Diantara syubhat yang sering dilontarkan untuk
melegalkan "bid’ah hasanah" adalah perkataan Imam Abu Abdillah Muhammad bin
Idris Asy Syafi’i rahimahullahu. Imam Asy Syafi’i dikenal sebagai
seorang imam yang sangat tinggi komitmennya terhadap Sunnah, tapi anehnya,
perkataan beliau sering sekali dijadikan hujjah oleh sebagian kalangan untuk
berdalil akan adanya bid’ah hasanah tanpa mau memahami makna perkatannya
tersebut.
Diriwayatkan dari Imam Asy Syafi’i rahimahullahu,
bahwa beliau berkata :
"Bid’ah itu ada dua; bid’ah mahmûdah
(terpuji/hasanah) dan bid’ah madzmûmah (tercela/dhalâlah).
Yang sesuai dengan As-Sunnah adalah yang terpuji, dan yang menyalahi As-Sunnah
itulah yang tercela". [Manâqib Asy Syâfi’i, oleh Imam Al Baihaqi, I/468,
Al Bâ’its fi al Bida’ wa al Hawâdits, oleh Abu Syâmah, hal. 94]
Beliau juga berkata :
"Al-Muhdatsât (perkara-perkara
baru) itu ada dua macam. Perkara baru yang diada-adakan yang menyelisihi Kitab,
Sunnah, atsar atau ijma’ maka ini adalah bid’ah yang sesat. Dan apa yang
diada-adakan dari kebaikan yang tidak menyelisihi sesuatu pun dari (keempat
perkara) itu, maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela". [Fatâwâ Asy
Syâthib, I/138]
******
Jawaban untuk syubhat ini adalah sebagai berikut :
Pertama
Kita tidak dibenarkan untuk mempertentangkan
perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan perkataan orang
lain, siapa pun orangnya. Perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
adalah hujjah (argumen) yang jelas bagi perkataan siapa saja dan bukan
sebaliknya bahwa perkataan orang lain menjadi hujjah bagi perkataan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam.
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma
berkata :
"Tidak ada seorang pun melainkan pendapatnya bisa
diterima atau ditinggalkan, kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam".
[Jâmi’ al ‘Ulûm wa al Hikam, VI/28]
Kedua
Jika kita memperhatikan perkataan Imam Asy
Syafi’i dengan seksama, maka tidak diragukan bahwa yang beliau maksudkan
sebagai "bid’ah mahmudah" adalah makna secara bahasa bukan makna menurut syara’
(istilah Syari’at). Dengan dalil, bahwa setiap bid’ah yang terjadi dalam agama
maka sudah tentu dia akan bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah.
Imam Asy-Syafi’i dalam perkataanya itu telah
membatasi kata "bid’ah mahmudah" dengan sesuatu yang tidak menyelisihi Al-Kitab
dan As-Sunnah. Sedangkan setiap bid’ah (perkara baru) yang terjadi dalam agama
pasti menyelisihi firman Allah Ta’ala :
اليوم أكملت لكم دينكم
"Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu
agamamu". [QS. Al Maidah ayat 3]
Dan juga bertentangan dengan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam :
من أحدث فى أمرنا هذا ما ليس منه فهو ردّ
"Barangsiapa mengada-adakan sesuatu yang baru
dalam urusan (agama) kami ini apa yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak".
[HR. Al-Bukhary dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu ‘anha]
Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullahu
berkata :
"Yang dimaksud Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
mengenai apa yang telah kami kemukakan, bahwasannya asal bid’ah yang tercela
adalah apa-apa yang tidak mempunyai asal dalam Syari’at sebagai tempat kembali
kepadanya. Inilah yang dimaksud dengan 'bid’ah' menurut Syari’at. Adapun 'bid’ah mahmudah'; yakni yang sesuai dengan As-Sunnah, yaitu apa-apa yang ada
asalnya berupa sunnah sebagai tempat merujuk kepadanya. Dan yang dimaksud oleh
beliau hanyalah merupakan pengertian ‘bid’ah’ secara bahasa, bukan menurut
syara', sebab dia sesuai dengan As-Sunnah". [Shifah Ash Shofwah, II/256]
Ketiga
Yang
diketahui dari Imam Asy Syafi’i rahimahullahu, bahwasannya beliau adalah
orang yang sangat tinggi semangatnya dalam mengikuti Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dan beliau sangat marah terhadap orang yang menolak hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Disebutkan bahwa beliau pernah
berkata saat ditanya tentang suatu persoalan : "Telah diriwayatkan dalam
masalah ini, begini dan begini dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam".
Orang
yang bertanya berkata kepada beliau : "Wahai Abu Abdillah, apakah engkau
mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh hadits itu?"
Imam
Asy Syafi’i terperanjat dan bergetar seraya berkata :
"Aneh
orang ini… Bumi mana yang akan aku pijak dan langit mana lagi yang akan
menaungiku jika aku meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
suatu hadits lalu aku tidak berfatwa dengannya?! Tentu aku akan menjunjungnya
diatas pendengaran dan pandanganku". [Siyar A’lâm an Nubalâ’, X/34]
Bagaimana
mungkin kita akan berprasangka terhadap beliau yang telah kita kenal
komitmennya terhadap Sunnah, bahwa beliau akan menyelisihi sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam;
كل بدعة ضلالة
"Setiap
bid’ah adalah sesat".
Bahkan
selayaknya bagi kita untuk membawa perkataan beliau kepada kemungkinan terbaik
yang tidak ada pertentangan dengan ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam; yaitu dengan meyakini bahwa "bid’ah" yang beliau maksudkan adalah
dalam makna bahasa.
******
Telah diriwayatkan dari Imam Asy Syafi'i rahimahullahu perkataan-perkataan berikut ini :
"Jika
kalian mendapati di dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka berkatalah dengan Sunnah
tersebut dan tinggalkanlah apa yang aku ucapkan". [Riwayat Al Harawi dalam "Dzamm
al Kalâm", Al Khatib dalam "Al Ihtijâj bi asy Syâfi’i", dan Ibnu
‘Asakir dalam "Târikh Dimasyq"]
"Setiap
hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka itu adalah
perkataanku, walaupun kalian tidak pernah mendengarkannya dariku". [Riwayat
Ibnu Abi Hatim dalam "Al Jarh wa at Ta’dîl"]
"Apa
saja yang aku katakan lalu datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam sesuatu yang shahih yang menyelisihi perkataanku, maka hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih didahulukan dan jangan
kalian taklid kepadaku!" [Riwayat Ibnu Abi Hatim, Abu Nu’aim dalam "Hilyah al
Auliyâ’" dan Ibnu ‘Asakir]
"Setiap
masalah yang telah sah padanya kabar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam menurut Ahli An Naql (Ahli hadits), yang menyelisihi apa
yang aku katakan, maka sungguh aku rujuk dari pendapatku dalam hidupku ini dan
setelah matiku nanti". [Riwayat Abu Nu’aim dan Al Harawi]
******
Nah,
setelah memahami perkataan Imam Asy Syafi’i dan semua riwayat-riwayat yang
shahih dari beliau untuk tidak taklid pada dirinya, apakah orang-orang yang
mengaku sebagai “pengikut mazhab Syafi’i” masih mau mendahulukan perkataan Sang
Imam diatas perkataan Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam?
Tidak
ada pilihan lain bagi mereka selain mengatakan sebagaimana yang disabdakan oleh
Nabi yang mulia;
كل بدعة ضلالة وكل
ضلالة فى النار
"Setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan di neraka".
Anehnya,
sebagian mereka masih memaksakan kehendaknya bahwa makna "kullu" tidaklah
mencakup semua bid’ah dengan menyebutkan beberapa dalil (atau tepatnya; "berdalih"), tapi mereka tidak mau menerapkan itu pada makna hadits yang
selanjutnya; "Setiap kesesatan di neraka"…
Adakah kesesatan yang mengantarkan ke surga? Mengapa mereka bisa membagi bid’ah
menjadi dua bagian dengan alasan bahwa kata "kullu" tidak mesti bermakna "semua/seluruh", tapi tidak menerapkan kaedah itu pada bagian kedua dari hadits
tersebut? Wallahul musta'an. Semoga
Allah menyelamatkan kita dari taklid dan kejahilan.
--------------------------------------
Sumber : Al Luma’ fi Ar Radd ‘alâ Muhassiniy Al Bida’, Abdul
Qayyum bin Muhammad Asy Syaibani.
0 tanggapan:
Posting Komentar