Wanita haid memiliki beberapa aturan khusus dalam Syari’at selama masa haidnya. Berikut adalah penjelasannya :
1. Wanita
yang sedang haid tidak boleh melakukan shalat dan puasa, baik yang wajib
maupun sunnah. Dan jika haidnya selesai, ia diperintahkan untuk
mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat.
Dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu ia berkata : Bersabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang wanita,
أليس إذا حاضتْ لم تُصلِّ ولم تصمْ؟ فذلك نقصان دينها
“Bukankah jika ia haid, ia tidak shalat dan tidak puasa? Itulah kekurangan agamanya.”[1]
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Kami dahulu haid di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kami diperintahkan mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat.” [2]
2. Haram bagi suami menggauli istrinya yang sedang haid di kemaluannya hingga ia bersih dan mandi.
Allah Ta’ala berfirman,
وَيَسْألُونَكَ
عَنِ المَحِيْضِ قُلْ هُوَ أذىً فَاعْتَزِلُوا النِسَاءَ فىِ المَحِيْضِ
وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ
مِن حَيْثُ أمَرَكُمُ اللهُ
“Mereka
bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : Haid itu adalah kotoran.
Oleh karena itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu
haid, dan jangalah kamu mendekati (menggauli) mereka sebelum mereka
suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat
yang diperintahkan Allah kepadamu.” (QS. Al-Baqarah ayat 222).
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang menggauli wanita yang sedang haid,
اصنعوا كل شيئٍ إلا النكاح
“Lakukan segala sesuatu kecuali persetubuhan.” [3]
Pendapat
yang paling kuat dalam masalah ini bahwa suami boleh bersenang-senang
dengan semua bagian tubuh istrinya kecuali melakukan penetrasi.
Sebagian
pendapat mengatakan bahwa semua bagian tubuh istri halal bagi suami saat
haid kecuali apa yang diantara pusat dan lututnya.
3. Tidak boleh bagi suami menceraikan istrinya pada saat haidnya. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
“Wahai
Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istri kamu, maka hendaklah kamu
ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang
wajar).” (QS. Ath-Thalaq ayat 1);
Yaitu ceraikan mereka dalam keadaan suci tanpa adanya persetubuhan setelah haid tersebut.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
telah memerintahkan orang yang menceraikan istrinya saat haid untuk
rujuk kembali dan menceraikannya jika ia telah suci dari haidnya kalau
suami tersebut masih ingin menceraikannya.
4.
Diantara hukum-hukum yang berkait wanita haid; ia tidak boleh melakukan
thawaf di Baitullah, tidak menyentuh mushaf al-Quran dan tidak boleh
berdiam di masjid, menurut pendapat jumhur ulama.
Diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata : Ketika kami tiba di Sarif, aku haid. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
افعلي ما يفعل الحاجّ غير أن لا تطوفي بالبيت حتى تطهري
“Lakukan apa yang mesti dilakukan orang yang berhaji, selain engkau tidak melakukan thawaf di al-Bait hingga engkau suci.” [4]
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إني لا أحلُّ المسجد لحائضٍ ولا جنبٍ
“Aku tidak halalkan masjid untuk wanita haid dan orang junub.” [5]
Dari Abdullah bin Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma bahwa dalam kitab yang ditulis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk ‘Amr bin Hazm padanya (terdapat),
لا يمس القرآن إلا طاهرٌ
“Tidak menyentuh (mushaf) al-Quran kecuali orang yang suci.” [6]
Wallahu a’lam.
Bahan Bacaan :
- Jâmi’ Ahkâm an Nisâ’ oleh Syaikh Mustafa al-Adawi
- Taudhîh al Ahkâm min Bulûgh al Marâm oleh Syaikh Dr. Abdullah al-Bassam
- Al Mulakhkhash a Fiqhî, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan
- Shahîh Fiqh as Sunnah wa Adillatuh oleh Abu Malik Kamal as-Sayyid Salim
——————————
Footnotes :
[1] HR. Al-Bukhary dan Muslim
[2] HR. Al-Bukhary dan Muslim
[3] HR. Muslim dan lain-lain
[4] Hadits muttafaq ‘alaih dalam sebuah hadits yang panjang
[5] HR. Abu Dawud, al-Baihaqi dan Ibnu Khuzaimah. Pada sanadnya terdapa Aflat bin Khalifah, majhûl al hâl
(tidak diketahui keadaannya). Namun hadits ini dishahihkan oleh Ibnu
Khuzaimah, dihasankan oleh Ibnul Qaththan dan az-Zaila’i, serta
didiamkan oleh Abu Dawud. Diamnya Abu Dawud menunjukkan bahwa hadits
tersebut shâlih (bisa dijadikan hujjah). Berkata Ibnu Sayyidinnas
: “Derajat minimalnya adalah hasan, karena para perawinya yang
terpercaya dan adanya penguat-penguat dari luar”. Hadits ini
diriwayatkan juga oleh al-Bukhary dalam at-Târîkh dan Ibnu Majah dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha.
[6] Hadits ini diperselisihkan keshahihannya. Berkata Abu Dawud : “Hadits ini telah diriwayatkan secara musnad dan tidak sah”. Berkata Ibnu Hazm : “Kitab ‘Amr bin Hazm munqathi’,
tidak bisa dijadikan hujjah”. Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim,
Ibnu Hibban, al-Baihaqi dan ia menukil dari Imam Ahmad perkataannya :
“Saya berharap hadits itu shahih”. Sebagian imam menshahihkan hadits
tersebut, bukan karena sanadnya tapi dari sisi kemasyhurannya (syuhrah).
Berkata Ibnu Abdil Barr : “Ini adalah kitab yang masyhur pada ahli
sejarah, dikenal apa yang ada padanya di sisi para ulama. Pengetahuan
akan kemasyhurannya telah mencukupi dari isnadnya. Karena dia mirip
dengan hadits mutawatir dalam periwayatannya, dan manusia juga telah menerima dan mengetahuinya”. Hadits ini juga dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Irwâ-ul Ghalîl (I/158)
0 tanggapan:
Posting Komentar