Sponsors

06 Juni 2016

Yang Disunnahkan Saat Berbuka Puasa

Jika matahari telah dipastikan terbenam, disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk segera berbuka dan membatalkan puasanya.

Dari Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,

إذا رأيتم الليل قد أقبل من هاهنا فقد أفطر الصائم

Jika kalian melihat malam telah datang dari arah ini, maka telah berbuka orang yang berpuasa.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

لا يزال الناس بخير ما عجلوا الفطر

Senantiasa manusia dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Kebaikan yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah ittibâ’ (mengikuti) sunnah Nabi ﷺ yang merupakan sebab kebaikan dunia dan akhirat.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi ﷺ beliau bersabda,

لا يزال الدين ظاهرًا ما عجل الناس الفطر، لأن اليهود والنصارى يؤخرون الإفطار إلى اشتباك النجوم

Agama ini akan senantiasa tegak jika manusia menyegerakan berbuka. Karena orang-orang Yahudi dan Nasrani menunda waktu berbuka hingga bermunculan bintang-bintang.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, dishahihkan Al-Albani).

Disunnahkan berbuka dengan kurma jika memungkinkan. Jika tidak ada, berbuka dengan apa yang mudah didapatkan walaupun hanya dengan air.

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu ia berkata,

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يفطر على رطبات قبل أن يصلي، فإن لم تكن رطبات فعلى تمرات، فإن لم تكن حسا حسوات من الماء

“Rasulullah ﷺ berbuka dengan beberapa ruthab sebelum shalat, jika tidak ada ruthab, beliau berbuka dengan beberapa tamr, jika tidak ada, beliau berbuka dengan air.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Ruthab, yaitu kurma yang masih basah, tamr adalah kurma yang telah mengering.
Dan Rasulullah ﷺ jika telah berbuka beliau membaca dzikir,

ذهب الظمأ و ابتلت العروق و ثبت الأجر إن شاء الله

Dzahaba_dzh-dzhoma-u wa_btallati_l-‘urûq wa tsabata_l-ajru in syâ-a_Llâhu

Telah hilang dahaga, telah basah tenggorokan, dan telah tetap pahala insyaallah.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dalam Al-Kubrâ dan Ibnu As-Sunni, dishahihkan oleh Al-Albani).

Para ulama bersepakat bahwa puasa berakhir dan sempurna dengan tenggelamnya matahari dan sunnah bagi orang yang berpuasa untuk segera berbuka jika matahari telah dipastikan tenggelam dengan penglihatan langsung atau berita yang disampaikan seorang yang tsiqah (terpercaya).

Mereka juga bersepakat bahwa orang yang berpuasa boleh berbuka dengan ghalabah adzh-dzhann (persangkaan yang dominan). Karena dzhann tersebut menggantikan kedudukan al-yaqîn (keyakinan yang mutlak).

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu, “Dengan adanya mendung yang menutupi, tidak mungkin terwujud sebuah keyakinan kecuali jika telah berlalu waktu yang panjang dari malam hingga luputlah keutamaan menyegerakan berbuka. Karenanya tidak dianjurkan segera berbuka dengan adanya mendung hingga diyakini tenggelamnya matahari. Dimakruhkan berbuka dengan landasan keraguan tentang terbenamnya matahari, dan tidak dimakruhkan sahur dengan adanya keraguan telah terbitnya fajar kecuali dalam persoalan jima’ (bersetubuh).”

Perkataan beliau berlandaskan sebuah kaedah syar’i bahwa,

الأصل بقاء ما كان على ما كان

“Hukum asalnya adalah tetapnya sesuatu sebagaimana keadaannya”.

Maka dalam sahur, hukum asalnya adalah tetapnya malam hingga diyakini terbitnya fajar, sementara dalam berbuka hukum asalnya adalah tetapnya siang hingga diyakini tenggelamnya matahari.

Wallahu a’lam.
———————

Sumber bacaan :

[1] Taudhîh al Ahkâm min Bulûgh al Marâm
[2]
Shahîh Fiqh as Sunnah

0 tanggapan:

Posting Komentar