Diantara
prinsip dasar aqidah as-Salaf ash-Shalih, Ahlussunnah wal Jama’ah, bahwa
mereka tidak mengkafirkan individu tertentu dari kaum muslimin yang
melakukan sesuatu yang berkonsekuensi pada kekafiran, kecuali setelah
ditegakkannya hujjah (argumen); terpenuhi syarat-syaratnya, hilang penghalang-penghalangnya (al mawâni’) dan tidak ada lagi syubhat (kesamaran) dalam diri seorang jahil atau memiliki ta’wil/penafsiran (muta-awwil).
Dan sudah
dipahami, bahwa hal ini hanya pada perkara-perkara samar/tersembunyi
yang butuh kepada penjelasan, bukan pada persoalan-persoalan yang sudah
sangat jelas, seperti mengingkari wujud Allah Ta’ala, mendustakan Rasul ﷺ, atau mengingkari risalah atau penutup kenabiannya.
Ahlussunnah tidak mengkafirkan orang yang dalam keadaan dipaksa (mukrah), jika hatinya tetap tenang dalam keimanan.
Demikian
juga, mereka tidak mengkafirkan seorang pun dari kaum muslimin dengan
setiap dosa, walaupun dosa-dosa itu merupakan dosa-dosa besar (kabâ-ir adz dzunûb)
yang selain syirik. Ahlussunnah tidak memvonis kafir kepada para pelaku
dosa besar. Mereka hanya menghukuminya dengan sifat kefasikan atau
berkurangnya iman selama dia tidak menghalalkan dosanya tersebut. Karena
Allah Ta’ala berfirman,
إنَّ
اللهَ لاَ يَغْفِرُ أنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ
لِمَنْ يَشَاءُ, وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَد افْتَرىَ إثْمًا عَظِيْمًا
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa
yang selain itu bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’ ayat 48).
Dan firmanNya,
قُلْ
يَا عِبَادِيَ الَّذِيْنَ أسْرَفُوا عَلىَ أنْفُسِهِمْ لاَ تَقْنَطُوا مِن
رَحْمَةِ اللهِ إنَّ اللهَ يَغْفِرُوا الذُنُوْبَ جَمِيْعًا إنَّهُ هُوَ
الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
“Katakanlah
: Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri,
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah
mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar ayat 53).
Ahlussunnah
wal Jama’ah tidak mengkafirkan seorang pun karena sebuah dosa yang
tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa dosa itu adalah sebuah
kekufuran. Jika orang tersebut meninggal dalam keadaan demikian, maka
urusannya dikembalikan kepada Allah Ta’ala, jika Dia menghendaki Dia
akan menyiksanya, dan jika Dia menghendaki maka Dia akan mengampuninya.
Hal ini menyelisihi firqah-firqah sesat yang menghukumi para pelaku dosa
besar dengan kekafiran seperti keyakinan sekte Khawarij, atau berada
pada satu diantara dua status (al-manzilah bainal manzilatain), bukan muslim dan bukan kafir sebagaimana
yang diyakini Mu’tazilah.
Nabi ﷺ telah memperingatkan dari bahaya mengkafirkan tersebut. Beliau bersabda,
أيما امرئٍ قال لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما، إن كان كما قال وإلا رجعت عليه
“Siapa
saja yang berkata kepada saudaranya: Hai kafir!, maka perkataan itu
kembali kepada salah satu dari keduanya. Jika benar seperti yang orang
itu katakan, atau jika tidak benar, perkataan itu kembali kepadanya.” (HR. Muslim).
Beliau ﷺ bersabda,
من دعا رجلاً بالكفر أو قال عدو الله وليس كذلك إلا حار عليه
“Siapa
yang memanggil seseorang dengan kekafiran, atau dia mengatakan: Musuh
Allah!, dan orang itu tidaklah demikian, melainkan hal itu akan kembali
kepada yang mengucapkan.” (HR. Muslim).
Beliau ﷺ juga bersabda,
ومن رمى مؤمنًا بكفلرٍ فهو كقتله
“Siapa yang menuduh seorang mukmin dengan vonis kekafiran, maka itu seperti membunuhnya.” (HR. Al-Bukhary).
Dan beliau ﷺ bersabda,
إذا قال الرجل لأخيه يا كافر فقد باء به أحدهما
“Jika seorang laki-laki berkata kepada saudaranya: Hai kafir!, maka perkataan itu kembali kepada salah satu dari keduanya.” (HR. Al-Bukhary).
Ahlussunnah
wal Jama’ah membedakan antara hukum mutlak terhadap para pelaku bid’ah
dan maksiat atau kekafiran, serta hukum terhadap individu tertentu
–orang yang telah pasti keislamannya dengan yakin- bahwasannya dia
adalah seorang pendosa, seorang fasik atau seorang yang kafir. Mereka
tidak menghukuminya dengan vonis-vonis tersebut hingga jelas baginya
kebenaran, yaitu dengan menegakkan hujjah dan menghilangkan syubhat. Ini
dalam perkara-perkara yang tersembunyi dan samar, bukan dalam
perkara-perkara yang jelas.
Dan mereka tidak mengkafirkan individu tertentu kecuali jika telah terpenuhi padanya syarat-syarat (asy syurûth) dan hilang penghalang-penghalangnya (al mawâni’).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata : Saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Dahulu
ada dua orang dari Bani Israil yang saling bersaudara. Salah satunya
suka melakukan dosa, sementara yanng lainnya rajin beribadah. Ahli
ibadah itu selalu melihat yang lainnya melakukan dosa, maka ia berkata :
Berhentilah! Suatu hari ia mendapatkannya sedang melakukan dosa dan ia
berkata padanya : Berhentilah! Orang itu menjawab : Biarkan aku dengan
Rabb-ku! Apakah engkau diutus untuk mengawasi aku?! Maka ahli ibadah itu
berkata : Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu! – atau
(perkatannya) : Allah tidak akan memasukkanmu ke dalam Surga!… Mereka
akhirnya diwafatkan dan keduanya berkumpul di sisi Rabb semesta alam.
Allah berkata kepada ahli ibadah : Apakah engkau mengetahui tentang Aku
ataukah engkau berkuasa atas apa yang ada di Tangan-Ku?! Dan Dia berkata
kepada si pendosa : Pergilah, dan masuklah ke dalam Surga dengan
rahmat-Ku. Dan Dia berkata kepada yanng lainnya : Bawalah dia ke dalam
Neraka!”
Berkata
Abu Hurairah : “Demi jiwaku yang berada di Tangan-Nya, dia berbicara
dengan satu kata yang menghancurkan dunia dan akhiratnya!” (Terjemah HR.
Abu Dawud).
Kekafiran adalah lawan dari keimanan.
Hanya saja, kekafiran dalam istilah Syari’at terbagi dua; jika
disebutkan kata “kekafiran” dalam dalil-dalil maka terkadang yang
dimaksudkan adalah kekafiran yang mengeluarkan dari millah (agama), dan
terkadang dimaksudkan kekafiran yang tidak mengeluarkan dari millah.
Yang demikian itu karena kekafiran memiliki cabang-cabang sebagaimana
keimanan juga memiliki cabang.
(Sumber : Al Wajîz fî ‘Aqîdah as Salaf ash Shâlih)
0 tanggapan:
Posting Komentar