Al-mâwâqît adalah bentuk jama’ dari mîqât.
Menurut istilah syar’i, mîqât adalah tempat atau waktu ibadah tertentu.
Haji memiliki dua macam mâwâqît; zamâniyyah (masa/waktu) dan makâniyyah (tempat).
Mâwâqît zamâniyyah adalah bulan-bulan haji; Syawwal, Dzulqi’dah dan Dzulhijjah yang Allah maksudkan dalam firmanNya,
الحَجُّ أشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَن فَرَضَ فِيْهِنَّ الحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فيِ الحَجِّ
“(Musim)
haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan
niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh ada
perkataan kotor, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji.” (QS. Al-Baqarah ayat 197).
Adapun mâwâqît makâniyyah adalah
batas-batas wilayah yang tidak boleh dilampaui oleh seseorang yang akan
menunaikan haji menuju Makkah kecuali dalam keadaan berihram.
Tempat-tempat itu telah dijelaskan oleh Rasulullah ﷺ dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Ia berkata : Rasulullah ﷺ telah menetapkan miqat untuk penduduk
Madinah, Dzulhulaifah, untuk penduduk Syam, al-Juhfah, untuk penduduk
Nejd, Qarn al-Manazil dan untuk penduduk Yaman, Yalamlam. Beliau ﷺ
bersabda,
هنّ لهنّ ولمن أتى عليهنّ من غير أهلهنّ ممن أراد الحج والعمرة، ومن كان دون ذلك فمن حيث أنشأ حتى أهل مكة من مكة
“Miqat-miqat
itu untuk (penduduk) negeri-negeri tersebut, dan untuk orang yang
datang kepadanya dari yang selain penduduknya dari orang yang ingin
menunaikan haji dan umrah. Siapa yang tinggal di dalam miqat tersebut,
maka (tempat ihramnya) dari tempat ia memulai (perjalanan ke Makkah),
dan bahkan penduduk Makkah (berihram) dari Makkah.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).
Adapun Dzatu ‘Irq, maka Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu
telah menetapkannya untuk penduduk Iraq pada pemerintahannya
sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Bukhary (no. 1531). Namun yang
benar, miqat tersebut ditetapkan sendiri oleh Rasulullah ﷺ dengan dalil
hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu yang menjelaskan tentang miqat penduduk negeri-negeri,
ومَهَلّ أهل العراق من ذات عرقٍ
“Dan tempat berihram penduduk Iraq dari Dzatu ‘Irq.” (HR. Muslim).
Hadits ini shahih tanpa keraguan tapi diperselisihkan tentang hukum marfu’nya. Namun hukum tersebut dikuatkan oleh hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha,
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم وقت لأهل العراق ذاتَ عرقٍ
“Bahwa
Rasulullah ﷺ menetapkan miqat untuk penduduk Iraq, Dzatu ‘Irq.” (HR. Abu
Dawud, an-Nasa’i dan lain-lain dengan sanad yang shahih).
Berikut adalah penjelasan ringkas tentang miqat-miqat haji tersebut yang disarikan dari kitab Taudhîh al-Ahkâm min Bulûgh al-Marâm (II/805-806),
1. Dzulhulaifah.
Sekarang disebut Âbâr Ali. Jaraknya dari Masjid Nabawi sejauh 13 km,
dan ke Makkah berjarak 420 km. Dzulhulaifah adalah miqat yang paling
jauh dari Makkah, dan ia adalah miqat untuk penduduk Madinah atau orang
yang datang dari jalan mereka.
2. Al-Juhfah.
Dahulu adalah sebuah kampung yang merupakan persinggahan haji, namun
kemudian hancur karena banjir. Dan akhirnya kaum muslimin berihram dari
desa Rabigh yang terletak di sebelah Barat Al-Juhfah sejauh 22 mil.
Rabigh saat ini adalah sebuah kota yang terdapat padanya kantor-kantor
pemerintah dan fasilitas umum, berjarak 186 km dari Makkah. Berihram
darinya orang-orang yang tinggal di utara Kerajaan Arab Saudi dan daerah
pantai sebelah utara hingga ke Aqabah. Darinya pula berihram penduduk
negeri-negeri Afrika Utara dan Barat, Lebanon, Suriah, Yordania dan
Palestina.
3. Qarn al-Manâzil.
Dikenal juga sebagai as-Sail al-Kabîr. Jaraknya dari lembah menuju
Makkah sejauh 78 km. Di dekatnya juga terdapat sebuah kampung bernama
Wâdî Mihrim yang telah dibangun padanya sebuah masjid besar dengan semua
fasilitas yang dibutuhkan orang yang akan melakukan ihram. Wadi Mahrim
bukanlah miqat yang berdiri sendiri, tapi hanya sebuah jalan utama yang
berada di sisi lembah Qarn al-Manazil berjarak 75 km dari Makkah. Kedua
tempat ini berada di dua jalan utama menuju Makkah. Dari keduanya
berihram orang yang datang dari pegunungan as-Surât di selatan Arab
Saudi dan negeri-negeri yang berada di belakangnya, dan juga merupakan
miqat bagi penduduk Nejd, negara-negara Teluk, Iraq, Iran dan
negara-negara di sebelah timur.
4. Yalamlam.
Padanya terdapat sebuah sumur yang disebut as-Sa’diyah. Yalamlam adalah
sebuah lembah besar yang memanjang dari pegunungan as-Surât hingga ke
Tihamah dan berakhir ke Laut Merah di tepian pantai yang disebut
al-Mujairimah. Tempat ihram di Yalamlam berjarak 120 km dari Makkah dan
dia adalah miqat bagi penduduk Yaman.
5. Dzâtu ‘Irq.
Sebuah gunung kecil yang memanjang hanya 2 km dari timur ke barat dan
di dekatnya terdapat tempat berihram dari arah selatan. Disebut juga
adh-Dharîbah, terletak 100 km di sebelah timur Makkah. Tempat ini
sekarang tidak berpenghuni dan tidak digunakan karena tidak adanya jalan
menuju ke daerah tersebut. Namun menurut berita, Pemerintah Kerajaan
Arab Saudi telah merencanakan proyek pembangunan kembali miqat Dzatu
‘Irq.
Dzatu ‘Irq adalah miqat bagi penduduk Iraq dan penduduk negeri-negeri sebelah timur.
Demikianlah mâwâqît makâniyyah yang ditetapkan oleh Rasulullah ﷺ sebagai tempat
berihram penduduk negeri-negeri yang disebutkan dan orang-orang yang
melewatinya dari selain penduduknya jika ia ingin menunaikan haji atau
umrah.
Orang yang
melalui jalan yang tidak melewati salah satu dari miqat-miqat itu, maka
dia berihram jika telah sejajar dengan miqat yang terdekat tanpa harus
pergi ke miqat tersebut.
Orang yang
berada di pesawat, maka dia berihram jika telah berada diatas miqat
atau sejajar dengannya saat dia berada di udara. Karena itu, sepatutnya
dia telah mempersiapkan diri mengenakan pakaian ihram sebelum miqat.
Jika telah atau hampir tiba di atas daerah miqat atau sejajar dengannya,
ia meniatkan ihram dan bertalbiyah saat itu juga dan tidak menundanya hingga mendarat di bandara Jeddah.
Orang yang bermukim di Makkah, miqatnya adalah rumah-rumah yang berada di Makkah.
Dan orang yang tinggal diantara kota Makkah dan miqat-miqat tersebut, maka miqatnya adalah rumahnya.
Orang yang
melewati miqat dan berihram setelahnya maka dia berdosa. Dia wajib
kembali ke miqatnya untuk berihram darinya dan menyempurnakan manasik
haji atau umrahnya.
Jika dia
tidak kembali ke miqatnya, manasiknya sah namun wajib atasnya dam/fidyah
menurut jumhur ulama, yaitu dengan menyembelih seekor kambing atau
mengambil 1/7 onta atau sapi dan membagikannya kepada orang-orang fakir
di tanah Haram dan tidak boleh dia memakan sesuatu pun darinya.
Berihram sebelum Miqat
Telah
sepakat para ulama atau mayoritas mereka –dari kalangan shahabat dan
yang datang setelahnya- bahwa siapa yang berihram sebelum tiba di miqat
maka ihramnya sah, namun perbuatan itu makruh menurut pendapat yang
paling kuat.
Wallahu a’lam.
0 tanggapan:
Posting Komentar