Sponsors

21 Mei 2012

Jihad Fi Sabilillah

Tatkala jihad ini merupakan puncak tertinggi Islam dan kubahnya, kedudukan para ahlinya adalah yang tertinggi di surga, sebagaimana mereka memiliki derajat yang tertinggi di dunia, mereka jugalah yang termulia di dunia dan akhirat; maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi  wasallam menempati derajat yang tertinggi dalam jihad tersebut dan telah mengamalkannya dalam segala bentuknya. Beliau telah berjihad karena Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya, baik dengan hati, dakwah, bayaan (penjelasan), pedang dan tombak. Seluruh waktunya dipergunakan untuk berjihad, dengan hatinya, lisannya dan tangannya. Karena itulah beliau orang yang paling mulia namanya dan paling agung kedudukannya di sisi Allah.


Allah telah memerintahkan kepadanya untuk berjihad semenjak pengutusannya sebagai rasul. Allah berfirman :

ولو شئنا لبعثنا فى كل قرية نذيرا، فلا تطع الكافرين وجاهدهم به جهادا كبيرا


"Dan andaikata Kami menghendaki, niscaya Kami utus kepada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan. Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Qur’an dengan jihad yang besar". [1]
 

Surat ini adalah surat Makkiyyah. Beliau diperintahkan untuk berjihad melawan orang-orang kafir, dengan hujjah, bayaan (penjelasan) dan tabligh (penyampaian) al-Qur’an. Demikian juga jihad terhadap orang-orang munafik, hal itu hanyalah (mungkin) dengan penyampaian hujjah. Karena pada hakikatnya mereka berada dibawah kekuasaan kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman :

يا أيها النبي جاهد الكفار والمنافقين واغلظ عليهم ومأواهم جهنم وبئس المصير

"Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya". [2]

Maka jihad terhadap orang-orang munafik lebih berat daripada jihad terhadap orang-orang kafir. Ini adalah jihadnya orang-orang khusus dari umat ini dan para pewaris rasul. Orang-orang yang berperan didalamnya sangatlah sedikit di alam ini. Namun, walaupun demikian, merekalah orang yang paling agung kedudukannya di sisi Allah.

 ****

Tatkala jihad terhadap musuh-musuh Allah yang dari luar merupakan cabang dari jihadnya seorang hamba terhadap dirinya sendiri dalam mencari keridhoan Allah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :


المجاهد من جاهد نفسه في طاعة الله، والمهاجر من هجر ما نهى الله عنه

"Mujahid adalah orang yang berjuang terhadap dirinya sendiri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, dan muhajir adalah orang yang berhijrah dari apa yang dilarang Allah" [3]; maka jihad melawan diri/hawa nafsu lebih didahulukan daripada jihad melawan musuh yang datang dari luar. Karena, barangsiapa yang belum berjihad menundukkan hawa nafsunya sendiri terlebih dahulu untuk mengerjakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang, serta memeranginya karena Allah, maka tidak mungkin baginya untuk memerangi musuhnya yang dari luar. Bagaimana mungkin baginya memerangi dan mengalahkan  musuhnya yang dari luar sementara musuh yang berada diantara kedua sisinya mengalahkannya dan berkuasa atas dirinya. Dia tidak berjihad dan tidak memeranginya karena Allah. Bahkan tidak mungkin baginya keluar untuk menyongsong musuhnya hingga dia berjihad terhadap dirinya sendiri untuk diajak pergi berperang.


        Inilah dua musuh yang dengannya seorang hamba diuji untuk berjihad terhadapnya. Dan diantara keduanya itu, ada musuh ketiga yang mustahil ia akan berjihad terhadap kedua musuh tadi kecuali dengan berjihad terhadap musuh ini. Musuh yang selalu berada diantara keduanya, membuat seorang hamba malas untuk berjihad terhadap keduanya, membiarkannya, menghasutnya dan selalu membuat bayangan tentang sulitnya berjihad terhadap keduanya. Jihad yang hanya akan menghilangkan segala keuntungan, kenikmatan dan segala keinginan hawa nafsunya. Tidak mungkin baginya berjihad  terhadap kedua musuh tersebut kecuali ia berjihad terlebih dahulu terhadapnya. Inilah pokok dari jihad terhadap kedua musuh tersebut. Itulah syaitan. Allah Ta’ala berfirman :

إن الشيطان لكم عدو فاتخذوه عدوا

"Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu)". [4]


      Perintah untuk mengambilnya sebagai musuh merupakan untuk mengerahkan segala usaha dalam memerangi dan berjihad terhadap musuh ini, seakan-akan dia adalah musuh yang tidak akan pernah berhenti dam lemah dalam memerangi seorang hamba sepanjang tarikan nafasnya.


***

Jika hal ini telah diketahui, maka jihad tersebut ada empat tingkatan : jihad terhadap hawa nafsu, jihad terhadap syaitan, jihad terhadap orang-orang kafir dan jihad terhadap orang-orang munafik.


Jihad terhadap diri/hawa nafsu juga terdiri dari empat tingkatan :


Pertama : berjihad terhadap dirinya untuk mempelajari al-huda (petunjuk) dan agama yang haq, yang tidak akan ada keberuntungan bagi jiwa tersebut dan kebahagiaan dalam kehidupannya ini dan tempat kembalinya nanti kecuali dengan ilmu. Kapan saja luput darinya ilmu, maka dia akan celaka di dunia dan akhirat.


Kedua : berjihad terhadapnya untuk mengamalkan ilmunya setelah mempelajarinya. Bila  tidak demikian, sekedar ilmu tanpa pengamalan jika tidak membahayakannya minimal tidak akan memberikan manfaat baginya.


Ketiga : berjihad terhadapnya untuk berdakwah kepada ilmu tersebut dan mengajarkannya kepada yang tidak mengetahuinya. Bila tidak demikian, maka dia termasuk orang-orang yang menyembunyikan petunjuk. Ilmunya tidak akan bermanfaat baginya dan tidak akan mampu menyelamatkannya dari azab Allah.


Keempat : berjihad terhadapnya untuk bersabar dengan segala kesulitan dalam berdakwah kepada Allah, bersabar terhadap keburukan para hamba dan menanggung seluruhnya semata-mata karena Allah.


Jika dia telah menyempurnakan empat tingkatan ini, maka dia tergolong orang-orang yang rabbaaniy. Karena para Salaf telah sepakat bahwa seorang yang berilmu tidak berhak disebut sebagai seorang yang rabbaaniy hingga dia mengenal al-haq, mengamalkannya dan mengajarkannya. Barangsiapa yang telah belajar, mengamalkan dan mengajarkan, maka itulah yang akan disebut di seluruh penghuni langit sebagai orang yang agung.



***


Jihad terhadap syaitan ada dua tingkatan. Pertama adalah berjihad terhadapnya atas segala syubhat dan keragu-raguan dalam iman yang dicampakkannya kedalam (hati) seorang hamba.


Kedua adalah berjihad terhadapnya atas segala keinginan-keinginan buruk dan godaan syahwat yang dicampakkannya kepada hamba tersebut. Jihad yang pertama mendatangkan keyakinan, dan yang kedua menghasilkan kesabaran. Allah berfirman:

وجعلنا منهم أئمة يهدون بأمرنا لما صبروا، وكانو بآياتنا يوقنون

"Dan Kami jadikan diantara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar. Dan mereka meyakini ayat-ayat Kami". [5]

Allah memberitahukan bahwa imamah dalam agama ini hanyalah diperoleh dengan kesabaran dan keyakinan. Kesabaran akan menolak segala godaan syahwat dan keinginan-keinginan buruk, sementara keyakinan akan menolak segala keraguan dan syubhat.



***


Jihad terhadap orang-orang kafir dan munafik ada empat tingkatan : dengan hati, lisan, harta dan jiwa. Jihad terhadap orang-orang kafir lebih dikhususkan dengan tangan, sementara jihad terhadap orang-orang munafik lebih dikhususkan dengan lisan.



***


Adapun jihad terhadap orang-orang zalim, ahli bid’ah dan pelaku-pelaku kemungkaran ada tiga tingkatan. Pertama dengan tangan bila memiliki kemampuan. Jika tidak mampu, berpindah kepada lisan. Jika tidak mampu, berjihad dengan hatinya. Inilah tiga belas tingkatan jihad, dan


من مات ولمْ يغزُ ولم يحدِّث نفسَهُ بالغزو مات على شعبةٍ من النفاق

"Siapa yang meninggal dan belum berperang, dan tidak pernah berniat dalam dirinya untuk berperang, maka dia mati dalam salah satu cabang kemunafikan". [6], [7]


==================

Footnotes :

[1]  QS. Al Furqan ayat 51-52
[2]  QS. At Taubah ayat 73

[3]  HR. Ahmad (VI/12) dari Fudhalah bin Ubaid radhiyallahu 'anhu. Sanadnya baik. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim, dan disepakati oleh adz Dzahabi.

[4]  QS. Fathir ayat 6

[5]  QS. As Sajdah ayat 24

[6]  HR. Muslim (Kitab al Imarah), Abu Dawud (no. 2502) dan an Nasa'i (no. 3099)

[7]  Disarikan dari Zaad al Ma'ad fi Hady Khair al 'Ibaad, oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu, jilid III hal. 5-11, terbitan Muassasah ar Risalah, Lebanon dan Maktabah al Manar al Islamiyah, Kuwait, cet. III th. 1406/1986.


0 tanggapan:

Posting Komentar