27 Desember 2014
Al-Qur'an adalah Kalam Allah ﷻ
Al-Quran adalah manhaj ilahi yang abadi,
yang Dia turunkan untuk menjadi undang-undang penutup seluruh risalah,
agar petunjuk dan ajarannya cocok untuk setiap masa dan tempat, mencakup
seluruh aspek kehidupan. Allah Ta’ala berfirman,
إِنّ
هَذَا القُرْآنَ يَفْدِيْ لِلتِي هِيَ أقْوَمُ وَيُبَشّرُ المُؤْمِنِيْنَ
الذيْنَ يَعْمَلُوْنَ الصَالِحَاتِ أنّ لَهُمْ أجْرًا كَبِيْرًا
“Sesungguhnya al-Quran ini memberikan
petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira
kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal shalih bahwa bagi mereka
ada pahala yang besar.” (QS. Al-Isra’ ayat 9)
Selayaknya bagi seorang muslim yang membaca al-Quran untuk membacanya dengan tadabbur dan tafakkur, kemudian mengamalkannya.
كِتَابٌ أنْزَلْنَاهُ إلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكّرَ أولُوا الألْبَابِ
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami
turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan
ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai
pikiran.” (QS. Shad ayat 29)
Berikut adalah ringkasan tentang
definisi al-Quran dan ilmu-ilmunya, agar membantu memahami tujuan
diturunkannya al-Quran, memotivasi diri dalam menuntut ilmu, agar setiap
kita mengerti bahwa apa yang kita ketahui sangatlah sedikit dan
mengetahui bahwa tidaklah mudah menjadi ulama.
Al-Quran
Al-Quran adalah kalamullah yang merupakan mukjizat, diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan bahasa Arab, dengan perantaraan Jibril ‘alaihissalam,
yang dinukilkan kepada kita dengan riwayat yang mutawatir, membacanya
adalah ibadah, yang terkumpul diantara dua sampul mushaf, dimulai dengan
surat al-Fâtihah dan ditutup dengan surat an-Nâs.
Definisi tersebut memberikan penjelasan bahwa al-Quran adalah Kalam
(ucapan) Allah Ta’ala dan merupakan mukjizat yang tidak mungkin seorang
pun bisa mendatangkan yang sepertinya selain Allah. Al-Quran telah
diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melalui penyampaian wahyu, tidak dengan cara lainnya, dan wahyu itu disampaikan dengan perantaraan Jibril ‘alaihissalam. Al-Quran dinukil sampai kepada kita dengan jalan periwayatan yang qath’iy ats tsubût
(pasti dan kuat). Sekedar membacanya adalah ibadah. Seluruhnya
tepelihara diantara dua sampul mushaf, tidak ada sesuatupun yang hilang
atau berubah, namun hal itu tidak mencakup apa yang ada diantara dua
sampul mushaf dari pengantar-pengantar, daftar isi dan lain-lain, akan
tetapi hanya terbatas pada apa yang dimulai dengan surat al-Fatihah dan
berakhir dengan surat an-Nas.
23 Desember 2014
Mengapa Anda Tidak Boleh Mengucapkan Selamat Natal?
Seorang muslim yang memiliki kepedulian terhadap agamanya, selayaknya memahami persoalan ini dengan baik; mengapa kaum muslimin tidak dibenarkan mengucapkan selamat Natal kepada orang-orang Nasrani?
Setiap kali orang-orang Nasrani merayakan Natal, maka mereka sedang memperingati dan merayakan kelahiran Al-Masih Isa putra Maryam 'alaihissalam, yang mereka dakwakan sebagai Tuhan, atau anak Tuhan, atau salah satu dari tiga oknum.
Perkara ini jelas-jelas bertentangan dan berbenturan dengan aqidah tauhid yang menjadi prinsip utama dan sangat penting dalam ajaran Islam. Bahkan dia adalah segalanya dalam ajaran Islam, yang tidaklah diturunkan kitab-kitab, diutus para rasul, kecuali hanya untuk menyampaikan aqidah tersebut.
Ketika kita sebagai muslim mengucapkan selamat kepada mereka atas perayaan itu, atau saling bertukar kartu ucapan, SMS-an dan yang semacamnya, maka kita telah mengucapkan selamat atas kekufurannya kepada Allah Ta'ala, Rabb Yang Maha Mulia.
Ingatlah selalu firman Allah berikut ini tentang perkataan mereka,
وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا * لَقَدْ جِئْتُم شَيْئًا إِدًَّا * تَكَادُ السَمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْسشَقُّ الأرْضُ وَتَخِرُّ الجِبَالُ هَدًّا * أنْ دَعَوا لِلرَحْمَنِ وَلَدًا * وَمَا يَنْبَغِي لِلرَحْمَنِ أنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا * إِنْ كُلُّ مَن فِى السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ إِلاَّ آتِي الرَّحْمَنِ عَبْدًا * لَقَدْ أَحْصَاهُم وَعَدَّهُم عَدًّا * وَكُلُّهُم آتِيْهِ يَوْمَ القِيَامَةِ فَرْدًا
"Dan mereka berkata : 'Tuhan Yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak!' Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, bumi terbelah dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwakan bahwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan setiap mereka akan datang kepada Allah pada Hari Kiamat dengan sendiri-sendiri." (QS. Maryam ayat 88-95)
Tidaklah pantas kita mengucapkan selamat, sementara merekalah yang telah mencaci Allah Ta'ala dengan dakwaannya bahwa Allah memiliki anak.
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
قال الله : كذبني ابنُ آدمَ ولمْ يكن لهُ ذلك وشتمني ابنُ آدمَ ولم يكن له ذلك، فأما تكذيبه إياي فزعم أني لا أقدر أن أعيده كما كان، وأما شتمه إياي فقوله لي ولدٌ، فسبحاني أن أتخذ صاحبةً أو ولدًا
"Allah Ta'ala berfirman : Anak Adam telah mendustakan Aku dan tidak pantas baginya hal itu. Dan dia telah mencaci Aku dan tidak layak baginya hal itu. Pendustaannya terhadap-Ku adalah dakwaannya bahwa Aku tidak mampu untuk mengembalikannya sebagaimana semula. Adapun caciannya terhadap-Ku adalah perkataannya bahwa Aku memiliki anak. Maha Suci Aku dari mengambil seorang istri atau anak!" (HR. Al-Bukhary no. 4482 dari hadits Ibnu Abbas)
Untuk Anda yang masih mengucapkan selamat atas perayaan mereka; jika kita telah sampai pada keadaan seperti ini, maka bagaimana kita akan mengajak umat lain kepada agama kita yang lurus, sementara kita sendiri justru memberkati mereka dalam perayaannya dan ikut serta dengan mereka dalam berbagai perayaan keagamaan mereka dengan ucapan selamat, pemberian hadiah dan bahkan hadir dalam acara tersebut!!
Hari raya dalam setiap agama adalah sesuatu yang sangat istimewa yang membedakannya dari syariat dan ajaran-ajaran lain. Dia merupakan syiar terpenting dalam setiap agama. Berjalan seiring dengan mereka dalam perayaan tersebut hakikatnya adalah menyetujui mereka dalam syari'at kufur yang paling khusus dan paling prinsipnya. Yang seperti ini tidak diragukan akan mengantarkan kepada kekufuran dengan syarat-syaratnya. (Silahkan dibaca kita Iqtidha' ash-Shirat al-Mustaqim, I/528, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu)
Meremehkan persoalan ini justru akan mengeluarkan umat ini dari prinsip-prinsip dasar aqidahnya dan menghapuskan identitasnya sebagai seorang muslim. Akibatnya, generasi muda kita akan sangat mudah mengikuti mereka dalam keyakinan dasar mereka, apalagi dalam budaya dan gaya hidup mereka.
Jika persoalan (yang dianggap) sepele ini dibiarkan saja berlaku di kalangan kaum muslimin, maka itu akan membawa kepada perkara yang lebih besar. Jika perkara itu sudah menjadi sesuatu yang umum dan terkenal, maka orang-orang awam akan terlibat di dalamnya dan melupakan asal usulnya hingga menjadi sebuah kebiasaan dan bahkan menjadi hari besar mereka yang menandingi hari raya yang ditetapkan Allah Ta'ala.
Tidak perlu khawatirkan persoalan toleransi. Agama ini dan umatnya telah menjadi contoh terbaik dalam toleransi, kemudahan dan kebaikan akhlak mereka dalam berinteraksi dengan umat-umat lain diluar agama mereka. Tapi sayangnya, realita umat yang terbelakang dan kehinaan yang menimpanya akibat jauhnya mereka dari ajaran Allah telah menjadikan mereka melepaskan satu persatu prinsip-prinsip dasar aqidahnya demi untuk membuat ridha orang lain dan melupakan apa yang telah Allah turunkan semenjak 14 abad yang lalu,
وَلَن تَرْضىَ عَنْكَ اليَهُوْدُ وَلاَ النَصَارىَ حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُل إنَّ هُدىَ اللهِ هُوَ الهُدىَ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أهْوَاءَهُم بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ العِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللهِ مِن وَلِيًِّ وَلاَ نَصِيْرٍ
"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah : 'Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)'. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu." (QS. Al-Baqarah ayat 120).
Wallahul musta'an.
20 Desember 2014
Jagalah Diri Anda dari Kemurkaan Allah di Hari Perayaan Mereka
Diantara "bencana" besar yang menimpa kaum muslimin pada saat ini adalah hilangnya aqidah al-wala' dan al-bara' dengan jatuhnya begitu banyak orang dari umat ini, yang terlibat -secara langsung atau tidak langsung- dalam perayaan hari-hari besar keagamaan orang-orang kafir. Terkhusus dengan tradisi menyambut Natal dan Tahun Baru Masehi yang begitu semarak dirayakan dan disambut oleh banyak kalangan, sering dengan mengatasnamakan "toleransi".
Mengenakan atribut santa, mengucapkan selamat Natal, menghadiri perayaan "Natal Bersama", dan yang lebih semarak dari semua itu, yaitu perayaan pergantian tahun; adalah fenomena yang sudah sangat biasa di negeri kita ini.
Padahal, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sangat benci untuk bermirip-mirip dengan orang-orang Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam setiap urusan mereka. Sampai-sampai orang-orang Yahudi di Madinah mengatakan : "Muhammad tidak membiarkan sesuatu dari urusan kita melainkan dia akan menyelisihi kita dalam perkara tersebut!" (Diriwayatkan oleh Muslim dan Ashhabus Sunan).
Dan lihatlah pada hari ini bagaimana perhatian dan kepedulian sebagian besar umat ini terhadap perayaan-perayaan dan tradisi-tradisi orang-orang kafir tersebut. Mereka rela meninggalkan semua pekerjaan dan kesibukannya pada musim perayaan itu dan menjadikannya sebagai hari libur dan kegembiraan bersama keluarga, sahabat dan relasi bisnis. Sebagiannya bahkan tidak segan untuk memasang pohon natal dan menyiapkan makanan dan parcel untuk menyambutnya.
Yang seperti ini adalah pembenaran atas apa yang pernah disabdakan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَن قَبْلَكُم شِبْرًا بشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَتَبَعْتُمُوْهُم، قُلنَا : اليَهُودُ وَالنَصَارىَ؟ قَالَ: فَمَنْ؟
"Sungguh kalian akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga jika mereka masuk ke dalam lubang biawak, niscaya kalian pasti akan mengikuti mereka!" Kami bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah (yang engkau maksudkan mengikuti) orang-orang Yahudi dan Nasrani?" Beliau menjawab, "Siapa lagi?" (HR. Al-Bukhary).
Karenanya, tidak perlu heran jika para ulama menyebutkan haramnya berpartisipasi dalam perayaan hari besar keagamaan mereka walaupun hanya dengan sekedar mengucapkan selamat atas perayaan tersebut.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan dalam "Ahkam Ahli Dzimmah" (I/441-442), "Adapun mengucapkan selamat terhadap simbol-simbol kekufuran yang khusus, maka haram dengan kesepakatan (ulama). Seperti mengucapkan selamat atas hari-hari raya mereka dan puasa mereka, dengan mengatakan : hari raya yang diberkahi atasmu, atau berbahagialah dengan hari raya ini, dan yang semacamnya. Yang seperti ini jika pelakunya selamat dari kekafiran, maka perkara itu termasuk dalam hal-hal yang diharamkan. Hal itu setara dengan mengucapkan selamat atas sujudnya dia terhadap salib, bahkan perbuatan itu lebih buruk dosanya di sisi Allah dan lebih dimurkai daripada mengucapkan selamat atas meminum minuman keras, membunuh jiwa, menodai kemaluan yang diharamkan dan yang semacamnya. Sangat banyak dari kalangan orang yang tidak memiliki pemahaman agama yang jatuh dalam perkara ini dan dia tidak tahu buruknya perbuatan tersebut. Siapa yang mengucapkan selamat kepada seorang hamba karena maksiat atau bid'ah atau kekufuran yang dilakukannya, maka dia telah menyodorkan dirinya kepada murka dan kemarahan Allah. Dahulu orang-orang yang wara' dari para ulama menghindari ucapan selamat kepada orang-orang zalim dengan kekuasaan mereka dan orang-orang jahil dengan jabatan hakim, guru dan fatwa (yang diamanahkan padanya), demi untuk menjauhi murka Allah dan hilangnya wibawa orang-orang itu dalam pandangannya. Jika dia diuji dengan hal itu, maka perbuatannya semata-mata untuk menolak keburukan yang mungkin dia dapatkan dari mereka. Dia pun datang kepada mereka dan tidak mengucapkan kecuali kebaikan serta mendoakan untuk mereka hidayah dan keteguhan. Yang seperti ini tidak mengapa, wa bi_llahi at-taufiq."
Maka bagi siapa yang menginginkan keselamatan untuk diri dan kehormatannya, hendaknya dia menjaga diri dan keluarganya pada hari yang celaka itu, agar jangan sampai ikut serta bersama orang-orang kafir dalam perayaan mereka atau sekedar simbol-simbol perayaan mereka, agar dia mendapatkan rahmat Allah Ta'ala dan terhindar dari kemurkaanNya. Semoga Allah memaafkan segala kelalaian kita, dan berkenan mengembalikan umat ini kepada petunjukNya yang lurus. Amin.
14 Desember 2014
Haid dan Beberapa Permasalahannya
Haid atau
menstruasi adalah peluruhan dinding rahim yang terdiri dari darah dan
jaringan tubuh yang terjadi secara berkala pada setiap bulannya selama
usia produktif seorang wanita. Dengan kata lain, haid adalah suatu
proses pembersihan rahim terhadap pembuluh darah, kelenjar-kelenjar dan
sel-sel yang tidak terpakai karena tidak adanya pembuahan.
Sifat darahnya berwarna merah kehitaman, kental, bersifat panas dan memiliki aroma yang tidak sedap.
Haid merupakan ketetapan Allah yang Dia jadikan pada kaum wanita semenjak ibunda mereka, Hawwa’. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha,
إن هذا أمرٌ كتبه الله على بنات آدم
“Sesungguhnya haid ini adalah perkara yang telah Allah tetapkan atas anak-anak perempuan Adam…” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).
Batas Masa Haid
Ulama
berbeda pendapat tentang batas masa haid. Imam asy-Syafi’i dan Imam
Ahmad berpendapat bahwa batas minimal haid adalah sehari semalam.
Sementara maksimalnya menurut jumhur –Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad-
adalah 15 hari. Menurut mazhab Hanafiyah, minimalnya adalah 10 hari.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah memiliki pendapat lain dalam masalah ini. Beliau berpendapat bahwa
tidak ada batasan minimal atau maksimal yang disebutkan dalil dalam
batasan waktu haidnya seorang wanita. Masa haid tersebut kembali kepada
kebiasaan di masing-masing negeri. (Majmu’ Fatawa, XXI/623).
Karena
perbedaan ini, selayaknya setiap wanita harus berusaha maksimal untuk
mengenal kebiasaan dan kondisi haidnya. Dengan mengenali masa dan
karakteristik haidnya itulah seorang wanita mampu membedakannya dengan
darah-darah lainnya.
Datangnya
haid ditandai dengan keluarnya darah kehitaman, kental dan berbau di
waktu yang menjadi kebiasaan wanita tersebut untuk haid, dan selesai
dengan berhentinya darah dalam bentuk kering di vagina atau adanya
gumpalan atau lendir putih yang keluar dari jalan rahim. Keringnya darah
haid bisa dicek dengan memasukkan kapas putih di vagina. Jika kapas itu
bersih dan tidak terdapat bercak sedikit pun, maka wajib mandi dan
shalat.
Hukum Cairan Kekuningan dan Kekeruhan setelah Haid
Cairan
yang seperti ini jika didapatkan oleh seorang wanita setelah berhentinya
haid atau kering, maka itu tidak dianggap sebagai haid. Wanita itu
tetap dalam keadaan suci, wajib baginya shalat, puasa Ramadhan dan boleh
digauli oleh suaminya.
Berkata Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha,
كنا لا نعدّ الكدرة والصفرة بعد الطهر شيئًا
“Kami tidak menganggap kekeruhan dan cairan kekuningan setelah suci.” (HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan lain-lain).
Adapun jika cairan keruh atau kekuningan itu bersambung dengan haid maka itu masih dihitung sebagai haid.
Jika Darah Keluar lebih dari Kebiasaan?
Jika
–misalkan- seorang wanita kebiasaan haidnya selama 6 hari pada tiap
bulannya, kemudian pada satu bulan tertentu menjadi 7 hari atau lebih.
Dalam kasus seperti ini, apa yang mesti dilakukan wanita tersebut?
Kasus yang seperti tidak lepas dari dua keadaan;
- Wanita
tersebut mampu membedakan darah haidnya dengan darah lainnya. Jika
darahnya berwarna dan berbau seperti darah haidnya, maka dia tidak
shalat, puasa dan bersetubuh. Jika darahnya yang selain itu, maka dia
wajib mandi dan shalat.
- Jika dia
tidak bisa membedakan darahnya, maka menurut pendapat Ibnu Taimiyyah
yang telah kami sebutkan, wanita itu tetap dalam keadaan haid selama hal
itu tidak terjadi pada seluruh bulan, dan tidak ada indikasi bahwa
darah tersebut adalah darah istihadhah.
Jika Anda
memilih pendapat mayoritas ulama, maka masa haid tersebut kurang lebih
selama 15 hari. Jika telah melewati masanya, maka darahnya dihukumi
sebagai istihadhah.
Kami
sarankan untuk kasus seperti ini, hendaknya seorang wanita memperhatikan
dengan seksama darahnya yang dengannya dia mengetahui apakah darah itu
haid atau darah istihadhah. Jika kesulitan untuk hal itu, dia bisa
bertanya dan memeriksakannya kepada dokter.
Demikian
juga dalam kasus seorang wanita berada di masa haidnya kemudian darah
keluar –misalkan- dua hari, kemudian darahnya terputus di hari ketiga,
kemudian keluar lagi di hari keempat dan seterusnya. Dalam kasus ini, wallahu a’lam,
terputusnya haid pada masa haid normal tetap dianggap sebagai haid.
Yang menjadi patokan bagi berhentinya masa haidnya adalah dengan melihat
tanda bersihnya yaitu keringnya vagina atau keluarnya lendir putih.
Wallahu a’lam.
(Ditulis oleh Ustadz Taufiq Rahman, Lc)
——————————
Bahan bacaan :
- Jâmi’ Ahkâm an Nisâ’ oleh Syaikh Mustafa al-Adawi
- Majmû’ al Fatâwâ oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah
- Fatâwâ al Mar-ah oleh Syaikh Muhammad al-Utsaimin
09 Desember 2014
Perkara Ibadah Bersifat "Tauqifiyyah"
Satu hal penting yang banyak diabaikan oleh para pengamal bid'ah adalah : agama ini adalah milik Allah. Dialah yang berhak mengatur bagaimana seorang hamba mesti beribadah kepadaNya. Itulah sebuah "keistimewaan" yang menjadi hak mutlak milikNya, yang tidak dimiliki oleh yang selain Dia.
Jika manusia diberikan kebebasan untuk menetapkan sesuatu ibadah menurut logika atau perasaannya, maka rusaklah agama ini, dan tidak lagi berguna keyakinan kita bahwa Allah memiliki kekhususan dalam mengatur agama yang Dia turunkan untuk hamba-hambaNya.
Itulah yang disadari oleh para ulama kita, semoga Allah merahmati mereka, dan mereka pun membuatkan sebuah kaedah yang sangat penting dalam masalah ini, untuk menjadi pegangan kita dalam beribadah.
Salah satu kaedah yang disebutkan oleh para ulama dalam al-Qawa'id al-Fiqhiyyah adalah,
الأصل فى العبادات الحظر، فلا يُشرع منها إلا ما شرعه الله ورسوله
"Hukum asal dalam peribadatan adalah larangan. Maka tidak disyari'atkan darinya kecuali apa yang disyari'atkan Allah dan rasul-Nya."
Maknanya, bahwa seluruh bentuk ibadah bersifat "tauqifiyyah", yaitu hanya berlandaskan dalil, dan tidak ada lowongan akal untuk menetapkannya. Maka, siapa yang membuat satu ibadah yang tidak ditunjukkan oleh Kitab Allah dan sunnah rasul-Nya, maka "ibadah" itu adalah bid'ah yang tertolak.
Semua bentuk bid'ah tertolak karena Allah Ta'ala berfirman,
أمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَالَمْ يَأذَنْ بِهِ اللهُ
"Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyari'atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?!" (QS. Asy-Syura ayat 21).
Dan dalam kitab ash-Shahihain, dari Aisyah radhiyallahu 'anha bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو ردٌّ
"Barangsiapa yang mengerjakan satu amalan yang tidak ada perintah kami padanya, maka dia tertolak."
Demikianlah dalam urusan ibadah. Adapun untuk urusan-urusan duniawi, maka para ulama membuatkan kaedah,
الأصل فى العادات الإباحة، فلا يُمنع منها إلا ما حرمه الله ورسوله
"Hukum asal dalam adat kebiasaan adalah pembolehan. Tidak ada yang dilarang darinya kecuali apa yang diharamkan Allah dan rasul-Nya."
"Adat" dalam kaedah tersebut adalah segala apa yang Allah anugerahkan dari urusan-urusan dunia, baik itu yang berkenaan dengan makanan, minuman, kendaraan, pekerjaan, interaksi, penemuan dan lain-lain; semuanya hukum asalnya adalah mubah dan halal kecuali apa yang Allah dan rasul-Nya haramkan dari perkara-perkara yang bahaya dan keburukannya akan kembali dan berpengaruh pada agama, jasad, kehormatan, nasab (garis keturunan) dan harta.
Kaedah ini adalah sebuah prinsip yang sangat agung, yang menunjukkan bahwa dalam Islam terdapat toleransi dan kelapangan.
06 Desember 2014
Dakwah Tauhid akan Menyatukan Hati
Syaikh Abdul Aziz Alu asy-Syaikh, Mufti Agung Kerajaan Saudi Arabia ditanya :
Bagaimana pendapat Anda tentang orang yang mengatakan : "Kita telah mengabaikan manusia dengan tauhid"?
Beliau menjawab hafidzhahullahu :
Ungkapan seperti itu adalah keliru. Tauhid, dialah yang akan menyatukan hati, menyatukan barisan dan menjadikan umat ini umat yang satu. Kita tidak akan pernah menjadi umat yang satu kecuali jika kita menjadi muwahhid (ahli tauhid) kepada Allah, memurnikan amal-amal semata-mata hanya untuk Allah.
Allah Jalla wa 'Alaa berfirman kepada nabi-Nya,
وَدُّوْا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُوْنَ
"Mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu)." (QS. Al-Qalam ayat 9); yaitu, orang-orang musyrik sangat ingin jika engkau mengalah dalam persoalan tauhid, engkau tidak menyatakan secara terang-terangan berlepas diri dari kesyirikan. Mereka bermanis-manis muka dihadapanmu dan mendekatimu (untuk itu)... Tidak, tauhid adalah sesuatu yang mesti ada. Mesti dimuliakan dan dinampakkan... Akan menyukainya orang suka, dan membencinya orang yang benci.
04 Desember 2014
Berkumpul dan Makan di Rumah Keluarga Mayit
Termasuk dalam sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ketika seseorang sedang ditimpa musibah kematian salah satu keluarga atau kerabatnya, maka dianjurkan bagi kaum muslimin yang mampu untuk membawa atau mengirimkan kepada keluarga tersebut makanan.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Ja'far radhiyallahu 'anhuma, ia berkata : Ketika datang berita kematian Ja'far saat ia terbunuh, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَد أتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ
"Buatkan makanan untuk keluarga Ja'far! Telah datang kepada mereka urusan yang menyibukkan mereka." (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan sanad yang hasan).
Tujuan dari perbuatan ini tentu saja untuk meringankan beban keluarga yang sedang berduka dan mewujudkan solidaritas sosial dalam masyarakat.
Namun, apa yang umum terjadi di masyarakat kita sangat jauh dari tuntunan Islam. Bukannya dibantu, tapi justru keluarga si mayit yang membuat makanan dan memberi makan orang-orang yang datang melayat atau bertakziyah. Sebagiannya bahkan harus memotong sapi untuk acara "tahlilan", mengundang penceramah dan menyediakan kursi-kursi dan tenda, yang tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Tradisi seperti ini tentu saja termasuk perkara yang buruk dan bertentangan dengan Syari'at Islam ditinjau dari beberapa segi :
1. Perbuatan itu jelas-jelas menyelisihi Sunnah, dan apa yang menyelisihi Sunnah adalah bid'ah.
2. Menyerupai perbuatan Jahiliyyah dimana mereka akan memotong onta atau hewan ternak lainnya saat kematian salah satu tokoh mereka.
3. Menginfakkan harta pada yang diharamkan, karena masuk dalam pemborosan.
4. Boleh jadi harta yang diinfakkan adalah harta warisan yang mestinya menjadi hak milik para ahli warisnya, sehingga hal itu masuk dalam bentuk kezaliman.
Berkata seorang shahabat yang mulia, Jarir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma, "Kami menganggap berkumpul di rumah keluarga si mayit dan makanan yang mereka buat termasuk niyaahah (ratapan yang terlarang). Diriwayatkan Imam Ahmad dan Ibnu Majah.
Berkata Imam Ahmad, "Hal itu termasuk perbuatan orang-orang Jahiliyyah!"
Berkata Imam ath-Thurthusi, "Adapun al-ma'tam, maka itu terlarang dengan kesepakatan para ulama. Al-ma'tam adalah berkumpul-kumpul untuk suatu musibah. Hal itu termasuk bid'ah yang mungkar, tidak dinukil sesuatu pun tentangnya (dalam Syari'at). Demikian pula apa yang dilakukan setelahnya dari perkumpulan pada hari kedua, ketiga, keempat, ketujuh, satu bulan dan setahun."
Berkata Imam Ibnu Taimiyyah, "Mengumpulkan orang-orang yang dilakukan keluarga yang sedang ditimpa musibah dalam sebuah jamuan makan agar mereka membacakan (sesuatu) untuk si mayit bukanlah sesuatu yang dikenal di kalangan Salaf. Sekelompok ulama membencinya dari beberapa sisi. Para Salaf menganggapnya sebagai niyaahah."
Namun, kalau yang diberi makan tersebut orang yang memang pantas, maka insyaallah hal ini tidak mengapa selama tidak memberatkan. Ibnu Qudamah berkata dalam al-Mughni, "Jika keadaan mengharuskan hal tersebut, yaitu membuatkan makanan untuk mereka, maka itu dibolehkan. Karena terkadang, datang kepada mereka orang yang melayat dari penduduk kampung-kampung yang jauh, dia bermalam di rumah mereka, dan tidak mungkin bagi mereka kecuali memberinya makan.
Wallahu a'lam.