Sponsors

01 Mei 2016

Mereka tidak Mengkafirkan Kaum Muslimin

Diantara prinsip dasar aqidah as-Salaf ash-Shalih, Ahlussunnah wal Jama’ah, bahwa mereka tidak mengkafirkan individu tertentu dari kaum muslimin yang melakukan sesuatu yang berkonsekuensi pada kekafiran, kecuali setelah ditegakkannya hujjah (argumen); terpenuhi syarat-syaratnya, hilang penghalang-penghalangnya (al mawâni’) dan tidak ada lagi syubhat (kesamaran) dalam diri seorang jahil atau memiliki ta’wil/penafsiran (muta-awwil).

Dan sudah dipahami, bahwa hal ini hanya pada perkara-perkara samar/tersembunyi yang butuh kepada penjelasan, bukan pada persoalan-persoalan yang sudah sangat jelas, seperti mengingkari wujud Allah Ta’ala, mendustakan Rasul , atau mengingkari risalah atau penutup kenabiannya.

Ahlussunnah tidak mengkafirkan orang yang dalam keadaan dipaksa (mukrah), jika hatinya tetap tenang dalam keimanan.

Demikian juga, mereka tidak mengkafirkan seorang pun dari kaum muslimin dengan setiap dosa, walaupun dosa-dosa itu merupakan dosa-dosa besar (kabâ-ir adz dzunûb) yang selain syirik. Ahlussunnah tidak memvonis kafir kepada para pelaku dosa besar. Mereka hanya menghukuminya dengan sifat kefasikan atau berkurangnya iman selama dia tidak menghalalkan dosanya tersebut. Karena Allah Ta’ala berfirman,

إنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ, وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَد افْتَرىَ إثْمًا عَظِيْمًا

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain itu bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’ ayat 48).

Dan firmanNya,

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِيْنَ أسْرَفُوا عَلىَ أنْفُسِهِمْ لاَ تَقْنَطُوا مِن رَحْمَةِ اللهِ إنَّ اللهَ يَغْفِرُوا الذُنُوْبَ جَمِيْعًا إنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Katakanlah : Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar ayat 53).

Ahlussunnah wal Jama’ah tidak mengkafirkan seorang pun karena sebuah dosa yang tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa dosa itu adalah sebuah kekufuran. Jika orang tersebut meninggal dalam keadaan demikian, maka urusannya dikembalikan kepada Allah Ta’ala, jika Dia menghendaki Dia akan menyiksanya, dan jika Dia menghendaki maka Dia akan mengampuninya.

Hal ini menyelisihi firqah-firqah sesat yang menghukumi para pelaku dosa besar dengan kekafiran seperti keyakinan sekte Khawarij, atau berada pada satu diantara dua status (al-manzilah bainal manzilatain), bukan muslim dan bukan kafir sebagaimana yang diyakini Mu’tazilah.
 
Nabi telah memperingatkan dari bahaya mengkafirkan tersebut. Beliau bersabda,

أيما امرئٍ قال لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما، إن كان كما قال وإلا رجعت عليه

Siapa saja yang berkata kepada saudaranya: Hai kafir!, maka perkataan itu kembali kepada salah satu dari keduanya. Jika benar seperti yang orang itu katakan, atau jika tidak benar, perkataan itu kembali kepadanya.” (HR. Muslim).

Beliau bersabda,

من دعا رجلاً بالكفر أو قال عدو الله وليس كذلك إلا حار عليه

Siapa yang memanggil seseorang dengan kekafiran, atau dia mengatakan: Musuh Allah!, dan orang itu tidaklah demikian, melainkan hal itu akan kembali kepada yang mengucapkan.” (HR. Muslim).

Beliau juga bersabda,

ومن رمى مؤمنًا بكفلرٍ فهو كقتله

Siapa yang menuduh seorang mukmin dengan vonis kekafiran, maka itu seperti membunuhnya.” (HR. Al-Bukhary).

Dan beliau bersabda,

إذا قال الرجل لأخيه يا كافر فقد باء به أحدهما

Jika seorang laki-laki berkata kepada saudaranya: Hai kafir!, maka perkataan itu kembali kepada salah satu dari keduanya.” (HR. Al-Bukhary).

Ahlussunnah wal Jama’ah membedakan antara hukum mutlak terhadap para pelaku bid’ah dan maksiat atau kekafiran, serta hukum terhadap individu tertentu –orang yang telah pasti keislamannya dengan yakin- bahwasannya dia adalah seorang pendosa, seorang fasik atau seorang yang kafir. Mereka tidak menghukuminya dengan vonis-vonis tersebut hingga jelas baginya kebenaran, yaitu dengan menegakkan hujjah dan menghilangkan syubhat. Ini dalam perkara-perkara yang tersembunyi dan samar, bukan dalam perkara-perkara yang jelas.

Dan mereka tidak mengkafirkan individu tertentu kecuali jika telah terpenuhi padanya syarat-syarat (asy syurûth) dan hilang penghalang-penghalangnya (al mawâni’).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata : Saya mendengar Rasulullah bersabda, “Dahulu ada dua orang dari Bani Israil yang saling bersaudara. Salah satunya suka melakukan dosa, sementara yanng lainnya rajin beribadah. Ahli ibadah itu selalu melihat yang lainnya melakukan dosa, maka ia berkata : Berhentilah! Suatu hari ia mendapatkannya sedang melakukan dosa dan ia berkata padanya : Berhentilah! Orang itu menjawab : Biarkan aku dengan Rabb-ku! Apakah engkau diutus untuk mengawasi aku?! Maka ahli ibadah itu berkata : Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu! – atau (perkatannya) : Allah tidak akan memasukkanmu ke dalam Surga!… Mereka  akhirnya diwafatkan dan keduanya berkumpul di sisi Rabb semesta alam. Allah berkata kepada ahli ibadah : Apakah engkau mengetahui tentang Aku ataukah engkau berkuasa atas apa yang ada di Tangan-Ku?! Dan Dia berkata kepada si pendosa : Pergilah, dan masuklah ke dalam Surga dengan rahmat-Ku. Dan Dia berkata kepada yanng lainnya : Bawalah dia ke dalam Neraka!
Berkata Abu Hurairah : “Demi jiwaku yang berada di Tangan-Nya, dia berbicara dengan satu kata yang menghancurkan dunia dan akhiratnya!” (Terjemah HR. Abu Dawud).

Kekafiran adalah lawan dari keimanan. Hanya saja, kekafiran dalam istilah Syari’at terbagi dua; jika disebutkan kata “kekafiran” dalam dalil-dalil maka terkadang yang dimaksudkan adalah kekafiran yang mengeluarkan dari millah (agama), dan terkadang dimaksudkan kekafiran yang tidak mengeluarkan dari millah. Yang demikian itu karena kekafiran memiliki cabang-cabang sebagaimana keimanan juga memiliki cabang.

(Sumber : Al Wajîz fî ‘Aqîdah as Salaf ash Shâlih)

0 tanggapan:

Posting Komentar