Sponsors

07 Juni 2012

Imam Syar'i Tidak Mesti Seorang Khalifah

Karena kejahilan terhadap ajaran agama, sebagian orang yang memiliki ghirah (semangat) untuk ber-Islam meyakini bahwa kepemimpinan kaum muslimin hanya boleh dipegang oleh satu orang saja yang disebut sebagai "khalifah", sebagaimana yang terjadi di masa Khulafa' Rasyidun.

Pemikiran seperti ini sering diributkan oleh sebagian kelompok yang memiliki visi untuk -menurut klaim mereka- mendirikan dan menegakkan khilafah atau menegakkan Syariat Islam. Sampai-sampai mereka tidak pernah mau mengakui pemerintahan-pemerintahan Islam yang ada saat ini dan menganggapnya sebagai pemerintah yang tidak sah dalam pandangan Syar'i. Anehnya, sebagian besar mereka juga hanya mampu berkoar-koar, tidak pernah memahami ajaran Islam yang sebenarnya dan akhirnya juga, mau tidak mau, harus hidup di bawah kekuasaan pemerintahan yang dianggapnya tidak sah bahkan murtad dalam pandangan sebagian mereka. Wallahul musta'an.

Idealnya, kaum muslimin harus berada dibawah sebuah kepemimpinan syar'i yang menerapkan hukum-hukum Allah dan mengayomi seluruh kepentingan Islam dan kaum muslimin. Hal ini adalah perkara yang pasti dan dituntut dalam ajaran Islam. Namun, itu bukan berarti kemudian kita harus berkutat dengan prinsip ini dan mengabaikan realita yang ada, dengan dalil-dalil aqli dan naqli yang sangat kuat, yang membolehkan adanya lebih dari satu imam bagi kaum muslimin di satu masa tertentu.

Berikut kami akan kutipkan perkataan para imam dan ulama Islam tentang persoalan ini. Semoga pembaca bisa memahami perkataan mereka dengan baik, dan hanya kepada Allah kami memohon petunjuk kepada jalan-Nya yang lurus.


*****

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu :

"Sunnah bagi kaum muslimin memiliki satu imam, sedangkan yang lainnya hanyalah sebagai wakil-wakilnya. Seandainya umat Islam mesti keluar dari keadaan yang demikian karena kemaksiatan sebagian penguasanya dan ketidakberdayaan atau karena persoalan lainnya, maka umat ini boleh memiliki lebih dari satu imam. Namun demikian, mereka tetap wajib menegakkan hukum dan menjaga hak-hak rakyatnya". [1]



Imam al 'Allamah Muhammad bin Isma'il al Amir ash Shan'ani rahimahullahu menerangkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, yaitu hadits :

من خرج من الطاعة وفارق الجماعة فمات ميتةً جاهليةً

"Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jamaah kemudian dia mati, maka matinya sebagaimana kematian orang di masa Jahiliyah". [2];

Beliau berkata :

"Yang dimaksud dengan ketaatan adalah ketaatan kepada khalifah yang telah disepakati. Berarti yang dimaksud khalifah disini adalah khalifah yang berada di tiap-tiap negeri, di saat manusia belum menyepakati seseorang untuk menjadi khalifah bagi seluruh negeri Islam. Pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah, bahkan penduduk tiap-tiap negeri mengurusi segala urusannya secara mandiri. Seandainya hadits ini dipahami bahwa khalifah disini adalah khalifah yang telah disepakati oleh seluruh kaum muslimin, maka sedikit sekali faedah yang dapat diambil dari hadits diatas". [3]

Dengan ini bisa kita pahami, bahwa siapa saja yang berkuasa di tiap-tiap negeri Islam pada masa sekarang, maka dia wajib ditaati dalam perkara yang ma'ruf. Sama saja entah dia bergelar sebagai raja, sultan, presiden, perdana menteri atau gelar-gelar lainnya. Karena yang menjadi inti persoalan adalah kekuasaannya yang berdaulat atas sebuah negeri kaum muslimin.



Berkata al Imam al 'Allamah Muhammad ibn Ali asy Syaukani rahimahullahu :

"Adapun setelah tersebarnya Islam, wilayahnya semakin luas dan semakin berjauhan jarak antara tiap daerah, maka telah dimaklumi bahwa beberapa negeri telah dikuasai oleh seorang imam (penguasa) atau raja, dan begitu pula di negeri lain. Dan (terkadang), kekuasaan sebagian mereka dalam perintah dan larangannya tidak memiliki pengaruh di negeri lain dan (di sebagian) negeri-negeri yang berada dalam kekuasaannya. Maka tidak mengapa jika terdapat beberapa penguasa atau raja (dalam satu masa), dan wajib bagi penduduk negeri yang diterapkan didalamnya perintah dan larangannya untuk  taat kepada setiap penguasa (yang berkuasa di negerinya) setelah berbai’at kepadanya.

Demikian juga keadaannya penguasa di negeri lain. Jika datang orang yang memberontak terhadapnya di negeri yang telah tegak kekuasaannya dan telah dibai’at oleh penduduknya, maka hukuman bagi pemberontak tersebut adalah hukuman mati bila tidak mau bertaubat. Dan tidak wajib bagi penduduk di negeri lain untuk mentaatinya atau masuk dalam kekuasaannya disebabkan oleh jarak yang jauh.

Karena terkadang tidak sampai berita tentang penguasa atau raja ke tempat-tempat yang jauh, sehingga tidak diketahui siapa yang masih berkuasa atau yang telah wafat. Maka pembebanan untuk taat dengan keadaan yang seperti ini adalah pembebanan yang diluar kemampuan, dan perkara ini telah diketahui oleh siapa saja yang memiliki pengetahuan tentang keadaan manusia dan negeri-negeri.

Camkanlah ini karena sesungguhnya inilah yang paling sesuai dengan kaedah-kaedah Syari’at, dan sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh dalil. Tinggalkanlah olehmu setiap ucapan yang menyelisihinya. Karena perbedaan antara keadaan kekuasaan negeri-negeri Islam di permulaan Islam dengan keadaannya di masa sekarang lebih jelas daripada matahari di siang bolong.

Siapa yang mengingkari perkara ini, maka dia adalah pembangkang yang tidak berhak diajak berbicara dengan hujjah, karena sungguh dia tidak berakal!!”. [4]



Dan berkata Syaikhul Islam Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu :

"Para imam dari setiap mazhab telah bersepakat bahwa siapa saja yang berkuasa atas suatu negeri atau beberapa negeri, maka ia memiliki hukum sebagai imam (penguasa) dalam segala perkara. Jika tidak demikian halnya, maka dunia ini tidak akan pernah tegak. Karena manusia sejak masa yang panjang sebelum Imam Ahmad hingga masa kita sekarang tidak pernah bersatu dibawah kepemimpinan seorang imam. Dan mereka tidak pernah mengetahui ada seorang pun dari para ulama yang pernah menyebutkan bahwa suatu hukum tidak akan sah kecuali dengan adanya seorang al-Imâm al A’dzham (Khalifah)”. [5]


*****


Apa yang disebutkan oleh para imam tersebut memiliki realita yang sangat jelas bahkan di masa ketika para Sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam masih hidup. Ketika Abdullah bin az Zubair radhiyallahu 'anhuma mendakwakan dirinya sebagai khalifah di Makkah dan dibaiat oleh beberapa negeri Islam, Abdul Malik bin Marwan kembali membangkitkan Khilafah Bani Umayyah yang sempat vakum sepeninggal Mu'awiyah bin Yazid bin Mu'awiyah. Jadilah umat Islam di saat itu memiliki dua khalifah yang berbeda dan saling bersaing memperebutkan kekuasaan.

Kondisi seperti ini juga terjadi ketika berdiri Kerajaan Fathimiyyah (Bani Ubaid) di Mesir yang mendakwakan khilafah, sementara umat Islam juga masih memiliki Khilafah Abbasiyah yang berkuasa di Baghdad dan juga Khilafah Bani Umayyah di Andalusia (Spanyol).


*****

Dengan berbagai kutipan dan realita yang terjadi di masa Shahabat dan masa para ulama yang telah lewat, menjadi sangat nyata bagi orang yang berakal bahwa imam atau penguasa muslim yang lebih dari satu untuk beberapa negeri Islam adalah boleh dalam kondisi darurat.

Keberadaan imam (penguasa) yang lebih dari satu itu sah dalam pandangan syar'i, sebagaimana sahnya al Imam al A'dzham (khalifah) pada masanya. Ia berhak menegakkan hukum, berhak untuk didengar dan ditaati, serta haram hukumnya memberontak terhadapnya.

Wallahul musta'an


==============


Footnotes :

[1] Majmû Fatâwâ Ibn Taimiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, XXXV/175-176

[2] HR. Muslim dalam ash Shahîh, Kitab al Imârah

[3] Subul as Salâm al Mûshilah ilâ Bulûgh al Marâm, Imam Ash-Shan'ani, III/499

[4] as Sail al Jarrâr al Mutadaffiq ‘alâ Hadâ’iq al Azhâr, Imam asy Syaukani, IV/ 512

[5] ad Durar as Sunniyyah, kumpulan beberapa ulama Nejd, IX/ 5

  

0 tanggapan:

Posting Komentar