Tawassul
adalah bagian dari doa. Dan doa adalah salah satu dari ibadah-ibadah
yang tidak dilakukan kecuali dengan petunjuk syari’at. Tidak dibenarkan
bagi seorang pun mengada-adakan satu jenis ibadah dalam agama Allah ini
tanpa petunjuk dalil yang shahih dan sharîh (jelas). Karenanya,
siapa yang melakukan tawassul dengan perkara yang tidak dituntunkan oleh
syari’at ini maka tawassul tersebut adalah termasuk jenis tawassul
bid’ah yang diharamkan.
Diantara bentuk-bentuk tawassul yang terlarang adalah :
1.
Bertawassul kepada Allah Ta’ala dengan perantaraan zat (diri) seorang
nabi, atau seorang shalih, atau Ka’bah dan lain-lain, seperti perkataan
seseorang : “Ya Allah, aku memohon kepadamu dengan perantaraan diri
bapak kami Adam ‘alaihissalam agar Engkau merahmati aku.”
2. Bertawassul dengan hak nabi, atau seorang shalih, atau Ka’bah dan lain-lain.
3.
Bertawassul dengan “kemuliaan” seorang nabi atau seorang shalih, atau
bertawassul dengan keberkahan dan kehormatannya, atau dengan hak
kuburnya dan yang semacamnya.
Seorang
muslim tidak dibenarkan berdoa kepada Allah dengan bentuk-bentuk
tawassul seperti ini karena perkara seperti ini tidak dinukil dengan
periwayatan yang shahih dari para Salaf. Andai perkara itu baik, niscaya
mereka telah mendahului kita dalam perkara tersebut.
Telah dinukil begitu banyak doa dari para Salaf, namun tidak ada satu pun bentuk-bentuk tawassul yang disebutkan.
Hal ini
bukan berarti bahwa kita meremehkan dan merendahkan kedudukan, kemuliaan
dan kehormatan salah seorang dari para nabi atau orang-orang shalih.
Mereka adalah orang-orang terbaik yang memiliki kemuliaan dan
kehormatan. Namun kemuliaan itu adalah milik mereka masing-masing,
khusus untuk pribadi-pribadi mereka. Mereka bisa memberi syafaat dengan
kemuliaan mereka semasa hidupnya di dunia dan di akhirat nanti bagi
siapa yang mereka kehendaki. Tapi tidak ada dalil yang membolehkan bagi
yang selain mereka untuk bertawassul kepada Allah dengan menyebut zat
(diri) mereka atau kemuliaan mereka.
Demikian
pula tidak dibenarkan seseorang bersumpah terhadap Allah dalam doanya
dengan menyebut nama salah seorang dari hambaNya. Karena pada asalnya
tidak dibolehkan bersumpah dengan selain nama Allah Ta’ala. Bagaimana
lagi dengan orang yang bersumpah terhadap Allah dengan nama selainNya?!
Begitu
juga tidak dibolehkan bermohon kepada Allah dengan hak seseorang. Karena
hak seperti itu hanya milik Allah, yang menjadi kewajiban para hamba
(yaitu dalam hakNya untuk diibadahi dan tidak dipersekutukan). Tidak ada
hak para hamba atas Allah Ta’ala yang menjadi kewajibanNya terhadap
mereka kecuali apa yang Dia wajibkan atas diriNya sendiri (yaitu untuk
menolong orang-orang mukmin, tidak menyiksa yang bertauhid diantara
mereka, mengabulkan permohonan mereka).
Kalangan
yang membolehkan bentuk-bentuk tawassul seperti ini tidak memiliki
dalil-dalil yang shahih. Mereka hanya berhujjah (berargumen) dengan
beberapa hadits atau atsar yang sangat lemah seperti hadits,
إذا سألتم الله فاسألوه بجاهي فإن جاهي عند الله عظيمٌ
“Jika kamu meminta kepada Allah, mintalah padaNya dengan kemuliaanku, karena sungguh kemuliaanku di sisi Allah sangatlah agung.”
Hadits tersebut adalah hadits maudhu’ (palsu), tidak bisa dijadikan hujjah dalam pensyari’atan suatu ibadah.
Mereka
juga berdalil dengan hadits Abu Sa’id yang padanya disebutkan tentang
tawassul kepada Allah dengan hak orang-orang yang meminta dan hak
berjalan ke masjid. Haditsnya juga dha’if. Andai haditsnya
dianggap sah, hak orang-orang yang meminta adalah pengabulan doa dari
Allah Ta’ala, dan hak berjalan ke masjid adalah pahala dari Allah.
Pengabulan doa dan memberi pahala adalah dua sifat dari sifat-sifat
Allah Ta’ala, sementara bertawassul kepada Allah dengan sifat-sifatNya
adalah termasuk tawassul yang disyari’atkan.
Mereka
juga berdalil dengan sebagian hadits-hadits shahih, namun tidak secara
jelas menyebutkan makna seperti yang mereka pahami. Diantaranya adalah
hadits tentang kisah bertawassulnya Umar bin al-Khattab dan para
shahabat dengan paman Nabi ﷺ, al-Abbas bin Abdil Muththalib, radhiyallahu ‘anhum.
Hadits
tersebut sebenarnya menggugurkan apa yang mereka yakini. Kalau saja
tawassul dengan diri Nabi ﷺ atau kemuliaannya dibolehkan, niscaya Umar
dan para shahabat tidak akan bertawassul dengan al-Abbas atau dengan
kedudukan dan kemuliaan al-Abbas karena kemuliaan Nabi ﷺ tentu jauh
lebih besar dan agung. Dan kemuliaan Nabi ﷺ tidak akan pernah berkurang
dengan kematiannya. Ketika Umar berpaling kepada al-Abbas, maka ini
menunjukkan bahwa bertawassul dengan orang yang lebih mulia dari
al-Abbas setelah kematiannya adalah hal yang tidak mungkin dilakukan;
tidak dengan doanya, dirinya, haknya atau kemuliaannya karena perbuatan
itu termasuk dalam keharaman.
Ketika
banyak dari umat ini meninggalkan tawassul yang disyari’atkan dan
berpaling kepada bentuk-bentuk tawassul yang tidak ada petunjuknya dari
Nabi ﷺ, maka Anda akan banyak mendapatkan sebagian mereka pergi ke kubur
dan bertawassul kepada Allah dengan perantaraan “kemuliaan” atau diri
sang penghuni kubur. Akibat buruknya dari perbuatan seperti ini justru
mengantarkan sebagian mereka kepada tawassul syirik, yang mungkin saja
akan membawa kepada sebagian bentuk-bentuk kekufuran. Sebagian mereka
akhirnya justru meminta langsung kepada orang-orang yang sudah wafat,
meminta diberikan kebaikan atau dihindarkan dari keburukan, dan meminta
agar orang-orang mati itu memberi mereka syafa’at di sisi Allah.
Karenanya,
sepantasnya seorang muslim menjauhi bentuk-bentuk tawassul yang tidak
disyari’atkan dalam dalil-dalil yang shahih. Minimal bentuk tawassul
seperti itu masuk ke dalam perkara-perkara syubhat. Dan siapa yang
menjauhi perkara syubhat, sungguh dia telah menjaga diri dan agamanya.
Wallahul musta’an.
(Sumber : Tahdzîb Tashîl al ‘Aqîdah al Islâmiyyah, Syaikh Dr. Abdullah bin Abdul Aziz al-Jibrin hafidzhahullahu)
0 tanggapan:
Posting Komentar