Telah dijelaskan sebelumnya bahwa hadits mardûd secara garis besar disebabkan dua hal pokok, yaitu disebabkan oleh as-saqth fi al-isnâd (السقط من الإسناد) dan ath-tha’n fi ar-râwi (الطعن فى الراوي).
Perkara-perkara yang disebabkan oleh as-saqth fi al-isnâd telah selesai dijelaskan, alhamdulillah.
Sekarang kita masuk ke pembahasan kedua, yaitu hadits mardûd disebabkan oleh ath-tha’n fi ar-râwi.
Yang dimaksudkan ath-tha’n fi ar-râwi
adalah celaan terhadap diri seorang perawi dengan ungkapan-ungkapan
tertentu, yang menilai kapasitas diri sang perawi dari sisi ‘adâlah dan agamanya, atau dari sisi dhabth dan hafalannya.
Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya celaan pada diri perawi ada 10 macam. Lima diantaranya berkait dengan al-‘adâlah, dan lima lainnya berkait dengan adh-dhabth.
Yang berkait dengan al-‘adâlah yaitu,
- Al-kadzib
- At-tuhmah bi al-kadzib
- Al-fisq
- Al-bid’ah
- Al-jahâlah, yaitu jahâlah al-‘ain
Dan yang berkait dengan adh-dhabth yaitu,
- Fuhsy al-ghalath
- Suu al-hifzh
- Al-ghaflah
- Katsrah al-auhâm
- Mukhâlafah at-tsiqât
Kita akan
sebutkan pembahasan tersebut satu persatu dan dimulai dengan yang paling
buruknya yaitu celaan yang disebabkan oleh kedustaan (الكذب).
Hadits Maudhû’
Jika sebab celaan pada diri perawi adalah karena berdusta atas nama Rasulullah ﷺ (الكذب على رسول الله), maka haditsnya disebut al-maudhû’ (الموضوع).
Definisi
Menurut bahasa berasal dari kata (وَضَعَ الشَيْء) yaitu (حَطَّهُ) atau menjatuhkannya.
Dalam istilah, hadits maudhu’ adalah hadits yang dusta, dipalsukan, dibuat dan disandarkan kepada Rasulullah ﷺ.
Hadits
maudhu’ adalah hadits dha’if yang paling buruk. Sebagian ulama bahkan
menjadikannya dalam sebuah pembahasan tersendiri, bukan bagian dari
hadits-hadits dha’if.
Hukum Meriwayatkan Hadits Maudhu’
Para ulama
bersepakat bahwa tidak halal bagi seseorang meriwayatkan hadits maudhu’
kecuali dengan penjelasan tentang kepalsuannya.
Nabi ﷺ bersabda,
من حَدَّثَ عني بحَديثٍ يُرَى أنه كذبٌ فهو أحدُ الكَاذِبَيْنِ
“Barangsiapa
menyampaikan dariku sebuah hadits yang ia memperkirakan bahwa itu
adalah kedustaan, maka dia salah satu dari dua pendusta.” (HR. Muslim).
Dalam
membuat hadits maudhu’, para pelakunya menggunakan dua metode, yaitu;
membuatkan sebuah ucapan yang datang dari dirinya sendiri, kemudian
membuatkan sanadnya dan meriwayatkannya.
Atau
dengan mengambil perkataan sebagian ahli hikmah atau yang selain mereka,
kemudian si pemalsu hadits membuatkan sanad untuk perkataan tersebut
yang sampai kepada Nabi ﷺ.
Bagaimana Mengetahui Kepalsuan sebuah Hadits?
Hadits maudhu bisa dikenali tanpa melihat kepada sanadnya dengan beberapa perkara, diantaranya,
1.
Pengakuan si pemalsu hadits, seperti pengakuan Abu ‘Ishmah Nuh bin Abi
Maryam bahwa ia telah memalsukan hadits-hadits tentang fadhilah
surat-surat dalam al-Quran, dari Ibnu Abbas.
Atau yang
setara dengan pengakuan tersebut, seperti seseorang yang menyampaikan
sebuah hadits dari seorang syaikh, dan ketika ditanya tentang waktu
kelahiran syaikhnya, ia menyebutkan tahun wafatnya sebelum kelahiran
orang tersebut. Dan hadits itu tidak dikenali kecuali dari jalan
periwayatannya.
2. Tanda
atau indikator yang terdapat pada diri perawi, seperti misalkan perawi
seorang penganut mazhab Rafidhah, dan ia meriwayatkan hadits tentang
keutamaan ahlul bait.
3. Tanda yang terdapat pada matan (al-marwi),
seperti hadits yang mengandung kerancuan makna dalam redaksinya, atau
menyelisihi indera, atau menyelisihi dalil yang jelas dalam al-Quran.
(Sumber : Taysîr Musthalah Al-Hadîts, Dr. Mahmud Ath-Thahhan)
0 tanggapan:
Posting Komentar