28 April 2016
Rasulullah ﷺ Menuju Thaif
Setelah Abu Thalib wafat, Quraisy mulai berani menyakiti Rasulullah ﷺ
dengan apa yang tidak pernah mereka lakukan saat pamannya itu masih hidup.
Maka Rasulullah ﷺ berinisiatif untuk pergi menuju Tha’if demi mencari dukungan dari kabilah Tsaqif dan mencari
perlindungan mereka dari siksaan Quraisy, dengan harapan bahwa Tsaqif
akan mau menerima dakwah yang ia emban dari Allah ‘Azza wa Jalla.
Para pakar Sirah menyebutkan bahwa Tsaqif enggan untuk memenuhi dakwah Rasulullah ﷺ. Mereka bahkan membujuk anak-anak mereka dan orang-orang bodohnya untuk melempari Rasulullah ﷺ dengan batu.
Dari Urwah bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan padanya bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi ﷺ : Apakah pernah datang padamu satu hari yang lebih berat daripada hari perang Uhud?
Beliau
menjawab : Sungguh aku telah mendapatkan dari kaummu apa yang aku
dapatkan, dan yang paling berat aku rasakan dari mereka adalah pada hari
‘Aqabah[1], ketika aku menawarkan diriku kepada Ibnu ‘Abdi Yalil ibnu Abdi Kulal[2],
namun ia tidak menyambut apa yang aku inginkan. Aku pun beranjak pergi
sementara aku merasakan kesedihan, dan aku tidak menyadari situasi hingga aku
telah berada di Qarn Tsa’alib[3]. Aku mengangkat kepalaku dan
ternyata awan telah menaungiku. Aku memandang dan ternyata padanya ada
Jibril dan berseru kepadaku.
Jibril berkata : “Sesungguhnya Allah telah
mendengar perkataan kaummu terhadapmu dan apa jawaban mereka terhadapmu.
Sungguh Allah telah mengutus kepadamu Malaikat gunung untuk engkau
memerintahkannya apa yang engkau suka terhadap mereka!”
Malaikat gunung
berseru kepadaku, ia memberi salam dan berkata : “Wahai Muhammad,
sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu kepadamu, dan aku
adalah Malaikat gunung. Rabb-mu telah mengutusku kepadamu untuk engkau
memerintahkan aku dengan perintahmu, apa yang engkau inginkan. Jika
engkau mau, aku akan timpakan pada mereka al-Akhsyabain!”[4]
Nabi ﷺ menjawabnya : “Bahkan
aku berharap Allah akan mengeluarkan dari tulang sulbi mereka orang
yang akan menyembah Allah semata, tidak mempersekutukanNya dengan
sesuatu pun.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).
Ibnu Sa’ad
menyebutkan dari jalan periwayatan Al-Waqidi[5] bahwa peristiwa ini terjadi pada bulan Syawwal tahun
kesepuluh setelah diutusnya beliau, dan setelah wafatnya Abu Thalib dan
Khadijah. (Fathul Bary, VI/363)
Wallahu a'lam.
———————
[1] ‘Aqabah yang dimaksud berada di Tha’if, bukan ‘Aqabah Mina tempat berbai’atnya kaum Anshar terhadap Rasulullah ﷺ
[2] Seorang pembesar Tha’if dari Bani Tsaqif
[3] Qarn Tsa’alib adalah juga Qarn al-Manazil, miqat penduduk Nejd
[4] Nama dua gunung di Makkah
[5] Al-Waqidi lemah dalam pandangan ulama ahli hadits
24 April 2016
Bahaya Syirik Akbar
Syirik akbar menurut bahasa akan selalu menunjukkan pada makna kesetaraan, lawan dari bersendirian.
Menurut
istilah, syirik akbar adalah ketika seorang hamba menjadikan sekutu bagi
Allah, menyetarakannya dengan Allah dalam rububiyyahNya, uluhiyyahNya
dan nama-nama serta sifat-sifatNya.
Hukumnya
Syirik
akbar adalah dosa dan kezaliman yang paling besar, karena syirik akbar
adalah memalingkan sesuatu yang murni hanya milik Allah –yaitu
peribadatan- kepada yang selain Dia, atau mensifatkan salah satu dari
makhlukNya dengan sesuatu dari sifat-sifatNya yang menjadi
kekhususanNya.
Karenanya, Syariat telah menetapkan konsekuensi yang tidak ringan dan hukuman yang berat dalam persoalan ini. Diantaranya,
1. Allah
tidak akan mengampuni dosa pelaku syirik akbar jika dia mati dalam
keadaan demikian dan tidak bertaubat sebelum kematiannya.
إنّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أنْ يُشْرَكَ بهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ
“Sesungguhnya
Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan
Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang
dikehendakiNya.” (QS. An-Nisa ayat 48 dan 116)
2. Pelakunya keluar dari Islam (murtad).
3. Allah tidak akan menerima amal seorang musyrik. Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang musyrik,
وَقَدِمْنَا إلىَ مَا عَمِلُوا مِن عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاْءً مَنْثُورًا
“Dan Kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan ayat 23).
لَئِنْ أشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنّ عَمَلُكَ وَلتكُوْننّ مِنَ الخَاسِريْنَ
“Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar ayat 65).
4. Haram menikahkan seorang muslimah kepada seorang musyrik, dan diharamkan pula seorang muslim menikahi wanita musyrik.
وَلا
تنْكِحُوا المُشْركاتِ حَتّى يُؤمِنّ وَلأمَةٌ مُؤمِنَةٌ خيْرٌ مِن
مُشْركَةٍ وَلَو أعْجَبَتْكمْ، وَلا تُنْكِحُوا المُشْركِينَ حتّى
يُؤمِنوا، وَلَعَبْدٌ مُؤمِنٌ خَيْرٌ مِن مُشْركٍ وَلَو أعْجَبَكُمْ
“Dan
janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang beriman lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukminah) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang beriman lebih baik dari orang musyrik walaupun
dia menarik hatimu.” (QS. Al-Baqarah ayat 221).
5. Jika seorang pelaku syirik akbar meninggal dunia, maka dia tidak dishalatkan dan tidak dimakamkan di pekuburan kaum muslimin.
6. Haram baginya Surga dan ia kekal di Neraka. Allah berfirman,
إنّهُ مَن يُشْركْ باللهِ فَقَدْ حَرّمَ اللهُ عَلَيْه الجَنّةَ وَمَأوَاهُ النارُ وَمَا للظَالِمِيْنَ مِنْ أنْصَار
“Sesungguhnya orang yang
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka Allah pasti mengharamkan
atasnya Surga dan tempatnya adalah Neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang
zalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al-Maidah ayat 72)
17 April 2016
Hukum Memakai Cincin Besi
Dibolehkan menggunakan cincin yang terbuat dari besi dengan dalil hadits Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ berkata kepada laki-laki yang akan menikahi wanita yang menawarkan dirinya kepada Nabi ﷺ,
التمس ولو خاتماً من حديد
“Dapatkan walau hanya cincin (yang terbuat) dari besi.”;
Yaitu sebagai maharnya.
Adapun hadits Buraidah radhiyallahu ‘anhu tentang seorang laki-laki yang menggunakan cincin dari besi dan kemudian beliau ﷺ bersabda,
ما لي أرى عليك حلية أهل النار
“Mengapa aku melihat padamu perhiasan penduduk neraka?!”;
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i, namun dengan sanad yang dha’if (lemah).
Dengan ini telah jelas bahwa pendapat yang kuat adalah tidak dimakruhkan mengenakan cincin dari besi.
Berkata Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu, “Tidak mengapa memakai jam dan cincin dari besi dengan dalil yang shahih dari Nabi ﷺ dalam ash-Shahîhain bahwa beliau berkata kepada seorang laki-laki yang akan melamar : ‘Dapatkan walau hanya cincin (yang terbuat) dari besi’. Adapun apa yang diriwayatkan dari beliau untuk menghindari perkara tersebut maka riwayat tersebut adalah syâdz (ganjil, bersendirian), menyelisihi hadits shahih ini.” (Fatâwâ Islâmiyyah, IV/255).
12 April 2016
Wafatnya Abu Thalib dan Khadijah Ummul Mukminin
Tidak lama setelah Bani Hasyim meninggalkan Syi’b Abi Thalib, Nabi ﷺ
ditimpa musibah dengan wafatnya paman dan istri tercintanya di tahun
yang sama, yaitu di akhir tahun kesepuluh setelah kenabian.
Abu Thalib -namanya adalah Abdu Manaf- adalah orang yang selalu melindungi Nabi ﷺ
dan membelanya, dan Quraisy sangat menghormatinya. Ketika sang paman
meninggal, Quraisy tidak lagi segan untuk menyakiti Nabi ﷺ.
Menjelang kematiannya, Nabi ﷺ mendatanginya dan di sisinya telah ada Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah.
Nabi ﷺ mengatakan, “Wahai Paman, ucapkan La ilaha illa_llahu, satu kalimat yang akan aku jadikan hujjah di sisi Allah.”
Berkata Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah, “Wahai Abu Thalib, apakah engkau benci terhadap agama Abdul Muththalib?”
Mereka
berdua terus berbicara dengannya hingga akhirnya kata yang terakhir
diucapkannya bahwa dia berada diatas keyakinan Abdul Muththalib. Dan
Allah menurunkan firmanNya,
إنَّكَ لاَ تَهْدِيْ مَنْ أحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِيْ مَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya
kamu tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi
Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Qashash ayat 56).[1]
Pemikiran
jahiliyah sangat lekat di akal Abu Thalib dan sulit untuk mengubah
keyakinan yang diwarisinya dari nenek moyangnya, sementara
kawan-kawannya juga hadir bersamanya dan memberikan pengaruh yang kuat
untuk tetap bertahan dalam keyakinannya yang sesat.
Adapun
Khadijah bintu Khuwailid, ia wafat sekitar dua atau tiga bulan setelah
wafatnya Abu Thalib, di tahun yang sama, tiga tahun sebelum peristiwa
hijrah ke Madinah.
Menikahi Saudah Bintu Zam'ah
Setelah kematian Khadijah, pada bulan Syawwal tahun itu juga, Nabi ﷺ menikahi Saudah bintu Zam’ah radhiyallahu ‘anha.
Saudah termasuk generasi pertama Islam, ikut berhijrah ke Habasyah
dalam hijrah yang kedua, dan suaminya, as-Sakran bin ‘Amr, meninggal
dunia di Habasyah atau setelah kembali ke Makkah.[2]
——————
[1] Riwayat lengkapnya terdapat dalam Shahih al-Bukhary dan Shahih Muslim
[2] Disarikan dari berbagi sumber
[2] Disarikan dari berbagi sumber
06 April 2016
Menggunakan Jimat dari Ayat Al-Quran
Termasuk
dalam jimat yang umum digunakan sebagian orang adalah jimat yang
berisikan sebagian dari ayat-ayat Al-Quran atau doa-doa ruqyah yang
syar’i, dituliskan pada selembar kertas, dibungkus dengan sesuatu dan
digantungkan pada seseorang sebagai jimat pelindung atau terapi
penyembuhan.
Yang
seperti ini diperselisihkan oleh para ulama, yaitu menggantungkan jimat
yang berisi ayat-ayat al-Quran tersebut. Yang lebih selamat dan
hati-hati dalam masalah ini adalah melarang hal itu dengan beberapa
alasan. Diantaranya,
1. Hadits-hadits menyebutkan larangan secara umum tentang larangan menggantung jimat dan tidak mengecualikan sesuatu pun.
2. Membaca atau menggunakan ayat-ayat al-Quran, doa-doa dan dzikir-dzikir yang syar’i termasuk bagian dari isti’âdzah (memohon perlindungan) dan doa. Dengan ini, maka hal itu termasuk ibadah. Ibadah dalam Islam bersifat tauqîfî (paten, harus berlandaskan dalil). Tidak boleh mengadakan sebuah ibadah tanpa dalil yang shahih.
3.
Menggantung ayat-ayat al-Quran atau doa-doa dan dzikir-dzikir tersebut
akan mengantarkan kepada suatu bentuk penghinaan dan pelecehan. Karena
benda-benda yang digantungkan tersebut, yang bertuliskan ayat-ayat atau
doa-doa, akan dibawa masuk ke kamar kecil, terbawa oleh anak-anak dan
akan terkotori oleh najis dan yang semacamnya.
4. Tindakan preventif (sadd adz-dzarî’ah),
karena menggantungkan jimat dalam bentuk seperti ini akan membawa pada
ketergantungan hati kepada yang selain Allah, yang akan membawa
seseorang untuk menggantungkan jimat-jimat lainnya yang sudah jelas
keharamannya.
05 April 2016
Iman kepada Para Rasul
Iman
kepada rasul adalah salah satu prinsip dasar keimanan, karena merekalah
perantara antara Allah dan para makhluk dalam menyampaikan risalah-Nya
dan menegakkan hujjah-Nya atas mereka.
Iman
kepada rasul bermakna; pembenaran akan risalah mereka, mengakui kenabian
mereka, dan bahwasannya mereka adalah orang-orang yang jujur dalam
menyampaikan apa yang datang dari Allah. Mereka telah menunaikan amanat
risalah tersebut dan menjelaskan kepada manusia seluruh apa yang
diperintahkan Allah kepada mereka.
Rasul-rasul
yang disebutkan nama-namanya oleh Allah dalam al Quran, wajib diimani
setiap individunya tersebut, dan mereka berjumlah 25 orang. 18 orang
diantaranya Allah sebutkan dalam QS. Al-An’aam ayat 83-86; dan sisanya
–yang 7 orang- disebutkan di tempat yang berbeda-beda dalam al-Quran.
Siapa yang tidak disebutkan namanya dalam al-Quran, wajib diimani secara global. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقدْ أرْسَلْنَا رُسُلاً مِنْ قبْلِكَ مِنْهُمْ مَنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ
“Dan
sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, diantara
mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan diantara mereka ada (pula)
yang tidak Kami ceritakan kepadamu.” (QS. Ghafir : 78).
Dan firmanNya,
وَرُسُلاً قَدْ قصَصْنَاهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلاً لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ، وَكَلّمَ اللهُ مُوْسىَ تكْلِيْمًا
“Dan
(Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan
tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan
tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara
langsung.” (QS. An-Nisaa’ : 164).
Apa
perbedaan antara nabi dan rasul? Pendapat yang paling kuat tentang
perbedaan keduanya adalah bahwa setiap nabi dan rasul diberikan wahyu
kepada masing-masing mereka, tapi umumnya, nabi diutus kepada suatu kaum
yang beriman kepada syariat yang terdahulu seperti halnya nabi-nabi
Bani Israil. Adapun rasul, maka umumnya mereka diutus kepada kaum yang
kafir yang mereka dakwahi kepada tauhid, dan sebagian orang-orang
tersebut justru mendustakan mereka.
Seorang rasul lebih afdhal daripada seorang nabi. Dan rasul bertingkat-tingkat kedudukannya. Allah berfirman,
تِلْكَ الرُسُلُ فَضّلْنَا فَضّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلىَ بَعضٍ، مِنْهُمْ مَنْ كلّمَ اللهُ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجَاتٍ
“Rasul-rasul
itu telah Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain.
Diantara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan
sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat.” (QS. Al-Baqarah : 253).
Rasul-rasul
yang paling afdhal adalah rasul-rasul Ulul ‘Azmi. Dan merekalah yang
disebutkan Allah dalam QS. Al-Ahzab : 7 dan Asy-Syura : 13.
Dan yang paling afdhal dari para rasul Ulul ‘Azmi adalah al-Khalil Ibrahim dan Muhammad, ‘alaihimassalam, dan yang paling afdhal dari keduanya adalah Muhammad ﷺ.
Nubuwwah
(kenabian) ini adalah murni anugerah, keutamaan dan pilihan yang datang
dari Allah Ta’ala, dan tidak mungkin didapatkan dengan usaha-usaha
tertentu.
Wallahu a’lam.
03 April 2016
Pengumpulan Al-Quran (Jam’ al Qur-an)
Yang
dimaksudkan pengumpulan al-Quran adalah salah satu dari dua perkara
berikut; pengumpulannya di dada dalam bentuk hafalan, dan pengumpulannya
pada tulisan dalam bentuk pembukuan.
Nabi ﷺ
adalah yang pertama kali mengumpulkan al-Quran seluruhnya dengan
hafalan beliau, dan dihafalkan pula oleh sebagian besar Shahabat,
seluruhnya atau sebagiannya, dan dari merekalah kaum muslimin menerima
al-Quran tersebut dalam bentuk hafalan secara turun temurun dari
generasi ke generasi hingga zaman kita sekarang ini.
Adapun pengumpulan al-Quran dalam bentuk pembukuan (tadwin), maka al-Quran tidak pernah terkumpul dalam satu mushaf (buku) pada masa Nabi ﷺ,
dikarenakan al-Quran belum turun seluruhnya kecuali di saat-saat
terakhir menjelang masa kematian beliau.
Dahulu, ketika wahyu turun, beliau
hanya akan memanggil salah seorang dari para pencatat wahyu untuk menuliskannya
pada apa yang mungkin didapatkan dari tulang hewan, pelepah kurma atau
batu. Sebagian shahabat juga menulis ayat-ayat al-Quran itu untuk
dirinya sendiri setelah mengambilnya dari Nabi ﷺ secara langsung (talaqqi).
Alasan lainnya juga adalah karena para shahabat di masa itu memiliki perhatian yang besar terhadap hafalan melebihi perhatian mereka terhadap tulisan.
Pada masa Khilafah Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, di tahun 11 H, terjadi Perang Yamamah antara kaum muslimin dengan para pengikut Musailamah al-Kadzdzab. Dalam perang itu, terbunuh lebih dari 70 orang penghafal-penghafal al-Quran.
Umar radhiyallahu ‘anhu
akhirnya datang kepada Khalifah mengusulkan agar al-Quran dikumpulkan dalam satu mushaf agar al-Quran itu
tidak hilang dengan wafatnya para penghafalnya. Abu Bakr awalnya ragu dengan hal itu dan khawatir jika ia telah menambah sesuatu melebihi apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah ﷺ dalam agama ini. Ia terus dalam kebimbangan hingga akhirnya Allah melapangkan hatinya untuk menerima saran tersebut dan Abu Bakr kemudian
membebankan Zaid bin Tsabit untuk mengerjakan tugas penting itu.
Zaid bin Tsabit al-Anshari radhiyallahu 'anhu adalah seorang pencatat wahyu di masa Rasulullah ﷺ, dan ia menyaksikan penyodoran hafalan terakhir Nabi ﷺ kepada Jibril. Ia adalah seorang yang cerdas, terpercaya, dan dipersaksikan tentang kemahirannya (itqan) dalam hafalan al-Quran, huruf-hurufnya dan qira'ahnya, dan juga dalam i'rab serta bahasanya.
Walaupun ia telah menghafalkan al-Quran seluruhnya, namun Zaid
tetap mencari dan mengumpulkan semua apa yang pernah ditulis pada masa Nabi ﷺ
dan menyalinnya kembali dalam lembaran-lembaran dan diurutkan sebagaimana ketetapan akhir yang ia saksikan bersama Nabi ﷺ. Ia tidak menyalin
ayat-ayat tersebut kecuali setelah dipersaksikan oleh dua orang bahwa
mereka telah menulisnya atau mendengarnya langsung dari Nabi ﷺ. Akhirnya, selesailah satu naskah sempurna dari mushaf al-Quran yang mulia tersebut.
Mushaf tersebut berada di tangan Abu Bakr, kemudian di tangan Khalifah Umar, dan setelah kematian Umar, berada di tangan Ummul Mukmin Hafshah, hingga akhirnya dibakar setelah kematiannya, radhiyallahu 'anha.
Ketika penaklukan negeri-negeri semakin meluas, dan para shahabat telah berpencar di banyak negeri; maka setiap penduduk negeri akan membaca mushaf al-Quran dengan qira'ah shahabat yang datang ke negeri mereka. Di negeri Syam, mereka membacanya dengan qira'ah Ubay bin Ka'ab, di Kufah dengan qira'ahnya Abdullah bin Mas'ud, dan di Bashrah dengan qira'ahnya Abu Musa al-Asy'ari.
Pada masa penaklukan Azerbaijan dan Armenia (tahun 25 H), berkumpullah sebagian orang dari negeri Syam dan Iraq. Mereka saling membacakan al-Quran dan berselisih padanya. Hampir saja terjadi fitnah di antara mereka karena perbedaan qira'ah. Hal itu diketahui oleh seorang shahabat, Hudzaifah bin al-Yaman yang ikut dalam penaklukan tersebut. Ia sangat terguncang dengan peristiwa dan kembali ke Madinah. Ia mengadukan hal itu kepada Khalifah Utsman dan memintanya untuk menutup pintu fitnah tersebut.
Utsman radhiyallahu ‘anhu
lalu mengirim surat kepada Hafshah yang isinya : "Kirimkan kepada kami mushaf itu dan akan kami salin ke beberapa mushaf kemudian kami akan kembalikan kepadamu." Dan Hafshah mengirimkannya kepada Utsman.
Utsman kemudian menugaskan kembali Zaid bin Tsabit, dan dibantu oleh tiga orang lainnya yaitu Sa'id bin al-'Ash, Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam dan Abdullah bin az-Zubair.
Mereka bertugas menyalin kembali mushaf al-Quran yang pernah
dituliskan pada masa Abu Bakr.
Berkata Zaid : Ketika kami sampai pada ayat,
إِنَّ آيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوْتُ
Berkata Zaid : Saya membaca (التابوه)
Sa'id membaca (التابوت).
Kami membawanya kepada Utsman dan ia menulisnya (التابوت); karena bacaan itu adalah bacaan (lughah) Quraisy yang dengannya al-Quran diturunkan.
Ketika Zaid menyelesaikan penulisan mushaf, ia melakukan pengecekan terakhir dan ia tidak dapatkan firman Allah,
مِنَ المُؤْمِنِيْنَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيْلاً
Ia tidak mendapatkannya pada kaum Muhajirin dan tidak juga pada kaum Anshar. Hingga akhirnya ia dapatkan pada seorang shahabat, Khuzaimah bin Tsabit.
Ia kembali mengulangi bacaan untuk mengecek kelengkapan mushaf tersebut dan ia tidak mendapatkan firman Allah,
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُوْلٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالمُؤْمِنِيْنَ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ
Ia kembali mencarinya pada kaum Muhajirin dan tidak mendapatkannya. Demikian juga pada kaum Anshar, dan ia tidak mendapatkannya. Hingga akhirnya ia mendapatkannya pada seorang laki-laki lain yang juga bernama Khuzaimah. Ia pun menuliskannya seperti itu kemudian mengeceknya kembali untuk ketiga kalinya dan tidak mendapatkan sesuatu.
Utsman kemudian mencocokkannya dengan mushaf yang ada pada Hafshah dan tidak mendapatkan perbedaan pada keduanya dan hatinya pun menjadi tenang, radhiyallahu 'anhu.
Terdapat perbedaan riwayat tentang jumlah mushaf yang ditulis pada masa Utsman. Yang masyhur, jumlahnya 5 buah. Riwayat lain mengatakan 4 dan 7 mushaf.
Utsman mengirim mushaf-mushaf itu ke Makkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah dan Kufah, serta menyisakan satu buah di Madinah yang dikenal sebagai Mushaf al-Imam. Utsman
lalu memerintahkan untuk membakar atau menimbun seluruh lembaran-lembaran mushaf yang
selain itu yang ada di tangan-tangan manusia karena kekhawatiran
terjadinya kekeliruan dan perselisihan di umat ini berkait dengan kitab
sucinya.
Semua itu terjadi dengan keterlibatan para shahabat senior lainnya, dengan persetujuan mereka dan ijma' (kesepakatan) mereka, radhiyallahu 'anhum.