Sponsors

06 Juni 2012

Al Wala' dan Al Bara'

Salah satu pondasi aqidah Islam yang sangat prinsip dalam agama ini adalah sebuah masalah aqidah yang berkait dengan loyalitas seorang muslim terhadap muslim yang lain dan juga sikap berlepas dirinya dari orang-orang kafir. Itulah yang dikenal sebagai aqidah al Wala' dan al Bara'. Pada tulisan ini, kami akan memberikan gambaran ringkas tentang aqidah tersebut agar seorang muslim memiliki pemahaman yang jelas dan benar dalam interaksi dan pergaulan kesehariannya dengan muslim yang lain atau dengan yang selain kaum muslimin.

******

A. Definisi Al Wala' dan Al Bara'

Al Wala' menurut bahasa adalah cinta dan pertolongan, serta kedekatan.

Menurut istilah, al Wala' adalah mencintai orang-orang mukmin karena keimanan mereka, membela dan menasehati mereka, membantu dan menyayangi mereka, dan yang semacamnya yang termasuk dalam hak-hak kaum mukminin.

Wala' yang seperti ini hanya berlaku untuk orang mukmin yang tidak terus-terusan berada dalam dosa-dosa besar. Adapun mukmin yang suka melakukan dosa-dosa besar seperti riba, ghibah dan yang semacamnya; maka dia dicintai sesuai dengan kadar ketaatannya  dan dibenci sesuai dengan kadar maksiat yang ada pada dirinya.



Al Bara' menurut bahasa adalah menjauh dari sesuatu dan berpisah serta berlepas diri darinya.

Menurut istilah, al Bara' adalah membenci musuh-musuh Allah dari kalangan orang-orang munafik dan orang-orang kafir; membenci dan menjauhi mereka, serta memerangi kaum kafir harbi diantara mereka sebatas kemampuan.


Hukum keduanya adalah wajib dan keduanya termasuk salah satu dari prinsip-prinsip keimanan yang sangat agung.

******

B. Berbagai Bentuk Al Wala' yang Disyariatkan dan Al Wala' yang Diharamkan

a. Al Wala' yang Disyariatkan
  1. Wajib mencintai seluruh orang-orang beriman di semua masa dan tempat dikarenakan iman dan ketaatan mereka kepada Allah.
  2. Wajib (fardhu kifayah) menolong saudara se-Islam yang teraniaya dimanapun dia berada, baik pertolongan dengan tangan, harta, tulisan, atau lisan sesuai dengan kebutuhan/ kemampuan.
  3. Wajib (fardhu kifayah) membantu hajat/kebutuhan seorang muslim baik dengan jiwa dan harta. Jika tidak ada yang yang bisa membantu kecuali satu orang, hukumnya wajib ‘ain atasnya.
  4. Ikut berduka dengan segala musibah yang menimpa kaum muslimin, dan bergembira dengan segala perkara yang baik untuk mereka.   
Dan masih banyak perkara-perkara lainnya yang tidak bisa disebutkan seluruhnya, sebagiannya fardhu ‘ain seperti tidak boehnya menyakiti seorang muslim, diantaranya ada yang fardhu kifayah seperti mengurus jenazah, dan diantaranya ada yang sunnah seperti menjenguk orang sakit, dan lain-lain.


b. Al Wala' yang Diharamkan (Lawan Kata Al Bara')

Yaitu berwala’ kepada musuh-musuh Allah baik itu para penyembah berhala, para penganut Budha, Majusi (Zoroaster), Yahudi, Nasrani, orang-orang munafik dan lain-lain. Al Wala’ yang seperti ini terbagi dua :

Pertama : Wala' yang kufur, yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Diantaranya yang terpenting :
  1. Memilih tinggal di negeri-negeri orang kafir karena ingin bersahabat dengan mereka, ridho dan memuji agama mereka, dan suka menyebut aib-aib kaum muslimin dihadapan mereka. Yang seperti ini kufur dan mengeluarkan pelakunya dari Islam (Lihat QS. 3:28)
  2. Mengambil kewarganegaraan sebuah negara kafir yang memerangi kaum muslimin, komitmen dengan segala hukum dan undang-undangnya termasuk didalamnya wajib militer, memerangi kaum muslimin, dan lain-lain. Mengambil kewarganegaraan yang seperti ini tidak diragukan lagi keharamannya. sebagian ulama menyebutnya kufur dan riddah (murtad) dari Islam dengan ijma’. Tetapi, semua ini, jika dilakukan dengan keinginan atau keridhaan seorang muslim. Apabila dia melakukannya karena tidak adanya negara Islam yang memungkinkan baginya untuk berhijrah kepadanya, atau tidak terdapat negeri kafir yang lebih baik keadaanya dari negeri tersebut untuk berpindah kepadanya, maka hukumnya adalah hukum orang yang terpaksa (mukrah), jika dia membencinya dengan hati.
  3. Tasyabbuh mutlak terhadap orang-orang kafir (menyerupai mereka secara mutlak), seperti menyerupai mereka dalam kebiasaannya dengan memakai pakaian mereka, meniru-niru gaya rambut mereka dan yang lainnya, tinggal bersama mereka, keluar masuk gereja mereka, atau menghadiri perayaan hari-hari raya mereka.
  4. Menyerupai mereka dalam perkara yang mengharuskan murtadnya orang tersebut dari Islam, seperti memakai salib dengan pengetahuannya bahwa hal tersebut adalah simbol Nasrani.
  5. Mengunjungi tempat ibadah mereka dengan keyakinan bahwa kunjungan tersebut  adalah bentuk taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah.
  6. Mengajak kepada penyatuan seluruh agama atau pendekatan antar agama. Siapa yang mengatakan bahwa agama selain Islam adalah agama yang benar dan mungkin untuk didekatkan dengan Islam, atau keduanya adalah agama yang satu, maka orang tersebut kafir dan murtad.
  7. Membantu orang-orang kafir menyerang kaum muslimin; baik itu dengan berperang bersama mereka, atau membantu dengan senjata dan harta, atau menjadi mata-mata mereka, dan lain-lain.[1]      
Untuk kasus yang terakhir ini, keadaannya dibagi kepada dua kondisi :
  • Membantu mereka dengan berbagai bentuk bantuan yang dilandasi kecintaan terhadap mereka, dan menginginkan kemenangan mereka atas kaum muslimin. Yang seperti ini kufur dan riddah.
  • Membantu mereka dengan berbagai bentuk bantuan, akan tetapi hal tersebut dilandasi oleh kepentingan pribadi, ketakutan, atau permusuhan dalam urusan duniawi antara dirinya dan orang muslim yang ingin dia perangi dengan bantuan orang-orang kafir. Bantuan yang seperti ini diharamkan, termasuk dosa-dosa besar, tetapi bukan kekufuran yang mengeluarkan dari Islam. Diantara dalilnya adalah apa yang disebutkan oleh Imam at Thahawy tentang ijma ulama bahwa seorang mata-mata muslim yang bekerja untuk orang kafir tidak boleh dibunuh. Konsekuensinya adalah orang tersebut tidak murtad [2]. Yang menjadi landasan ijma’ ini adalah kisah Hathib bin Abi Balta’ah dalam Penaklukan Makkah. Hathib menulis surat kepada musyrikin Makkah memberitahukan mereka tentang persiapan perang yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menyerang Makkah. Sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah merahasiakan hal tersebut agar Quraisy tidak mengadakan persiapan untuk perang. Yang menjadi sebab pengkhianatan Hathib tersebut adalah maslahat pribadinya [3]. Walaupun demikian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menghukuminya murtad atau menegakkan hukuman had riddah terhadapnya [4]. Ini semua menunjukkan bahwa perbuatannya tersebut tidak termasuk kekufuran yang mengeluarkan dari agama. [5] 

Kedua : Wala' yang diharamkan, tapi tidak sampai pada level kekufuran, diantaranya :
  1. Menyayangi orang kafir dan menjadikannya sebagai kawan dekat (Lihat QS. 58 : 22, QS. 60 : 4). Wajib bagi setiap muslim membenci seluruh orang kafir dan musyrik. Karena orang-orang kafir adalah musuh-musuh Allah dan mereka telah menantangnya dengan kemaksiatan yang terbesar dengan menjadikan sekutu baginya dalam ibadah, mendakwakan bahwa Dia memiliki istri atau anak, dan berbagai macam kekurangan lainnya yang tidak layak bagi-Nya.
  2. Berdomisili tetap di negeri-negeri kafir. Tidak boleh seorang muslim berpindah ke negeri kafir untuk menetap atau mengambil kewarganegaraannya walaupun dia mampu menampakkan syiar-syiar agamanya kecuali dalam keadaan darurat. Bila seorang kafir masuk Islam dan tidak mampu menampakkan syiar agamanya dan dia mampu untuk berhijrah, maka dia wajib berhijrah ke negeri-negeri Islam dengan ijma’ ulama. Tidak boleh dia menetap di negerinya tersebut kecuali dalam keadaan yang terpaksa (QS. 4 : 97, 98). Bila dia bebas menjalankan agamanya, maka hukum hijrahnya mustahab (dianjurkan). Dia boleh tetap tinggal di negerinya. Bahkan jika ada maslahat syar’i, sangat dianjurkan baginya untuk tetap tinggal di negerinya, seperti untuk berdakwah dan lain-lain.
  3. Bepergian ke negeri kafir tanpa ada keperluan yang mendesak. Bila ada keperluan yang sangat mendesak, boleh bepergian ke negeri kafir dengan syarat-syarat berikut : (1) orang tersebut memahami urusan-urusan agamanya dengan baik, (2) dia berada dalam keadaan aman dari fitnah, baik berkenaan dengan perkara agama atau akhlak dan (3) dia mampu menampakkan dan menjalankan syi’ar agamanya. [6]
  4. Ikut berpartisipasi dalam perayaan hari-hari besar keagamaan mereka. Yang seperti ini haram hukumnya dengan ijma’. Demikian juga diharamkan mengucapkan selamat kepada mereka atas perayaan-perayaan keagamaan tersebut.
  5. Bertasyabbuh (menyerupai) mereka dalam perkara-perkara khusus yang menjadi keistimewaan dan ciri khas mereka, baik dalam ibadah, tradisi, etika ataupun mode, baik sesuatu yang asalnya mubah dalam agama kita atau diharamkan.
  6. Membiarkan mereka menampakkan syiar-syiar agamanya di tengah-tengah kaum muslimin.
  7. Mengambil orang-orang kafir sebagai orang kepercayaan, yang dipercayakan untuk mengetahui rahasia-rahasia kaum muslimin, diajak berdiskusi dalam perkara-perkara khusus pribadinya atau kaum muslimin, dan lain-lain. Karena orang kafir adalah musuh bagi seorang muslim (Lihat QS. 3 : 118-120). Dikecualikan dari hal ini adalah perkara yang sangat dibutuhkan oleh seorang muslim selama dia aman dari keburukan orang kafir tersebut.
  8. Tinggal bersama orang kafir, walaupun orang tersebut adalah kerabat atau teman dekatnya. Tidak boleh juga tinggal bersamanya untuk sebuah keperluan duniawi seperti belajar bahasanya, berdagang, dan lain-lain. Tidak boleh berkunjung kepadanya untuk sekedar bersantai atau bermain dan lain-lain. Demikian juga tidak boleh mengundangnya ke rumah seorang muslim untuk perkara-perkara tersebut. Karena ini termasuk wala’ terhadap mereka. Adapun jika dia berkunjung karena jalinan kekerabatan atau tetangga, maka hal ini dibolehkan. Demikian juga jika seorang muslim menziarahinya atau memintanya untuk berkunjung untuk sebuah keperluan yang syar’i, untuk mengajaknya kepada Islam dan lain-lain.   
******

C. Perkara-Perkara Yang Dibolehkan Terhadap Orang-Orang Kafir dan Tidak Termasuk Wala' yang Haram

a. Perkara yang Wajib bagi Kaum Muslimin terhadap Orang-Orang Kafir
  1. Melindungi ahli dzimmah dan musta’min (orang yang mendapat perlindungan dari seorang muslim) selama mereka berada di negeri-negeri Islam, dan melindungi musta’min jika dia keluar dari negeri Islam sampai ke tempat amannya (Lihat QS. 10 : 6)
  2. Bersikap adil dalam menghukumi mereka, baik antara mereka dengan kaum muslimin atau antara sesama mereka. (QS. 5 : 8)
  3. Mendakwahi mereka kepada Islam, karena hukumnya adalah fardhu kifayah.
  4. Haram bagi setiap muslim bersikap aniaya terhadap orang kafir yang selain kafir harby, baik dengan memukul, membunuh, dan lain-lain.
  5. Haram hukumnya menipu seorang kafir yang bukan kafir harby dalam jual beli, atau mengambil sesuatu dari harta mereka tanpa hak, dan wajib bagi setiap muslim menunaikan amanat-amanat mereka.
  6. Haram bagi seorang muslim menyakiti seorang kafir yang bukan kafir harby dengan perkataan, dan haram hukumnya berdusta kepada mereka. Bahkan selayaknya berkata lemah lembut terhadap mereka, berbicara kepada mereka dengan segala bentuk kemuliaan akhlak tanpa harus menampakkan kecintaan terhadap mereka atau karena kehinaan.
  7. Haram hukumnya memaksa orang-orang Yahudi, Kristen atau Majusi untuk berpindah agama. (QS. 2 : 256)
  8. Wajib berbuat baik terhadap tetangga yang non muslim. Sangat dianjurkan bersedekah kepadanya jika dia seorang yang fakir, memberi hadiah, atau menasehatinya dalam hal yang bermanfaat untuknya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : “Senantiasa Jibril berwasiat kepadaku tentang tetangga hingga aku mengira dia akan menjadikan hak waris bagi tetangga” (Hadits Muttafaq ‘alaihi)
  9. Wajib atas muslim membalas salam orang kafir dengan jawaban :”Wa’alaikum”. Namun tidak boleh mendahuluinya memberi salam. Dibolehkan seorang muslim bersikap lembut terhadap orang kafir, memanggilnya dengan kuniyahnya, bertanya tentang keadaanya dan keadaan anak-anaknya, memberi selamat atas kelahiran anaknya, memulainya dengan ucapan ‘selamat’ dan lain-lain jika ada maslahat syar’i, agar dia tertarik untuk masuk Islam atau tertarik kepada dakwah Islam dan mau mendengarkan ajarannya, atau padanya ada maslahat bagi seorang muslim untuk menolak keburukannya atau mengambil maslahat yang mubah. Demikian juga dibolehkan mengucapkan bela sungkawa terhadap kematian seorang kafir jika dia melihat padanya ada sebuah maslahat syar’i, tapi tidak boleh mendoakan kebaikan dan ampunan untuk si mayit.        
Secara umum semua kebaikan dalam ucapan dan perbuatan boleh dilakukan selama itu bukan bentuk kehinaan bagi seorang muslim dan terdapat padanya maslahat syar’i. Dalil semua ini adalah Firman Allah dalam Surat Ali Imran ayat 28.
 

b. Perkara yang Mubah dalam Interaksi Seorang Muslim terhadap Orang Kafir
  1. Dibolehkan mempekerjakan atau menyewa mereka dalam pekerjaan yang tidak ada kekuasaannya atas orang-orang muslim. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyewa Abdullah bin Uraiqith ketika hijrah, dan mempekerjakan Yahudi Khaibar untuk mengolah tanah-tanah mereka dengan perjanjian mereka mendapatkan separuh dari hasilnya.
  2. Dianjurkan berbuat baik terhadap orang kafir yang membutuhkan pertolongan dengan keumuman dalil :”Berbuat baiklah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. (Terjemah QS. 2  : 195)
  3. Dibolehkan menjalin silaturahim dengan kerabat yang kafir seperti orang tua atau saudara dengan memberi hadiah, berziarah, dan lain-lain. (Lihat QS. 17 : 26, QS. 31 : 15)
  4. Dibolehkan berbuat baik kepada mereka dengan memberi hadiah atau yang lainnya untuk menarik mereka ke dalam Islam, atau mencegah keburukan mereka, atau membalas kebaikan yang mereka lakukan, dan lain-lainnya yang termasuk maslahat syar’i. (QS. 60:8)
  5. Dianjurkan untuk memuliakannya disaat bertamu kepada seorang muslim, sebagaimana boleh seorang muslim bertamu kepada orang kafir. Namun tidak boleh seorang muslim memenuhi undangan seorang kafir kecuali untuk sebuah maslahat.
  6. Dibolehkan makan bersama mereka disebuah perjamuan yang tidak direncanakan sebelumnya, tanpa harus menjadikannya sebagai sahabat atau teman duduk. Boleh makan bersama mereka di sebuah resepsi umum atau yang tidak direncanakan sebelumnya, makan bersama pembantunya yang kafir, atau orang kafir tersebut dalam keadaan bertamu, atau muslim tersebut yang bertamu kepadanya tanpa harus bertujuan menumbuhkan sikap kasih sayang.
  7. Dibolehkan berinteraksi dengan mereka dalam perkara-perkara duniawi yang hukumnya mubah dalam Islam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun telah berjual beli dengan mereka. Dibolehkan pula belajar dari mereka hal-hal yang bisa bermanfaat bagi kaum muslimin dalam perkara duniawi. Bahkan terkadang hal tersebut bisa menjadi suatu hal yang sangat dianjurkan atau menjadi sebuah kewajiban.
  8. Dibolehkan khusus bagi laki-laki muslim menikahi wanita Ahli Kitab jika wanita itu adalah seorang wanita yang menjaga kesuciannya, dan muslim tersebut aman dari keburukan wanita Kitabiyah tadi terhadap agama, jiwa dan anak-anaknya. (QS. 5 : 5). Adapun wanita-wanita kafir yang selain Ahli Kitab diharamkan untuk dinikahi. (QS. 2 : 221). Bila hal itu terjadi, maka nikahnya tidak sah dengan ijma’ ulama. Demikian juga seorang muslimah tidak boleh dinikahi oleh orang kafir Ahli Kitab atau yang lainnya dengan ijma’ kaum muslimin.
  9. Dibolehkan bagi kaum muslimin meminta pertolongan orang-orang kafir untuk melawan serangan musuh. Hal tersebut dibolehkan dengan dua syarat : (1) dalam keadaan yang sangat terpaksa, dan (2) aman dari makar dan keburukan mereka.
  10. Seorang muslim boleh pergi kepada seorang dokter kafir untuk berobat jika dokternya seorang yang terpercaya.
  11. Dibolehkan menyerahkan zakat kepada muallaf yang dibujuk hatinya dari kalangan orang-orang kafir, (QS. 9 : 60)
  12. Seorang muslim dibolehkan berserikat dengan orang kafir dalam perdagangan, tetapi dengan syarat muslim tersebut yang memegang peranan atau menjadi pengawasnya agar tidak terjatuh kepada hal-hal yang diharamkan.
  13. Boleh menerima hadiah dari seorang kafir selama hal tersebut bukan dalam bentuk penghinaan terhadap muslim atau bentuk loyalitas muslim tersebut terhadap orang kafir.
  14. Seorang muslim boleh bekerja pada seorang kafir, atau bekerja pada sebuah pekerjaan yang dipimpin oleh orang-orang kafir. Akan tetapi tidak boleh dia bekerja untuk berkhidmat bagi kepentingan pribadi orang kafir tersebut, karena yang demikian termasuk menghinakan diri dihadapan orang kafir.             

Wallahu a'lam.

====================

Footnotes :
  1. Berkata Syaikh Abdurrahman as Sa’di dalam tafsir surat al Mumtahanah ayat 9 : ”Kezalimannya itu terjadi sesuai dengan loyalitasnya (at tawalliy). Bila loyalitasnya itu sebuah loyalitas yang mutlak, maka ini adalah sebuah kekufuran yang mengeluarkan dari Islam…”.
  2. Al Hafidhz Ibnu Hajar menukil dalam Fathul Bary XII/310, dari Imam ath Thahawy bahwa beliau menyebutkan ijma’ tentang seorang muslim yang menjadi mata-mata musuh tidak dihalalkan darahnya –yaitu tidak ditegakkan atasnya hukuman had riddah, atau dibunuh sebagai hukuman (ta’zir). Demikian juga Imam al Qurthuby dalam al Mufhim III/47, VII/440-442, al Qadhi ‘Iyadh dalam Ikmaal al Mu’lim VI/71, VII/539, Ibnu al Mulaqqin dalam al I’laam X/322, dan al Hafidz dalam al Fath XII/310 menyebutkan pendapat tersebut dari jumhur ulama. Mereka juga menyebutkan bahwa sebagian ulama memandang bolehnya orang tersebut dibunuh sebagai hukuman (ta’zir) bukan karena murtad.
  3. Berkata Ibnul ‘Araby dalam tafsir permulaan surat al Mumtahanah : ”Siapa yang mengetahui banyak dari rahasia-rahasia kaum muslimin, kemudian dia mengingatkan dan memberitahukannya kepada musuh mereka, maka dia tidak menjadi kafir dengan perkara tersebut jika perbuatannya itu dilandasi oleh tujuan-tujuan duniawi sementara aqidahnya tentang hal ini masih baik. Sebagaimana yang dilakukan Hathib bin Abi Balta’ah ketika dia memaksudkan hal itu untuk mencari pertolongan (bagi keluarganya) dan tidak meniatkan murtad dari agama”. Demikian juga yang disebutkan Abu Abdillah al Qurthuby dalam tafsirnya.
  4. Berkata Abul Abbas al Qurthuby dalam al Mufhim VI/442 dalam syarahnya tentang kisah Hathib : ”Diantara faedah fiqh yang diambil dari kisah ini adalah : melakukan dosa besar tidak menyebabkan kekufuran”. Demikian juga perkataan al Qadhi ‘Iyadh dalam Ikmaal al Mu’lim VII/395 : ”(Diantara faedah) dalam hadits ini adalah : memata-matai (kaum muslimin) tidak mengeluarkan dari keimanan”.
  5. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Majmuu’ Fataawaa VII/523) : ”Terkadang terjadi pada diri seseorang mencintai mereka (orang-orang kafir) dikarenakan oleh hubungan kekerabatan atau kebutuhan. Maka ini menjadi sebuah dosa yang mengurangi keimanan, dan tidak menjadikannya kafir. Sebagaimana yang terjadi pada Hathib ketika dia menulis kepada orang-orang musyrik sebagian rahasia Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu Allah menurunkan ayat tentang hal tersebut –artinya- : 'Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad) karena rasa kasih sayang …'. [Terjemah al Mumtahanah : 1]. Sebagaimana juga yang terjadi pada Sa’ad bin Ubadah ketika dia membela Ibnu Ubay dalam kasus kisah dusta (tentang Aisyah). Dia berkata kepada Sa’ad bin Mu’adz : 'Demi Allah, engkau tidak bisa membunuhnya dan tidak akan mampu membunuhnya!'. Berkata Aisyah tentang Sa’ad bin Ubadah: 'Sebelumnya dia adalah seorang yang shalih, namun terbawa oleh fanatisme (kesukuan)'. Dan karena syubhat yang seperti inilah Umar menyebut Hathib sebagai orang munafik (nifaq akbar). Umar menyebutnya munafik dengan sebuah ta’wil karena syubhat yang dilakukan Hathib”. 
  6. Diantara keperluan mendesak yang dibolehkannya seseorang bepergian ke negeri kafir adalah : bepergian untuk dakwah, berdagang, berobat, atau bepergian untuk berbagai kepentingan kaum muslimin di negeri tersebut seperti duta-duta pemerintahan Islam, dan juga untuk keperluan mempelajari suatu ilmu yang dibutuhkan kaum muslimin dan tidak didapatkan di negeri-negeri Islam. Adapun bepergian untuk keperluan liburan dan tamasya, hukumnya haram. 
====================

Sumber :

Tahdzîb Tashîl al Aqîdah al Islâmiyyah, oleh Syaikh Dr. Abdullah bin Abdul Aziz al Jibrin, hal. 211-242

0 tanggapan:

Posting Komentar