Sponsors

28 Juni 2012

Bid'ah Hasanah menurut Imam Asy-Syafi'i rahimahullahu

Diantara syubhat yang sering dilontarkan untuk melegalkan "bid’ah hasanah" adalah perkataan Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i rahimahullahu. Imam Asy Syafi’i dikenal sebagai seorang imam yang sangat tinggi komitmennya terhadap Sunnah, tapi anehnya, perkataan beliau sering sekali dijadikan hujjah oleh sebagian kalangan untuk berdalil akan adanya bid’ah hasanah tanpa mau memahami makna perkatannya tersebut.


Diriwayatkan dari Imam Asy Syafi’i rahimahullahu, bahwa beliau berkata :

"Bid’ah itu ada dua; bid’ah mahmûdah (terpuji/hasanah) dan bid’ah madzmûmah (tercela/dhalâlah). Yang sesuai dengan As-Sunnah adalah yang terpuji, dan yang menyalahi As-Sunnah itulah yang tercela". [Manâqib Asy Syâfi’i, oleh Imam Al Baihaqi, I/468, Al Bâ’its fi al Bida’ wa al Hawâdits, oleh Abu Syâmah, hal. 94]

Beliau juga berkata :

"Al-Muhdatsât (perkara-perkara baru) itu ada dua macam. Perkara baru yang diada-adakan yang menyelisihi Kitab, Sunnah, atsar atau ijma’ maka ini adalah bid’ah yang sesat. Dan apa yang diada-adakan dari kebaikan yang tidak menyelisihi sesuatu pun dari (keempat perkara) itu, maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela". [Fatâwâ Asy Syâthib, I/138]

******

Jawaban untuk syubhat ini adalah sebagai berikut :

Pertama

Kita tidak dibenarkan untuk mempertentangkan perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan perkataan orang lain, siapa pun orangnya. Perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hujjah (argumen) yang jelas bagi perkataan siapa saja dan bukan sebaliknya bahwa perkataan orang lain menjadi hujjah bagi perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata :

"Tidak ada seorang pun melainkan pendapatnya bisa diterima atau ditinggalkan, kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam". [Jâmi’ al ‘Ulûm wa al Hikam, VI/28]


Kedua

Jika kita memperhatikan perkataan Imam Asy Syafi’i dengan seksama, maka tidak diragukan bahwa yang beliau maksudkan sebagai "bid’ah mahmudah" adalah makna secara bahasa bukan makna menurut syara’ (istilah Syari’at). Dengan dalil, bahwa setiap bid’ah yang terjadi dalam agama maka sudah tentu dia akan bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah.

Imam Asy-Syafi’i dalam perkataanya itu telah membatasi kata "bid’ah mahmudah" dengan sesuatu yang tidak menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah. Sedangkan setiap bid’ah (perkara baru) yang terjadi dalam agama pasti menyelisihi firman Allah Ta’ala : 

اليوم أكملت لكم دينكم

"Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu". [QS. Al Maidah ayat 3]

Dan juga bertentangan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

من أحدث فى أمرنا هذا ما ليس منه فهو ردّ

"Barangsiapa mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami ini apa yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak". [HR. Al-Bukhary dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu ‘anha]

Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullahu berkata :

"Yang dimaksud Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu mengenai apa yang telah kami kemukakan, bahwasannya asal bid’ah yang tercela adalah apa-apa yang tidak mempunyai asal dalam Syari’at sebagai tempat kembali kepadanya. Inilah yang dimaksud dengan 'bid’ah' menurut Syari’at. Adapun 'bid’ah mahmudah'; yakni yang sesuai dengan As-Sunnah, yaitu apa-apa yang ada asalnya berupa sunnah sebagai tempat merujuk kepadanya. Dan yang dimaksud oleh beliau hanyalah merupakan pengertian ‘bid’ah’ secara bahasa, bukan menurut syara', sebab dia sesuai dengan As-Sunnah". [Shifah Ash Shofwah, II/256]


Ketiga

Yang diketahui dari Imam Asy Syafi’i rahimahullahu, bahwasannya beliau adalah orang yang sangat tinggi semangatnya dalam mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau sangat marah terhadap orang yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Disebutkan bahwa beliau pernah berkata saat ditanya tentang suatu persoalan : "Telah diriwayatkan dalam masalah ini, begini dan begini dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam".

Orang yang bertanya berkata kepada beliau : "Wahai Abu Abdillah, apakah engkau mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh hadits itu?"

Imam Asy Syafi’i terperanjat dan bergetar seraya berkata :
"Aneh orang ini… Bumi mana yang akan aku pijak dan langit mana lagi yang akan menaungiku jika aku meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suatu hadits lalu aku tidak berfatwa dengannya?! Tentu aku akan menjunjungnya diatas pendengaran dan pandanganku". [Siyar A’lâm an Nubalâ’, X/34]

Bagaimana mungkin kita akan berprasangka terhadap beliau yang telah kita kenal komitmennya terhadap Sunnah, bahwa beliau akan menyelisihi sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam;

كل بدعة ضلالة
"Setiap bid’ah adalah sesat".

Bahkan selayaknya bagi kita untuk membawa perkataan beliau kepada kemungkinan terbaik yang tidak ada pertentangan dengan ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam; yaitu dengan meyakini bahwa "bid’ah" yang beliau maksudkan adalah dalam makna bahasa.

******

Telah diriwayatkan dari Imam Asy Syafi'i rahimahullahu perkataan-perkataan berikut ini :

"Jika kalian mendapati di dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka berkatalah dengan Sunnah tersebut dan tinggalkanlah apa yang aku ucapkan". [Riwayat Al Harawi dalam "Dzamm al Kalâm", Al Khatib dalam "Al Ihtijâj bi asy Syâfi’i", dan Ibnu ‘Asakir dalam "Târikh Dimasyq"]

"Setiap hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka itu adalah perkataanku, walaupun kalian tidak pernah mendengarkannya dariku". [Riwayat Ibnu Abi Hatim dalam "Al Jarh wa at Ta’dîl"]


"Apa saja yang aku katakan lalu datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sesuatu yang shahih yang menyelisihi perkataanku, maka hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih didahulukan dan jangan kalian taklid kepadaku!" [Riwayat Ibnu Abi Hatim, Abu Nu’aim dalam "Hilyah al Auliyâ’" dan Ibnu ‘Asakir]

"Setiap masalah yang telah sah padanya kabar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menurut Ahli An Naql (Ahli hadits), yang menyelisihi apa yang aku katakan, maka sungguh aku rujuk dari pendapatku dalam hidupku ini dan setelah matiku nanti". [Riwayat Abu Nu’aim dan Al Harawi]


******

Nah, setelah memahami perkataan Imam Asy Syafi’i dan semua riwayat-riwayat yang shahih dari beliau untuk tidak taklid pada dirinya, apakah orang-orang yang mengaku sebagai “pengikut mazhab Syafi’i” masih mau mendahulukan perkataan Sang Imam diatas perkataan Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam?

 

Tidak ada pilihan lain bagi mereka selain mengatakan sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi yang mulia;

كل بدعة ضلالة وكل ضلالة فى النار
"Setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan di neraka".

Anehnya, sebagian mereka masih memaksakan kehendaknya bahwa makna "kullu" tidaklah mencakup semua bid’ah dengan menyebutkan beberapa dalil (atau tepatnya; "berdalih"), tapi mereka tidak mau menerapkan itu pada makna hadits yang selanjutnya; "Setiap kesesatan di neraka"…
 
Adakah kesesatan yang mengantarkan ke surga? Mengapa mereka bisa membagi bid’ah menjadi dua bagian dengan alasan bahwa kata "kullu" tidak mesti bermakna "semua/seluruh", tapi tidak menerapkan kaedah itu pada bagian kedua dari hadits tersebut? Wallahul musta'an. Semoga Allah menyelamatkan kita dari taklid dan kejahilan.


اللهم أرنا الحق حقًا وارزقنا اتباعه، وأرنا الباطل باطلاً وارزقنا اجتنابه


--------------------------------------

Sumber : Al Luma’ fi Ar Radd ‘alâ Muhassiniy Al Bida’, Abdul Qayyum bin Muhammad Asy Syaibani.

            

0 tanggapan:

Posting Komentar