Hadits shahîh li ghairih adalah hadits hasan li dzâtihi jika diriwayatkan dari jalan lain yang sepertinya atau lebih kuat darinya.
Disebut
“shahîh li ghairih” karena keshahihannya tidak datang dari sanad hadits
itu sendiri, tetapi dengan kumpulan/gabungan hadits lainnya dengannya.
Gambarannya sebagai berikut :
Hasan li dzâtihi + hasan li dzâtihi = shahîh li ghairihi
Derajatnya
Hadits shahîh li ghairih lebih tinggi levelnya daripada hasan li dzâtihi, dan dibawah level hadits shahîh li dzâtihi.
Contoh
Hadits Muhammad bin ‘Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لو لا أن أشقّ على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاةٍ
“Kalau aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku akan menyuruh mereka untuk bersiwak pada setiap shalat.”
Berkata Ibnu ash-Shalah : “Muhammad bin
‘Amr bin ‘Alqamah termasuk orang-orang yang dikenal dengan kejujuran dan
kebersihannya. Akan tetapi, ia bukan termasuk ahlul it’qân (yang pakar dalam keshahihan hadits) hingga sebagian ulama melemahkannya dari sisi buruknya hafalan. Sebagian menganggapnya tsiqah
(sangat terpercaya) karena kejujuran dan kemuliaannya. Haditsnya dari
sisi ini adalah hasan. Ketika hadits itu digabungkan dengan periwayatan
dari jalan lain, maka hilanglah apa yang tadinya kami khawatirkan
darinya dalam perkara buruknya hafalannya. Dengan itu, tertutuplah
kekurangan kecil tersebut, dan shahihlah sanad itu dan masuk dalam
derajat shahih.” (Ulûm al Hadîts, hal. 31-32)
Sementara hadits hasan li ghairih adalah hadits dha’îf
(lemah) jika berbilang jalan-jalan periwayatannya, dan sebab
kelemahannya itu bukan karena kefasikan perawinya atau kedustaannya.
Dengan definisi tersebut, hadits dha’if bisa naik kepada level “hasan li ghairih” dengan dua perkara, yaitu,
1.
Diriwayatkan dari satu jalan yang lain atau lebih, dengan syarat bahwa
jalan periwayatan lain itu sama sepertinya atau lebih kuat darinya.
2. Sebab kelemahan haditsnya adalah karena buruknya hafalan perawi, atau karena inqithâ’ (terputus) dalam sanadnya, atau jahâlah (ketidak-jelasan status) pada perawi-perawinya.
Hadits ini
disebut hasan li ghairih karena status “hasan”nya tidak datang dari
sanad hadits itu sendiri, akan tetapi dengan hadits lain yang
digabungkan kepadanya. Gambaran mudahnya adalah sebagai berikut :
Dha’if + dha’if = hasan li ghairih
Derajatnya
Hadits hasan li ghairih lebih rendah levelnya daripada hadits hasan li dzâtihi.
Dengan
landasan ini, jika terjadi kontradiksi antara hadits hasan li dzâtihi
dengan hadits hasan li ghairih, didahulukan hadits hasan li dzâtihi.
Hukumnya
Hadits hasan li ghairih termasuk hadits maqbûl yang diamalkan.
Contohnya
Diriwayatkan
oleh Imam at-Tirmidzi dan ia hasankan, dari jalan Syu’bah, dari ‘Ashim
bin Ubaidillah, dari Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya,
أن امرأةً من بني فزارة تزوّجت على نعلين، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أرضيتِ من نفسك ومالك بنعلين؟ قالت: نعم، قال: فأجاز
bahwa seorang wanita dari Bani Fazarah menikah dengan mahar dua alas kaki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apakah engkau rela terhadap diri dan hartamu dengan dua alas kaki?” Ia menjawab : “Iya.” Maka beliau pun membolehkannya.
Berkata
at-Tirmidzi : “Dalam bab ini (diriwayatkan juga) dari Umar, Abu
Hurairah, Sahl bin Sa’ad, Abu Sa’id, Anas, A’isyah, Jabir dan Abu Hadrad
al-Aslami.”
‘Ashim adalah seorang perawi yang dha’if karena buruknya hafalannya (sû-u al hifdzh). At-Tirmidzi menghasankan haditsnya karena telah diriwayatkan lebih dari satu jalan.
(Sumber : Taysîr Mushthalah al-Hadîts, Dr. Mahmud ath-Thahhan)
0 tanggapan:
Posting Komentar