27 April 2015
Dimulai dengan At-Tashfiyah dan At-Tarbiyah
Al-ishlah
(perbaikan) pada hari ini tidak dimulai dengan sebuah revolusi atau
pemberontakan terhadap penguasa kafir, apalagi hanya seorang penguasa
yang fasiq. Perbaikan itu hanya mungkin dimulai –sebagaimana yang kami
selalu dan akan terus kami katakan semenjak puluhan tahun- dengan at-tashfiyah (pemurnian aqidah) dan at-tarbiyah (pembinaan).
Jika seseorang bersama kita diatas manhaj ini, mengingatkan dengan ini, maka itu cukup.
Jika
ia tidak bersama kita, hendaknya ia tahu dan kita pahami darinya
bagaimana ia inginkan persoalan ini dan dengan siapa ia akan
memberontak?
Mayoritas
kaum muslimin adalah orang-orang jahil. Dan kebanyakan dari muslim yang
memiliki ilmu tentang sebagian hukum-hukum syar’i mereka justru
menyelisihinya.
Wanita-wanita
mereka berpakaian tapi telanjang, muamalah mereka menyelisihi
hukum-hukum syar’i pada banyak sisinya, dan seterusnya…
Kita
semua meyakini bahwa pertolongan Allah terhadap hamba-hambaNya yang
beriman disyaratkan dengan satu kalimat, “Jika kamu menolong agama
Allah”. Sementara pertolongan Allah hanya mungkin terwujud pertama
dengan ilmu, kedua dengan amal.
Ilmu
pada hari ini seperti yang kalian semua ketahui padanya terdapat
perbedaan yang sangat besar dengan ilmu yang dahulu berada diatasnya
para as-Salaf ash-Shalih.
Karenanya dalam hadits yang kalian ketahui, yang permulaannya, “Jika kamu berjual beli dengan riba, memegang ekor-ekor sapi…” hingga (perkataannya), “Allah
akan menimpakan pada kalian kehinaan. Dia tidak akan melepaskan
kehinaan itu dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian”; agama pada hari ini memiliki pemahaman yang sangat bermacam-macam.
Bukan
hanya dalam persoalan furu’, bahkan –sebagaimana yang mereka
istilahkan- juga dalam masalah-masalah ushul. Bukan hanya
persoalan-persoalan hukum, bahkan juga dalam permasalah aqidah.
Kalian mengetahui pada hari ini sebagian besar muslim entah bermazhab Asy’ari atau Maturidi.
Apakah dengan mereka ini Islam akan menang?!
Jika demikian, mesti ada at-tashfiyah dan at-tarbiyah.
Maka (sabdanya), “Allah akan menimpakan atas kalian kehinaan, Dia tidak akan melepaskannya hingga kalian kembali kepada agama kalian”; yaitu dengan pemahaman (agama) yang shahih.
Dengan
demikian kita wajib memulai dengan memahamkan manusia tentang Islam ini
dengan pemahaman yang shahih, dan mentarbiyah mereka diatas perkara
tersebut. “Pada hari itulah orang-orang mukmin akan bergembira dengan pertolongan Allah”.
Adapun
jalan-jalan yang selain itu, sekali-kali tidak mungkin akan
mengembalikan kaum muslimin kepada kemuliaan dan keagungan mereka…
(Syaikh al-Imam al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullahu, Silsilah al Huda wa an Nur, rekaman no. 799)
22 April 2015
Untuk Muslimah yang Sibuk dengan “Dakwah”
Dakwah adalah kewajiban mendasar bagi seorang muslimah sebagaimana halnya laki-laki. Kami tidak pernah memungkiri hal tersebut.
Namun, fenomena “dakwah” modern bagi seorang muslimah bukanlah sebuah persoalan mudah dan sederhana.
Dakwah di zaman ini identik dengan kelompok-kelompok pergerakan yang mengorganisir anggotanya untuk bekerja “atas nama dakwah”.
Dan
definisi “dakwah” itu akan sangat identik dengan begitu banyak pekerjaan
yang akan sangat menguras tenaga, waktu dan pikiran… Bakti sosial,
seminar, tabligh akbar, bazar, membuka usaha dan seterusnya disamping
agenda-agenda “utama” yang kadang terabaikan karena kerja yang menumpuk
seperti menuntut ilmu dan ibadah.
Dakwah dengan definisi seperti ini tentu bukanlah hal mudah bagi seorang wanita yang lemah, apalagi ketika dia telah menikah.
Walaupun
jarang diakui, atau mungkin diakui tapi jarang “diributkan dan
dipermasalahkan”, kerja yang seabrek “atas nama dakwah” tersebut telah
–sedikit banyak- menjauhkan seorang aktivis wanita dari jati dirinya
sebagai seorang perempuan dan sebagai seorang muslimah.
Bukan
rahasia lagi bahwa banyak diantara aktivis-aktivis akhawat yang begitu
hebatnya dalam aktivitas “dakwah” tapi tidak pandai mengurus diri, rumah
dan keluarganya. Tidak pandai masak, pakaian dicucikan orang tua, kamar
tidur dan rumah yang berantakan, tidak betahan diam di rumah dan –bagi
yang sudah menikah- urusan rumah, suami dan anak-anak yang “sedikit”
terbengkalai.
Ya,
mungkin hal-hal itu tidak berpengaruh besar bagi jalannya aktivitas
keseharian diri dan keluarganya, tapi pemahaman seperti ini adalah
sebuah kesalahan besar yang tidak bisa dimaafkan. Yaitu pemahaman bahwa
“kewajiban dakwah”nya seorang aktivis muslimah sama kedudukannya dengan
urusan dalam rumahnya.
Sewajib-wajibnya
dakwah bagi seorng muslimah, hal itu tidak akan pernah bisa
menggugurkan atau mengurangi kewajiban besarnya terhadap diri, suami dan
rumah tangganya. Keliru besar kalau ada yang berpikiran seperti itu.
Kami tidak
mengingkari semua bentuk dakwah yang tidak bertentangan dengan manhaj
Islam, termasuk dakwah melalui organisasi dan yang semacamnya. Yang kami
ingkari adalah keterlibatan berlebihan dari kaum wanita dalam urusan
ini yang berakibat buruk bagi diri mereka dan keluarga muslim.
Berikut
ini adalah nasehat dari seorang ulama besar di abad ini, semoga bisa
sedikit memperbaiki kekeliruan pemahaman para akhawat tentang dakwah. Wallahul musta’an.
Nasehat Syaikh Al-Albani rahimahullahu kepada Para “Aktivis Muslimah”
Berkata Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu :
Apakah boleh seorang muslimah menggeluti “nasyath islami” tertentu?*
Aku
katakan sebagai nasehat dan peringatan : termasuk musibah dunia Islam
pada saat ini adalah keluarnya kaum wanita, bahkan muslimat, bahkan
wanita-wanita berhijab, dan bahkan sebagian wanita-wanita salafiyyah;
mereka keluar dari rumah-rumahnya kepada apa yang bukan urusan mereka.
Menggeluti
“nasyath islami” bagi kaum wanita tidaklah ada. Kegiatan wanita adalah
di rumahnya, di dalam rumahnya. Tidak boleh bagi wanita menyerupai kaum
laki-laki, demikian pula tidak boleh wanita muslimah menyerupai
laki-laki muslim.
Wanita-wanita muslimah jika benar ingin berkhidmat untuk Islam, maka khidmat itu di rumahnya.
Tidak boleh seorang wanita keluar, dan tidak boleh dia mensyaratkan
terhadap suaminya bahwa ketika telah menikah maka dia akan aktif dalam
“nasyath islami”.
Aktivitasnya
dahulu andaipun boleh –boleh secara mutlak- maka itu adalah aktivitas
yang cocok dengan gadis lajang yang belum memiliki tanggung jawab.
Adapun sekarang dia telah menjadi ibu rumah tangga. Dia memiliki
kewajiban terhadap suaminya dan terhadap apa yang telah Allah
anugerahkan untuknya dari anak-anak. Sangatlah aksiomatik jika
kehidupannya sekarang berubah. Hal ini andai syarat tadi itu dibolehkan,
dan kami tidak memandang bahwa hal itu boleh secara mutlak.
Dahulu
para wanita shahabiyat, mereka adalah teladan dalam ilmu, wawasan dan
seterusnya. Tapi kami tidak mengetahui bahwa seorang dari mereka keluar
untuk memimpin kegiatan islami diantara kaum laki-laki. Ketika kalian
mendengar Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha keluar dari rumahnya
-dan ia telah keluar dalam sebuah masalah dan fitnah yang terjadi-,
dibayangkan padanya bahwa keluarnya adalah kebaikan untuk kaum muslimin
dan hakikatnya tidak seperti itu. Tidak diragukan bahwa para ulama Islam
telah menghukumi kekeliruannya dengan keikutsertaannya tersebut.
Ceramahnya pada perang Jamal dan selainnya adalah kesalahan. Hanya saja
kesalahannya itu termaafkan dengan kebaikan-kebaikan dirinya. Akan
tetapi tidak pantas seorang wanita meneladani kekeliruannya yang dirinya
sendiri pun telah bertaubat dari kesalahan tersebut. Itu pun sepanjang
hidupnya tidak dikenali darinya sedikitpun keikutsertaan yang seperti
ini.
Dengan
demikian, kasus itu adalah sebuah kondisi khusus dan ijtihad khusus
darinya. Dan walaupun begitu semuanya adalah kesalahan.
Adapun
engkau melihatnya (seorang wanita) pergi dan pulang layaknya seorang
pemuda yang gesit, bahkan mungkin sebagian mereka bersafar sendirian
dalam sebuah safar yang diharamkan dalam Islam -tidak boleh seorang
wanita melakukan safar kecuali ada bersamanya suami atau mahramnya-;
engkau dapatkan para wanita itu bersafar sendirian di jalan dakwah
kepada Islam. Akan tetapi fenomena ini sebabnya adalah karena kaum
lelaki tidak menunaikan kewajibannya, hingga akhirnya medan perjuangan
itu kosong, dan kemudian dibayangkan pada sebagian wanita bahwa tidak
boleh tidak, “kita mesti mengisi kekosongan tersebut”.
Wajib bagi
kita kaum lelaki untuk berjuang menunaikan kewajiban dakwah ini dalam
pemahaman, amalan, penerapan dan seruan, dan mewajibkan kaum wanita
untuk berdiam di rumah-rumahnya, menunaikan kewajiban mentarbiyah
keluarga mereka, anak-anak, saudari, saudara dan seterusnya. Tidak
mengapa para tetangga wanita saling berkumpul di tempat khusus wanita,
dengan suara yang rendah, yang sesuai dengan tempat bermajelis mereka.
Apa yang
kita lihat pada hari ini, maka saya meyakini bahwa hal itu bukanlah
bagian dari Islam sedikitpun. Walaupun sebagian jamaah-jamaah Islam
mengorganisir pergerakan-pergerakan kaum wanita dengan mengatasnamakan
Islam, saya yakin bahwa hal ini termasuk perkara-perkara baru dalam
agama. Kalian telah menghafalkan, dan telah tiba masanya kalian
menghafalkan ucapan Rasul ‘alaihishshalâtu wassalâm,
وإياكم ومحدثات الأمور ، فإن كل محدثة بدعة ، وكل بدعة ضلالة ، وكل ضلالة في النار
“Jauhilah
olehmu perkara-perkara baru, karena setiap perkara baru (dalam agama)
adalah bid’ah. Setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan di neraka.”
Cukup sekian.
سبحانك اللهم وبحمدك ، أشهد أن لا إله إلا أنت ، أستغفرك وأتوب إليك
(Syaikh al-Imam al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin bin Nuh al-Albani rahimahullahu, dalam rekaman ceramah yang berjudul “Az Zawâj fi al Islâm”. Teks arabnya silahkan dibaca di sini)
———————
* Nasyath
islami secara harfiah adalah kegiatan/aktivitas islami, dan yang beliau
maksudkan adalah bentuk-bentuk pergerakan “dakwah” modern yang
terorganisir yang umum kita kenal di zaman ini.
19 April 2015
Mengkhususkan Ibadah Tertentu di Bulan Rajab
Saat
memasuki bulan Rajab, akan bertebaran hadits-hadits yang menyebutkan
tentang keutamaan berpuasa di bulan Rajab. Tapi sayangnya, semua
hadits-hadits itu adalah hadits-hadits palsu yang tidak memiliki sumber
yang shahih dalam kitab-kitab Sunnah.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu, “Adapun puasa Rajab secara khusus, maka seluruh hadits-haditsnya adalah dha’îf (lemah), bahkan maudhû’
(palsu). Para ahli ilmu tidak berpegang kepada sesuatu darinya.
(Hadits-hadits itu) bukanlah dari level dha’if yang bisa diriwayatkan
dalam fadhâ’il (keutamaan-keutamaan amal). Bahkan sebagian besarnya adalah hadits-hadits palsu yang dusta (al maudhû’ât al makdzûbât)… Dalam kitab al-Musnad dan yang selainnya terdapat hadits dari Nabi ﷺ bahwa beliau menyuruh berpuasa pada bulan-bulan Haram (al Asyhur al Hurum),
yaitu Rajab, Dzulqi’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Hadits ini berkait
dengan puasa pada empat bulan itu seluruhnya, bukan mengkhususkan
Rajab.” (Majmû’ al Fatâwâ, XXV/290, dengan ringkas).
Berkata Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu, “Setiap hadits yang menyebutkan puasa Rajab dan shalat pada sebagian malam padanya adalah dusta dan diada-adakan.” (Al Manâr al Munîf, hal. 96).
Berkata al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullahu,
“Tidak disebutkan sesuatu pun dalam sebuah hadits shahih yang layak dijadikan hujjah (argumen) tentang keutamaan bulan Rajab, tidak juga
dalam puasanya dan suatu puasa tertentu darinya, tidak juga qiyamullail
yang khusus.” (Tabyîn al ‘Ajab, hal. 11).
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullahu
pernah ditanya tentang puasa pada 27 Rajab dan shalat qiyam pada
malamnya, beliau menjawab, “Puasa pada 27 Rajab, qiyam pada malamnya dan
mengkhususkan hal itu adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat.” (Majmû’ Fatâwâ Ibn ‘Utsaimîn, XX/440).
Wallahu a'lam.
14 April 2015
Sikap Ghuluw dalam Memuji Orang-Orang Shalih
Nabi ﷺ telah melarang sikap berlebih-lebihan (ghuluww) secara umum dalam bentuk apapun. Beliau bersabda,
إياكم والغلو، فإنما أهلك من كان قبلكم الغلو
“Jauhilah
oleh kalian sikap berlebih-lebihan, karena sungguh yang membinasakan
orang-orang sebelum kalian adalah sikap berlebih-lebihan (dalam
beragama).” (HR. Ahmad, an-Nasa’i dan Ibnu Majah).
Sikap
ghuluw dalam beragama adalah sebab pertama dan terbesar jatuhnya anak
keturunan Adam dalam syirik akbar (syirik besar).
Al-Bukhary meriwayatkan dalam
Shahih-nya dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia mengabarkan tentang berhala-berhala kaum Nuh ‘alaihissalam
yang kemudian ada di bangsa Arab. Kemudian Ibnu Abbas berkata,
“(Berhala-berhala itu) adalah nama-nama orang-orang shalih dari kaum
Nuh. Ketika mereka telah meninggal, syaitan membisikkan pada kaumnya : 'Buatkan di majelis-majelis mereka yang dahulu mereka duduk-duduk padanya
patung-patung peringatan dan namakanlah dengan nama-nama mereka!' Mereka
pun melakukannya dan belum disembah. Hingga ketika mereka
telah meninggal dunia dan ilmu telah hilang, patung-patung itu akhirnya disembah.”
Diantara
bentuk sikap ghuluw yang diharamkan, yang bisa mengantarkan kepada
syirik akbar adalah berlebih-lebihan dalam memuji dan menyanjung
orang-orang shalih, sebagaimana yang dilakukan sekte Syiah Rafidhah dan
kalangan Sufi ekstrim.
Perbuatan
seperti ini pada akhirnya mengantarkan sebagian besar mereka kepada
syirik akbar dalam rububiyah, yaitu dengan meyakini bahwa sebagian wali
bertindak mengatur alam ini, bahwa mereka mendengarkan doa orang yang
meminta kepada mereka dan mengabulkan permohonannya, bahwa mereka
memberikan manfaat dan menolak keburukan, bahkan mengetahui perkara
ghaib[1]. Walaupun sebenarnya, keyakinan mereka itu tidak
berlandaskan dalil yang bisa dipegangi kecuali hanya berupa hadits-hadits
palsu atau mimpi, atau apa yang mereka sebut sebagai “kasyf”,
entah itu sebuah kedustaan atau akibat dari perbuatan syaitan yang
mempermainkan mereka.
Sikap ekstrim dalam memuji ini juga bahkan
mengantarkan mereka pada syirik dalam uluhiyah, sehingga sebagian mereka
berdoa kepada orang-orang mati disamping doa mereka kepada Allah,
meminta tolong kepada orang-orang mati tersebut dan lain sebagainya.
Nabi ﷺ telah melarang ghuluw dalam memuji dirinya. Beliau bersabda,
لا تطروني كما أطرت النصارى المسيح ابن مريم، فإنما أنا عبد فقولوا عبد الله ورسوله
“Jangan
kalian berlebihan memujiku sebagaimana orang-orang Nasrani memuji
al-Masih putra Maryam. Aku ini hanyalah seorang hamba, maka katakanlah :
hamba Allah dan utusanNya.” (HR. Al-Bukhary).
Jika saja demikian halnya dalam hak beliau yanng suci – ﷺ ,
maka yang selain beliau lebih layak untuk tidak diperlakukan berlebihan
dalam pujian dan sanjungan. Siapa yang berlebihan dalam memuji beliau ﷺ
dan yang selain beliau, maka ia telah bermaksiat kepada Allah Ta’ala.
Siapa yang mengajak kepada hal tersebut dan terus dalam pembangkangannya
setelah ia mengetahui larangan Nabi ﷺ , maka ia telah menolak dengan lancang terhadap Sunnahnya, mengajak manusia untuk tidak ber-ittiba’
(mengikuti dan meneladani) beliau dan justru –suka atau tidak suka-
mengajak mereka kepada taklid (meniru-niru) Yahudi dan Nasrani dalam
kesesatan dan ghuluwnya mereka dalam memperlakukan para nabi dan
orang-orang shalih yang telah dilarang oleh Allah Ta’ala.
Nabi ﷺ memiliki keutamaan yang sangat banyak dalam al-Quran dan Sunnah yang shahih[2].
Beliau tidak butuh kepada kedustaan dan kebohongan yang dibuat-buat
oleh manusia demi untuk memuji dan menyanjungnya, shalawat dan salam
dari Allah selalu tercurahkan untuk beliau.
—————————
[1] Diantara bentuk ghuluw seperti ini adalah perkataan al-Bushiri dalam qasidah Burdah-nya yang terkenal, ketika ia memuji Nabi ﷺ dengan perkataannya,
فإن من جودك الدنيا وضرّتها # ومن علــومك علم اللوح والقلـم
Sungguh diantara bentuk kedermawananmu adalah dunia ini dan keindahannya
Dan diantara pengetahuanmu adalah ilmu al-Lauh (al-Mahfuz) dan al-qalam
Dan diantara pengetahuanmu adalah ilmu al-Lauh (al-Mahfuz) dan al-qalam
Maha Suci Allah dari kesyirikan yang diucapkannya!
[2] Diantara keutamaan beliau ﷺ
yang disebutkan dalam al-Quran dan Sunnah yang shahih adalah: beliau hamba
yang paling afdhal secara mutlak, utusan Rabb semesta alam kepada
seluruh jin dan manusia, hamba Allah dan kekasihNya, utusanNya yang
paling afdhal dan penutup para nabiNya, Allah telah memuliakannya dengan
mi’raj kepadaNya diatas langit ketujuh dan Dia berbicara langsung dengannya tanpa perantara, diperjalankan pada malam hari (isra’)
dari Baitullah al-Haram ke Masjid al-Aqsha, shalatnya para nabi
dibelakangnya, Allah telah mewajibkan para hamba untuk mentaatinya,
menjanjikan kebahagiaan dunia akhirat bagi yang mentaatinya dan
kebinasaan bagi yang membangkang terhadapnya, orang yang pertama
dibangkitkan pada hari Kiamat, yang pertama memberi syafa’at, yang
pertama diberi izin untuk memberi syafa’at, pemilik al-maqam al-mahmud
(yaitu syafa’at besar di mahsyar), pemilik telaga al-Kautsar, dan
lain-lain. Shalawat dan salam dari Allah tercurahkan untuk rasul yang
kami cintai.
(Sumber : Tahdzîb Tashîl al ‘Aqîdah al Islâmiyyah, Syaikh Dr. Abdullah bin Abdul Aziz al-Jibrin hafidzhahullahu)
11 April 2015
Syahadat “Muhammad Rasulullâh”
Syahadat Muhammad Rasulullâh
ialah persaksian dan pengakuan secara lahir maupun batin bahwa beliau ﷺ adalah seorang
hamba Allah dan rasul-Nya yang diutus kepada seluruh manusia, serta
beramal dengan konsekuensi dari keyakinan tersebut, yaitu mentaati
perintahnya, membenarkan apa yang dikabarkannya, menjauhi apa yang
dilarangnya dan Allah tidak disembah/diibadahi kecuali dengan apa yang disyari’atkannya.
Rukunnya
Rukun syahadat ini adalah ucapan kita,
عبده ورسوله
“Hamba-Nya dan utusan-Nya”.
Kedua kata ini menafikan/meniadakan sikap ekstrim dan sikap meremehkan dalam hak beliau ﷺ.
Pengakuan bahwa beliau adalah “hamba Allah” akan menafikan sikap ghuluw
(berlebihan) dalam hak-hak beliau ﷺ agar tidak ada yang memujinya atau
memperlakukannya melebihi haknya sebagai seorang hamba, hingga
mengangkatnya kepada level ilâh yang memiliki hak-hak rububiyyah yang mampu menciptakan, memberi rezki, mengatur alam dan mengetahui perkara-perkara ghaib.
Sementara pengakuan bahwa beliau adalah
“rasul Allah” akan menafikan sikap meremehkan dalam hak-hak beliau ﷺ
sebagai seorang manusia yang berstatus nabi dan rasul. Beliau ﷺ hanya seorang
manusia biasa, tapi di sisi lain, beliau juga seorang nabi dan utusan
Allah yang wajib dihormati dan memiliki hak-hak yang wajib ditunaikan
oleh para pengikutnya.
Syarat-syaratnya
- Pengakuan akan kerasulannya serta meyakininya secara batin dalam hati.
- Mengucapkan perkara tersebut dan mengakuinya secara zhahir dengan lisan.
- Mutâba’ah (mengikuti)nya, yaitu dengan mengamalkan kebenaran yang dibawanya serta meninggalkan kebatilan yang dilarangnya.
- Membenarkan apa yang dikabarkannya dari berita-berita ghaib yang terdahulu maupun yang akan datang.
- Mencintainya ﷺ melebihi cinta terhadap diri, harta, anak, orang tua dan seluruh manusia.
- Mendahulukan perkataannya atas perkataan setiap orang serta beramal menurut sunnahnya.
(Sumber : Aqîdah at Tauhîd, Syaikh Dr. Shâlih bin Fauzan al-Fauzân hafidzhahullâhu)
09 April 2015
Penjagaan Allah terhadap Nabi ﷺ sebelum Kenabian
Diantara bentuk penjagaan Allah terhadap Nabi Muhammad ﷺ
sebelum diangkat menjadi nabi adalah penjagaannya dari kesyirikan
masyarakat Jahiliyah dan penyembahan terhadap berhala. Imam Ahmad
meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya ia
berkata : Telah menceritakan kepadaku seorang tetangga Khadijah bahwa ia
mendengar Nabi ﷺ berkata kepada Khadijah, “Wahai Khadijah, Demi Allah, aku tidak pernah beribadah kepada al-Laat dan al-Uzza.”
Demikian
juga diantara bentuk penjagaan tersebut, bahwa beliau tidak pernah
memakan hewan yang disembelih untuk berhala. (Shahih al-Bukhary no.
3826, 5499)
Beliau
juga, pada masa haji selalu berwuquf di Arafah, menyelisihi kebiasaan
orang-orang Quraisy yang tetap berdiam di Haram untuk berbeda dari
manusia yang berwuquf di Arafah. (HR. Al-Bukhary dan
Muslim).
Allah juga menjaganya agar auratnya tidak terbuka. Dari Jabir radhiyallahu ‘anhuma ia berkata : Ketika Ka’bah dibangun, Nabi ﷺ
dan Abbas memindahkan batu-batu. Abbas berkata kepada Nabi, “Jadikan
sarungmu di lehermu untuk melindungimu dari batu. Dan beliau pun
tersungkur ke bumi dan matanya mengarah ke langit, kemudian beliau sadar
dan berkata, “(Kembalikan) sarungku, sarungku…” dan mereka pun
menutupkan sarungnya kepadanya. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Demikianlah Rasulullah ﷺ,
berada dalam perlindungan dan penjagaan Allah Ta’ala dari berbagai
macam kotoran dan aib masyarakat Jahiliyah, untuk sesuatu yang Dia
inginkan darinya nanti, yaitu menyampaikan risalah dan agamaNya kepada
seluruh alam.
05 April 2015
Hukum-Hukum yang Berkait dengan Haid
Wanita haid memiliki beberapa aturan khusus dalam Syari’at selama masa haidnya. Berikut adalah penjelasannya :
1. Wanita
yang sedang haid tidak boleh melakukan shalat dan puasa, baik yang wajib
maupun sunnah. Dan jika haidnya selesai, ia diperintahkan untuk
mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat.
Dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu ia berkata : Bersabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang wanita,
أليس إذا حاضتْ لم تُصلِّ ولم تصمْ؟ فذلك نقصان دينها
“Bukankah jika ia haid, ia tidak shalat dan tidak puasa? Itulah kekurangan agamanya.”[1]
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Kami dahulu haid di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kami diperintahkan mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat.” [2]
2. Haram bagi suami menggauli istrinya yang sedang haid di kemaluannya hingga ia bersih dan mandi.
Allah Ta’ala berfirman,
وَيَسْألُونَكَ
عَنِ المَحِيْضِ قُلْ هُوَ أذىً فَاعْتَزِلُوا النِسَاءَ فىِ المَحِيْضِ
وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ
مِن حَيْثُ أمَرَكُمُ اللهُ
“Mereka
bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : Haid itu adalah kotoran.
Oleh karena itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu
haid, dan jangalah kamu mendekati (menggauli) mereka sebelum mereka
suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat
yang diperintahkan Allah kepadamu.” (QS. Al-Baqarah ayat 222).
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang menggauli wanita yang sedang haid,
اصنعوا كل شيئٍ إلا النكاح
“Lakukan segala sesuatu kecuali persetubuhan.” [3]
Pendapat
yang paling kuat dalam masalah ini bahwa suami boleh bersenang-senang
dengan semua bagian tubuh istrinya kecuali melakukan penetrasi.
Sebagian
pendapat mengatakan bahwa semua bagian tubuh istri halal bagi suami saat
haid kecuali apa yang diantara pusat dan lututnya.
3. Tidak boleh bagi suami menceraikan istrinya pada saat haidnya. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
“Wahai
Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istri kamu, maka hendaklah kamu
ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang
wajar).” (QS. Ath-Thalaq ayat 1);
Yaitu ceraikan mereka dalam keadaan suci tanpa adanya persetubuhan setelah haid tersebut.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
telah memerintahkan orang yang menceraikan istrinya saat haid untuk
rujuk kembali dan menceraikannya jika ia telah suci dari haidnya kalau
suami tersebut masih ingin menceraikannya.
4.
Diantara hukum-hukum yang berkait wanita haid; ia tidak boleh melakukan
thawaf di Baitullah, tidak menyentuh mushaf al-Quran dan tidak boleh
berdiam di masjid, menurut pendapat jumhur ulama.
Diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata : Ketika kami tiba di Sarif, aku haid. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
افعلي ما يفعل الحاجّ غير أن لا تطوفي بالبيت حتى تطهري
“Lakukan apa yang mesti dilakukan orang yang berhaji, selain engkau tidak melakukan thawaf di al-Bait hingga engkau suci.” [4]
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إني لا أحلُّ المسجد لحائضٍ ولا جنبٍ
“Aku tidak halalkan masjid untuk wanita haid dan orang junub.” [5]
Dari Abdullah bin Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma bahwa dalam kitab yang ditulis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk ‘Amr bin Hazm padanya (terdapat),
لا يمس القرآن إلا طاهرٌ
“Tidak menyentuh (mushaf) al-Quran kecuali orang yang suci.” [6]
Wallahu a’lam.
Bahan Bacaan :
- Jâmi’ Ahkâm an Nisâ’ oleh Syaikh Mustafa al-Adawi
- Taudhîh al Ahkâm min Bulûgh al Marâm oleh Syaikh Dr. Abdullah al-Bassam
- Al Mulakhkhash a Fiqhî, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan
- Shahîh Fiqh as Sunnah wa Adillatuh oleh Abu Malik Kamal as-Sayyid Salim
——————————
Footnotes :
[1] HR. Al-Bukhary dan Muslim
[2] HR. Al-Bukhary dan Muslim
[3] HR. Muslim dan lain-lain
[4] Hadits muttafaq ‘alaih dalam sebuah hadits yang panjang
[5] HR. Abu Dawud, al-Baihaqi dan Ibnu Khuzaimah. Pada sanadnya terdapa Aflat bin Khalifah, majhûl al hâl
(tidak diketahui keadaannya). Namun hadits ini dishahihkan oleh Ibnu
Khuzaimah, dihasankan oleh Ibnul Qaththan dan az-Zaila’i, serta
didiamkan oleh Abu Dawud. Diamnya Abu Dawud menunjukkan bahwa hadits
tersebut shâlih (bisa dijadikan hujjah). Berkata Ibnu Sayyidinnas
: “Derajat minimalnya adalah hasan, karena para perawinya yang
terpercaya dan adanya penguat-penguat dari luar”. Hadits ini
diriwayatkan juga oleh al-Bukhary dalam at-Târîkh dan Ibnu Majah dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha.
[6] Hadits ini diperselisihkan keshahihannya. Berkata Abu Dawud : “Hadits ini telah diriwayatkan secara musnad dan tidak sah”. Berkata Ibnu Hazm : “Kitab ‘Amr bin Hazm munqathi’,
tidak bisa dijadikan hujjah”. Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim,
Ibnu Hibban, al-Baihaqi dan ia menukil dari Imam Ahmad perkataannya :
“Saya berharap hadits itu shahih”. Sebagian imam menshahihkan hadits
tersebut, bukan karena sanadnya tapi dari sisi kemasyhurannya (syuhrah).
Berkata Ibnu Abdil Barr : “Ini adalah kitab yang masyhur pada ahli
sejarah, dikenal apa yang ada padanya di sisi para ulama. Pengetahuan
akan kemasyhurannya telah mencukupi dari isnadnya. Karena dia mirip
dengan hadits mutawatir dalam periwayatannya, dan manusia juga telah menerima dan mengetahuinya”. Hadits ini juga dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Irwâ-ul Ghalîl (I/158)
02 April 2015
Bilakah Sesuatu yang Ditinggalkan Nabi ﷺ Disebut sebagai Sunnah?
Perkara-perkara yang ditinggalkan Nabi ﷺ tidak lepas dari salah satu keadaan berikut,
Pertama; Nabi ﷺ meninggalkan suatu amalan/perbuatan karena tidak adanya alasan yang mengharuskannya untuk melakukannya.
Contohnya adalah perkara memerangi orang-orang muslim yang menolak membayar zakat mal mereka.
Perbuatan seperti ini (yaitu kasus beliau ﷺ yang meninggalkan perbuatan tersebut) tidak disebut sebagai sunnah. Akan tetapi jika ada alasan yang mengharuskannya, maka perbuatan yang telah ditinggalkan oleh Nabi ﷺ adalah perkara yang disyari'atkan dan tidak menyelisihi sunnahnya.
Inilah yang telah diamalkan oleh Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu ketika memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat, berbeda dengan apa yang dipahami Umar radhiyallahu 'anhu.
Ijtihad Abu Bakr tersebut adalah amalan yang sejalan dengan konsekuensi sunnah Nabi ﷺ.
Kedua; Nabi ﷺ meninggalkan suatu perbuatan/amalan yang memiliki alasan untuk dikerjakan, namun terdapat sebab yang menghalangi untuk dilakukannya perbuatan tersebut.
Contohnya adalah qiyam Ramadhan secara berjamaah yang beliau ﷺ tinggalkan dengan sebab kekhawatiran beliau bahwa shalat itu akan diwajibkan.
Jika sebab tersebut telah hilang dengan kematian beliau ﷺ, maka perbuatan/amalan yang telah beliau tinggalkan -jika terdapat dalil-dalil syar'i yang menunjukkan disyariatkannya amalan itu- adalah sebuah perkara yang masyru' (disyari'atkan) dan tidak menyelisihi sunnahnya.
Seperti halnya perbuatan Umar radhiyallahu 'anhu yang menghidupkan kembali qiyam Ramadhan secara berjamaah; perbuatan ini adalah perbuatan yang selaras dengan konsekuensi sunnah Nabi ﷺ, karena terdapat dalil-dalil yang shahih tentang disyari'atkannya amalan tersebut.
Ketiga; Nabi ﷺ meninggalkan suatu perbuatan/amalan yang terdapat alasan untuk mengerjakannya dan tidak terdapat penghalang bagi dilakukannya amalan tersebut.
Dalam kasus seperti ini, perbuatan beliau ﷺ yang meninggalkan amalan tersebut disebut sebagai "sunnah", dan itulah yang diistilahkan sebagai "as-sunnah at-tarkiyyah".
Jika Nabi ﷺ meninggalkan sebuah amalan, walaupun terdapat alasan untuk mengerjakannya dan tidak ada penghalang bagi dilakukannya amalan itu, maka kita harus mengetahui bahwa beliau meninggalkannya semata-mata karena itulah sunnah yang beliau ajarkan kepada umatnya untuk ditinggalkan.
Contohnya adalah melafazkan niat dalam ibadah dan tidak adanya adzan dalam shalat 'Id.
Kaedahnya : Perbuatan Nabi ﷺ yang meninggalkan suatu amalan tertentu dengan adanya alasan yang bisa menguatkan perlunya dilakukannya amalan tersebut dan ketiadaan penghalang bagi pelaksanaannya, maka itulah sunnah dan menambahkan atau mengerjakannya adalah bid'ah.*
Wallahu a'lam.
Semoga bermanfaat.
(Silahkan dirujuk Majmu Fatawa Ibn Taimiyyah XXVI/172, Iqtidha' ash Shirat al Mustaqim II/102, Qawa'id Ma'rifah al Bida' oleh Al-Jizani hal. 75 dan Ma'alim Ushul al Fiqh oleh Al-Jizani hal. 130)
--------------------
* Faedah ini kami dapatkan dari tulisan Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid hafidzhahullahu di halaman resmi beliau.
Pertama; Nabi ﷺ meninggalkan suatu amalan/perbuatan karena tidak adanya alasan yang mengharuskannya untuk melakukannya.
Contohnya adalah perkara memerangi orang-orang muslim yang menolak membayar zakat mal mereka.
Perbuatan seperti ini (yaitu kasus beliau ﷺ yang meninggalkan perbuatan tersebut) tidak disebut sebagai sunnah. Akan tetapi jika ada alasan yang mengharuskannya, maka perbuatan yang telah ditinggalkan oleh Nabi ﷺ adalah perkara yang disyari'atkan dan tidak menyelisihi sunnahnya.
Inilah yang telah diamalkan oleh Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu ketika memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat, berbeda dengan apa yang dipahami Umar radhiyallahu 'anhu.
Ijtihad Abu Bakr tersebut adalah amalan yang sejalan dengan konsekuensi sunnah Nabi ﷺ.
Kedua; Nabi ﷺ meninggalkan suatu perbuatan/amalan yang memiliki alasan untuk dikerjakan, namun terdapat sebab yang menghalangi untuk dilakukannya perbuatan tersebut.
Contohnya adalah qiyam Ramadhan secara berjamaah yang beliau ﷺ tinggalkan dengan sebab kekhawatiran beliau bahwa shalat itu akan diwajibkan.
Jika sebab tersebut telah hilang dengan kematian beliau ﷺ, maka perbuatan/amalan yang telah beliau tinggalkan -jika terdapat dalil-dalil syar'i yang menunjukkan disyariatkannya amalan itu- adalah sebuah perkara yang masyru' (disyari'atkan) dan tidak menyelisihi sunnahnya.
Seperti halnya perbuatan Umar radhiyallahu 'anhu yang menghidupkan kembali qiyam Ramadhan secara berjamaah; perbuatan ini adalah perbuatan yang selaras dengan konsekuensi sunnah Nabi ﷺ, karena terdapat dalil-dalil yang shahih tentang disyari'atkannya amalan tersebut.
Ketiga; Nabi ﷺ meninggalkan suatu perbuatan/amalan yang terdapat alasan untuk mengerjakannya dan tidak terdapat penghalang bagi dilakukannya amalan tersebut.
Dalam kasus seperti ini, perbuatan beliau ﷺ yang meninggalkan amalan tersebut disebut sebagai "sunnah", dan itulah yang diistilahkan sebagai "as-sunnah at-tarkiyyah".
Jika Nabi ﷺ meninggalkan sebuah amalan, walaupun terdapat alasan untuk mengerjakannya dan tidak ada penghalang bagi dilakukannya amalan itu, maka kita harus mengetahui bahwa beliau meninggalkannya semata-mata karena itulah sunnah yang beliau ajarkan kepada umatnya untuk ditinggalkan.
Contohnya adalah melafazkan niat dalam ibadah dan tidak adanya adzan dalam shalat 'Id.
Kaedahnya : Perbuatan Nabi ﷺ yang meninggalkan suatu amalan tertentu dengan adanya alasan yang bisa menguatkan perlunya dilakukannya amalan tersebut dan ketiadaan penghalang bagi pelaksanaannya, maka itulah sunnah dan menambahkan atau mengerjakannya adalah bid'ah.*
Wallahu a'lam.
Semoga bermanfaat.
(Silahkan dirujuk Majmu Fatawa Ibn Taimiyyah XXVI/172, Iqtidha' ash Shirat al Mustaqim II/102, Qawa'id Ma'rifah al Bida' oleh Al-Jizani hal. 75 dan Ma'alim Ushul al Fiqh oleh Al-Jizani hal. 130)
--------------------
* Faedah ini kami dapatkan dari tulisan Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid hafidzhahullahu di halaman resmi beliau.