Darah istihadhah
adalah darah yang keluar di luar kebiasaan, yaitu tidak pada masa haid
dan bukan pula karena melahirkan, dan umumnya darah ini keluar ketika
sakit, sehingga sering disebut sebagai darah penyakit.
Sifat
darah istihadhah umumnya berwarna merah segar seperti darah pada
umumnya, encer, dan tidak berbau. Keluarnya darah ini tidak diketahui batasannya,
dan ia hanya akan berhenti setelah keadaan normal atau darahnya
mengering.
Wanita
yang mengalami istihadhah ini dihukumi sama seperti wanita suci,
sehingga ia tetap wajib mengerjakan shalat, puasa, dan suaminya boleh menggaulinya.
Al-Bukhary dan Muslim meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha,
جَاءت
فاطمةُ بنت اَبِى حبيش اِلى النَبِيُّ صلى الله علَيه وسلم وقالَت ياَرسول
الله انِى امراَة اُسْتَحاض فلا اَطْهر، اَفَأدَع الصلاَةَ؟ فقال رسول
الله صلّى اللهُ علَيه وسلّم: لاَ، اِنَما ذلك عِرْقٌ ولَيس بِالْحَيْضة
فاِذَا اَقبلتِ الْحيضةُ فاتركى الصلاَة، فإذَا ذهب قدرها فاَغسلى عنْكِ
الدَّم وصلِّى
Fatimah
binti Abi Hubaisy telah datang kepada Nabi ﷺ dan berkata, “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang wanita yang mengalami
istihadhah sehingga aku tidak dalam keadaan suci, apakah aku mesti
meninggalkan shalat?” Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidak, sesungguhnya itu
hanyalah urat (pada rahim yang terbuka) dan bukan haid. Karenanya, jika
haid itu datang maka tinggalkanlah shalat. Lalu apabila ukuran waktunya
telah habis, cucilah darah dari tubuhmu lalu shalatlah.”
Keluarnya
darah istihadah pada seorang wanita terjadi secara terus-menerus. Bisa terjadi selamanya, bisa pula berhenti dalam
beberapa waktu.
Jika darah
itu keluar terus-menerus dalam masa yang lama, apakah yang bisa
dijadikan patokan dalam membedakan darah haid dengan darah istihadhah?
Kasus istihadhah pada seorang wanita bisa dibagi dalam tiga kondisi;
Pertama ;
wanita tersebut memiliki masa haid yang jelas sebelum mengalami
istihadhah. Kondisi yang seperti ini dikembalikan kepada masa haidnya
yang sudah dikenalinya pada masa sebelum terjadinya istihadhah; dia menjalani
masa haidnya pada hari-hari itu, dan selebihnya darah yang masih keluar
setelah masa kebiasaan haidnya dianggap sebagai istihadhah.
Nabi ﷺ berkata Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha,
امكثي قدر ما كانت تحبسكِ حيضتك ثم اغتسلي وصلي
“Berdiamlah dalam kadar masa yang dahulu engkau haid, kemudian (jika telah selesai) mandi dan shalatlah.” (HR. Muslim).
Kedua;
dia tidak memiliki kebiasaan masa haid yang dikenali, akan tetapi dia bisa membedakan antara darah haid dengan darah istihadhah. Darah
haidnya kental, kehitaman dan berbau, sementara darah lainnya berwarna
merah cerah, encer dan tidak berbau. Dalam kondisi ini, wanita tersebut
melalui masa haidnya sesuai dengan keadaan darah haid yang keluar dan
selebihnya darah yang tidak memiliki sifat-sifat darah haid dianggap
sebagai darah istihadhah, dia tetap wajib shalat, puasa dan suami boleh menggaulinya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ kepada Fatimah bintu Abi
Hubaisy,
إذا كان دم الحيض فإنه أسود يعرف، فأمسكي عن الصلاة، فإذا كان الآخر فتوضئي وصلي
“Jika
darah itu darah haid, maka darahnya kehitaman dan dikenali, tahanlah
dirimu dari melakukan shalat. Sedangkan jika keadaan darahnya yang
selain itu, maka berwudhulah dan kerjakan shalat.” (HR. Abu Dawud dam An-Nasa’i, dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim).
Pada sanad
dan matan hadist ini terdapat kelemahan, akan tetapi para ulama telah
mengamalkan makna hadits tersebut. Yang seperti ini lebih utama daripada mengembalikan
hukum wanita tersebut kepada kebiasaan yang umum terjadi pada kaum
wanita.
Ketiga;
seorang wanita yang tidak memiliki kebiasaan haid yang jelas dan juga tidak
ada sesuatu yang membantunya untuk membedakan antara darah haid dengan
darah lainnya.
Dalam
kasus ini, wanita tersebut menjalani masa haidnya selama enam atau tujuh
hari setiap bulannya, mengikuti kebiasaan haid umumnya kaum wanita di
negerinya. Nabi ﷺ bersabda kepada Hamnah bintu Jahsy,
إنما
هي ركضة من الشيطان فتحيضي ستة أيام أو سبعة أيام ثم اغتسلي، فإذا
استنقأتِ فصلي أربعةً وعشرين أو ثلاثةً وعشرين، وصومي وصلي فإن ذلك يجزئك،
وكذلك فافعلي كما تحيض النساء
“Sesungguhnya
darah tersebut adalah dari syaitan, maka jalanilah masa haidmu enam
atau tujuh hari kemudian mandilah. Jika engkau telah bersih (selesai
dari haid), shalatlah (dalam masa) 24 atau 23 hari, puasa dan shalatlah,
karena yang demikian itu telah mencukupimu. Lakukan seperti itu
sebagaimana (umumnya) para wanita menjalani masa haid.” (HR. Ahmad, Abu
Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Hadits ini diriwayatkan An-Nasa’i
dari kisahnya Ummu Habibah).
Apa yang mesti dilakukan seorang wanita yang mengalami istihadhah dalam masa sucinya?
1. Wajib baginya mandi setelah selesai masa haidnya sesuai dengan perbedaan masa haid dalam penjelasan yang telah disebutkan.
2.
Membersihkan dan mencuci kemaluannya setiap kali akan melaksanakan
shalat, memakai pembalut untuk mencegah jatuhnya darah dan berwudhu pada
setiap shalat.
Nabi ﷺ bersabda tentang wanita yang mengalami istihadhah,
تدع الصلاة أيام أقرائها ثم تغتسل وتتوضأ عند كل صلاة
“Dia
meninggalkan shalat selama masa keluarnya darah, kemudian mandi dan
berwudhu pada setiap shalat.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu
Majah. Berkata At-Tirmidzi, “Hadits hasan”).
Beliau ﷺ juga bersabda,
أنعت لك الكرسف فإنه يذهب الدم
“Aku
nasehatkan untuk menggunakan kapas, karena hal itu bisa membersihkan
darah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Sayangnya, nasehat beliau ini sudah ditinggalkan oleh sebagian wanita-wanita muslimah di zaman sekarang.
Wallahu a’lam.