Dakwah adalah kewajiban mendasar bagi seorang muslimah sebagaimana halnya laki-laki. Kami tidak pernah memungkiri hal tersebut.
Namun, fenomena “dakwah” modern bagi seorang muslimah bukanlah sebuah persoalan mudah dan sederhana.
Dakwah di zaman ini identik dengan kelompok-kelompok pergerakan yang mengorganisir anggotanya untuk bekerja “atas nama dakwah”.
Dan
definisi “dakwah” itu akan sangat identik dengan begitu banyak pekerjaan
yang akan sangat menguras tenaga, waktu dan pikiran… Bakti sosial,
seminar, tabligh akbar, bazar, membuka usaha dan seterusnya disamping
agenda-agenda “utama” yang kadang terabaikan karena kerja yang menumpuk
seperti menuntut ilmu dan ibadah.
Dakwah dengan definisi seperti ini tentu bukanlah hal mudah bagi seorang wanita yang lemah, apalagi ketika dia telah menikah.
Walaupun
jarang diakui, atau mungkin diakui tapi jarang “diributkan dan
dipermasalahkan”, kerja yang seabrek “atas nama dakwah” tersebut telah
–sedikit banyak- menjauhkan seorang aktivis wanita dari jati dirinya
sebagai seorang perempuan dan sebagai seorang muslimah.
Bukan
rahasia lagi bahwa banyak diantara aktivis-aktivis akhawat yang begitu
hebatnya dalam aktivitas “dakwah” tapi tidak pandai mengurus diri, rumah
dan keluarganya. Tidak pandai masak, pakaian dicucikan orang tua, kamar
tidur dan rumah yang berantakan, tidak betahan diam di rumah dan –bagi
yang sudah menikah- urusan rumah, suami dan anak-anak yang “sedikit”
terbengkalai.
Ya,
mungkin hal-hal itu tidak berpengaruh besar bagi jalannya aktivitas
keseharian diri dan keluarganya, tapi pemahaman seperti ini adalah
sebuah kesalahan besar yang tidak bisa dimaafkan. Yaitu pemahaman bahwa
“kewajiban dakwah”nya seorang aktivis muslimah sama kedudukannya dengan
urusan dalam rumahnya.
Sewajib-wajibnya
dakwah bagi seorng muslimah, hal itu tidak akan pernah bisa
menggugurkan atau mengurangi kewajiban besarnya terhadap diri, suami dan
rumah tangganya. Keliru besar kalau ada yang berpikiran seperti itu.
Kami tidak
mengingkari semua bentuk dakwah yang tidak bertentangan dengan manhaj
Islam, termasuk dakwah melalui organisasi dan yang semacamnya. Yang kami
ingkari adalah keterlibatan berlebihan dari kaum wanita dalam urusan
ini yang berakibat buruk bagi diri mereka dan keluarga muslim.
Berikut
ini adalah nasehat dari seorang ulama besar di abad ini, semoga bisa
sedikit memperbaiki kekeliruan pemahaman para akhawat tentang dakwah. Wallahul musta’an.
Nasehat Syaikh Al-Albani rahimahullahu kepada Para “Aktivis Muslimah”
Berkata Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu :
Apakah boleh seorang muslimah menggeluti “nasyath islami” tertentu?*
Aku
katakan sebagai nasehat dan peringatan : termasuk musibah dunia Islam
pada saat ini adalah keluarnya kaum wanita, bahkan muslimat, bahkan
wanita-wanita berhijab, dan bahkan sebagian wanita-wanita salafiyyah;
mereka keluar dari rumah-rumahnya kepada apa yang bukan urusan mereka.
Menggeluti
“nasyath islami” bagi kaum wanita tidaklah ada. Kegiatan wanita adalah
di rumahnya, di dalam rumahnya. Tidak boleh bagi wanita menyerupai kaum
laki-laki, demikian pula tidak boleh wanita muslimah menyerupai
laki-laki muslim.
Wanita-wanita muslimah jika benar ingin berkhidmat untuk Islam, maka khidmat itu di rumahnya.
Tidak boleh seorang wanita keluar, dan tidak boleh dia mensyaratkan
terhadap suaminya bahwa ketika telah menikah maka dia akan aktif dalam
“nasyath islami”.
Aktivitasnya
dahulu andaipun boleh –boleh secara mutlak- maka itu adalah aktivitas
yang cocok dengan gadis lajang yang belum memiliki tanggung jawab.
Adapun sekarang dia telah menjadi ibu rumah tangga. Dia memiliki
kewajiban terhadap suaminya dan terhadap apa yang telah Allah
anugerahkan untuknya dari anak-anak. Sangatlah aksiomatik jika
kehidupannya sekarang berubah. Hal ini andai syarat tadi itu dibolehkan,
dan kami tidak memandang bahwa hal itu boleh secara mutlak.
Dahulu
para wanita shahabiyat, mereka adalah teladan dalam ilmu, wawasan dan
seterusnya. Tapi kami tidak mengetahui bahwa seorang dari mereka keluar
untuk memimpin kegiatan islami diantara kaum laki-laki. Ketika kalian
mendengar Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha keluar dari rumahnya
-dan ia telah keluar dalam sebuah masalah dan fitnah yang terjadi-,
dibayangkan padanya bahwa keluarnya adalah kebaikan untuk kaum muslimin
dan hakikatnya tidak seperti itu. Tidak diragukan bahwa para ulama Islam
telah menghukumi kekeliruannya dengan keikutsertaannya tersebut.
Ceramahnya pada perang Jamal dan selainnya adalah kesalahan. Hanya saja
kesalahannya itu termaafkan dengan kebaikan-kebaikan dirinya. Akan
tetapi tidak pantas seorang wanita meneladani kekeliruannya yang dirinya
sendiri pun telah bertaubat dari kesalahan tersebut. Itu pun sepanjang
hidupnya tidak dikenali darinya sedikitpun keikutsertaan yang seperti
ini.
Dengan
demikian, kasus itu adalah sebuah kondisi khusus dan ijtihad khusus
darinya. Dan walaupun begitu semuanya adalah kesalahan.
Adapun
engkau melihatnya (seorang wanita) pergi dan pulang layaknya seorang
pemuda yang gesit, bahkan mungkin sebagian mereka bersafar sendirian
dalam sebuah safar yang diharamkan dalam Islam -tidak boleh seorang
wanita melakukan safar kecuali ada bersamanya suami atau mahramnya-;
engkau dapatkan para wanita itu bersafar sendirian di jalan dakwah
kepada Islam. Akan tetapi fenomena ini sebabnya adalah karena kaum
lelaki tidak menunaikan kewajibannya, hingga akhirnya medan perjuangan
itu kosong, dan kemudian dibayangkan pada sebagian wanita bahwa tidak
boleh tidak, “kita mesti mengisi kekosongan tersebut”.
Wajib bagi
kita kaum lelaki untuk berjuang menunaikan kewajiban dakwah ini dalam
pemahaman, amalan, penerapan dan seruan, dan mewajibkan kaum wanita
untuk berdiam di rumah-rumahnya, menunaikan kewajiban mentarbiyah
keluarga mereka, anak-anak, saudari, saudara dan seterusnya. Tidak
mengapa para tetangga wanita saling berkumpul di tempat khusus wanita,
dengan suara yang rendah, yang sesuai dengan tempat bermajelis mereka.
Apa yang
kita lihat pada hari ini, maka saya meyakini bahwa hal itu bukanlah
bagian dari Islam sedikitpun. Walaupun sebagian jamaah-jamaah Islam
mengorganisir pergerakan-pergerakan kaum wanita dengan mengatasnamakan
Islam, saya yakin bahwa hal ini termasuk perkara-perkara baru dalam
agama. Kalian telah menghafalkan, dan telah tiba masanya kalian
menghafalkan ucapan Rasul ‘alaihishshalâtu wassalâm,
وإياكم ومحدثات الأمور ، فإن كل محدثة بدعة ، وكل بدعة ضلالة ، وكل ضلالة في النار
“Jauhilah
olehmu perkara-perkara baru, karena setiap perkara baru (dalam agama)
adalah bid’ah. Setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan di neraka.”
Cukup sekian.
سبحانك اللهم وبحمدك ، أشهد أن لا إله إلا أنت ، أستغفرك وأتوب إليك
(Syaikh al-Imam al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin bin Nuh al-Albani rahimahullahu, dalam rekaman ceramah yang berjudul “Az Zawâj fi al Islâm”. Teks arabnya silahkan dibaca di sini)
———————
* Nasyath
islami secara harfiah adalah kegiatan/aktivitas islami, dan yang beliau
maksudkan adalah bentuk-bentuk pergerakan “dakwah” modern yang
terorganisir yang umum kita kenal di zaman ini.
0 tanggapan:
Posting Komentar