30 Maret 2016
Pemboikotan dan Pengucilan
Setelah kegagalan Quraisy mengembalikan
kaum muslimin yang berhijrah ke Habasyah, yang membuat Quraisy semakin
marah dan semakin keras menyiksa kaum muslimin, Quraisy pun bertekad
membunuh Rasulullah ﷺ.
Bani Abdil Muththalib dan Bani Hasyim akhirnya bersepakat memasukkan Rasulullah ﷺ
ke syi’b (lembah) mereka yang dikenal sebagai syi’b Abi Thalib dan
melindunginya di dalamnya. Mereka pun masuk seluruhnya, muslimnya dan
kafirnya.
Orang-orang musyrik membuat kesepakatan untuk tidak duduk bersama
mereka, tidak bercampur dengan mereka, tidak berjual beli dengan mereka
dan tidak akan memasuki rumah-rumah mereka hingga mereka menyerahkan
Rasulullah ﷺ untuk dibunuh. Quraisy
menuliskan sebuah piagam untuk pemboikotan itu dan Bani Hasyim pun
tinggal dalam syi’b selama tiga tahun hingga mereka ditimpa oleh
kelaparan dan kesulitan yang tidak terkira.
Setelah
tiga tahun berlalu dari masa pemboikotan dan pengucilan, beberapa tokoh
Quraisy menyesalkan tindakan itu dan bersepakat untuk merobek piagam
tersebut. Sementara Rasulullah ﷺ telah
mengabarkan mereka sebelum itu bahwa piagam tersebut tidak tersisa
darinya kecuali kata-kata syirik dan kezaliman. Dengan demikian,
berakhirlah pemboikotan itu yang berakhir pada tahun kesepuluh dari masa
kenabian.
Rasulullah ﷺ
pernah mendoakan keburukan terhadap orang-orang kafir Quraisy dan
terjadilah kemarau dan paceklik hingga mereka memakan bangkai dan kulit.
Maka datanglah Abu Sufyan kepada Rasulullah ﷺ
memohon padanya atas nama jalinan kekerabatan agar beliau mendoakan
hilangnya keburukan tersebut. Rasul pun berdoa kepada Rabb-nya agar
menghilangkan azab itu, namun kemudian mereka justru kembali kepada
pengingkarannya. Kisah inilah yang diabadikan Allah penyebutannya dalam
surat ad-Dukhan ayat 10-15.
(Sumber : as-Sîrah an-Nabawiyyah ash-Shahîhah, dengan ringkas)
27 Maret 2016
Penggunaan Obat-obatan yang Mengandung Alkohol
Majelis al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami (Dewan Fiqh Islam) dibawah naungan Rabithah al-‘Alam al-Islamy
(Liga Muslim se-Dunia) pada pertemuannya yang ke XVI di Makkah
al-Mukarramah (1422 H/2002 M) telah mengeluarkan fatwa tentang
obat-obatan yang mengandung alkohol, dengan mempertimbangkan
kaedah-kaedah Syariat yang mengangkat kesulitan, menghilangkan
kemudharatan sesuai dengan kadarnya, dan bahwasannya keadaan yang sangat
darurat membolehkan hal-hal yang diharamkan, serta kaedah “menanggung
mudharat yang paling ringan untuk menolak mudharat yang terbesarnya”;
maka mereka menetapkan keputusan berikut ini;
1. Tidak boleh menggunakan khamr (arak) sebagai obat dalam keadaan apapun, dengan dalil sabda Rasulullah ﷺ,
إن الله لم يجعل شفاءكم فيما حرم عليكم
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian pada apa yang Dia haramkan atas kalian”, HR. al-Bukhary dalam ash-Shahih.
Dan sabdanya,
إن الله أنزل الداء وجعل لكل داءٍ دواءً فتداووا ولا تتداووا بحرامٍ
“Sesungguhnya Allah telah menurunkan
penyakit dan menjadikan bagi setiap penyakit obatnya. Berobatlah kalian
dan jangan berobat dengan yang haram”, HR. Abu Dawud dalam as-Sunan, Ibnu as-Sunni dan Abu Nu’aim.
Dan sabdanya kepada Thariq bin Suwaid ketika ia bertanya tentang khamr yang dicampur dalam obat,
إن ذلك ليس بشفاء ولكنه داءٌ
“Yang demikian itu bukan kesembuhan, akan tetapi penyakit”, HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya dan Abu Nu’aim.
2. Dibolehkan penggunaan obat-obat yang
mengandung alkohol pada kadar penggunaan yang diperlukan sesuai dengan
aturan industri farmasi yang belum memiliki alternatif lainnya. Dengan
syarat, obat tersebut diresepkan oleh seorang dokter yang adil.
Sebagaimana dibolehkan penggunaan alkohol sebagai pembersih luka bagian
luar tubuh, pembunuh bakteri dan juga penggunaannya dalam krim dan
minyak untuk penggunaan luar.
3. Majelis al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami
mewasiatkan kepada industri-industri farmasi, apotek-apotek di
negeri-negeri Islam, dan juga para pengimpor obat-obatan; agar mereka
berusaha keras untuk menjauhkan alkohol dari obat-obatan dan menggunakan
alternatif-alternatif lainnya.
4. Sebagaimana al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami
juga berwasiat kepada para dokter untuk tidak memberikan resep
obat-obatan yang mengandung alkohol sesuai dengan kemungkinannya.
Yang bertanda tangan :
Abdul Aziz bin Abdullah Âlu asy-Syaikh (Mufti Kerajaan Saudi)
Wakil :
Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki (Saudi)
Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki (Saudi)
Sekjen :
Dr. Shalih bin Zâbin al-Marzuqi (Saudi)
Dr. Shalih bin Zâbin al-Marzuqi (Saudi)
Keanggotaan :
Muhammad bin Ibrahim bin Jubair (Saudi), Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan (Saudi), Dr. Muhammad Rasyîd Râghib al-Qubbani (Mufti Lebanon), Dr. Musthafa Cherits (Mufti Bosnia Herzegovina), Dr. Nashr Farîd Wâshil (Mufti Mesir saat itu), Dr. ash-Shiddiq Muhammad al-Amin adh-Dharir (Sudan), Muhammad al-Habib bin al-Khoujah (Mufti Tunisia), Muhammad Sâlim bin Abdul Wadood (Mauritania), Muhammad bin Abdullah as-Subail (Saudi), Dr. Ridhaullah Muhammad Idris al-Mubarakfuri (India), Dr. Abdul Karim Zaidan (Irak), Muhammad Taqi al-Utsmani (Pakistan), Dr. Wahbah Mustafa az-Zuhaili (Mesir), Dr. Yusuf bin Abdullah al-Qaradhawi (Qatar), Dr. Abdul Sattar Fathullah Sa’id (Mesir)
Muhammad bin Ibrahim bin Jubair (Saudi), Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan (Saudi), Dr. Muhammad Rasyîd Râghib al-Qubbani (Mufti Lebanon), Dr. Musthafa Cherits (Mufti Bosnia Herzegovina), Dr. Nashr Farîd Wâshil (Mufti Mesir saat itu), Dr. ash-Shiddiq Muhammad al-Amin adh-Dharir (Sudan), Muhammad al-Habib bin al-Khoujah (Mufti Tunisia), Muhammad Sâlim bin Abdul Wadood (Mauritania), Muhammad bin Abdullah as-Subail (Saudi), Dr. Ridhaullah Muhammad Idris al-Mubarakfuri (India), Dr. Abdul Karim Zaidan (Irak), Muhammad Taqi al-Utsmani (Pakistan), Dr. Wahbah Mustafa az-Zuhaili (Mesir), Dr. Yusuf bin Abdullah al-Qaradhawi (Qatar), Dr. Abdul Sattar Fathullah Sa’id (Mesir)
(Sumber : Qarârât al-Majma' al-Fiqhi al-Islâmi, terbitan Rabithah)
20 Maret 2016
Hadits Mu’an’an & Hadits Mu-annan
Telah dijelaskan enam jenis hadits mardûd yang disebabkan oleh saqth min al-isnâd
(gugurnya perawi dari sanad), yaitu mu’allaq, mursal, mu’dhal,
munqathi’, mudallas dan mursal khafiy. Namun terdapat jenis periwayatan
yang diperselisihkan apakah dia masuk dalam jenis munqathi’ (sanad yang terputus) atau muttashil (sanad yang bersambung). Keduanya adalah al mu’an’an (المعنعن) dan al mu-annan (المؤنن).
1. Al Mu’an’an
Menurut istilah adalah perkataan seorang perawi,
فلان عن فلان
“Fulan dari fulan.”
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah rahimahullahu (no. 1005), ia berkata,
حدثنا
عثمان بن أبي شيبة، ثنا معاوية بن هشام، ثنا سفيان، عن أسامة بن زيد، عن
عثمان بن عروة، عن عروة، عن عائشة قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
: إن الله وملائكته يصلون على ميامن الصفوف
Telah
menceritakan kepada kami Utsman bin Abi Syaibah, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami Mu’awiyah bin Hisyam, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami Sufyan, dari Usamah bin Zaid, dari Utsman bin
Urwah, dari Urwah, dari Aisyah ia berkata : Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikatNya bershalawat untuk shaf-shaf yang kanan.”
Ulama berselisih apakah hadits mu’an’an termasuk hadits munqathi’ atau muttashil?
Pendapat
yang paling benar yang merupakan pendapat jumhur ahli hadits, para
fuqaha’ dan pakar ushul, hadits mu’an’an adalah hadits muttashil dengan
beberapa syarat. Mereka bersepakat dalam dua syarat dan berselisih pada
syarat yang selainnya.
Dua syarat yang mereka sepakati adalah,
1. Pelaku mu’an’an (al-mu’an’in) bukanlah seorang mudallis
2.
Memungkinkan adanya perjumpaan antara satu dengan lainnya (yaitu antara
pelaku mu’an’an dengan orang yang ia riwayatkan haditsnya secara ‘an’anah)
Mazhab Muslim dalam Shahihnya mencukupkan dengan dua syarat tersebut.
Adapun syarat-syarat tambahan yang diperselisihkan adalah,
a. Kepastian perjumpaan (tsubût al liqâ’)
antara pelaku mu’an’an dengan orang yang ia riwayatkan haditsnya secara
‘an’anah. Ini adalah mazhab Al-Bukhary, Ibnul Madini dan para ahli
tahqiq dari kalangan muhadditsin
b. Lamanya masa persahabatan (thûl ash shuhbah). Ini adalah pendapat Abul Muzhaffar as-Sam’ani
c. Pengetahuannya tentang periwayatan dari orang yang ia riwayatkan secara ‘an’anah, dan ini adalah pendapat Abu ‘Amr ad-Dânî
2. Al Mu-annan
Yaitu perkataan seorang perawi,
حدثنا فلان أنَّ فلانًا قال
“Telah menceritakan kepada kami fulan, bahwa fulan berkata…”
Hukumnya
Imam Ahmad dan sebagian ulama berpendapat bahwa riwayat mu-annan adalah munqathi’ sampai nampak jelas bersambung sanad tersebut.
Sementara
jumhur berpendapat bahwa (أنَّ) sama seperti (عن), dia adalah hadits
muttashil dengan syarat-syarat yang sama disebutkan pada pembahasan
al-mu’an’an.
Wallahu a’lam.
(dari kitab Taysîr Musthalah Al-Hadîts, Dr. Mahmud Ath-Thahhan)
13 Maret 2016
Pemeriksaan Medis terhadap Pasien Wanita
Majelis al-Majma’ al-Fiqh al-Islami ad-Dauli (International Islamic Fiqh Academy)*,
pada pertemuannya yang ke VIII di Bandar Seri Begawan, Brunei
Darussalam sejak tanggal 1-7 Muharram 1414 H bertepatan tanggal 21-27
Juni 1993, setelah menelaah pembahasan yang disodorkan kepada al-Majma’
berkenaan dengan persoalan pemeriksaan medis oleh seorang laki-laki
terhadap wanita, dan setelah mendengarkan kepada diskusi yang
berlangsung seputar permasalahan ini, maka Majelis menetapkan sebagai
berikut :
Hukum
asalnya ketika terdapat seorang dokter spesialis wanita, maka dialah
yang melakukan pemeriksaan medis terhadap pasien wanita. Jika hal itu
tidak terpenuhi, yang memeriksa pasien adalah dokter wanita non-muslim
yang terpercaya. Jika hal itu tidak terpenuhi, pasien bisa ditangani
oleh seorang dokter muslim. Jika tidak terdapat dokter muslim, posisinya
bisa digantikan oleh dokter non-muslim. Dengan syarat, dokter tersebut
menyingkap bagian tubuh wanita sesuai dengan kadar kebutuhan dalam
mendiagnosa penyakit dan pengobatannya, dan tidak boleh lebih dari hal
tersebut, menjaga pandangan sekemampuannya, dan proses pengobatan itu
dilakukan dengan kehadiran mahram atau suami atau seorang wanita
terpercaya agar terhindar dari khulwah (berduaan antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram).
Al-Majma’ juga mewasiatkan berikut ini :
Pihak
berwenang dalam bidang kesehatan hendaknya berusaha keras untuk
memotivasi kaum wanita untuk berpartisipasi dalam bidang ilmu kedokteran
dan mengambil spesialisasi dalam cabang-cabang ilmu tersebut. Khususnya
penyakit-penyakit yang berkait dengan wanita dan kelahiran, mengingat
sedikitnya wanita yang bergelut dalam profesi ini hingga kita tidak
perlu membuatkan kaedah-kaedah pengecualian (seperti ini). Wallahul muwaffiq.
(Majalah Al-Majma’, I/49)
Sumber : Islam Today
--------------------------
* Dibawah naungan Organisasi Kerjasama Islam (OIC)
10 Maret 2016
Hijrah ke Habasyah II
Ketika
sampai berita kepada kaum muslimin di Habasyah bahwa penduduk Makkah
telah memeluk Islam, sebagian mereka kembali ke Makkah dan mereka
dapatkan bahwa berita itu tidak seperti yang mereka dengarkan.
Mereka akhirnya kembali lagi ke Habasyah dan ikut
bersama mereka kelompok lain yang ikut menuju Habasyah. Itulah yang disebut
sebagai hijrah kedua. Jumlah mereka lebih dari 80 orang laki-laki selain
wanita dan anak-anak.
Para pembesar Quraisy
mengirim ‘Amr bin al-‘Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah dengan membawa
hadiah untuk Najasyi dan uskup-uskupnya. Mereka bertemu Najasyi dan
memintanya untuk mengembalikan kaum muslimin yang telah berhijrah ke
negerinya. Najasyi mengirim utusan kepada kaum muslimin untuk memanggil
mereka dan menanyakan tentang agama mereka.
Maka berkatalah Ja’far bin
Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, yang mewakili para muhajirin di Habasyah, “Wahai Raja, kami dahulu adalah
kaum yang berada diatas kesyirikan. Kami menyembah berhala dan memakan
bangkai, buruk dalam bertetangga dan menghalalkan yang haram. Sebagian
kami atas sebagian yang lain saling menumpahkan darah dan selainnya.
Kami tidak menghalalkan sesuatu dan tidak juga mengharamkannya. Dan
Allah mengutus kepada kami seorang nabi dari kaum kami sendiri,
yang kami kenali kesetiaannya, kejujurannya dan amanahnya. Ia mengajak
kami untuk beribadah kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan Dia
dengan sesuatupun, menjalin silaturrahim, baik dalam bertetangga, shalat
dan puasa, dan tidak menyembah yang selain Dia.”
Najasyi
berkata, “Apakah bersamamu ada sesuatu dari ajaran yang dibawanya?”, dan
ia telah memanggil para uskupnya dan membuka kitab-kitab mereka di
sekelilingnya.
Ja’far berkata, “Iya.”
Ia berkata, “Tolong bacakan untukku apa yang dibawanya itu!”
Ja’far membacakan untuknya permulaan surat Kâf Hâ Yâ’ ‘Ain Shâd[1],
maka Demi Allah, menangislah Najasyi hingga basahlah jenggotnya, dan
menangislah para uskupnya hingga membasahi kitab-kitab mereka.
Kemudian
Najasyi berkata, “Sungguh, perkataan seperti ini berasal dari sumber
yang telah datang bersamanya Musa… Pergilah kalian dalam damai…”
Ketika
usaha pertama itu gagal untuk mengembalikan kaum muslimin ke Makkah, pada
hari berikutnya ‘Amr bin al-‘Ash mencoba untuk meributkan sikap kaum
muslimin terhadap Isa ‘alaihissalam. Ia berkata kepada Najasyi, “Wahai Raja, mereka telah mengatakan perkataan yag buruk tentang Isa…”
Najasyi
kembali mengirim utusan untuk mendatangkan mereka dan menanyai mereka.
Ja’far menjawab, “Kami katakan bahwa Isa adalah hamba Allah dan
utusannya, kalimatNya dan ruh (dari)Nya yang Dia sampaikan kepada
Perawan Maryam.”
Najasyi lalu mengambil sebuah batang kayu di tanah dan berkata, “Tidaklah Isa
putra Maryam melampaui apa yang engkau katakan melebihi batang kayu
ini!”
Dan
Najasyi memberikan jaminan keamanan untuk kaum muslimin di negerinya,
dan mereka pun tinggal bersama sebaik-baik tetangga di sebaik-sebaik
negeri, sebagaimana ungkapan yang diucapkan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha.[2]
Footnotes :
[1] Surat Maryam
[2] Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dengan sanad yang hasan kepada Ummu Salamah.
(Sumber : as-Sîrah an-Nabawiyyah ash-Shahîhah, I/172-174 dengan ringkas)
06 Maret 2016
As-Salafiyyah
Pertanyaan :
Apakah yang dimaksud dengan As-Salafiyyah (Manhaj Salaf) dan bagaimana pendapat Anda tentangnya?
Jawab :
As-Salafiyyah adalah penisbatan kepada “as-Salaf”.
As-Salaf adalah para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Imam yang berada diatas al-Huda (petunjuk) dari kalangan Tiga Generasi Pertama radhiyallahu ‘anhum, yang dipersaksikan akan kebaikan mereka oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya,
خير الناس قرني ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم، ثم يجيء أقوام تسبق شهادة أحدهم يمينه ويمينه شهادته
“Sebaik-baik manusia adalah
generasiku, kemudian yang datang sesudahnya, kemudian yang datang
sesudahnya. Setelah itu akan datang orang-orang yang persaksian salah
seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului
persaksiannya”. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Musnad-nya, al-Bukhary dan Muslim.
Salafiyyun adalah bentuk jama’ (plural) dari “salafy”, nisbat kepada as-Salaf. Maknanya telah disebutkan. Merekalah orang-orang yang berjalan diatas minhaj (jalan/metode) as-Salaf dalam ittiba’ (mengikuti)
al-Kitab dan as-Sunnah, berdakwah kepada keduanya dan mengamalkan
keduanya. Dengan itulah mereka menjadi Ahlussunnah wal Jama’ah.
و بالله التوفيق، و صلى الله على نبينا محمد و آله و صحبه و سلم
Al-Lajnah ad-Dâ’imah li al-Buhûts al-‘Ilmiyyah wa al-Iftâ’ (Lembaga Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa) Kerajaan Saudi Arabia.
(Sumber : Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah, Majmu’ah Tsaniyah, II/243, fatwa no. 1361)
03 Maret 2016
Transplantasi Organ Tubuh Manusia
Majelis Hai-ah Kibar al Ulama’ dalam
pertemuannya yang diselenggarakan di kota Thaif pada 25 Syawwal-6
Dzulqi’dah 1402 H telah membahas tentang hukum memindahkan anggota tubuh
seseorang kepada orang lain berdasarkan pertanyaan yang datang kepada
Sekretariat Lembaga Riset Ilmiah, Fatwa, Dakwah dan Penyuluhan, dan
diantaranya pertanyaan yang datang dari Dr. Nizah Fatih, Direktur
Pelaksana Tugas, Penasehat dan Pengawas Administrasi di Rumah Sakit Raja
Faishal, pada suratnya tertanggal 15/8/1401. Dan juga pertanyaan yang
datang dari Syaikh Abdul Malik bin Mahmud, Ketua Pengadilan Tinggi di
Nigeria; yang keduanya ditujukan kepada Sekretariat Umum Hai-ah Kibar al
Ulama dari Yang Mulia Ketua Umum Lembaga Riset Ilmiah, Fatwa, Dakwah
dan Penyuluhan, pada suratnya yang bernomor 1427 tanggal 16/6/1402 H,
dan no. B/590 tanggal 1/5/1402 H, untuk disodorkan kepada Majelis.
Majelis
telah mempelajari kembali keputusannya no. 47 tanggal 20/8/1396 H
tentang hukum bedah jasad seorang manusia yang telah wafat, dan
keputusannya no. 62 tanggal 25/10/1398 H tentang hukum mencangkok kornea
mata, dan keputusannya no. 65 tanggal 7/2/1369 H tentang hukum donor
darah dan pendirian bank darah, dan kemudian memperhatikan kepada
pembahasan yang telah disiapkan oleh Lembaga Riset Ilmiah dan Fatwa
tentang hukum memindahkan darah atau satu anggota tubuh atau sebagiannya
dari seseorang kepada orang lain. Dan setelah melalui diskusi dan
pemaparan pandangan, Majelis menetapkan dengan ijma’ (kesepakatan) tentang bolehnya
memindahkan anggota tubuh atau sebagiannya dari seorang muslim yang
masih hidup atau seorang dzimmi kepada dirinya jika ada hajat akan hal
itu, tidak membahayakan saat mencabutnya dan dominan dalam persangkaan
akan suksesnya operasi pemasangan anggota tubuh tersebut.
Sebagaimana juga Majelis menetapkan dengan suara mayoritas hal-hal berikut ini,
1. Boleh
memindahkan satu potongan tubuh atau sebagiannya dari seorang manusia
yang telah wafat kepada seorang muslim jika ada hajat untuk hal itu,
aman dari fitnah jika dilakukan pencangkokan dari orang mati yang
diambil bagian tubuhnya dan besar kemungkinan suksesnya operasi
pemasangan anggota tubuh tersebut.
2.
Dibolehkan bagi seorang manusia yang masih hidup mendonorkan pemindahan
satu anggota tubuhnya atau sebagiannya kepada seorang muslim yang sangat
membutuhkannya.
Wa bi_Llahi at-taufiq.
Hai-ah Kibar al Ulama
Ketua Majelis : Abdul Razzaq Afifi
Anggota :
Muhammad bin Ali al-Harakan
Abdullah bin Muhammad bin Humaid (Tidak hadir karena sakit)
Sulaiman bin Ubaid
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (Tawaqquf)
Rasyid bin
Khunain (Saya memandang perlunya disyaratkan izin seorang muslim
sebelum kematiannya atas apa yang bakal dipindahkan dari anggota
tubuhnya setelah kematiannya)
Abdul Aziz bin Shalih (Berhalangan hadir)
Abdullah bin Khayyath
Ibrahim bin Muhammad Alu asy-Syaikh
Muhammad bin Jubair
Abdul Majid Hasan
Abdullah bin Ghudayyan
Shalih bin Ghusun
Shalih bin Luhaidan
Abdullah bin Qu’ud (Tawaqquf kecuali apa yang disepakati oleh Majelis)
(Sumber : Islamtoday)
01 Maret 2016
Jadilah Seperti yang Diinginkan Allah & Rasul-Nya
Seorang wanita muslimah pengikut dakwah Salaf…
Tidaklah menjadi syarat dia harus mengenal jama’ah-jama’ah dan kelompok-kelompok kaum muslimin.
Tidaklah menjadi syarat dia harus selalu menyebut perkataan-perkataan para ulama Salaf.
Bukanlah kemestian dia harus mengetahui peringatan tentang bahaya fulan ini dan fulan itu.
Bukanlah menjadi syarat dia harus mengenal semua ulama dakwah Salafiyyah.
Tidak juga menjadi syarat dia harus mengetahui semua problematika yang ada di umat ini.
Bukan menjadi keharusan dia berpuasa Ayyamul Bidh, puasa Senin dan Kamis, atau shalat malam setiap harinya…
Cukup
baginya menjaga shalat lima waktu, berpuasa Ramadhan, menjaga kehormatan
dirinya dan suaminya serta memberikan perhatian penuh terhadap rumah
dan anak-anaknya.
Dia jadikan rumahnya sebagai istananya, suaminya sebagai pemimpinnya dan anak-anaknya sebagai tanggung jawabnya.
Rasulullah
ﷺ tidak menyebutkan kecuali dia menjadi seorang yang penyayang terhadap
anak-anaknya, menjaga kehormatan suaminya dalam persoalan dirinya dan
harta suaminya, dengan tetap menjaga kewajiban-kewajibannya terhadap
Rabb-nya.
Allah Ta’ala berfirman,
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“Wanita-wanita yang shalih ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada.” (QS. An-Nisa’ ayat 34).
Nabi ﷺ bersabda,
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ
“Dan seorang istri adalah penanggung jawab terhadap rumah tangga suaminya dan anak suaminya. Dia akan ditanya tentang mereka.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).
Nabi ﷺ juga bersabda,
إذا صلت المرأة خمسها وصامت شهرها وحفظت فرجها وأطاعت زوجها قيل لها ادخلي الجنة من أي أبواب الجنة شئت
“Jika
seorang wanita shalat lima waktu, berpuasa bulan Ramadhan, memelihara
kemaluannya dan mentaati suaminya, dikatakan padanya (pada hari Kiamat) :
Masuklah surga dari pintu mana saja yang engkau sukai!” (HR. Ahmad).
Beliau ﷺ bersabda,
أيما امرأة ماتت وزوجها عنها راض دخلت الجنة
“Wanita mana saja yang meninggal dunia dan suaminya ridha terhadapnya, niscaya dia akan masuk surga.” (HR. At-Tirmidzi).
Ditanyakan kepada Nabi ﷺ, “Wanita bagaimanakah yang terbaik?” Beliau bersabda,
التي تسره إذا نظر، وتطيعه إذا أمر، ولا تخالفه في نفسها وماله بما يكره
“Wanita
yang membuat suaminya senang jika memandang, yang mentaati suaminya
jika dia menyuruh, dan tidak menyelisihi suaminya dalam persoalan
dirinya dan harta suaminya dengan sesuatu yang suaminya benci.” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i).
Beliau ﷺ bersabda,
ألا
أخبركم بنسائكم مِن أهل الجنة ؟ الودود ، الولود ، العؤود على زوجها ،
التي إذا غضبت جاءت حتى تضع يدها في يدِ زوجها و تقول : لا أذوق غمضاً حتى
ترضى
“Tidakkah aku kabarkan kepada kalian tentang wanita-wanita
kalian penghuni surga? Wanita yang penyayang, beranak, memberi manfaat
kepada suaminya. Yang jika dia marah, dia akan datang menaruh tangannya
di tangan suaminya dan berkata : Aku tidak akan bisa tidur hingga engkau
ridha!” (HR. Ath-Thabrani, dihasankan Al-Albani).
Beliau ﷺ bersabda,
ألا أخبرك بخير ما يكتنز المرء؟ المرأة الصالحة؛ إذا نظر إليها سرته، وإذا أمرها أطاعته، وإذا غاب عنها حفظته
“Tidakkah
aku kabarkan perkara terbaik yang menjadi simpanan seseorang? Yaitu
istri yang shalihah; jika dia memandang kepadanya, istrinya itu
membuatnya bahagia, jika dia menyuruhnya, dia mentaatinya, dan jika dia
tidak bersamanya, maka dia akan menjaga kehormatan suaminya.” (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim).
Dan beliau ﷺ memuji wanita-wanita Quraisy dengan sifat-sifat mereka yang,
أحناه على ولد في صغره وأرعاه على زوج في ذات يده
“Sangat penyayang terhadap anak di masa kecilnya dan menjaga hak suami dalam penghasilannya.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).
Orang-orang
yang suka mengeksploitasi kaum muslimah untuk kepentingan jama’ahnya,
kalian menginginkan para muslimah kita menjadi seperti apa?! Memiliki
kepedulian besar terhadap orang lain kemudian mengorbankan diri, rumah
dan keluarganya?!
Tidak
diingkari seorang wanita yang harus bekerja karena sebuah kebutuhan…
Tidak diingkari juga sebagian wanita memiliki kapasitas ilmu syar’i yang
mumpuni dan mengajarkan ilmunya kepada sesama golongannya.
Tapi
perkara keluarnya wanita dan terlibatnya dia dalam dakwah yang dilakukan
secara sistematis dan terstruktur untuk kepentingan tertentu dari sebuah
kelompok adalah bid’ah haraki yang tidak pernah dikenal dalam dakwah
Salafiyyah.
Kaum
muslimah dieksploitasi waktu dan tenaganya hanya untuk kepentingan
kelompok yang sering mengatasnamakan Allah dan Islam, mengatasnamakan
“mashlahat kaum muslimin dan mashlahat dakwah”!
Untuk Saudari muslimah,
Jangan biarkan mereka menipu Anda dengan memanfaatkan perasaan, semangat dan keuletan pribadi Anda sebagai seorang wanita.
Sadari apa tujuan utama penciptaan Anda…
Sadari kewajiban mendasar Anda dalam Islam…
Dan jangan
ikut campur dalam urusan yang menjadi tugas utama kaum laki-laki dalam
agama Allah ini, untuk memperjuangkannya dan memenangkannya dengan izin
Allah. Agar mereka benar-benar menjadi laki-laki pejuang, dan tidak ada
lagi kelompok “dakwah” yang hobi “memanfaatkan” kaum muslimah untuk
kepentingan dan ambisi tertentu dari tokoh atau golongan mereka.
Kalau Anda
ingin mengabdi pada Islam, ingin berbuat untuk Islam, maka perjuangan utama Anda sebagai muslimah berada dalam rumahmu… ya, dalam rumahmu.
Bekerja dan berbuatlah yang terbaik dalam rumahmu untuk Allah dan agamaNya.
Semoga Allah menguatkan Anda semua diatas Islam dan Sunnah sampai ajal menjemput. Amin.