ini, selayaknya setiap wanita harus berusaha maksimal untuk mengenal kebiasaan dan kondisi haidnya. Dengan mengenali masa dan karakteristik haidnya itulah seorang wanita mampu membedakannya dengan darah-darah lainnya.

Datangnya haid ditandai dengan keluarnya darah kehitaman, kental dan berbau di waktu yang menjadi kebiasaan wanita tersebut untuk haid, dan selesai dengan berhentinya darah dalam bentuk kering di vagina atau adanya gumpalan atau lendir putih yang keluar dari jalan rahim. Keringnya darah haid bisa dicek dengan memasukkan kapas putih di vagina. Jika kapas itu bersih dan tidak terdapat bercak sedikit pun, maka wajib mandi dan shalat.

Hukum Cairan Kekuningan dan Kekeruhan setelah Haid

Cairan yang seperti ini jika didapatkan oleh seorang wanita setelah berhentinya haid atau kering, maka itu tidak dianggap sebagai haid. Wanita itu tetap dalam keadaan suci, wajib baginya shalat, puasa Ramadhan dan boleh digauli oleh suaminya.

Berkata Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha,

كنا لا نعدّ الكدرة والصفرة بعد الطهر شيئًا

“Kami tidak menganggap kekeruhan dan cairan kekuningan setelah suci.” (HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan lain-lain).

Adapun jika cairan keruh atau kekuningan itu bersambung dengan haid maka itu masih dihitung sebagai haid.

Jika Darah Keluar lebih dari Kebiasaan?

Jika –misalkan- seorang wanita kebiasaan haidnya selama 6 hari pada tiap bulannya, kemudian pada satu bulan tertentu menjadi 7 hari atau lebih. Dalam kasus seperti ini, apa yang mesti dilakukan wanita tersebut?

Kasus yang seperti tidak lepas dari dua keadaan;

- Wanita tersebut mampu membedakan darah haidnya dengan darah lainnya. Jika darahnya berwarna dan berbau seperti darah haidnya, maka dia tidak shalat, puasa dan bersetubuh. Jika darahnya yang selain itu, maka dia wajib mandi dan shalat.

- Jika dia tidak bisa membedakan darahnya, maka menurut pendapat Ibnu Taimiyyah yang telah kami sebutkan, wanita itu tetap dalam keadaan haid selama hal itu tidak terjadi pada seluruh bulan, dan tidak ada indikasi bahwa darah tersebut adalah darah istihadhah.

Jika Anda memilih pendapat mayoritas ulama, maka masa haid tersebut kurang lebih selama 15 hari. Jika telah melewati masanya, maka darahnya dihukumi sebagai istihadhah.

Kami sarankan untuk kasus seperti ini, hendaknya seorang wanita memperhatikan dengan seksama darahnya yang dengannya dia mengetahui apakah darah itu haid atau darah istihadhah. Jika kesulitan untuk hal itu, dia bisa bertanya dan memeriksakannya kepada dokter.

Demikian juga dalam kasus seorang wanita berada di masa haidnya kemudian darah keluar –misalkan- dua hari, kemudian darahnya terputus di hari ketiga, kemudian keluar lagi di hari keempat dan seterusnya. Dalam kasus ini, wallahu a’lam, terputusnya haid pada masa haid normal tetap dianggap sebagai haid. Yang menjadi patokan bagi berhentinya masa haidnya adalah dengan melihat tanda bersihnya yaitu keringnya vagina atau keluarnya lendir putih.

Wallahu a’lam.

(Ditulis oleh Ustadz Taufiq Rahman, Lc)

——————————

Bahan bacaan :

- Jâmi’ Ahkâm an Nisâ’ oleh Syaikh Mustafa al-Adawi
- Majmû’ al Fatâwâ oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah
- Fatâwâ al Mar-ah oleh Syaikh Muhammad al-Utsaimin

0 tanggapan:

Posting Komentar