Thawaf di
Baitullah adalah sebuah ibadah yang sangat agung dan sebuah ketaatan
yang sangat mulia. Allah menyukai ibadah tersebut untuk hamba-hambaNya
dan mensyariatkannya untuk mereka serta menjadikan pahala yang besar
bagi orang yang melakukannya.
Thawaf
juga merupakan salah satu dari rukun-rukun haji dan umrah. Semua ini
menunjukkan akan kedudukan ibadah thawaf yang sangat agung di sisi Allah
Ta’ala.
Ketika
seorang muslim melakukan thawaf, maka dia telah mengambil sebuah
pelajaran yang sangat besar dan agung, yaitu ibadah tetrsebut hanya
disyari’atkan di tempat itu saja, yaitu di sekeliling Ka’bah Baitullah
al-Haram. Itulah yang ditunjukkan oleh dalil-dalil yang sangat banyak
dari al-Quran dan Sunnah.
Allah Ta'ala berfirman setelah menyebutkan manasik haji dan syi'ar-syi'arnya,
وَلْيَطَّوَّفُوا بِابَيْتِ العَتِيْقِ
"Dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah)." (QS. Al-Hajj ayat 29)
Dan firmanNya,
وَعَهِدْنَا إِلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَإِسْمَاعِيْلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِيْنَ وَالعَاكِفِيْنَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
"Dan
telah Kami perintahkan pada Ibrahim dan Isma'il : Bersihkanlah Rumah-Ku
untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang
sujud!" (QS. Al-Baqarah ayat 125).
Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma bahwa "Rasulullah ﷺ jika melakukan thawaf dalam haji dan umrah ketika pertama kali tiba maka beliau berlari pada tiga putaran (pertama) dan berjalan pada empat putaran (terakhir), kemudian beliau shalat dua rakaat, kemudian melakukan sa'i antara Shafa dan Marwah."
Dengan
ini, seorang muslim juga bisa memahami bahwa thawaf pada selain tempat
tersebut, di tempat mana saja di muka bumi ini tidaklah disyari’atkan.
Bahkan hal itu merupakan kebatilan dan kesesatan.
Tidak ada
perselisihan di antara para ulama tentang batilnya thawaf di seluruh
tempat yang selain Baitullah al-Haram. Karena itulah, tidak boleh
seorang muslim melakukan thawaf di sekeliling kubur, keraton, masjid,
pohon, batu dan lain-lain.
Berkata Imam an-Nawawi asy-Syafi’i rahimahullahu, "Tidak boleh thawaf di kubur Nabi ﷺ
dan sangat dibenci menempelkan perut atau punggung di dinding kubur.
Demikianlah yang dikatakan oleh (Imam) al-Halimi dan lain-lain. Dan
sangat dibenci pula mengusapnya dengan tangan atau menciumnya. Bahkan
yang termasuk adab dalam masalah ini adalah menjauh darinya sebagaimana
menjaga jarak dari beliau saat beliau ada di masa hidupnya. Inilah yang
benar. Dan inilah yang dikatakan oleh para ulama dan dipraktekkan oleh
mereka. Tidak perlu terpedaya dengan orang-orang awam yang menyelisihi
mereka dalam masalah ini. Karena teladan dan amalan hanyalah dengan
perkataan ulama dan tidak perlu berpaling kepada perbuatan bid’ah
orang-orang awam dan kejahilan-kejahilan mereka…"; sampai pada perkataan beliau, "Siapa
yang terlintas dalam pikirannya bahwa mengusap dengan tangan dan yang
semacamnya lebih memiliki berkah, maka itu termasuk kebodohan dan
kelalaiannya. Karena keberkahan hanyalah ada pada apa yang selaras
dengan Syariat dan perkataan para ulama. Bagaimana mungkin keutamaan
dicari dalam perkara yang menyelisihi kebenaran?!" (al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, VIII/ 206-207)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu, "Kaum muslimin telah bersepakat bahwa tidak disyari’atkan thawaf
kecuali di al-Bait al-Ma’mur (Ka’bah). Maka tidak boleh thawaf di
Sakhrah (Batu) yang ada di Baitul Maqdis, tidak pula di Hujrah (bekas
kamar) Nabi ﷺ, tidak pula di tugu yang berada
di Jabal Arafat dan lain-lain." (Majmu’ al Fatawa, IV/ 522)
Sumber tulisan : Durûs ‘Aqadiyyah Mustafâdah min al Hajj, Syaikh Dr. Abdurrazzâq Abdul Muhsin al ‘Abbâd
0 tanggapan:
Posting Komentar