Sponsors

24 Mei 2012

Bagaimana Para Salaf Mencari Ilmu?

Berikut ini adalah sekilas tentang kisah-kisah para Ulama Salaf dalam menuntut ilmu syar'i. Mudah-mudahan hal ini bisa memberikan sedikit motivasi bagi kita dalam mempelajari agama ini dan bersabar dengan segala kesulitannya. Wallahul musta'an.

Berkata Yahya Ibnu Abi Katsir rahimahullah : "Ilmu tidak akan diperoleh dengan jasad yang bersenang-senang". [1]

Berkata an Nadhr ibn Syumail rahimahullahu : "Seseorang tidak akan merasakan nikmatnya ilmu, hingga dia lapar dan lupa dengan laparnya". [2]

Berkata Imam Malik bin Anas rahimahullahu : "Ilmu tidak akan diperoleh hingga dirasakan padanya pahitnya kefakiran". [3]




Ya, ilmu tidak akan mungkin diperoleh kecuali dengan berbagai kesulitan. Saya tidak katakan kesulitan seperti yang dialami para Salaf seperti dalam kisah-kisah mereka yang akan Anda baca, namun, kesulitan itu sebenarnya datang dari diri kita sendiri yang berwujud rasa malas, lemahnya obsesi, cenderung kepada kesenangan dunia, pasrah dengan lingkungan dan selalu mencari kambing hitam akan kesalahannya dalam kelalaian menuntut ilmu syar'i.


***


Imam Muhammad ibn Ishaq ibn Mandah rahimahullahu pergi menuntut ilmu pada umur 20 tahun dan kembali ke negerinya pada umur 65 tahun. Ia habiskan 45 tahun dari umurnya untuk berkeliling mencari dan mengambil ilmu dari 1700 orang syaikh (guru). Ketika kembali ke negerinya, ia menikah pada umur 65 tahun, dikaruniai anak dan mengajarkan hadits kepada manusia. [4]

Imam Abu Hatim ar Razy rahimahullahu pergi mencari dan mengumpulkan hadits dengan berjalan kaki. Ia berkata mengisahkan pengalaman dirinya : "Aku telah berjalan kaki sejauh 1000 farsakh, dan kemudian aku tidak pernah menghitungnya lagi". [5]

Tahukah Anda berapa jarak satu farsakh?.. Satu farsakh kurang lebih berjarak sejauh lima kilometer..

Umar bin Abdul Karim ar Rawasy bepergian dan mengambil ilmu dari 3600 syaikh. Pada salah satu perjalanannya mencari ilmu, beberapa jarinya terpotong karena salju yang sangat dingin. [6]

Berkata Imam Muhammad bin Thahir al Maqdisi rahimahullahu : "Aku telah kencing darah dua kali dalam perjalananku mencari hadits. Sekali di Baghdad dan sekali di Makkah. Hal itu terjadi karena aku berjalan tanpa alas kaki dibawah terik panas matahari dan di tengah padang pasir yang membakar. Aku sama sekali tidak pernah menunggang kendaraan kecuali sekali saja dan selalu memikul buku-buku di punggungku dalam perjalanan sampai tiba di suatu negeri. Aku tidak pernah meminta harta kepada siapa pun selama mencari ilmu dan mencukupkan diri dengan rezki dari Allah tanpa meminta-minta". [7]

Berkata Sa'id ibnul Musayyib, seorang ulama Tabi'in senior : "Aku berjalan berhari-hari pada siang dan malam (hanya) untuk mencari satu buah hadits". [8]

Berkata Abu Fadhl ibn Bunaiman : "Aku melihat Abul ‘Alaa’ al Hamadzaany di sebuah masjid di kota Baghdad sedang menulis sambil berdiri, karena lampu masjid berada di tempat yang tinggi". [9]

Hal itu tidak dilakukan kecuali karena kefakirannya. Tidak mampu membeli minyak untuk menyalakan lampu, dan akhirnya harus belajar dengan penerangan lampu masjid. Wallahul musta'an.  Semoga Allah merahmati mereka.

Dan terakhir dalam tulisan ringkas ini adalah perkataan Abu Ali al Balkhi rahimahullahu. Ia menceritakan kisahnya dalam mencari ilmu : "Aku berada di Asqalan untuk mencari ilmu. Suatu ketika bekalku habis dan aku berdiam beberapa hari tanpa makan. Kemudian aku pergi untuk menulis hadits, namun aku tidak mampu lagi menulis karena sangat lapar. Maka aku pergi ke warung seorang tukang roti, duduk di dekatnya untuk mencium bau roti yang dengannya aku memperkuat diri lagi untuk menulis. Hingga akhirnya Allah memberikan kemudahan untukku". [10]


***


Setelah membaca dan mengetahui semua ini, tidakkah kita malu bila malas berangkat ngaji, padahal jaraknya mungkin hanya kurang dari lima kilometer saja?!

Tidak malukah kita meluangkan waktu sejam untuk belajar ilmu agama?!

Tidak malukah kita jika enggan ikut pengajian, padahal tersedia fasilitas angkutan kota dan kendaraan pribadi?!

Ya,, Sepantasnya kita malu..


=========================

REFERENSI :

[1]  Muqaddimah Shahih Muslim

[2]  Tadzkirah al Huffadzh, I/314

[3]  Tartib al Madarik, II/68

[4]  Tadzkirah al Huffadzh, III/1032

[5]  Tadzkirah al Huffadzh, II/567

[6]  Tadzkirah al Huffadzh, IV/1238

[7]  Tadzkirah al Huffadzh, IV/1243

[8]  Al Bidayah wa An Nihayah, IX/111

[9] Tadzkirah al Huffadzh, III/915

[10] Tadzkirah al Huffadzh, IV/1173


(Disarikan dari kitab Aina Nahnu min Haa'ulaa', Syaikh Abdul Malik al Qasim, terbitan Darul Qasim-Riyadh, cet. III, th. 1423 H)

0 tanggapan:

Posting Komentar