Sponsors

29 Mei 2012

Bagaimanakah Perpecahan Umat Ini Bermula?

Telah diriwayatkan dengan jalan-jalan periwayatan yang sangat banyak dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yang diriwayatkan dalam kitab-kitab Sunnah, bahwa umat ini akan terpecah kepada 73 golongan. Para imam dan ulama menyadari bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ingin memperingatkan umatnya dan membuka wawasan mereka terhadap sebuah sunnatullah dari sunnah-sunnah Allah di alam ini, yang telah menimpa umat-umat terdahulu dan membinasakan mereka, kecuali yang Allah tetapkan keselamatan atas dirinya. Mereka sangat menyadari bahwa sunnah dan ketentuan tersebut pasti terjadi di umat ini. Kecuali orang yang dirahmati Allah, dan diberikan hidayah untuk istiqamah diatas petunjuk rasul-Nya, serta petunjuk para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum.

Pembahasan tentang perpecahan umat sama sekali tidak dilandasi oleh kegembiraan, atau kebencian terhadap golongan tertentu. Tetapi lebih dilandasi oleh kesedihan yang mendalam atas perpecahan yang menimpa umat ini. Dengan sedikit harapan bahwa pembahasan ini –dan yang semisalnya- dapat mewujudkan sebuah tujuan yang baik demi berkhidmat untuk Islam, dan mengurangi tajamnya perselisihan yang telah memecah belah kaum muslimin dan menjadikan agama mereka terpecah ke dalam berbagai macam sekte dan aliran.

Demikian juga, pembahasan ini bertujuan untuk menyatukan kalimat kaum muslimin dan memalingkan perhatian mereka kepada inti perselisihan tersebut agar mereka menjauh dari apa yang telah menjerumuskan para pendahulunya dari umat ini. Karena rujuk kepada al-haq lebih baik daripada membangkang dalam kebatilan. Jadi, pembahasan yang seperti ini lebih  merupakan alternatif pengobatan terhadap problem tersebut, karena pengetahuan tentang obat yang bermanfaat sangat berhubungan dengan pengetahuan akan penyakitnya.

Dalam menyatukan kalimat dan mengembalikan kejayaan dan kemuliaan mereka, kaum muslimin tidak membutuhkan kecuali niat yang baik untuk kembali kepada kebenaran. Karena pondasi yang dahulu tegak di atasnya kemuliaan Islam dan kaum muslimin tetap sama sepanjang masa, yaitu Kitab Allah dan Sunnah rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan tidak akan baik generasi akhir umat ini melainkan dengan apa yang telah menjadikan baik generasi awalnya.



Bagaimanakah Perpecahan Itu Bermula?

Bid'ah pertama yang muncul di umat ini adalah bid’ah Khawarij [1]. Cikal bakal Khawarij bermula dengan munculnya seseorang yang bernama Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim, yang mempermasalahkan keadilan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam pembagian rampasan perang [2]. Inilah awal pembangkangan terhadap Syari’at Islam, hingga kemudian fitnah itu membesar pada akhir Khilafah Utsman dan muncul sebagai sebuah firqah (sekte) yang memiliki dogma dan kekuatan bersenjata setelah berakhirnya perang Shiffin antara Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah.

Kemudian muncul firqah Syi’ah [3]. Fitnah ini awalnya disebabkan oleh kecintaan yang sangat berlebihan sebagian pengikut Ali terhadap Ali dan keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun fitnah ini berkembang setelah perang Shiffin dan menjelma menjadi sebuah gerakan politik keagamaan, dengan klaim membela dan mencintai Ahlul Bait.

Pada akhir masa Shahabat, muncul bid’ah Qadariyah [4], Majusi-nya umat ini [5]. Mereka mengatakan : Allah Ta’ala tidak pernah menetapkan takdir perbuatan para hamba. Perbuatan para hamba tidak berada dalam kehendak-Nya dan tidak pula diciptakan-Nya. Bahkan yang paling ekstrim dari mereka mengatakan : Allah tidak mengetahui perbuatan para hamba dan tidak pula tertulis dalam Lauh Mahfudz. Allah tidak pernah tahu apa yang akan diperbuat para hamba sampai mereka melakukannya!!

Lalu muncul setelah itu bid’ah irjaa’ pada masa pembesar-pembesar Tabi’in. Murji’ah [6] mengatakan bahwa maksiat tidak akan membahayakan keimanan seseorang.


Namun, bid’ah-bid’ah tersebut diawal kemunculannya hanya berbicara pada persoalan ketaatan dan kemaksiatan, persoalan iman dan kekufuran. Sama sekali belum menyinggung persoalan Dzat Allah Yang Maha Mulia dan sifat-sifat-Nya.


Kemudian, datanglah kaum "cendekiawan"!! Yang mengklaim bahwa akal harus didahulukan daripada wahyu. Mereka mengumpulkan dua pendapat dari perkataan Khawarij dan Murji’ah, dan menyimpulkan sebuah pendapat baru : bahwa orang yang melakukan dosa besar bukanlah seorang mukmin sebagaimana pendapatnya Murji’ah, dan tidak pula kafir sebagaimana pendapat Khawarij. Akan tetapi dia berada di sebuah manzilah baina manzilatain (suatu tempat yang berada diantara dua tempat). Demikian hukumnya di dunia. Adapun di akhirat, maka dia kekal dalam neraka sebagaimana pendapatnya Khawarij. Sekte inilah yang dikenal sebagai Mu’tazilah [7]

Kemudian, muncul lagi sebuah bid’ah yang sangat sesat, yaitu bid’ah yang dimunculkan oleh al Ja’ad bin Dirham [8] dan Jahm bin Shofwan [9], pada masa Bani Umawiyah dan semakin kuat dengan dukungan sebagian penguasa pada masa Khilafah Abbasiyyah. Mereka dikenal dengan nama firqah Jahmiyyah. Bid’ah ini muncul dan tidak berbicara tentang persoalan nama dan hukum seseorang itu mukmin atau kafir atau fasik. Tidak juga berbicara tentang manzilah baina manzilatain. Akan tetapi mereka berani berbicara tentang persoalan yang berkait dengan Dzat Sang Pencipta.


Perhatikanlah, bagaimana fase-fase kemunculan bid’ah di permulaan Islam, sampai akhirnya berani mempersoalkan Dzat Allah Yang Maha Mulia. Mereka menjadikan Sang Pencipta sama dengan makhluk-Nya. Berkata-kata sesuka hati mereka tentang Dzat-Nya yang Mulia.


Perpecahan dan perselisihan semakin buruk dengan pengaruh buku-buku filsafat Yunani dan India yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Setiap firqah berpecah ke dalam berbagai kelompok baru yang berseberangan pendapat dan saling menyalahkan.

Setelah itu muncul sekte Asy’ari [10] dan Maturidi [11], yang pada awalnya bertujuan untuk membendung pemikiran para ahli filsafat, Rafidhah dan aliran kebatinan, serta bertujuan untuk membantah pendapat-pendapat Mu’tazilah dan Jahmiyyah. Mereka memiliki andil yang patut disyukuri atas usaha tersebut, namun metode para ahli kalam dan filsafat yang mereka gunakan dan juga usaha untuk menyatukan pemikiran ahli kalam dengan Ahlussunnah telah memberikan pengaruh yang sangat buruk bagi aqidah umat ini.

Pada masa sekarang, sebagian besar pemikiran dan pendapat firqah-firqah tersebut telah berkembang dan diperbaharui, atau telah mengenakan bentuk yang lain dari bentuknya yang dahulu, atau telah berganti nama dengan nama-nama yang kadang membuat kagum orang yang melihat atau mendengarnya. Sehingga, seorang muslim sepatutnya selalu berusaha untuk memahami sisi-sisi kesamaan antara pemikiran/pendapat yang dahulu dengan pemikiran/pendapat yang sekarang, agar terpelihara dari kesalahan yang sama. [12]

Demikian juga, pembahasan dan penjelasan tentang penyimpangan dari ide-ide dan pemikiran-pemikiran yang tidak sejalan dengan prinsip Islam yang shahih adalah sebuah keniscayaaan. Sehingga seorang muslim benar-benar berada diatas hujjah yang jelas mengenai aqidahnya, agar tidak mudah terpedaya dengan perkataan atau tulisan para pengikut pemikiran tersebut atau orang-orang yang terpengaruh dengannya.


Semoga Allah selalu membimbing kita dan menunjuki kepada jalan-Nya yang lurus. Amin. 


======================


Referensi :

  1. Firaq Mu’aashirah Tantasib ilaa al Islaam wa Bayaan Mauqif al Islaam Minhaa, Dr. Ghalib ‘Awaajy, Maktabah ‘Ashriyyah Dzahabiyyah - Jeddah, cet. V, th. 1426/ 2005.
  2. Al Bidaayah wa an Nihaayah, al Hafidz ‘Imaduddin Ibnu Katsir, Dar Ihya’ at Turats al ‘Araby – Beirut, tanpa tahun.
  3. Al Fashl fi al Milal wa al Ahwaa’ wa an Nihal, Abu Muhammad Ibnu Hazm, Dar Ihya at Turats al ‘Araby-Beirut, cet. I, th. 2002.
  4. Majmuu' Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dikumpulkan dan disusun oleh Abdurrahman al Qasim, cetakan Riyadh, th. 1372. 
  5. Al Mausuu’ah al Muyassarah fil Adyaan wal Madzaahib wal Ahzaab al Mu’aashirah, disusun oleh sebuah tim dari World Assembly Muslim Youth (WAMY) - Riyadh dibawah pengawasan dan diteliti kembali oleh Dr. Mani’ bin Hammad al Juhany, cet. V, th. 1424/ 2003. 
  6. Syarh al ‘Aqiidah al Waasithiyyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, Daar Ibnul Jauzy – Dammam, cet. IV, th. 1424 H.



Catatan Kaki :

  1. Khawarij muncul pertama kali sebagai sebuah kelompok yang memiliki kekuatan pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib, dengan membai’at Abdullah bin Wahb ar Raasiby sebagai Amirul Mu’minin tandingan pada tanggal 10 Syawwal tahun 37 H di Harura’, Irak. Berkata Syaikhul Islam : "Bid’ah yang pertama kali muncul dalam Islam dan yang paling jelas celaan terhadapnya dalam sunnah dan atsar adalah bid’ah Haruriyyah (Khawarij) yang membangkang…". [Majmuu Fataawa, XIX/ 71]. Beliau juga berkata : "Merekalah yang pertama kali mengkafirkan Ahli Kiblat dengan alasan dosa, bahkan dengan sesuatu yang mereka anggap sebagai dosa. Mereka halalkan darah-darah Ahli Kiblat dengan perkara tersebut…". [lihat juga : Majmuu’ Fataawa, XIII/ 20, 32; al Milal wan Nihal, I/ 91, al Fashl, III/ 107-109]
  2. HR. Bukhary (3610), dan Muslim (1064), (148) dari hadits Abu Sa’id al Khudry radhiyallahu ‘anhu.
  3. Syi'ah, sebuah firqah yang mengklaim bahwa mereka adalah syi’ah (pendukung) Ali bin Abi Thalib dan anak-anaknya. Dalam perkembangannya, Syi’ah terpecah kedalam banyak aliran. Yang paling moderat adalah firqah yang mengatakan Ali lebih berhak atas Khilafah daripada Abu Bakar dan Umar dengan tetap menghormati kedua shahabat tersebut, seperti firqah Zaidiyyah. Yang paling ekstrim adalah firqah yang menganggap Ali sebagai Tuhan seperti Saba’iyyah. [Majmuu’ Fataawa, XIII/33-36; al Fashl, III/ 97-107]
  4. Yang pertama kali berbicara tentang persoalan qadar (takdir) adalah Ma’bad bin Khalid al Juhany, seorang shalih yang taat beribadah hingga akhirnya mengabaikan ilmu. Terlibat dalam pemberontakan bersama Ibnul Asy’ats terhadap Khalifah Abdul Malik bin Marwan, dan dibunuh oleh al Hajjaj pada tahun 80 H setelah gagalnya pemberontakan tersebut. [al Bidaayah wan Nihaayah, IX/ 37]
  5. Terdapat beberapa hadits yang menyebutkan bahwa Qadariyyah adalah Majusi-nya umat ini. Sebagian besarnya merupakan hadits dha’if. Tetapi beberapa jalan periwayatannya dihasankan oleh para ulama. Silahkan rujuk kepada kitab Shahih Sunan Ibnu Majah oleh Syaikh al Albany rahimahullah.
  6. Firqah Murji’ah terbagi kedalam banyak aliran dan saling berselisih pada sebagian dari prinsip-prinsip keyakinan irja’-nya. Yang paling dekat kepada Sunnah adalah Murji’ah Fuqaha’ di Kufah yang tidak memasukkan amal dalam hakekat keimanan (diantara tokohnya adalah Imam Abu Hanifah, guru beliau Hammad bin Abu Sulaiman, dan lain-lain –rahimahumullah). Sementara yang paling ekstrimnya adalah Murji’ah Jabariyah yang dianut oleh firqah Jahmiyah. Mereka mencukupkan iman sebagai ma’rifah (pengetahuan) hati, menganggap bahwa maksiat tidak akan berpengaruh pada keimanan, dan pengakuan serta amalan tidak termasuk dalam definisi iman. [lihat Majmu Fataawa, jilid VII pada beberapa tempat dari buku tersebut; Firaq Mu’aashirah, III/ 1089]
  7. Mu'tazilah, firqah Islam yang muncul pada akhir masa Bani Umawiyah dan berkembang pesat pada masa Bani Abbasiyyah. Firqah ini sangat mengagungkan akal dalam memahami aqidah Islam disebabkan oleh pengaruh filsafat yang masuk ke dunia Islam. Muncul pertama kali sebagai sebuah gerakan pemikiran dengan munculnya tokoh yang bernama Washil bin ‘Atha’ al Ghazzal, yang tadinya adalah murid Imam Hasan al Bashri, tapi akhirnya ber-i’tizal (memisahkan diri) dari gurunya setelah dia mengemukakan pendapat bahwa pelaku dosa besar berada pada manzilah baina manzilatain (satu tempat yang berada diantara dua tempat), yaitu tidak mukmin dan tidak juga kafir. Tapi bila meninggal sebalum bertaubat, maka dia kekal dalam neraka. Washil bin ‘Atha wafat pada tahun 131 H. [Majmuu’ Fataawa, XIII/ 386; al Milal, I/ 35-62]
  8. Al Ja’ad bin Dirham, berasal dari Khurasan dan bermukim di Damaskus. Orang yang pertama kali mengatakan bahwa al Qur’an adalah makhluk dan mengingkari seluruh nama-nama dan sifat-sifat Allah ‘Azza wa Jalla. Al Ja’ad mengambil bid’ah tersebut dari Bayan bin Sam’an, yang mengambilnya dari Thalut, putra saudari Labid bin A’sham, yang juga suami dari putrinya. Dan Labid bin A’sham -yang pernah menyihir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam- mengambil perkataan itu dari seorang Yahudi Yaman. Sebagian ulama mengatakan bahwa Al Ja’ad dibunuh oleh seorang gubernur Bani Umayyah, Khalid bin Abdillah al Qusary pada hari ‘Iedul Adha di Kufah karena aqidahnya yang menyimpang. [al Bidaayah wa an Nihaayah, IX/ 323-324]
  9. Jahmiyah, nisbat kepada Jahm bin Shofwan at Tirmidzi. Salah satu firqah ahli Kalam yang menisbatkan diri kepada Islam. Memiliki ide-ide dan pemikiran-pemikiran aqidah yang keliru dalam pemahaman keimanan serta nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala. Sementara pendirinya, Jahm bin Shofwan adalah orang yang mengadopsi bid’ah perkataan bahwa al Qur’an adalah makhluk, dan menolak serta mengingkari seluruh nama-nama dan sifat-sifat Allah dari al Ja’ad bin Dirham. Jahm dibunuh oleh Salim bin Ahwaz di Merv pada tahun 128 H setelah pemberontakannya yang gagal. [al Bidaayah wan Nihaayah, IX/ 324; Majmuu’ Fataawa, XII/502-503; al Milal, I/ 67-68]
  10. Asy'ariyah adalah sebuah firqah Islam yang dinisbatkan kepada Abul Hasan al Asy’ari (wafat di Baghdad tahun 324 H) yang berhijrah dari mazhab Mu’tazilah dan mendirikan sebuah mazhab baru. Walaupun sebenarnya Abul Hasan al Asy’ari telah bertaubat dan rujuk kembali kepada mazhab Salaf, tapi sebagian besar orang yang menisbatkan diri kepada Asy’ari masih berpegang pada pemahamannya yang keliru tersebut. Asy’ariyyah menggunakan argumentasi logika dan ilmu kalam dalam usaha mereka untuk membantah Mu’tazilah dan ahli filsafat demi untuk membela hakikat agama dan aqidah Islamiyah. Diantara tokoh-tokoh besar sekte Asy’ariyyah adalah Abu Bakr al Baqillany, Imam al Haramain al Juwainy, Abu Hamid al Ghazaly, dan Imam al Fakrurraazy. Semua tokoh yang disebutkan telah bertaubat dan kembali kepada manhaj Salaf di akhir hayatnya.  [Firaq Mu’aashirah, III/ 1205-1226, al Mausuu’ah al  Muyassarah, I/ 84-86]
  11. Maturidiyah, nisbat kepada Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al Maturidy (wafat tahun 333 H). sebuah firqah ahli Kalam yang juga menggunakan argumentasi akal dan filsafat untuk membantah lawan-lawan mereka dari kalangan Mu’tazilah, Jahmiyyah dan sekte-sekte kebatinan, demi untuk menetapkan dan membela aqidah Islamiyah menurut pemahaman mereka. Mazhab Maturidi masih tersebar luas di India dengan adanya madrasah-madrasah seperti Madrasah Deobond dan Darun Nadwah. [Firaq Mu’aashirah, III/ 1228-1242, al Mausuu’ah al Muyassarah, I/ 96-98]
  12. Al Mausuu’ah al Muyassarah, I/ 50.          
         

0 tanggapan:

Posting Komentar