Setelah
peristiwa bai’at Aqabah pertama, Rasulullah ﷺ mengirim Mush’ab bin Umair
bersama mereka ke Yatsrib untuk mengajarkan Islam.
Mush’ab tinggal di kediaman As’ad bin Zurarah, dan keduanya aktif mendakwahkan Islam kepada tokoh-tokoh Yatsrib.
Menjelang musim haji tahun berikutnya, Mush’ab kembali ke Makkah setelah berhasil mengislamkan sebagian besar penduduk Yatsrib.
Pada musim
haji tahun ke 13 setelah kenabian, datanglah delegasi haji Yatsrib,
baik yang telah memeluk Islam ataupun yang masih kafir.
Kaum
muslimin telah bersepakat bahwa mereka tidak akan membiarkan Rasulullah ﷺ
tertindas di Makkah. Mereka menghubungi beliau secara diam-diam dan
sepakat untuk bertemu di pertengahan hari-hari Tasyriq pada malam hari
di sisi Jamrah al-Aqabah.
Berkumpullah
mereka pada waktu yang ditentukan sebanyak 73 orang; 62 orang dari suku
Khazraj dan 11 dari suku Aus. Bersama mereka terdapat 2 orang wanita
yaitu Nusaibah bintu Ka’ab dari Bani Najjar dan Asma’ bintu ‘Amr dari
Bani Salamah.
Maka
datanglah Rasulullah ﷺ menjumpai mereka dan hadir bersama beliau
pamannya al-Abbas bin Abdil Muththalib yang saat itu masih musyrik,
namun ia ingin meyakinkan dirinya tentang keamanan dan kebaikan
keponakannya dalam urusan ini.
Abbas yang
pertama kali berbicara. Ia berkata, “Sesungguhnya Muhammad senantiasa
berada dalam kemuliaan dari kaumnya dan terlindung di negerinya. Tapi ia
tidak mau kecuali bergabung dan pergi bersama kalian. Jika kalian
melihat bahwa kalian hanya akan menyerahkannya (kepada musuh) dan
menghinakannya, maka dari sekarang tinggalkanlah ia, karena sungguh ia
berada dalam kemuliaan dan perlindungan kaumnya di negerinya.”
Seorang
dari mereka pun menjawab, “Kami telah dengarkan apa yang engkau ucapkan.
Berbicaralah, wahai Rasulullah. Ambillah (dari kami) apa yang engkau
suka untuk dirimu dan Rabb-mu!”
Maka
berbicaralah Rasulullah ﷺ. Beliau membacakan al-Quran, mengajak kepada
agama Allah dan memotivasi mereka kepada ajaran Islam. Kemudian beliau
berkata, “Aku membai’at kalian agar kalian melindungiku dari apa yang
kalian telah melindungi darinya istri-istri dan anak-anak kalian.”
Al-Bara’
bin Ma’rur langsung mengambil tangan Rasulullah ﷺ dan berkata, “”Iya,
demi Rabb yang telah mengutusmu dengan kebenaran, kami akan melindungimu
dari apa yang kami melindungi darinya keluarga kami. Ambillah bai’at
kami. Demi Allah, kami adalah ahli dalam perang dan ahli menggunakan
senjata, yang kami wariskan turun temurun dari leluhur kami.”
Perkataan
al-Bara’ itu diputus oleh Abul Haitsam bin at-Taihan, yang berkata,
“Wahai Rasulullah, antara kami dan kaum itu (orang-orang Yahudi) ada
perjanjian dan kami akan memutuskannya. Apakah andai saja kami melakukan
itu dan kemudian Allah memenangkanmu, engkau akan kembali kepada kaummu
dan meninggalkan kami?”
Rasulullah
ﷺ tersenyum dan berkata, “Darah dibalas darah, kehormatan dibalas
kehormatan. Aku bagian dari kalian dan kalian bagian dari diriku. Aku
perangi orang yang memerangi kalian dan aku berdamai dengan orang yang
berdamai dengan kalian.”
Kemudian Rasulullah ﷺ meminta mereka memilih 12 orang sebagai naqib
(pemimpin) yang bertanggung jawab atas kaumnya; 9 dari Khazraj dan 3
dari Aus. Dan yang pertama kali memegang tangan Rasulullah ﷺ dalam
bai’at tersebut adalah al-Bara’ bin Ma’rur –menurut sebagian pendapat-
dan kemudian diikuti oleh yang lainnya.
Setelah
pembai’atan selesai dan kaum tersebut hampir berpisah, salah satu
syaitan menemukan mereka. Maka syaitan itu pun berteriak dengan
sekeras-kerasnya, “Wahai penduduk negeri, apakah kalian memiliki urusan
terhadap Muhammad sementara orang-orang murtad itu bersamanya?! Mereka
telah berkumpul untuk memerangi kalian!”
Rasulullah ﷺ pun menyuruh mereka untuk bersegera kembali ke perkemahan mereka.
Berkata
al-Abbas bin Ubadah bin Nadhlah, “Demi Allah yang telah mengutusmu
dengan kebenaran, jika engkau mau, kami akan menyerang orang-orang di
Mina besok dengan pedang kami!”
Rasulullah ﷺ bersabda, “Kami tidak diperintahkan untuk hal itu. Kembalilah ke perkemahan kalian.”
Mereka akhirnya kembali dan tidur hingga datang waktu pagi.
Di pagi
hari, datanglah Quraisy ke perkemahan orang-orang Yatsrib untuk
mempertanyakan berita yang mereka dengarkan tentang pertemuan sebagian
orang-orang Yatsrib dengan Rasulullah ﷺ. Orang-orang musyrik Yatsrib
berkata, “Itu adalah berita bohong. Tidak terjadi sesuatu pun!”, dan
orang-orang yang telah masuk Islam hanya diam dan saling memandang.
Quraisy percaya dengan ucapan orang-orang musyrik tersebut dan kembali tanpa hasil.
Itulah
peristiwa yang dikenal sebagai bai’at al-Aqabah kedua. Peristiwa ini
adalah sebuah momentum besar dalam hidup Rasulullah ﷺ yang telah
mengubah wajah sejarah perjuangan Islam di fase Makkah dan fase
selanjutnya.
(Disarikan dari As-Sirah An-Nabawiyyah Ash-Shahihah dan Waqafat Tarbawiyyah fi As-Sirah An-Nabawiyyah)