Di sebagian besar kalangan di negeri kita, sangat masyhur istilah "bid'ah hasanah". Dengan landasan itu, mereka akhirnya melegalkan berbagai macam ritual yang jelas bid'ah dan penyimpangannya dalam agama. Dikarenakan minimnya ilmu dan sifat taklid buta kepada para tokoh agama, orang awam kita begitu mudahnya melakukan ritual ibadah atas nama agama dan melabelkannya sebagai "bid'ah hasanah". Mereka tidak bisa membedakan antara perkara yang jelas bid'ah dengan perkara syar'i yang disebut sebagai "mashlahah mursalah".
Akibatnya, mereka selalu menganggap ritual-ritual tahlilan, yasinan, haul, shalawatan dan yang semacamnya sebagai sebuah perkara baik walaupun tidak memiliki landasan syar'i dalam agama, dan mereka menyamakannya dengan perkara-perkara syar'i seperti penulisan dan pembukuan al Quran, pembukuan hadits dan cabang-cabang ilmu Islam seperti fiqh, tafsir dan lain-lain, penggunaan mikrofon dalam adzan dan shalat, bahkan sampai-sampai mereka menganggap pesawat dan alat-alat transportasi modern lainnya pun sebagai bid'ah hasanah (?!!)
Berikut ini kami akan menjelaskan tentang perbedaan yang sangat jelas antara bid'ah dengan "mashlahah mursalah" yang sering disalah artikan sebagai "bid'ah hasanah".
I. Definisi Bid’ah
Al Imam al Hafidz Ibnu Rajab al
Hanbali rahimahullahu telah mendefinisikan bid’ah dengan sebuah definisi yang
mencakup, yaitu perkataan beliau :
فكل مَن أحدث شيئًا ، ونسبه إلى الدِّين ، ولم يكن له
أصل من الدين يرجع إليه : فهو ضلالة ، والدين منه بريء
"Setiap orang yang mengada-adakan sesuatu
dan dia sandarkan kepada dien (agama), dan hal itu tidak memiliki landasan dari
agama ini yang bisa dirujuk kepadanya, maka perkara itu adalah kesesatan, dan
agama ini berlepas diri darinya". [1]
Dengannya bisa dipahami bahwa
rukun-rukun bid’ah ada tiga, yaitu :
- Perkara
yang baru dan diada-adakan
- Perkara
tersebut disandarkan kepada agama
- Perkara
baru tersebut tidak memiliki landasan dalam prinsip syariat yang menunjukkan
kepada syar’inya perkara tersebut
II. Definisi Mashlahah Mursalah ( المصلحة المرسلة
)
Maslahat ( المصلحة ) menurut bahasa adalah manfaat, baik
manfaat duniawi atau ukhrawi. Bentuk jama’ (plural)nya adalah mashâlih (
المصالح
).
Mursalah ( المرسلة ) menurut bahasa adalah yang lepas atau
terabaikan.
Maslahat Mursalah menurut istilah
adalah manfaat yang tidak ada padanya dalil khusus yang menetapkan atau membatalkannya.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu
dalam penjelasan beliau tentang mashâlih mursalah :
وهو أن يرى المجتهد أن هذا الفعل يجلب منفعة راجحة ،
وليس في الشرع ما ينفيه
"Yaitu, seorang
mujtahid melihat bahwa perbuatan tersebut mendatangkan manfaat yang sangat
jelas (manfa’ah râjihah), dan tidak ada dalam Syari’at perkara yang
menafikannya/menolaknya". [2]
III. Persamaan dan Perbedaan antara
Bid’ah dan Mashlahah Mursalah
Terdapat beberapa persamaan dan
perbedaan antara bid’ah dengan mashlahah mursalah. Disini kami nukilkan pembahasan
ilmiah yang menjelaskan tentang sisi persamaan dan perbedaan antara bid’ah dan mashâlih
mursalah yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Husain al Jîzâni hafidzhahullahu [3],
mudah-mudahan penjelasan ini bisa memberikan manfaat yang jelas dan terang bagi
para pembaca.
a. Sisi persamaan antara bid’ah dan maslahah
mursalah :
- Masing-masing
perkara tersebut adalah perkara-perkara yang tidak pernah terjadi di masa
kenabian, terutama mashâlih mursalah, dan umumnya bid’ah. Tetapi,
mungkin saja terdapat beberapa bid’ah dimasa tersebut walaupun itu sangatlah
sedikit. Sebagaimana yang disebutkan mengenai kisah tiga orang yang datang
bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
- Masing
dari bid’ah –umumya- dan juga mashlahah mursalah tidak memiliki dalil
tertentu, karena dalil-dalil umum adalah perkara yang paling mungkin dijadikan
rujukan dalam berargumen (istidlâl) untuk keduanya
b. Sisi perbedaan antara bid’ah dan mashlahah
mursalah
- Bid’ah
memiliki ciri tersendiri karena dia tidak terjadi kecuali dalam
perkara-perkara ta’abbudiyyah (peribadatan) dan yang berkait dengannya
dari urusan-urusan agama. Berbeda dengan mashlahah mursalah, karena
pandangan umum didalamnya hanya terbatas pada perkara yang maknanya bisa
dicerna oleh akal, yang jika perkara tersebut disodorkan kepada akal, maka akal
akan langsung menerimanya dan tidak ada lowongan didalamnya bagi
perkara-perkara ta’abbudiyah atau yang semacamnya dari urusan-urusan
agama
- Bid’ah
juga sangat berkait erat dengan tujuan awal dalam pandangan para pelakunya.
Umumnya, mereka melakukannya untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada
Allah dan bersifat paten. Mereka tidak akan pernah berpaling darinya, dan
hampir mustahil mereka akan menggugurkan amalan tersebut dikarenakan bid’ah
tersebut dalam pandangan mereka adalah perkara yang kuat dan jelas daripada
dalil-dalil yang menentangnya. Sementara mashlahah mursalah dimaksudkan
untuk tujuan yang kedua, bukan yang pertama. Mashlahah mursalah masuk
kepada pembahasan tentang al wasâ-il (wasilah, sarana), karena dia
disyari’atkan sebagai sarana untuk mewujudkan satu maksud dari Maqâshid asy
Syarî’ah (tujuan-tujuan/misi Syari’at). Hal ini bisa dilihat bahwa maslahat
tersebut tidak lagi dianggap dan ditinggalkan saat dia berbenturan dengan
mafsadat yang lebih besar. Dengan ini, sangat tidak mungkin mengada-adakan
bid’ah dari sisi mashalih mursalah
- Bid’ah
selalu membawa para pengikutnya kepada perkara yang lebih berat dan menambah
kesulitan mereka. Ini sangat berbeda dengan mashlahah mursalah, karena
tujuannya adalah memberikan keringanan kepada para mukallaf (orang yang
dibebani kewajiban Syari’at) dan menghilangkan kesulitan, atau untuk memelihara
sebuah perkara yang sangat penting bagi kemaslahatan mereka
- Bid’ah
bertentangan dengan maqâshid asy syarî’ah dan bahkan bisa merusaknya.
Berbeda dengan mashlahat mursalah, agar layak diaplikasikan dalam
pandangan Syar’i, maka dia harus masuk dalam lingkup maqâshid asy syarî’ah,
sejalan dengannya dan berkhidmat untuk kepentingannya. Jika tidak demikian,
maka dia tidak akan dianggap dan akan ditinggalkan
- Mashlahah
mursalah memiliki ciri khusus
bahwa dia tidak terjadi di masa kenabian dikarenakan tidak adanya sebab atau
alasan untuk melakukannya (karena tiadanya kemungkinan untuk hal tersebut),
atau ada sebab untuk melakukannya namun ada penghalang yang menghalanginya
untuk dilakukan. Hal ini berbeda dengan bid’ah, karena hal tersebut sangat
mungkin dilakukan di masa kenabian dengan terpenuhinya sebab dan alasan serta
tidak adanya penghalang untuk melakukannya
Inilah perbedaan yang sangat jelas
antara bid’ah dengan mashlahah mursalah yang telah dijadikan rancu oleh
sebagian orang dan menganggapnya sebagai "bid’ah hasanah". Mereka ingin
menyamakan –sebagai contoh- penulisan mushaf, penggunaan mikrofon untuk adzan,
penggunaan pesawat terbang, mobil dan kapal untuk haji dengan berbagai macam
ritual bid’ah seperti tahlilan, yasinan, haul dan shalawatan.
Untuk membantah dugaan bid’ah hasanah
dalam perkara-perkara tersebut, maka kami katakan sebagai contoh dan bukan
bantahan untuk seluruhnya;
Penulisan & Pembukuan Mushaf Al Quran (dan juga Kitab-Kitab Hadits)
Penulisan dan pembukuan mushaf tidaklah masuk
dalam kategori bid’ah. Tidak ada dalil yang memerintahkan perbuatan
Sahabat menulis dan membukukan mushaf. Akan tetapi, mereka melihat maslahat
besar yang selaras dengan misi Syari’at yaitu untuk menjaga keotentikan al
Quran dan sekaligus menjaga Syari’at itu sendiri. Dan perkara untuk menjaga
kemurnian al Quran adalah perkara yang sudah dimaklumi bersama.
Jika hal ini bisa dipahami dengan baik, maka
seperti itu juga tujuan penulisan hadits, fiqh, tafsir dan berbagai macam
disiplin ilmu dalam kitab-kitab, disamping kekhawatiran akan hilangnya ilmu
tersebut.
Semuanya ini dilakukan sebagai sarana untuk
sampai kepada tujuan yang dimaksud dan bukan tujuan hakiki. Benar, bahwa sebab
dan alasan untuk penulisan dan pembukuan itu ada di masa Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam dan alat tulis-menulisnya pun ada, akan tetapi, faktor-faktor
al Quran yang belum turun seluruhnya, belum adanya kebutuhan tulisan
dikarenakan kebiasaan Bangsa Arab saat itu yang ummi dan mengandalkan hafalan,
dan juga adanya larangan untuk menulis hadits karena dikhawatirkan bercampur
dengan al Quran; semuanya ini menjadi penghalang dilakukannya perkara tersebut
di masa kenabian.
Lebih-lebih dengan memperhatikan sifat mashlahah
mursalah yang disyaratkan: harus sesuai dengan tujuan-tujuan syari’at,
jelas sekali bagi kita bahwa meski kesemuanya ini tidak memiliki dalil khusus
yang menetapkan maupun menolaknya, namun semuanya selaras dengan misi syari’at
yang antara lain bertujuan menjaga dien.
Pengeras Suara (Mikrofon)
Mikrofon adalah sebuah maslahat dan
bukan bid’ah. Hal ini sangat bisa dipahami karena dalam Syariat ada sunnah bagi
yang mengumandangkan adzan adalah orang yang bersuara lantang dan nyaring.
Dalam kasus ini, mikrofon berfungsi sebagai sarana untuk menyampaikan adzan ke
tempat yang terjauh dan bukan ibadah yang berdiri sendiri sehingga harus
dikategorikan sebagai bid’ah. Penggunaan mikrofon juga selaras dengan misi
Syari’at dalam memberikan kemudahan dan tidak ada dalil yang menetapkan atau
melarangnya. Dan juga, tidak ada kemungkinan hal itu dilakukan di masa kenabian
karena alat seperti itu belum ada di masa tersebut.
Alat Transportasi
Adapun penggunaan sarana transportasi modern,
maka ini sangat jauh dari definisi bid’ah. Karena bid’ah –seperti yang telah
dijelaskan- hanya berlaku dalam perkara yang bersangkut paut dengan agama.
Sementara alat transportasi adalah kebutuhan manusia dari masa ke masa yang
akan selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan manusia dan kemajuan teknologi.
Sangat nampak kedangkalan akal dan kebodohan orang yang selalu mengait-ngaitkan
alat-alat semacam ini dengan bid’ah dalam agama. Apa hubungannya antara ibadah
dengan urusan duniawi seperti ini?! Semoga Allah menunjuki kita semua kepada
hidayah-Nya dan membebaskan kita dari sikap fanatisme buta yang tidak
berlandaskan dalil dan akal sehat.
Dengan penjelasan ini bisa diketahui bahwa Syari'at tidak pernah memberikan wewenang dalam perkara-perkara ta'abbudiyah kepada akal dan pemikiran para ahli ibadah. Sehingga tidak ada pilihan bagi mereka kecuali membatasi diri dengan apa yang telah ditetapkan oleh Syari'at. Karena tambahan dalam perkara Syari'at adalah bid'ah, sebagaimana mengurangi sesuatu darinya juga termasuk bid'ah.
Wallahu a'lam.
------------------------------------------------
Footnotes :
[1] Jâmi’ al ‘Ulûm wa al Hikam, II/128
[2] Majmû’ Fatâwâ, XI/342-343
[3] Qawâ'id Ma'rifah al Bida', hal. 19-20