25 September 2015
Mendekatkan Diri kepada Allah dengan Menyembelih Qurban
Diantara hari-hari Allah yang sangat agung adalah “yaum an-nahr”, yaitu hari ke 10 di bulan Dzulhijjah, atau yang umum dikenal sebagai hari raya Idul Adha yang diberkahi.
Hari itu disebut dengan yaum an-nahr karena pada hari itulah orang-orang yang sedang menunaikan ibadah haji menyembelih al-hadyu (hewan qurban khusus dalam haji) dan kaum muslimin di seluruh penjuru dunia menyembelih al-udhiyah (hewan qurban) dalam rangka untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Yang Maha Esa.
Tujuan
dari qurban itu tidaklah semata-mata hanya ritual penyembelihan saja,
akan tetapi Dia mensyari’atkan ibadah tersebut agar para hamba menyebut
namaNya saat menyembelih. Karena Dia adalah al-Khaliq (Maha Pencipta)
dan ar-Razzaq (Maha pemberi rezki) yang memiliki seluruh perbendaharaan
langt dan bumi, Dia tidak butuh kepada daging dan darah dari hewan-hewan
tersebut. Yang Dia inginkan adalah keikhlasan dan memurnikan ibadah
hanya untukNya saat menyembelih, niat yang benar semata-mata mencari
keridhaanNya dan mengharapkan ganjaran pahala dariNya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلِكُلِّ
أمَّةٍ جَعَلنَا مَنسَكًا لِيَذكُرُوا اسْمَ اللهِ عَلىَ مَا رَزَقَهُم
مِن بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَإلهُكُم إلهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أسْلِمُوا
وَبَشِّرِ المُخْبِتِينَ
“Dan
bagi tiap-tiap umat telah Kami syari’atkan penyembelihan (qurban),
supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah
dianugerahkan Allah kepada mereka. Maka Rabb-mu ialah Rabb Yang Maha
Esa, karena itu berserah dirilah kamu hanya kepadaNya. Dan berilah kabar
gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” (QS. Al-Hajj ayat 34).
Dan firmanNya,
لَنْ
يَنَالَ اللهَ لُحُومُهَا وَلاَ دِمَاؤُهَا وَلكِن يَنَالُهُ التَقْوىَ
مِنكُم كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُم لِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلىَ مَا هَدَاكُم
وَبَشِّرِ المُحْسِنِينَ
“Daging-daging
unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai Allah, tetapi
ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapaiNya. Demikianlah Allah telah
menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap
hidayahNya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang
yang berbuat baik.” (QS. Al-Hajj ayat 37).
Menyembelih
adalah salah satu jenis ibadah yang dengannya kaum muslimin mendekatkan
diri-diri mereka kepada Allah Ta’ala, baik itu berupa al-hadyu, al-udhiyah,
aqiqah, nadzar dan lain-lainnya. Sebagaimana ibadah-ibadah lainnya,
ibadahnya seorang muslim dalam penyembelihan tidak boleh dipersembahkan
untuk yang selain Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لَلهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ لاَ شَرِيْكَ لَهُ
“Katakanlah : Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagiNya.” (QS. Al-An’am ayat 162-163).
firmanNya (وَنُسُكِي ) maknanya adalah “sembelihanku” sebagaimana disebutkan para ulama tafsir.
Diriwayatkan oleh Ali bin Thalib radhiyallahu ‘anhu ia berkata : Rasulullah ﷺ telah menyampaikan kepadaku tentang empat kalimat,
لعن الله من ذبح لغير الله، ولعن الله من لعن والديه، ولعن الله من آوى محدثًا، ولعن الله من غير منار الأرض
“Allah
melaknat orang menyembelih untuk selain Allah, Allah melaknat orang yang
melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat orang menyembunyikan pelaku
kejahatan dan Allah melaknat orang yang mengubah patok-patok tanah.” (HR. Muslim).
Keempat
perkara ini adalah perbuatan-perbuatan yang mendatangkan laknat Allah
Ta’ala, yaitu dijauhkannya orang tersebut dari rahmat dan kasih
sayangNya. Dan dari empat perkara itu, yang paling buruknya dan
berbahaya adalah menyembelih untuk selain Allah Ta’ala. Karena
menyembelih untuk selain Allah adalah syirik, sementara tiga perkara
lainnya adalah dosa-dosa besar yang tidak sampai pada level kesyirikan.
Setiap
sembelihan untuk yang selain Allah yang dilakukan dalam bentuk ibadah,
pemujaan dan pendekatan diri adalah syirik, sekecil apapun yang
dipersembahkan dalam penyembelihan tersebut.
Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Az-Zuhd (hal. 32-33), Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (I/203) dan lain-lain dari Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, dengan sanad yang shahih mauquf
sampai kepadanya, ia berkata, “Seorang laki-laki masuk surga disebabkan
oleh lalat dan seorang yang lainnya masuk neraka disebabkan oleh
lalat.” Mereka bertanya, “Bagaimana hal itu terjadi?” Ia berkata, “Dua
orang laki-laki dari masa sebelum kalian melewati satu kaum yang
memiliki berhala. Tidaklah seseorang melewati mereka kecuali akan
mempersembahkan sesuatu untuk berhala mereka. Mereka berkata kepada
salah satu dari keduanya, ‘Persembahkan sesuatu!’ Ia berkata, ‘Saya
tidak memiliki sesuatu.’ Mereka berkata, ‘Persembahkan walaupun hanya
seekor lalat.’ Maka ia berqurban dengan seekor lalat dan ia (dibolehkan)
pergi hingga akhirnya masuk neraka. Mereka berkata kepada yang satunya,
‘Berqurbanlah!’ Ia berkata, ‘Aku tidak akan persembahkan sesuatu qurban
kepada seorang pun selain Allah ‘azza wa jalla!’ Mereka akhirnya memenggal lehernya dan ia pun masuk surga.”
Perhatikanlah
bagaimana persembahan kecil yang tidak bernilai itu telah mengantarkan
seseorang kepada neraka Allah Ta’ala, karena orang itu telah melakukan
kesyirikan yang sangat besar dosanya di sisi Allah Ta’ala.
Berkata Imam asy-Syaukani rahimahullahu,
“Diantara keburukan-keburukan yang sangat besar, yang telah sampai pada
level melemparkan pelakunya ke belakang dinding Islam, dan
mencampakkannya dengan kepalanya dari kedudukan agama yang paling
tinggi; bahwa sebagian besar mereka datang dengan sebaik-baik apa yang
dimiliki dan dipelihara dari hewan-hewan ternak, kemudian disembelihnya
di sisi kubur tersebut untuk mendekatkan diri kepadanya, dengan
mengharapkan sesuatu yang tersembunyi hasilnya darinya?! Dia pun
menyembelih dengannya untuk selain Allah, dan beribadah dengannya untuk
sebuah berhala dari berhala-berhala.
Karena,
tidak ada perbedaan antara menyembelih untuk batu-batu yang dibangun dan
mereka menamakannya berhala dengan kubur seorang yang telah meninggal
dan kemudian mereka menamakannya makam. Sekedar berbeda dalam nama tidak
akan mencukupi dari kebenaran sedikitpun dan sama sekali tidak
berpengaruh pada penghalalan atau pengharaman. Karena siapa yang
menggunakan nama untuk khamr (arak) dengan nama yang selainnya
kemudian dia meminumnya, maka hukumnya sama dengan hukum orang yang
meminumnya dan dia menamakannya dengan nama aslinya, tanpa ada
sedikitpun perselisihan diantara kaum muslimin seluruhnya!
Tidak
diragukan bahwa menyembelih adalah salah satu jenis ibadah yang
dengannya para hamba beribadah kepada Allah, sebagaimana halnya al-hadyu,
fidyah dan qurban. Orang yang mendekatkan diri kepada kuburan dengan
perbuatan-perbuatan ini dan orang yang menyembelih untuknya di sisinya,
dia tidak memiliki tujuan untuk hal tersebut melainkan untuk
mengagungkannya, memuliakannya, mengambil kebaikan darinya dan menolak
keburukan dengannya. Yang seperti ini tidak diragukan lagi adalah sebuah
ibadah! Cukuplah bagimu keburukan mendengarkan kabarnya, lâ haula wa lâ quwwata illâ bi_Llâhil ‘Aliyyil ‘Adzhîm, wa innâ li_Llâhi wa innâ ilaihi râji’ûn.” (Syarh ash-Shudûr fi Tahrîm Raf’i al-Qubûr, Imam asy-Syaukani rahimahullahu, dalam kumpulan kitab al-Jâmi’ al-Farîd, hal. 529-530).
Di negeri
kita dan dibanyak negeri kaum muslimin, tidak cukup hanya dengan
kuburan, sebagian orang bahkan mempersembahkan sembelihan dan berbagai
macam sesajen untuk gunung-gunung, lautan, jembatan dan berbagai tempat
yang dianggap keramat!! Wallâhul musta’ân…
Kesyirikan
begitu banyak tersebar di sekitar kita. Sepatutnya setiap kita waspada
dan bekerja keras untuk menyelamatkan diri, keluarga dan masyarakat dari
dosa-dosa syirik yang bisa mendatangkan murka Allah Ta’ala.
Semoga Allah melindungi kita dari kesyirikan, yang besar dan kecilnya, yang nampak dan yang tersembunyi. Amin!
Pembantaian ribuan ekor sapi untuk persembahan kepada berhala di Nepal
(Disadur dari kitab Durûs ‘Aqadiyyah Mustafâdah min Al-Hajj, oleh Syaikh Dr. Abdurrazzaq al-Badr hafidzhahullahu).
23 September 2015
Hari Arafah dan Perkumpulan Besar pada Hari Kiamat
Perkumpulan
besar di tanah Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah mengingatkan seorang muslim tentang
perkumpulan besar pada Hari Kiamat nanti. Tempat berkumpulnya seluruh
manusia, sejak yang pertama hingga yang terakhir, menunggu keputusan
akhir untuk menempati kedudukan mereka masing-masing; entah dalam
kenikmatan yang abadi, atau menuju kepada azab yang pedih.
قُلْ إنَّ الأوَّلِيْنَ وَالآخِرِينَ، لَمَجْمُوعُونَ إلىَ مِيْقَاتِ يَوْمٍ مَعْلُوْمٍ
“Katakanlah
: Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang
terkemudian, benar-benar akan dikumpulkan di waktu tertentu pada hari
yang dikenal.” (QS. Al-Waqi’ah ayat 49-50).
Tidak
seorang pun yang akan mangkir dari perkumpulan besar tersebut. Orang
yang hilang ditelan bumi, yang dimakan oleh burung dan binatang buas;
semuanya akan dikumpulkan, dan tidak ada tempat untuk lari menghindar.
وَحَشَرْنَاهُم فَلَمْ نُغَادِرْ مِنْهُم أحَدًا
“Dan Kami kumpulkan seluruh manusia, dan Kami tidak tinggalkan seorang pun dari mereka.” (QS. Al-Kahf ayat 47).
أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَاْتِ بِكُمُ اللهُ جَمِيْعًا إنَّ اللهَ عَلىَ كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ
“Dimana
saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada
hari Kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah ayat 148).
Manusia seluruhnya akan dikumpulkan di bumi (tanah) yang selain bumi ini. Allah Ta’ala berfirman,
يَوْمَ تُبَدَّلُ الأَرْضُ غَيْرَ الأَرْضِ وَالسَمَوَاتُ وَبَرَزُوا لِلهِ الوَاحِدِ القَهَّارِ
“Pada
hari ketika bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula)
langit, dan mereka semuanya (di padang mahsyar) berkumpul menghadap ke
hadirat Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.” (QS. Ibrahim ayat 48).
Rasulullah ﷺ menjelaskan tentang bumi itu dalam sabdanya,
يحشر الناس يوم القيامة على أرضٍ بيضاء عفراء كقرصة النقيّ ليس فيها علم لأحدٍ
“Manusia
dikumpulkan di bumi yang putih datar, seperti lempengan bundar yang
bersih, tidak ada padanya tanda dihuni oleh seseorang.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).
Dan mereka dikumpulkan pada hari itu tanpa alas kaki, tanpa pakaian dan tidak dalam keadaan berkhitan.
Dalam kitab ash-Shahihain, Aisyah radhiyallahu ‘anha mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,
يحشر الناس يوم القيامة حفاةً عراةً غُرلاً
“Manusia akan dikumpulkan pada hari Kiamat dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian dan tidak berkhitan.”
Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah, laki-laki dan perempuan seluruhnya, sebagiannya melihat kepada sebagian yang lain?”
Beliau ﷺ bersabda,
يا عائشة، الأمر أشدّ من أن ينظر بعضهم إلى بعضٍ
“Wahai Aisyah, perkara (hari Kiamat) itu lebih berat daripada sebagian mereka akan melihat kepada yang lainnya.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).
Pada hari
itu, matahari didekatkan kepada para hamba hingga hanya berjarak satu
mil. Tidak ada naungan pada hari itu kecuali naungan ‘Arsy Yang Maha
Penyayang. Ada yang bernaung dibawah naungan ‘Arsy tersebut, dan ada
yang terpanggang dengan panasnya matahari. Panas itu telah menyiksanya
dan membakarnya. Seluruh umat penuh sesak, dan sebagiannya mendorong
sebagian lainnya. Kaki-kaki saling berdesakan dan leher-leher (seperti)
terputus karena kehausan. Telah berkumpul pada mereka di tempat itu
panasnya matahari bersama dengan tiupan nafas-nafas mereka dan sesaknya
tubuh-tubuh mereka. Keringat mereka pun menetes ke tanah. Kemudian air
keringat itu membanjir naik sesuai dengan kedudukan mereka di sisi
Rabb-nya dalam kebahagiaan atau kebinasaan. Diantara mereka ada yang
keringatnya mencapai pundaknya, ada yang mencapai daun telinganya, dan
di antara mereka ada ditenggelamkan oleh keringatnya sendiri. Kita
memohon keafiatan dan keselamatan kepada Allah.
(Disadur dari kitab al-Hajj wa Tahdzîb an-Nufûs, Syaikh Dr. Abdurrazzaq al-Badr)
21 September 2015
Keutamaan Puasa Hari Arafah
Disunnahkan
bagi orang yang tidak sedang menunaikan ibadah haji untuk berpuasa pada
Hari Arafah, yaitu pada hari kesembilan di bulan Dzulhijjah. Puasa
tersebut menghapuskan dosa-dosa setahun yang telah berlalu, dan
menghapuskan dosa-dosa setahun yang akan datang dari umur seorang
manusia. Perkara yang tidak pernah terjadi kecuali untuk Nabi ﷺ dalam
firman Allah,
لِيَغْفِرَ اللهُ لكَ مَا تَقَدّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأخّرَ
“Supaya Allah memberikan ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang.” (QS. Al-Fath ayat 2).
Dan juga para peserta Perang Badr al-Kubra sebagaimana disebutkan dalam hadits Qudsi,
اعملوا ما شئتم فقد غفرتُ لكم
“Kerjakanlah apa yang kalian suka, sungguh Aku telah mengampuni kalian!” (HR. Al-Bukhary).
Berkenaan dengan dalil tentang keutamaan puasa di Hari Arafah, maka Nabi ﷺ bersabda,
صيام يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله والسنة التي بعده
“Puasa hari Arafah, aku sangat berharap pada Allah akan menghapuskan dosa-dosa setahun sebelumnya dan setahun yang setelahnya.” (HR. Muslim).
Penghapusan
dosa dua tahun tersebut, entah yang dimaksudkan bahwa Allah mengampuni
dosa-dosanya selama dua tahun itu dengan sebab jauhnya dia dari
dosa-dosa besar dan taufiq yang Allah berikan padanya untuk beramal
shalih yang menggugurkan dosa-dosa, atau dimaksudkan bahwa Allah
menjaganya sehingga tidak melakukan dosa-dosa dan tidak bermaksiat
kepadaNya dalam dua tahun tersebut.
Sunnah ini
–seperti yang telah disebutkan- hanya berlaku bagi yang tidak
melaksanakan haji. Adapun bagi kaum muslimin yang melaksanakan haji,
maka yang paling utama baginya adalah melaksanakan Sunnah Nabi ﷺ dan
para Khulafa’ Rasyidun dengan tidak berpuasa pada hari itu untuk
menguatkan diri mereka dalam doa dan dzikir pada saat wuquf di Arafah.
Demikianlah mazhab mayoritas para ulama.
Dalam Shahih al-Bukhary, dari Maimunah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha,
أَنَّ
النَّاسَ شَكُّوا فِي صِيَامِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَوْمَ عَرَفَةَ ، فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِحِلَابٍ وَهُوَ
وَاقِفٌ فِي الْمَوْقِفِ ، فَشَرِبَ مِنْهُ وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ
“Bahwa
manusia dalam keraguan tentang puasa Nabi ﷺ pada hari Arafah. Maka ia
mengirimkan segelas susu kepadanya sementara beliau sedang wukuf di
Arafah. Beliau minum darinya sementara orang-orang melihatnya.”
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma
pernah ditanya tentang puasa hari Arafah di Arafah, beliau menjawab,
“Saya melaksanakan haji bersama Nabi ﷺ dan beliau tidak melakukan puasa,
bersama Abu Bakr dan beliau tidak berpuasa, bersama Umar dan beliau
tidak berpuasa, bersama Utsman dan beliau juga tidak berpuasa. Aku pun
tidak melakukannya dan tidak menyuruh untuk berpuasa, dan aku tidak juga
melarangnya,” (Riwayat at-Tirmidzi, an-Nasa’i dalam Sunan al-Kubra dan
Ahmad).
Wallahu a’lam.
20 September 2015
Permulaan Fase Dakwah Jahriyyah
Fase dakwah jahriyyah adalah fase
dakwah secara terang-terangan setelah tiga tahun lamanya dakwah tersebut hanya dilakukan secara diam-diam pada orang-orang tertentu saja. Dakwah Islam adalah dakwah universal untuk kebaikan manusia dan seluruh alam.
Tidak ada yang perlu disembunyikan kecuali dalam suatu kondisi tertentu
yang sangat terpaksa dilakukan untuk keselamatan dakwah dan para
pengikutnya.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata :
Ketika turun ayat,
وَأنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ الأقْرَبِيْنَ
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy-Syu’ara’ ayat 214); Nabi ﷺ
naik ke atas bukit Shofa dan menyeru, “Wahai Bani Fihr,, Wahai Bani Adi,,”
–yaitu klan-klan suku Quraisy- hingga mereka akhirnya berkumpul. Sampai-sampai jika
seseorang tidak mampu untuk datang, dia akan mengutus orang untuk
melihat apa yang terjadi. Datanglah Abu Lahab dan Quraisy.
Beliau ﷺ
berkata, “Bagaimana pendapat kalian andai aku kabarkan pada kalian bahwa
pasukan berkuda di lembah ini ingin menyerang kalian; apakah kalian
akan membenarkan aku?” mereka menjawab, “Iya! Kami tidak pernah
mengetahui dari dirimu kecuali kejujuran.” Beliau berkata, “Sungguh, aku ini
adalah seorang pemberi peringatan, dihadapanku ada adzab yang pedih!”
Berkata Abu Lahab, “Celakalah engkau sepanjang hari! Untuk ini engkau mengumpulkan kami?!”
Maka turunlah,
تَبّتْ يَدَى أبِيْ لَهَبٍ وَتَبَّ، مَا أغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ
“Binasalah
kedua tangan Abu Lahab dan sungguh dia telah binasa. Tidaklah berfaedah
untuknya harta bendanya dan apa yang ia usahakan.” [1]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata :
Ketika Allah menurunkan,
وَأنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ الأقْرَبِيْنَ
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy-Syu’ara’ ayat 214); Rasulullah ﷺ berkata, “Wahai kaum Quraisy –atau kata yang semacamnya-, belilah diri-diri kalian[2],
aku tidak mampu mencukupi kalian dengan sesuatu pun dari (murka dan
azab) Allah. Wahai Abbas bin Abdil Muththalib, aku tidak mampu
melindungimu sedikitpun dari (azab) Allah. Wahai Shafiyyah -bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalla-,
aku tidak mampu melindungimu sedikitpun dari (azab) Allah. Wahai Fathimah bintu
Muhammad, mintalah apa yang engkau inginkan dari hartaku, aku tidak
mampu melindungimu sedikitpun dari (azab) Allah!”[3]
Orang-orang
yang beriman ketika dakwah itu dimulai telah berjumlah lebih dari 40 orang. Pada fase dakwah jahriyyah ini, ikut
bergabung dalam agama Allah, Hamzah bin Abdil Muththalib dan Umar bin
al-Khaththab, radhiyallahu ‘anhuma.
—————
[1] HR. Al-Bukhary dalam Kitâb at Tafsîr, dan Muslim dalam Kitâb al Îmân
[2] Perkataan beliau ﷺ : “Belilah diri-diri kalian dari Allah”,
yaitu membebaskannya dari Neraka. Seakan beliau ingin mengatakan :
“Berislamlah kalian, niscaya kalian akan selamat dari azab.” Seakan-akan
mereka menjadikan ketaatan itu sebagai harga bagi keselamatan.
[3] HR. Al-Bukhary dalam Kitâb at Tafsîr, dan Muslim dalam Kitâb al Îmân
17 September 2015
Memperbanyak Dzikir pada Sepuluh Hari Permulaan Dzulhijjah
Sepuluh
hari pertama di bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang sangat mulia, dan
tidak diragukan bahwa amal-amal shalih pada hari-hari tersebut sangat
dianjurkan untuk dikerjakan oleh seorang muslim.
Diantara amal-amal shalih yang sangat dianjurkan, bahkan dianjurkan secara khusus dalam dalil-dalil adalah dzikrullah (berdzikir kepada Allah Ta’ala).
Allah Ta’ala berfirman,
وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللهَ فـِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ
“Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.” (QS. Al-Hajj ayat 28).
“Ayyâm ma’lûmât” ditafsirkan oleh Ibnu Abbas yaitu hari-hari sepuluh pertama di bulan Dzulhijjah.
Dan Allah juga berfirman,
وَاذْكُرُوا اللهَ فـِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (QS. Al-Baqarah ayat 203).
Ibnu Abbas menafsirkan “ayyâm ma’dûdât” sebagai hari-hari Tasyriq.
Kedua tafsiran ini disebutkan oleh Imam al-Bukhary dalam Shahih-nya dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Setelahnya Al-Bukhary juga meriwayatkan dengan redaksi ta’lîq bahwa “Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma
keluar ke pasar pada hari-hari sepuluh (Dzulhijjah) dan keduanya
bertakbir, dan orang-orang juga bertakbir mengikuti takbir mereka. Dan
Muhammad bin Ali bertakbir setelah shalat sunnah.”
Perbuatan keduanya tentu saja tidak dilakukan kecuali dengan pengetahuan mereka bahwa Rasulullah ﷺ mengamalkan ibadah tersebut.
Dengan
dalil ini, takbir adalah sunnah terpenting dalam sepuluh hari pertama di
bulan Dzulhijjah. Walaupun tentu saja, dzikir secara umum dianjurkan
pada hari-hari tersebut. Dengan dalil bahwa Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma juga meriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda,
مَا
مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ وَلاَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعَمَلُ
فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ، فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ
التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ
“Tidak
ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah dan amalan lebih
dicintaiNya pada hari-hari itu selain hari-hari yang sepuluh ini. Maka
perbanyaklah padanya tahlil, takbir dan tahmid.” (HR. Ahmad dengan sanad yang hasan).
Tidak ada
redaksi takbir yang sah dinukil dari Nabi ﷺ, namun beberapa redaksi
takbir telah diriwayatkan dengan jalan-jalan periwayatan yang shahih
dari para shahabatnya. Diantaranya, riwayat dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa ia mengucapkan,
الله أكبر الله أكبر، لا إله إلا الله، و الله أكبر، الله أكبر و لله الحمد
Allâhu akbar, Allâhu akbar, lâ ilâha illa_llâhu wa_llâhu akbar, Allâhu akbar wa li_llâhi_lhamd.
“Allahu
akbar, Allahu akbar, tiada Tuhan (yang hak) kecuali Allah dan Allah Maha
Besar, Allah Maha Besar dan untuk Allah segala pujian.” (Diriwayatkan Imam Ibnu Abi Syaibah).
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia mengucapkan,
الله أكبر الله أكبر، الله أكبر و لله الحمد، الله أكبر و أجل، الله أكبر على ما هدانا
Allâhu akbar, Allâhu akbar, Allâhu akbar wa li_llâhi_lhamd, Allâhu akbar wa ajall, Allâhu akbar ‘alâ mâ hadânâ.
“Allahu
akbar, Allahu akbar, Allah Maha Besar dan bagi Allah segala pujian,
Allah Maha Besar dan Maha Agung, Allah Maha Besar atas petunjuk-Nya
kepada kami.” (Riwayat Imam al-Baihaqi dengan sanad yang shahih)
Dan diriwayatkan dari Salman radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Bertakbirlah,
الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر كبيرا
“Allâhu akbar, Allâhu akbar, Allâhu akbar kabîra.” (Riwayat Imam al-Baihaqi).
Hendaknya
kita semangat dan antusias untuk kembali menghidupkan sunnah yang mulia
ini, yaitu dengan mengamalkannya dan mengajak manusia untuk
mengamalkannya, agar kita bisa mendapatkan pahala dzikir dan takbir,
serta pahala menghidupkan sunnah Nabi.
(Sumber : Shahîh Fiqh as-Sunnah dan lain-lain)
15 September 2015
Hajar Aswad Tidak Dapat Memberi Manfaat atau Menolak Keburukan
Saat akan
melakukan thawaf, disunnahkan untuk mengusap dan mencium Hajar Aswad, sebagai bentuk
ketaatan kepada Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ. Itulah yang ditunjukkan dalil-dalil shahih dari Rasulullah ﷺ .
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma ia berkata, "Saya melihat Rasulullah ﷺ ketika datang ke Makkah, jika beliau telah mengusap ar-Rukn al-Aswad[1] maka yang pertama beliau lakukan dalam thawaf adalah berlari kecil tiga kali dari tujuh putaran." (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Muslim meriwayatkan dari Nafi', ia berkata : Saya melihat Ibnu Umar mengusap al-Hajar dengan tangannya kemudian ia mencium tangannya tersebut. Ia berkata, "Aku tidak pernah meninggalkannya semenjak aku melihat Rasulullah ﷺ melakukannya."
Muslim juga meriwayatkan dari Abu ath-Thufail radhiyallahu 'anhu ia berkata, "Rasulullah ﷺ berthawaf di al-Bait (Ka'bah) dan beliau menyentuh ar-Rukn (yaitu Hajar Aswad) dengan tongkatnya serta mencium tongkat tersebut."
Dengan
itulah kaum muslimin dari masa ke masa menyentuh dan menciumi Hajar Aswad, demi untuk
ber-ittiba’ kepadanya, mengikuti petunjuknya dan berkomitmen terhadap
sunnahnya ﷺ. Bukan karena keyakinan mereka bahwa batu itu dapat memberi manfaat atau menolak keburukan.
Karena itulah, saat akan mencium Hajar Aswad, Amirul Mukminin Umar ibnul Khattab radhiyallahu ‘anhu
berkata, "Sesungguhnya aku sangat mengetahui bahwa engkau hanyalah
sebuah batu yang tidak dapat memberi manfaat atau keburukan. Kalau bukan
karena aku melihat Rasulullah ﷺ menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu." (Riwayat al-Bukhary dan Muslim).
Berkata Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullahu, “Umar
mengatakan demikian karena manusia pada saat itu belum lama lepas dari
masa penyembahan berhala. Umar sangat khawatir kalau orang-orang jahil
sampai menyangka bahwa mengusap Hajar Aswad termasuk dalam pengagungan
terhadap sebagian batu, sebagaimana yang dilakukan bangsa Arab di masa
Jahiliyyah. Maka Umar ingin memberi pelajaran pada manusia bahwa
mengusapnya itu hanyalah sebagai ittiba’ (mengikuti petunjuk) terhadap
perbuatan Rasulullah ﷺ, bukan karena
batu tersebut bisa memberi manfaat atau keburukan dengan sendirinya,
sebagaimana keyakinan manusia terhadap berhala-berhala.” (Perkataan ini
dinukil oleh al Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, III/ 463)
Demikianlah pemahaman para Shahabat, Salaf umat ini, tentang Hajar Aswad.
Hajar Aswad adalah sebuah batu yang sangat mulia dan wajib dimuliakan. Namun, pemuliaan dan pengagungan tersebut tidak menjadikan seorang muslim berkeyakinan keliru terhadapnya. Hajar Aswad tetaplah sebuah batu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun atau menolak keburukan.
Nah, bagaimana lagi jika batu itu adalah yang selain Hajar Aswad?!
Alangkah banyaknya orang-orang awam dari umat ini yang masih meyakini keberkahan pada benda-benda tertentu, atau meyakini bahwa benda-benda tersebut dapat menolak keburukan dari dirinya. Hingga akhirnya ia pun terjatuh pada kesyirikan yang sangat dimurkai Allah Ta'ala.
Semoga Allah melindungi kita semua dari keburukan syirik dan para pelaku kesyirikan.
Dibaca juga : Thawaf di Baitullah adalah Ibadah
---------------------
Footnotes :
[1] Ka'bah -dalam bentuknya yang sekarang- memiliki empat rukun (pilar), yaitu rukn al-Hajar al-Aswad, rukn al-Yamaani, rukn al-Gharbi (barat) dan rukn asy-Syaami atau asy-Syamaali (utara). Dua yang pertama kadang diistilahkan sebagai "dua rukn Yamaani" karena mengarah ke negeri Yaman, dan dua yang terakhir kadang diistilahkan sebagai "dua rukn Syaami" karena cenderung mengarah ke arah negeri Syam.
[2] Sunnahnya berkenaan dengan Hajar Aswad adalah mengusapnya dan menciumnya. Jika hal itu sulit dilakukan, maka mengusap atau menyentuh dengan tangan (atau tongkat) kemudian mencium tangan (atau tongkat) itu. Jika tidak memungkinkan juga, maka cukup dengan berisyarat tanpa mencium. Demikianlah yang dinukil dari Rasulullah ﷺ sebagaimana yang telah disebutkan dalam dalil-dalil diatas. Dan diriwayatkan Imam al-Bukhary dari Ibnu Abbas ia berkata, "Rasulullah ﷺ berthawaf diatas onta. Setiap kali beliau mendatangi ar-Rukn (Hajar Aswad), beliau berisyarat dengan tangannya dan bertakbir."
12 September 2015
Panduan Ringkas Ibadah Qurban
Qurban dalam istilah fiqh disebut “al-udhhiyah” ( الأضحية ).
Al-udhhiyah
adalah hewan yang disembelih untuk bertaqarrub (mendekatkan diri)
kepada Allah Ta’ala pada hari-hari penyembelihan (Idul Adha dan
hari-hari Tasyriq) dengan syarat-syarat tertentu.
Qurban hukumnya sunnah menurut jumhur ulama, dan tidak wajib.
Telah sah diriwayatkan dari para Shahabat bahwa berqurban tidaklah wajib.
Diriwayatkan
dari Abu Sarihah ia berkata, “Saya melihat Abu Bakr dan Umar, dan
mereka berdua tidak berqurban.” (Riwayat Abdurrazzaq dan al-Baihaqi).
Dan berkata Abu Mas’ud al-Anshary radhiyallahu ‘anhu,
“Aku terkadang meninggalkan penyembelihan qurban padahal aku memiliki
kelapangan karena khawatir jika tentangga-tetanggaku memandang bahwa
qurban itu wajib atasku.” (Riwayat Abdurrazzaq dan al-Baihaqi).
Yang
mencukupi dalam ibadah qurban adalah menyembelih hewan-hewan ternak;
onta, sapi, kambing atau domba, dan tidak sah berqurban dengan selain
hewan-hewan tersebut.
Umur hewan
yang disembelih dalam qurban adalah sebagai berikut; onta yang telah
berumur 5 tahun, sapi yang telah genap berumur 2 tahun dan kambing yang
telah genap satu tahun. Namun jika sulit didapatkan kambing yang telah
berumur setahun, dibolehkan menyembelih domba yang telah berumur 6
bulan.
Satu ekor
kambing yang disembelih dalam qurban mencukupi bagi satu orang dan
keluarganya. Sementara satu ekor onta atau sapi mencukupi untuk tujuh
orang yang berserikat.
Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah ﷺ memerintahkan kami untuk berserikat setiap tujuh orang dari kami pada onta dan sapi.” (HR. Muslim).
Disyaratkan
dalam hewan qurban adalah hewan yang sehat dan bebas dari penyakit dan
cacat seperti kebutaan, pincang, kurus dan sakit.
Yang paling utama dalam hewan qurban adalah onta, kemudian sapi, kemudian kambing.
Dan yang paling utama dari setiap jenisnya adalah yang paling gemuk dan kemudian paling mahal harganya.
Waktu menyembelih hewan qurban adalah setelah shalat Id hingga hari terakhir dari hari-hari Tasyriq.
Orang yang
ingin berqurban, maka dia tidak boleh mengambil sesuatu dari rambut dan
kukunya jika telah masuk sepuluh pertama bulan Dzulhijjah hingga ia
menyembelih hewannya. Nabi ﷺ bersabda,
إذا دخل العشرُ وأراد أحدكم أن يضحّي فلا يأخذ من شعره ولا من أظفاره شيئًا حتى يضحّي
“Jika
telah masuk sepuluh (Dzulhijjah) dan salah seorang kalian ingin
berqurban, maka jangan sekali-kali ia mengambil sesuatu pun dari rambut
dan kukunya hingga ia menyembelih (qurbannya).” (HR. Muslim).
Jika orang
tersebut melanggar aturan itu, maka dia beristighfar memohon ampunan
Allah dan tidak ada kewajiban membayar fidyah atasnya.
Wallahu a’lam.
10 September 2015
Jeddah Bukan Miqat untuk Haji & Umrah
Dalam pertemuan ke XIV Majelis Haiah Kibâr al-‘Ulamâ
yang diselenggarakan di kota Thaif sejak 10/10/1399 H hingga 21/10/1399
H, Majelis mempelajari risalah yang dikirim Syaikh Abdullah bin Zaid
Alu Mahmud, Kepala Mahkamah Syar’i dan Urusan Agama di Qatar kepada Yang
Mulia Raja Khalid bin Abdil Aziz yang berisi tentang bolehnya
menjadikan Jeddah sebagai miqat untuk penumpang pesawat terbang dan
kapal laut, yang kemudian diteruskan kepada Yang Mulia Ketua Umum
Lembaga Riset Ilmiah, Fatwa, Dakwah dan Penyuluhan oleh Kepala Staf
Khusus Raja Khalid dengan surat no. 5214/1 pada 12/5/1399 H.
Majelis telah membaca fatwa tersebut dan mendapatkan fatwa itu bersandar pada (alasan-alasan berikut);
- Fatwa akan berubah dengan perubahan keadaan dan zaman
- Persoalan ini (yaitu persoalan miqat) adalah persoalan ijtihad, yang menuntut dari para ulama untuk meneliti lebih jauh tentang penetapan miqat-miqat mereka yang datang dengan menggunakan pesawat
- Melintasnya pesawat di langit (udara) miqat sementara pesawat itu terbang di udara; maka definisi “datangnya mereka ke miqat yang telah ditentukan” tidaklah terpenuhi pada diri-diri mereka baik dari sisi bahasa maupun ‘urf (adat kebiasaan)
- Dakwaannya bahwa fatwanya itu serupa dengan perbuatan Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu ketika ia menetapkan Dzatu ‘Irq (sebagai miqat) untuk penduduk Iraq
- Perkataannya: “Kalau saja Rasulullah ﷺ hidup dan melihat banyaknya orang yang mendarat dari udara ke tanah Jeddah menuju Baitullah untuk haji dan umrah, niscaya beliau akan bersegera menetapkan miqat mereka dari Jeddah itu sendiri sesuai dengan konsekuensi ushulnya dan dalil-dalilnya.”
Setelah
Majelis mempelajari lima perkara ini dan hal-hal lainnya yang terdapat
pada risalah tersebut, Majelis memandang bahwa dalih-dalih pembenaran
yang dijadikan dalil olehnya tertolak dengan dalil-dalil syar’i dan
ijma’ Salaf umat ini.
Al-Bukhary dan lain-lain meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
ia berkata, “Rasulullah ﷺ telah menetapkan miqat untuk penduduk
Madinah, Dzulhulaifah, untuk penduduk Syam, al-Juhfah, untuk penduduk
Nejd, Qarn al-Manazil dan untuk penduduk Yaman, Yalamlam. (Beliau
bersabda) : Miqat-miqat itu untuk (penduduk) negeri-negeri tersebut,
dan untuk orang yang datang kepadanya dari yang selain penduduknya dari
orang yang ingin menunaikan haji dan umrah. Siapa yang tinggal di dalam
miqat tersebut, maka (tempat ihramnya) dari tempat ia memulai
(perjalanan ke Makkah), dan bahkan penduduk Makkah (berihram) dari
Makkah.”
Tidak
dibenarkan menyandarkan persoalan ini kepada perubahan fatwa dengan
berubahnya keadaan dan zaman, karena dia termasuk permasalah ibadah,
yang tegak diatas prinsip “at-tauqîf”[1]. Sebagaimana juga
dia bukanlah tempat untuk berijtihad karena penetapannya dengan
nash/dalil dari Rasulullah ﷺ. Dan telah dimaklumi di kalangan ulama
bahwa (hukum yang berkait dengan) wilayah udara mengikuti daratannya
sebagaimana telah dijelaskan pada tempatnya, dan pengingkaran Syaikh
tentang hal itu tidaklah bisa diterima.
Adapun argumennya dengan perbuatan Umar radhiyallahu ‘anhu;
Umar tidak pernah (bermaksud) menjadikan sebuah miqat untuk penduduk
Iraq di sebelah barat atau arah lainnya dari Makkah yang mereka berihram
darinya sebagai ganti dari miqat mereka yang mereka lewati di arah
timur Makkah, akan tetapi Umar radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
انظروا حذوها من طريقكم
“Lihatlah yang sejajar dengan miqat itu (Qarn al-Manazil) dari jalan kalian.”[2]
Dan
perkataannya : “Kalau saja Rasulullah ﷺ hidup…” hingga perkataannya : “…
Niscaya beliau akan bersegera menetapkan miqat mereka dari Jeddah itu
sendiri sesuai dengan konsekuensi ushulnya dan dalil-dalilnya”, maka ini
adalah perkataan batil. Karena Allah telah menyempurnakan agama di masa
hidup rasul-Nya dan pensyari’atan telah selesai dengan wafatnya beliau.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
اليَومَ أكْمَلْتُ لَكُم دِيْنَكُم وَأتْمَمْتُ عَلَيكُم نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيْنًا
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, telah Aku sempurnakan nikmatku atasmu dan Aku ridha Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Maidah ayat 3).
Dan firmanNya,
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
“Dan Tuhan-mu tidak pernah lupa.” (QS. Maryam ayat 64).
Dan perkataan (seperti) ini akan berkonsekuensi pada banyak perkara yang berbahaya.
Dengan landasan yang telah dikemukakan, dan setelah merujuk kepada dalil-dalil dan apa yang disebutkan para ulama tentang al-mawâqît al-makâniyyah
(miqat-miqat tempat mulai berihram), mendiskusikan persoalan tersebut
dari segala sisinya, maka Majelis menetapkan dengan ijma’ sebagai
berikut;
- Fatwa yang datang dari Yang Mulia Syaikh Abdullah bin Zaid Alu Mahmud, Kepala Mahkamah Syar’i dan Urusan Agama di Qatar yang khusus menyebutkan tentang bolehnya menjadikan Jeddah sebagai miqat bagi penumpang pesawat terbang dan kapal laut adalah fatwa yang batil karena tidak berlandaskan dalil dari Kitab Allah, Sunnah rasul-Nya atau ijma’ Salaf ummat ini. Beliau tidak pernah didahului dalam fatwa itu oleh seorang pun dari para ulama kaum muslimin yang diakui perkataan mereka.
- Tidak boleh bagi orang yang melewati salah satu miqat dari al-mawâqît al-makâniyyah atau melintas sejajar dengan salah satunya baik di udara maupun laut, untuk melampauinya tanpa niat ihram sebagaimana yang disebutkan dalil-dalil dan sebagaimana yang ditetapkan oleh para ulama.
Demikian. Wa bi_llâhi at-taufîq.
Hai-ah Kibâr al ‘Ulamâ (Dewan Ulama Besar Kerajaan Arab Saudi)
Ketua Majelis : Abdullah bin Muhammad bin Humaid
Anggota : Abdul
Aziz bin Abdullah bin Baz, Abdul Razzaq Afifi, Abdullah bin Ghudayyan,
Abdullah bin Qu’ud, Muhammad bin Ali al-Harakan, Abdul Aziz bin Shalih,
Ibrahim bin Muhammad Alu asy-Syaikh (berhalangan hadir), Abdul Majid
Hasan, Shalih al-Luhaidan, Abdullah Khayyath, Sulaiman bin Ubaid, Rasyid
bin Khunain, Shalih bin Ghushun, Abdullah bin Mani’.
(Sumber : islammessage.com)
Miqat-miqat haji dan umrah
Miqat Qarn al-Manazil, salah satu miqat haji dan umrah
———————
[1] Tauqîf yaitu hanya berlandaskan dalil dan tidak ada lowongan untuk berijtihad padanya.
[2] Umar
menetapkan miqat Dzatu ‘Irq dengan melihat sejajarnya tempat itu dengan
miqat terdekat yang telah ditetapkan oleh Sunnah yaitu miqat Qarn
al-Manazil. Umar tidak asal menetapkannya, namun menyuruh untuk melihat
tempat yang sejajar dengan miqat Qarn al-Manazil yang merupakan miqat
penduduk Nejd dan negeri-negeri sebelah timurnya.
07 September 2015
Menghajikan Orang Lain
Orang yang
telah memenuhi syarat-syarat wajib haji dan meninggal sebelum sempat
melaksanakan haji, maka dia dihajikan, baik orang tersebut berwasiat
dengannya atau tidak. Biaya haji orang yang telah wafat itu diambilkan
dari harta peninggalannya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma
bahwa seorang wanita berkata, “Wahai Rasulullah, ibuku telah bernazar
untuk berhaji dan ia tidak sempat berhaji hingga meninggal dunia. Apakah
aku menghajikannya?” Beliau ﷺ bersabda,
نعم، حجي عنها، أرأيتِ لو كان على أمك دينٌ أكنتِ قاضيتَه؟ أقضوا الله فالله أحق بالوفاء
“Iya,
hajikan dia. Bagaimana pendapatmu jika ibumu memiliki hutang, apakah
engkau akan melunasinya? Tunaikan (kewajiban-kewajiban) Allah, karena
Allah lebih pantas untuk dipenuhi kewajiban-kewajibannya.” (HR. Al-Bukhary).
Orang yang
telah mampu untuk menunaikan haji namun ia kemudian tidak bisa
melaksanakannya disebabkan usia yang telah uzur atau sakit yang tidak
bisa diharapkan kesembuhannya, maka wajib baginya mencari orang yang
akan menghajikan dirinya dengan biaya yang ditanggung oleh si pemilik
uzur.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma
bahwa seorang wanita dari suku Khats’am berkata, “Wahai Rasulullah,
kewajiban haji telah sampai kepada ayahku yang berusia lanjut, ia tidak
mampu duduk diatas kendaraan, apakah aku menghajikannya?” Beliau ﷺ
bersabda, “Iya.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).
Dengan
dalil hadits ini, disunnahkan menghajikan kedua orang tua jika keduanya
telah meninggal dunia atau tidak mampu lagi menunaikan haji disebabkan
sakit menahun atau uzur.
Disyaratkan
bagi orang yang menghajikan orang lain, bahwa orang tersebut telah
menunaikan haji wajibnya sebelum ia menghajikan orang lain.
Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi ﷺ mendengar seorang laki-laki berkata, “Labbaika ‘an Syubrumah.”[1] Beliau bertanya, “Siapa Syubrumah?” Ia menjawab, “Saudaraku.” (atau “kerabatku.”). Beliau bertanya, “Apakah engkau telah menghajikan dirimu?” Ia menjawab, “Belum.” Maka Nabi ﷺ bersabda,
حُج عن نفسك ثم حُج عن شبرمة
“Berhajilah untuk dirimu, kemudian berhajilah untuk Syubrumah.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain. Diperselisihkan tentang hukum marfu’nya dan keshahihannya).
Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama dan pendapat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Terlepas
dari perselisihan ulama tentang keshahihan hadits, namun perkataan
seorang shahabat lebih pantas untuk diikuti dalam persoalan khilaf yang
terjadi dalam masalah ini. Terlebih tidak diketahui adanya pendapat
shahabat lain yang berbeda dari pendapat Ibnu Abbas.
Yang perlu
menjadi perhatian dan harus dipahami, saat menghajikan orang lain hanya
berlaku satu niat. Tidak boleh seseorang yang menghajikan orang lain
meniatkan satu hajinya itu untuk dirinya dan orang lain, atau diniatkan
untuk beberapa orang sekaligus.
Wa bi_llahi at-taufiq.
——————
[1] Setiap orang yang berniat ihram, maka dia mengucapkan “labbaika hajjan” untuk haji atau “labbaika ‘umratan” untuk niat umrah. Jika dia menghajikan orang lain, maka dia mengucapkan “labbaika ‘an fulân” untuk fulan/orang tertentu dengan menyebut namanya.
05 September 2015
Al-Mâwâqît dalam Haji
Al-mâwâqît adalah bentuk jama’ dari mîqât.
Menurut istilah syar’i, mîqât adalah tempat atau waktu ibadah tertentu.
Haji memiliki dua macam mâwâqît; zamâniyyah (masa/waktu) dan makâniyyah (tempat).
Mâwâqît zamâniyyah adalah bulan-bulan haji; Syawwal, Dzulqi’dah dan Dzulhijjah yang Allah maksudkan dalam firmanNya,
الحَجُّ أشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَن فَرَضَ فِيْهِنَّ الحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فيِ الحَجِّ
“(Musim)
haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan
niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh ada
perkataan kotor, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji.” (QS. Al-Baqarah ayat 197).
Adapun mâwâqît makâniyyah adalah
batas-batas wilayah yang tidak boleh dilampaui oleh seseorang yang akan
menunaikan haji menuju Makkah kecuali dalam keadaan berihram.
Tempat-tempat itu telah dijelaskan oleh Rasulullah ﷺ dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Ia berkata : Rasulullah ﷺ telah menetapkan miqat untuk penduduk
Madinah, Dzulhulaifah, untuk penduduk Syam, al-Juhfah, untuk penduduk
Nejd, Qarn al-Manazil dan untuk penduduk Yaman, Yalamlam. Beliau ﷺ
bersabda,
هنّ لهنّ ولمن أتى عليهنّ من غير أهلهنّ ممن أراد الحج والعمرة، ومن كان دون ذلك فمن حيث أنشأ حتى أهل مكة من مكة
“Miqat-miqat
itu untuk (penduduk) negeri-negeri tersebut, dan untuk orang yang
datang kepadanya dari yang selain penduduknya dari orang yang ingin
menunaikan haji dan umrah. Siapa yang tinggal di dalam miqat tersebut,
maka (tempat ihramnya) dari tempat ia memulai (perjalanan ke Makkah),
dan bahkan penduduk Makkah (berihram) dari Makkah.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).
Adapun Dzatu ‘Irq, maka Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu
telah menetapkannya untuk penduduk Iraq pada pemerintahannya
sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Bukhary (no. 1531). Namun yang
benar, miqat tersebut ditetapkan sendiri oleh Rasulullah ﷺ dengan dalil
hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu yang menjelaskan tentang miqat penduduk negeri-negeri,
ومَهَلّ أهل العراق من ذات عرقٍ
“Dan tempat berihram penduduk Iraq dari Dzatu ‘Irq.” (HR. Muslim).
Hadits ini shahih tanpa keraguan tapi diperselisihkan tentang hukum marfu’nya. Namun hukum tersebut dikuatkan oleh hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha,
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم وقت لأهل العراق ذاتَ عرقٍ
“Bahwa
Rasulullah ﷺ menetapkan miqat untuk penduduk Iraq, Dzatu ‘Irq.” (HR. Abu
Dawud, an-Nasa’i dan lain-lain dengan sanad yang shahih).
Berikut adalah penjelasan ringkas tentang miqat-miqat haji tersebut yang disarikan dari kitab Taudhîh al-Ahkâm min Bulûgh al-Marâm (II/805-806),
1. Dzulhulaifah.
Sekarang disebut Âbâr Ali. Jaraknya dari Masjid Nabawi sejauh 13 km,
dan ke Makkah berjarak 420 km. Dzulhulaifah adalah miqat yang paling
jauh dari Makkah, dan ia adalah miqat untuk penduduk Madinah atau orang
yang datang dari jalan mereka.
2. Al-Juhfah.
Dahulu adalah sebuah kampung yang merupakan persinggahan haji, namun
kemudian hancur karena banjir. Dan akhirnya kaum muslimin berihram dari
desa Rabigh yang terletak di sebelah Barat Al-Juhfah sejauh 22 mil.
Rabigh saat ini adalah sebuah kota yang terdapat padanya kantor-kantor
pemerintah dan fasilitas umum, berjarak 186 km dari Makkah. Berihram
darinya orang-orang yang tinggal di utara Kerajaan Arab Saudi dan daerah
pantai sebelah utara hingga ke Aqabah. Darinya pula berihram penduduk
negeri-negeri Afrika Utara dan Barat, Lebanon, Suriah, Yordania dan
Palestina.
3. Qarn al-Manâzil.
Dikenal juga sebagai as-Sail al-Kabîr. Jaraknya dari lembah menuju
Makkah sejauh 78 km. Di dekatnya juga terdapat sebuah kampung bernama
Wâdî Mihrim yang telah dibangun padanya sebuah masjid besar dengan semua
fasilitas yang dibutuhkan orang yang akan melakukan ihram. Wadi Mahrim
bukanlah miqat yang berdiri sendiri, tapi hanya sebuah jalan utama yang
berada di sisi lembah Qarn al-Manazil berjarak 75 km dari Makkah. Kedua
tempat ini berada di dua jalan utama menuju Makkah. Dari keduanya
berihram orang yang datang dari pegunungan as-Surât di selatan Arab
Saudi dan negeri-negeri yang berada di belakangnya, dan juga merupakan
miqat bagi penduduk Nejd, negara-negara Teluk, Iraq, Iran dan
negara-negara di sebelah timur.
4. Yalamlam.
Padanya terdapat sebuah sumur yang disebut as-Sa’diyah. Yalamlam adalah
sebuah lembah besar yang memanjang dari pegunungan as-Surât hingga ke
Tihamah dan berakhir ke Laut Merah di tepian pantai yang disebut
al-Mujairimah. Tempat ihram di Yalamlam berjarak 120 km dari Makkah dan
dia adalah miqat bagi penduduk Yaman.
5. Dzâtu ‘Irq.
Sebuah gunung kecil yang memanjang hanya 2 km dari timur ke barat dan
di dekatnya terdapat tempat berihram dari arah selatan. Disebut juga
adh-Dharîbah, terletak 100 km di sebelah timur Makkah. Tempat ini
sekarang tidak berpenghuni dan tidak digunakan karena tidak adanya jalan
menuju ke daerah tersebut. Namun menurut berita, Pemerintah Kerajaan
Arab Saudi telah merencanakan proyek pembangunan kembali miqat Dzatu
‘Irq.
Dzatu ‘Irq adalah miqat bagi penduduk Iraq dan penduduk negeri-negeri sebelah timur.
Demikianlah mâwâqît makâniyyah yang ditetapkan oleh Rasulullah ﷺ sebagai tempat
berihram penduduk negeri-negeri yang disebutkan dan orang-orang yang
melewatinya dari selain penduduknya jika ia ingin menunaikan haji atau
umrah.
Orang yang
melalui jalan yang tidak melewati salah satu dari miqat-miqat itu, maka
dia berihram jika telah sejajar dengan miqat yang terdekat tanpa harus
pergi ke miqat tersebut.
Orang yang
berada di pesawat, maka dia berihram jika telah berada diatas miqat
atau sejajar dengannya saat dia berada di udara. Karena itu, sepatutnya
dia telah mempersiapkan diri mengenakan pakaian ihram sebelum miqat.
Jika telah atau hampir tiba di atas daerah miqat atau sejajar dengannya,
ia meniatkan ihram dan bertalbiyah saat itu juga dan tidak menundanya hingga mendarat di bandara Jeddah.
Orang yang bermukim di Makkah, miqatnya adalah rumah-rumah yang berada di Makkah.
Dan orang yang tinggal diantara kota Makkah dan miqat-miqat tersebut, maka miqatnya adalah rumahnya.
Orang yang
melewati miqat dan berihram setelahnya maka dia berdosa. Dia wajib
kembali ke miqatnya untuk berihram darinya dan menyempurnakan manasik
haji atau umrahnya.
Jika dia
tidak kembali ke miqatnya, manasiknya sah namun wajib atasnya dam/fidyah
menurut jumhur ulama, yaitu dengan menyembelih seekor kambing atau
mengambil 1/7 onta atau sapi dan membagikannya kepada orang-orang fakir
di tanah Haram dan tidak boleh dia memakan sesuatu pun darinya.
Berihram sebelum Miqat
Telah
sepakat para ulama atau mayoritas mereka –dari kalangan shahabat dan
yang datang setelahnya- bahwa siapa yang berihram sebelum tiba di miqat
maka ihramnya sah, namun perbuatan itu makruh menurut pendapat yang
paling kuat.
Wallahu a’lam.
03 September 2015
Transplantasi Kornea Mata
Pada simposium ke XIII oleh Majelis Hai’ah Kibar al-Ulama yang
dilaksanakan di kota Thaif pada pertengahan akhir dari bulan Syawal 1398
H, Majelis telah menelaah pembahasan pencangkokan kornea dari mata
seorang manusia ke orang lain, yang disiapkan oleh Komite Riset Ilmiah
dan Fatwa. Dengan didasari ide yang disampaikan Ketua Umum Sekretariat
Riset Ilmiah, Fatwa, Dakwah dan Bimbingan dalam suratnya no. D/1/2/4572,
setelah beliau menelaah apa yang disebutkan oleh para ahli penyakit
mata dan pengobatannya tentang prosentase keberhasilan operasi tersebut,
yaitu antara 50% sampai 95% sesuai dengan kondisi dan keadaan pasien,
dan setelah mempelajari, mendiskusikan dan saling bertukar pandangan,
maka Majelis dengan suara mayoritas menetapkan hal-hal berikut :
(Buhûts Hai-ah Kibâr al ‘Ulamâ)
Sumber : islamtoday
Pertama : Boleh memindahkan kornea
mata dari seorang manusia setelah memastikan kematiannya, kepada mata
seorang muslim yang sangat membutuhkannya, dan dengan asumsi yang
dominan akan kesuksesan operasi tersebut selama hal itu tidak dilarang
oleh para wali keluarga si pasien. Yang demikian ini atas dasar kaedah :
Mewujudkan yang terbesar dari dua maslahat dengan menanggung resiko
terkecil dari dua kemudharatan, serta mendahulukan maslahat orang hidup
atas orangyang sudah wafat. Karena diharapkan dari orang hidup tersebut
kemampuannya untuk dapat melihat kembali dan memanfaatkannya bagi
kepentingan diri dan umat. Dan tidak ada sesuatu pun yang luput dari
orang mati yang diambil kornea matanya, karena matanya akan hancur dan
lebur menjadi tanah, dan tidak ada unsur perusakan jasad yang nyata
dalam pengambilan kornea tersebut, karena matanya telah tertutup dan
kelopak atasnya telah terkatup ke bagian bawahnya.
Kedua : Boleh mencangkok kornea
yang masih baik dari mata seseorang yang direkomendasikan secara medis
dengan alasan bahaya yang akan terjadi jika kornea itu tetap ada,
kemudian dipindahkan ke orang lain yang membutuhkannya. Pencangkokan
tersebut dilakukan semata-mata untuk menjaga kesehatan pemilik kornea
dan tidak ada kemudharatan yang bisa didapatkan orang yang dipindahkan
padanya kornea tersebut. Pencangkokan kornea ke orang lain juga
merupakan manfaat bagi orang itu, dan yang seperti ini adalah perintah
Syariat dan kewajiban kemanusiaan.
Wa bi_llahi at-taufiq.
Hai-ah Kibâr al ‘Ulamâ (Dewan Ulama-ulama Besar) Kerajaan Saudi Arabia
Pimpinan Sidang : Muhammad bin Ali al-Harakan
Anggota Sidang :
Muhammad bin Jubair (Saya memandang bolehnya pencangkokan kornea secara mutlak)
Abdul Majid Hasan (Saya memandang bolehnya pencangkokan kornea secara mutlak)
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (Tawaqquf)
Abdullah al-Khayyath
Abdullah bin Muhammad bin Humaid
Abdul Razzaq Afifi
Sulaiman bin Ubaid
Abdullah bin Ghudayyan
Ibrahim bin Muhammad Alu asy-Syaikh
Rasyid bin Khunain
Shalih bin Ghusun
Abdullah bin Mani’
Abdullah bin Qu’ud (Tawaqquf dalam persoalan pencangkokan dari seorang muslim yang sudah meninggal dunia)
Abdul Aziz bin Shalih (Berhalangan hadir)
Shalih bin Luhaidan
Abdul Majid Hasan (Saya memandang bolehnya pencangkokan kornea secara mutlak)
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (Tawaqquf)
Abdullah al-Khayyath
Abdullah bin Muhammad bin Humaid
Abdul Razzaq Afifi
Sulaiman bin Ubaid
Abdullah bin Ghudayyan
Ibrahim bin Muhammad Alu asy-Syaikh
Rasyid bin Khunain
Shalih bin Ghusun
Abdullah bin Mani’
Abdullah bin Qu’ud (Tawaqquf dalam persoalan pencangkokan dari seorang muslim yang sudah meninggal dunia)
Abdul Aziz bin Shalih (Berhalangan hadir)
Shalih bin Luhaidan
Sumber : islamtoday
01 September 2015
Thawaf di Baitullah adalah Ibadah
Thawaf di
Baitullah adalah sebuah ibadah yang sangat agung dan sebuah ketaatan
yang sangat mulia. Allah menyukai ibadah tersebut untuk hamba-hambaNya
dan mensyariatkannya untuk mereka serta menjadikan pahala yang besar
bagi orang yang melakukannya.
Thawaf
juga merupakan salah satu dari rukun-rukun haji dan umrah. Semua ini
menunjukkan akan kedudukan ibadah thawaf yang sangat agung di sisi Allah
Ta’ala.
Ketika
seorang muslim melakukan thawaf, maka dia telah mengambil sebuah
pelajaran yang sangat besar dan agung, yaitu ibadah tetrsebut hanya
disyari’atkan di tempat itu saja, yaitu di sekeliling Ka’bah Baitullah
al-Haram. Itulah yang ditunjukkan oleh dalil-dalil yang sangat banyak
dari al-Quran dan Sunnah.
Allah Ta'ala berfirman setelah menyebutkan manasik haji dan syi'ar-syi'arnya,
وَلْيَطَّوَّفُوا بِابَيْتِ العَتِيْقِ
"Dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah)." (QS. Al-Hajj ayat 29)
Dan firmanNya,
وَعَهِدْنَا إِلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَإِسْمَاعِيْلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِيْنَ وَالعَاكِفِيْنَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
"Dan
telah Kami perintahkan pada Ibrahim dan Isma'il : Bersihkanlah Rumah-Ku
untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang
sujud!" (QS. Al-Baqarah ayat 125).
Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma bahwa "Rasulullah ﷺ jika melakukan thawaf dalam haji dan umrah ketika pertama kali tiba maka beliau berlari pada tiga putaran (pertama) dan berjalan pada empat putaran (terakhir), kemudian beliau shalat dua rakaat, kemudian melakukan sa'i antara Shafa dan Marwah."
Dengan
ini, seorang muslim juga bisa memahami bahwa thawaf pada selain tempat
tersebut, di tempat mana saja di muka bumi ini tidaklah disyari’atkan.
Bahkan hal itu merupakan kebatilan dan kesesatan.
Tidak ada
perselisihan di antara para ulama tentang batilnya thawaf di seluruh
tempat yang selain Baitullah al-Haram. Karena itulah, tidak boleh
seorang muslim melakukan thawaf di sekeliling kubur, keraton, masjid,
pohon, batu dan lain-lain.
Berkata Imam an-Nawawi asy-Syafi’i rahimahullahu, "Tidak boleh thawaf di kubur Nabi ﷺ
dan sangat dibenci menempelkan perut atau punggung di dinding kubur.
Demikianlah yang dikatakan oleh (Imam) al-Halimi dan lain-lain. Dan
sangat dibenci pula mengusapnya dengan tangan atau menciumnya. Bahkan
yang termasuk adab dalam masalah ini adalah menjauh darinya sebagaimana
menjaga jarak dari beliau saat beliau ada di masa hidupnya. Inilah yang
benar. Dan inilah yang dikatakan oleh para ulama dan dipraktekkan oleh
mereka. Tidak perlu terpedaya dengan orang-orang awam yang menyelisihi
mereka dalam masalah ini. Karena teladan dan amalan hanyalah dengan
perkataan ulama dan tidak perlu berpaling kepada perbuatan bid’ah
orang-orang awam dan kejahilan-kejahilan mereka…"; sampai pada perkataan beliau, "Siapa
yang terlintas dalam pikirannya bahwa mengusap dengan tangan dan yang
semacamnya lebih memiliki berkah, maka itu termasuk kebodohan dan
kelalaiannya. Karena keberkahan hanyalah ada pada apa yang selaras
dengan Syariat dan perkataan para ulama. Bagaimana mungkin keutamaan
dicari dalam perkara yang menyelisihi kebenaran?!" (al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, VIII/ 206-207)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu, "Kaum muslimin telah bersepakat bahwa tidak disyari’atkan thawaf
kecuali di al-Bait al-Ma’mur (Ka’bah). Maka tidak boleh thawaf di
Sakhrah (Batu) yang ada di Baitul Maqdis, tidak pula di Hujrah (bekas
kamar) Nabi ﷺ, tidak pula di tugu yang berada
di Jabal Arafat dan lain-lain." (Majmu’ al Fatawa, IV/ 522)
Sumber tulisan : Durûs ‘Aqadiyyah Mustafâdah min al Hajj, Syaikh Dr. Abdurrazzâq Abdul Muhsin al ‘Abbâd