Sponsors

27 Maret 2015

Hukum Pengkafiran & Terorisme

Majelis Hai-ah Kibâr al Ulamâ dalam pertemuannya yang ke-49 di kota Tha’if, yang dimulai tanggal 2/4/1419 H, telah mempelajari apa yang terjadi di banyak negeri-negeri Islam dan lainnya dari kasus-kasus pengkafiran dan teror bom, serta akibat yang ditimbulkannya dengan tertumpahnya darah dan hancurnya infrastruktur. Melihat akan pentingnya perkara ini dengan segala konsekuensi lenyapnya nyawa-nyawa yang tidak berdosa dan jiwa-jiwa yang terpelihara, ketakutan masyarakat dan goncangnya stabilitas keamanan; maka Majelis memandang perlu untuk mengeluarkan pernyataan yang menjelaskan hukum dari perkara tersebut, sebagai nasehat untuk Allah dan untuk hamba-hambaNya; sebagai tanggung jawab moril dan juga untuk menyingkirkan syubhat pemahaman pada sebagian orang yang terjerumus dalam syubhat tersebut; kami katakan dengan taufîq Allah :

Pertama : takfîr (pengkafiran) adalah hukum syar’i yang rujukannya adalah Allah dan rasul-Nya. Sebagaimana penghalalan, pengharaman, dan perihal mewajibkan adalah hak Allah dan rasul-Nya, maka demikian juga dengan takfir. Tidak setiap apa yang disifatkan sebagai kekufuran –baik berupa perkataan atau perbuatan– bisa menjadi kufur akbar yang mengeluarkan dari agama.

Ketika rujukan hukum pengkafiran itu dikembalikan kepada Allah dan rasul-Nya, maka tidak boleh kita mengkafirkan kecuali siapa yang ditunjukkan oleh al-Kitab dan as-Sunnah akan kekafirannya dengan petunjuk yang jelas, tidak cukup hanya dengan syubhat dan persangkaan belaka, karena konsekuensinya membawa kepada hukum yang sangat berbahaya. Jika saja hukuman had bisa dibatalkan dengan syubhat –walaupun sebenarnya konsekuensinya lebih ringan daripada pengkafiran-, maka vonis pengkafiran tersebut lebih layak untuk ditolak dengan syubhat-syubhat tertentu. Karena itulah Nabi ﷺ telah memperingatkan tentang bahayanya menuduh kafir terhadap seseorang yang sebenarnya tidak kafir. Beliau bersabda,

أيما امرئٍ قال لأخيه : يا كافر فقد باء بها أحدهما، إن كان كما قال وإلا رجعت عليه

“Siapa saja yang berkata kepada saudaranya : ‘kafir!’, maka perkataan itu akan kembali kepada salah satu dari keduanya. Entah seperti yang ia tuduhkan; jika tidak, tuduhan itu akan kembali kepadanya.

Telah disebutkan dalam al-Kitab dan as-Sunnah apa yang bisa dipahami bahwa suatu perkataan, perbuatan atau keyakinan tertentu adalah kekufuran, namun orang yang disifatkan dengannya tidak menjadi kafir, disebabkan oleh sesuatu yang menghalanginya dari kekafiran tersebut.

Dan hukum yang seperti ini –sebagaimana hukum-hukum yang lainnya-, tidak akan terwujud kecuali dengan sebab-sebab dan syarat-syaratnya, serta tidak adanya mawâni’ (penghalang-penghalang). Sebagaimana hukum warisan, sebabnya adalah kekerabatan –sebagai contoh kasusnya-; seseorang bisa jadi tidak mewarisi dengan kekerabatan tersebut disebabkan oleh sebuah penghalang, seperti perbedaan agama. Demikian juga kekufuran. Seorang mukmin dipaksa untuk kafir, dan dia tidak kafir dengannya. Mungkin saja seorang mukmin mengucapkan satu kalimat kekufuran dalam situasi yang sangat gembira atau sangat marah, namun dia tidak serta merta menjadi kafir karena tidak adanya niat untuk hal itu. Sebagaimana dalam kisah orang yang mengucapkan : ‘Ya Allah, Engkau adalah hambaku, dan aku adalah rabb-Mu’; dia telah berbuat kesalahan karena kegembiraan yang sangat besar.

Tergesa-gesa dalam mengkafirkan, konsekuensinya adalah perkara-perkara yang sangat berbahaya, seperti : dihalalkannya darah dan harta, hilangnya hak waris, batalnya pernikahan, dan lain-lain yang konsekuensinya juga adalah murtad. Maka bagaimana mungkin seorang mukmin melakukannya dengan hanya sebuah syubhat yang kecil.

Jika pengkafiran tersebut ditujukan terhadap para penguasa, maka perkaranya lebih besar lagi. Karena hal itu akan membawa kepada pembangkangan dan pemberontakan bersenjata terhadap mereka, terjadinya kekacauan, tertumpahnya darah, serta kerusakan bagi rakyat dan negara. Karena itulah Nabi ﷺ melarang memberontak terhadap para penguasa. Dan beliau bersabda,

إلا أن تروا كفرًا بواحًا عندكم فيه من الله برهان

“Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang sangat nyata, yang kalian memiliki bukti dari Allah.

Sabda beliau :“Kecuali jika kalian melihat”, memberikan faedah bahwa perbuatan tersebut tidak cukup hanya dengan sekedar persangkaan dan isu belaka. Sabda beliau :“Kekufuran”, yaitu tidak cukup hanya dengan kefasikan sebesar apapun kefasikan tersebut, seperti kezaliman, meminum khamr, berjudi, dan suka mementingkan diri sendiri yang diharamkan. Sabda beliau :“Yang sangat nyata”, yaitu tidak cukup sebuah kekufuran yang tidak nyata dan jelas. Sabda beliau:”Kalian memiliki bukti dari Allah”, yaitu mesti disertai dengan dalil yang jelas, yang dalil tersebut shahîh ats-tsubût (dipastikan keshahihannya) dan sharîh ad-dalâlah (jelas petunjuk dalilnya). Maka tidak cukup hanya dengan sebuah dalil yang lemah sanadnya dan tidak jelas petunjuk dalilnya (ghâmidh ad-dalâlah). Sabda beliau : “Dari Allah”, yaitu tidak ada artinya  perkataan seorang yang berilmu –sebesar apapun kedudukannya dalam ilmu dan amanah– jika perkatannya tersebut tidak dilandasi oleh dalil yang sharîh (jelas) dan shahîh dari Kitab Allah atau Sunnah rasul-Nya ﷺ. Kaedah-kaedah ini menunjukkan betapa berbahayanya perkara tersebut.

Kesimpulannya : terburu-buru dalam mengkafirkan sangat besar bahayanya. Allah Azza wa Jalla berfirman (yang artinya) : “Katakanlah : Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. Al-A’raf : 33)

Kedua : akibat yang muncul dari keyakinan yang salah tersebut adalah dihalalkannya darah dan kehormatan, perampokan asset-asset pribadi dan umum, pengeboman gedung dan kendaraan, serta penghancuran infrastruktur. Seluruh perbuatan ini dan yang semisalnya diharamkan syari’at dengan ijmâ’ (konsensus) kaum muslimin. Karena hal tersebut telah merusak kehormatan jiwa-jiwa yang terpelihara, merusak kehormatan harta benda, merusak stabilitas keamanan, ketenangan, dan kedamaian manusia dalam kehidupan mereka, serta merusak fasilitas-fasilitas umum yang sangat dibutuhkan oleh orang banyak.

Islam telah memelihara untuk kaum muslimin harta-harta, darah-darah dan tubuh-tubuh mereka; mengharamkan kezaliman terhadap hal-hal tersebut dan sangat ketat dalam menjaganya. Itulah salah satu wasiat terakhir yang disampaikan Nabi ﷺ untuk ummatnya. Beliau bersabda dalam khutbah Haji Wada’,

إن دماءكم وأموالكم وأعراضكم عليكم حرامٌ كحرمة يومكم هذا في شهركم هذا في بلدكم هذا، ثم قال : ألا هل بلغت؟ اللهم اشهد

“Sesungguhnya darah-darah, harta-harta, dan kehormatan-kehormatan kalian adalah haram atas diri-diri kalian sebagaimana haramnya hari kalian ini, dalam bulan kalian ini, dan di negeri kalian ini”. Kemudian beliau bersabda :“Ketahuilah! Apakah aku telah sampaikan? Ya Allah, saksikanlah!” (Hadits Muttafaq ‘alaihi).

Beliau bersabda,

كل المسلم على المسلم حرامٌ دمه وماله وعرضه

“Setiap muslim atas muslim lainnya, diharamkan darah, harta dan kehormatannnya.

Beliau juga bersabda,

اتقوا الظلم فإن الظلم ظلمات يوم القيامة

“Jauhilah kezaliman! Karena kezaliman itu adalah kegelapan di hari kiamat kelak.

Allah Ta’ala telah mengancam orang yang membunuh jiwa yang ma’shum dengan ancaman yang sangat  keras. Allah berfirman tentang hak seorang mukmin (artinya) : “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya”. (QS. An-Nisa’ : 93).

Dan Allah berfirman tentang hak seorang kafir yang memiliki dzimmah (jaminan perlindungan) dalam kasus pembunuhan yang tidak disengaja (artinya) : “Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. (QS. An Nisa’ : 92).

Jika saja seorang kafir yang memiliki jaminan keamanan terbunuh dengan tidak sengaja memiliki diyat dan kaffarat (yang harus dibayarkan kepada keluarganya), maka bagaimana jika dia dibunuh dengan sengaja. Sungguh kejahatan dan dosanya sangatlah besar. Telah shahih dari Rasulullah ﷺ (sabdanya),

من قتل معاهدًا لم يرح رائحة الجنة

“Barangsiapa membunuh seorang mu’ahad, niscaya dia tidak akan mencium bau surga.

Ketiga : Majelis ini, ketika menjelaskan hukum mengkafirkan manusia tanpa bukti dari Kitab Allah dan Sunnah rasul-Nya serta berbahayanya persoalan tersebut dengan segala konsekuensi keburukan dan dosa; maka Majelis mengumumkan kepada seluruh dunia bahwa Islam berlepas diri dari keyakinan yang salah ini. Dan apa yang terjadi di sebagian negara dari kasus-kasus  tumpahnya darah orang-orang yang tidak berdosa, pengeboman gedung-gedung, kendaraan, sarana-sarana umum dan pribadi, serta perusakan infrastruktur adalah tindakan kejahatan dan Islam berlepas diri darinya. Demikian juga setiap muslim yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya berlepas diri darinya. Tindakan ini hanyalah perbuatan orang yang memiliki ideologi yang menyimpang dan aqidah yang sesat. Dialah yang akan memikul dosa dan kejahatannya. Perbuatannya tersebut tidak bisa dibebankan kepada Islam, dan tidak juga kepada kaum muslimin yang mengambil petunjuk dengan petunjuk Islam, yang komitmen kepada al-Kitab dan as-Sunnah, yang berpegang teguh kepada tali Allah yang kokoh. Perbuatan ini hanyalah kerusakan dan kejahatan semata yang dibenci oleh syari’at dan fitrah. Karena itulah nash-nash syari’at telah mengharamkannya dan memperingatkan bahayanya bergaul dengan para pelakunya.

Allah Ta’ala berfirman (artinya) : “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. Dan apabila dikatakan kepadanya :’Bertakwalah kepada Allah’, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya. (QS. Al-Baqarah : 204-206).

Wajib bagi seluruh kaum muslimin di mana pun mereka berada untuk saling berwasiat diatas kebenaran, saling bernasehat dan tolong-menolong dalam kebajikan dan ketakwaan, ber-amar ma’ruf nahi munkar dengan penuh hikmah dan pengajaran yang baik, serta berdiskusi dengan cara yang baik. Sebagaimana firman Allah subhânahu wa ta’âla (yang artinya) : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. Al-Maidah : 2).

FirmanNya subhânahu (artinya), “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah : 71).
 
Dan firmanNya ’azza wa jalla (artinya), “Demi masa. Sesungguuhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al-‘Ashr : 1-3).
 
Dan Nabi ﷺ bersabda,

الدين النصيحة، قيل : لمن يا رسول الله؟ قال : لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين

“Agama itu adalah nasehat. Ditanyakan: “Untuk siapa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, pemimpin-pemimpin kaum muslimin dan untuk seluruh kaum muslimin.

Beliau juga bersabda,

مثل المؤمنين فى توادهم وتراحمهم وتعاطفهم مثل الجسد، إذا اشتكى منه عضوٌ تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى

“Perumpaman orang-orang mukmin dalam cinta, kasih sayang dan kelembutan mereka ibarat satu tubuh. Jika satu anggota tubuh merasa sakit, maka seluruh tubuh akan ikut merasakan tidak bisa tidur dan demam.

Dan ayat-ayat serta hadits-hadits yang semakna sangatlah banyak.

Akhirnya kami bermohon kepada Allah Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang husnâ dan sifat-sifat-Nya yang mulia agar Dia mencegah segala keburukan dari kaum muslimin; menunjuki penguasa-penguasa kaum muslimin kepada apa yang terbaik bagi para hamba dan seluruh negeri serta (membantu mereka) memberantas kerusakan dan para perusak, menolong agama-Nya, meninggikan kalimat-Nya, dan memperbaiki keadaan kaum muslimin di setiap tempat, serta menolong kebenaran dengan perantaraan mereka. Sesungguhnya Dia-lah yang berhak dan berkuasa atas hal tersebut. Dan shalawat dan salam atas nabi kita Muhammad beserta keluarga dan para shahabatnya.

Ketua Majelis : Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Anggota : Shalih bin Muhammad al Luhaydan – Abdullah bin Sulaiman bin Mani’ – Muhammad bin Shalih al Utsaimin – Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh – Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh – Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at Turky – Dr. Abdul Wahhab bin Ibrahim Abu Sulaiman – Rasyid bin Shalih bin Khunain – Abdullah bin Abdurrahman al Ghudayyan – Abdullah bin Shalih al Bassam – Nashir bin Hamad ar Rasyid – Muhammad bin Sulaiman al Badr – Muhammad bin Zaid Alu Sulaiman – Dr. Shalih bin Abdurrahman al Athram – Muhammad bin Ibrahim bin Jubair – Dr. Shalih bin Fauzan al Fauzan – Hasan bin Ja’far al ‘Atamy – Muhammad bin Abdullah as Subail – Abdurrahman bin Hamzah al Marzuqy – Dr. Bakr bin Abdullah Abu Zaid.

——————

(Majalah al Buhûts al Islâmiyyah, no. 56, hal. 362-375)

0 tanggapan:

Posting Komentar