Sebagian orang atau kalangan, masih saja bersikeras dengan penghitungan hisab dalam penentuan jatuhnya Ramadhab dan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, padahal jelas-jelas perkara tersebut menyelisihi sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan amalan para Salaf. Kalau seandainya perkara itu baik, niscaya mereka akan mendahului kita dalam perkara tersebut.
Berikut ini kami kutipkan perkataan seorang imam besar tentang hukum penggunaan hisab tersebut. Imam yang cita-cita dan obsesinya telah menjadikannya dikagumi oleh banyak kalangan Islam "modern" di masa kita sekarang, yang sebagian mereka menggunakan metode hisab. Semoga artikel ini bermanfaat buat kami dan mereka.
-----00000-----
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ta’ala :
فإن الهلال مأخوذ من الظهور ، ورفع الصوت ، فطلوعه في السماء إن لم يظهر في الأرض فلا حكم له لاباطناً ولا ظاهراً
"(Kata) 'hilal' ( هلال ) diambil dari makna الظهور (nampak) dan رفع الصوت (kerasnya suara). Maka terbitnya hilal itu di langit dan tidak nampaknya di bumi, tidak memiliki konsekuensi hukum apa-apa secara bathin maupun zhahir…". (Majmu’ Fatawa, XXV/ 109)
Beliau juga berkata tentang hisab :
هذا قول ما قال به مسلم
"Ini adalah perkataan yang tidak diucapkan oleh seorang muslim". (Majmu’ Fatawa, XXV/ 132)
Beliau juga mengatakan tentang orang yang menetapkan masuknya bulan dengan hisab :
ضال في الشريعة مبتدع في الدين مخالف للعقل
"Sesat dalam Syariat, pelaku bid’ah dalam agama dan menyelisihi akal!". (Majmu Fatawa, XXV/ 207)
Dalam kitabnya yang lain beliau berkata setelah menyebutkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda :
إنا أمة أمية لا نكتب و لا نحسب، الشهر هكذا هكذا، يعني مرة تسعة و عشرين و مرة ثلاثين
"Sesungguhnya kami adalah kaum yang ummi. Kami tidak menulis dan tidak menghitung. (Hitungan) bulan itu sekian dan sekian"; maksudnya 29 hari atau 30 hari. [HR. al Bukhari dan Muslim]
"Beliau mensifatkan umat ini dengan meninggalkan penulisan (al Kitab) dan penghitungan (al Hisab) yang dilakukan umat-umat yang selainnya pada waktu-waktu peribadatan dan hari-hari raya mereka, dan mengarahkan umatnya kepada ru’yah dimana beliau bersabda dalam banyak hadits ;
صوموا لرؤيته و أفطروا لرؤيته
'Berpuasalah dengan melihatnya dan berbukalah dengan melihatnya (yaitu hilal)'
Dalam riwayat lain :
صوموا من الوضح إلى الوضح
'Berpuasalah dari yang jelas kepada yang jelas'; yaitu dari hilal ke hilal (berikutnya).
Ini merupakan dalil atas apa yang telah disepakati oleh kaum muslimin –kecuali oleh mereka yang menyendiri dari sebagian orang-orang yang datang belakangan, menyelisihi dan mereka telah didahului oleh ijma’-; bahwa waktu-waktu puasa, berbuka (Idul Fitri) dan menyembelih (Idul Adha) hanyalah dilaksanakan dengan ru’yah saat memungkinkan, bukan dengan penulisan dan penghitungan sebagaimana yang dilakukan oleh bangsa-bangsa ‘ajam dari Romawi, Persia, Koptik, India dan Ahli Kitab dari Yahudi dan Nasrani”.
(Iqtidhâ’ ash Shirâth al Mustaqîm li Mukhâlafah Ashâb al Jahîm, I/ 285-286)
Wallahu a'lam.
-------------------
Sumber :
1. Majmu Fatâwâ Syaikhil islam Ibn Taimiyyah. Dikumpulkan dan disusun oleh Abdurrahman al Qasim rahimahullahu.
2. Iqtidhâ’ ash Shirâth al Mustaqîm li Mukhâlafah Ashâb al Jahîm, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Tahqiq dan ta'liq oleh Syaikh Dr. Nashir bin Abdul Karim al 'Aql.
Wallahu a'lam.
-------------------
Sumber :
1. Majmu Fatâwâ Syaikhil islam Ibn Taimiyyah. Dikumpulkan dan disusun oleh Abdurrahman al Qasim rahimahullahu.
2. Iqtidhâ’ ash Shirâth al Mustaqîm li Mukhâlafah Ashâb al Jahîm, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Tahqiq dan ta'liq oleh Syaikh Dr. Nashir bin Abdul Karim al 'Aql.
0 tanggapan:
Posting Komentar