10 Desember 2016
Jika Andai Mencintainya, Amalkan Sunnahnya
Dalam Shahih Muslim, dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Nabi yang tercinta ﷺ ditanya tentang puasa hari Senin? Maka beliau menjawab,
ذَلِكَ يَوْمَ وُلِدْتُ فِيْهِ وَيَوْمَ بُعِثْتُ أوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيْهِ
“Itu adalah hari aku dilahirkan, dan hari aku diutus atau diturunkannya wahyu kepadaku.”
Beliau ﷺ
mengabarkan bahwa dirinya dilahirkan pada hari Senin, walaupun
sebenarnya beliau tidak ditanya tentang hal itu. Akan tetapi beliau
tidak menyebutkan tanggal lahirnya dan para shahabat pun tidak bertanya
tentang tanggal tersebut, sementara mereka adalah orang-orang yang
sangat antusias untuk mengerjakan kebaikan, karena pengetahuan tentang
tanggal lahir itu tidak berkonsekuensi pada apapun.
Andai
pengetahuan tentang hal itu memiliki konsekuensi syar’i dan kebaikan
untuk umatnya, niscaya beliau tidak akan pernah menyembunyikannya dari
umatnya.
Kalau
memang seorang muslim benar-benar mencintai Nabi ﷺ, maka amalkan
sunnahnya dengan berpuasa pada hari Senin, karena beliau ﷺ menyukai
puasa pada hari tersebut, dengan dua alasan yang disebutkan dalam hadits
Muslim di atas dan juga alasan ketiga, bahwa hari Senin –dan juga
Kamis- adalah hari dimana amal-amal dihadapkan kepada Allah Ta’ala.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah ﷺ beliau bersabda,
تُعْرَضُ الأعْمَالُ يَوْمَ الإثْنَيْنِ وَالخَمِيْس، فَأُحِبُّ أنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأنَا صَائِمٌ
“Amal-amal
dihadapkan (kepada Allah) pada hari Senin dan Kamis, dan aku suka jika
amalku diperlihatkan sementara aku sedang berpuasa.” (HR. At-Tirmidzi, dan diriwayatkan Abu Dawud dan An-Nasa’i dari haditsnya Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, dan diriwayatkan juga oleh An-Nasa’i dari Ummul Mukminin Hafshah radhiyallahu ‘anha).
Semoga Allah menguatkan hati kita di atas sunnah nabi-Nya dan mewafatkan kita di atas sunnah tersebut.
Allâhumma shalli wa sallim wa bârik ‘alâ Muhammad, wa ‘alâ âlihi wa shahihbihi ‘ajma’în.
06 Desember 2016
Inilah Alasan Penyelenggaraan Maulid Nabawi
Orang-orang yang merayakan Maulid Nabi ﷺ telah melegalkan perbuatan mereka tersebut dengan alasan-alasan berikut ini,
1. Penyelenggaraan Maulid yang dilakukan setiap tahunnya, dengannya kaum muslimin akan kembali mengingat Nabi-nya ﷺ, sehingga bertambahlah kecintaan dan pengagungan mereka terhadap beliau.
2. Mendengarkan asy-Syama’il al-Muhammadiyyah (adab dan akhlak Nabi ﷺ) dan mengenal nasab beliau yang mulia.
3. Menampakkan kegembiraan dengan kelahiran Rasulullah ﷺ yang menunjukkan akan kecintaan terhadap diri beliau dan kesempurnaan iman terhadapnya.
4. Memberi makan, dan ini adalah
perkara yang diperintahkan. Padanya ada ganjaran yang besar terutama
dengan niat syukur kepada Allah Ta’ala.
5. Berkumpul untuk berzikir kepada Allah dengan membaca Al-Quran dan bershalawat kepada Nabi ﷺ.
Ini lima perkara yang dijadikan alasan
pembenaran untuk merayakan Maulid oleh sebagian pendukungnya.
Alasan-alasan ini tidaklah memuaskan dan sangat nampak kebatilannya
karena kelancangan terhadap Syari’at dengan membuat sesuatu yang tidak
pernah disyari’atkan walaupun ada hajat kepada hal tersebut.
Berikut ini
adalah penjelasan tentang kebatilan alasan-alasan tersebut,
Pertama;
Perkara Maulid yang dijadikan sebagai peringatan tahunan; hal ini layak untuk dijadikan alasan jika seorang muslim tidak menyebut dan mengingat Nabi ﷺ puluhan kali pada setiap harinya, sehingga dibuatkanlah peringatan tahunan atau bulanan untuk mengingatnya yang dengan itu akan bertambahlah iman dan kecintaan muslim tersebut terhadap diri beliau.
Adapun seorang muslim; tidaklah dia shalat pada malam dan siang kecuali dia akan menyebut padanya nama Rasul ﷺ, dan tidak masuk waktu shalat dan tidak pula ditegakkan shalat tersebut kecuali akan disebut nama Rasul ﷺ dan dibacakan shalawat untuknya.
Yang pantas untuk dibuatkan perayaan
karena khawatir akan dilupakan adalah orang-orang yang tidak menyebut
dan mengingatnya. Adapun orang yang selalu menyebut, mengingat dan tidak
lupa, apa pentingnya dibuatkan acara tersebut agar dia tidak lupa?
Bukankah hal ini mencari sesuatu yang sebenarnya sudah ada pada diri
setiap muslim?
Kedua;
Mendengarkan sebagian dari asy-Syama’il al-Muhammadiyyah dan nasabnya yang mulia; ini juga adalah alasan yang tidak kuat. Karena mengenal asy-Syama’il al-Muhammadiyah
dan nasab beliau yang mulia tidaklah cukup hanya untuk didengarkan
setahun sekali. Apa yang bisa mencukupi seorang muslim dengan hanya
mendengarkannya sekali dalam setahun sementara hal itu adalah bagian
dari aqidah Islam?!
Yang wajib bagi setiap muslim dan muslimah adalah
mengenal nasab Nabinya ﷺ dan
sifat-sifatnya sebagaimana dia mengenal Allah Ta’ala dengan nama-nama
dan sifat-sifatNya. Yang seperti ini mesti dengan pengajaran, tidak
cukup hanya dengan mendengarkan bacaan kisahnya setahun sekali.
Ketiga;
Menunjukkan kegembiraan adalah alasan yang sangat-sangat lemah, karena kegembiraan itu entah karena pribadi Rasul ﷺ
atau karena hari yang beliau dilahirkan padanya. Kalau memang karena
pribadinya, maka itu harus berlangsung kontinyu pada setiap kali
disebutkan Rasul ﷺ dan tidak khusus
pada waktu-waktu tertentu saja. Jika kegembiraan itu karena hari yang
beliau dilahirkan padanya, maka sungguh, hari itu adalah juga adalah
hari wafatnya beliau –ﷺ. Saya tidak
mengira seorang yang berakal akan mengadakan perayaan kegembiraan di
satu hari yang pada hari itu telah meninggal dunia kekasih yang
dicintainya. Kematian beliau –ﷺ– adalah musibah terbesar yang pernah menimpa umat ini.
Keempat;
Memberi makan
adalah alasan yang jauh lebih lemah dari alasan-alasan yang sebelumnya.
Karena memberi makan adalah perkara yang sunnah dan sangat dianjurkan
pada setiap kali ada kebutuhan untuk hal itu. Seorang muslim akan selalu
menjamu tamu, memberi makan orang yang lapar dan bersedekah sepanjang
tahun, dan tidak perlu kepada satu hari tertentu pada satu tahunnya
untuk memberi makan. Karenanya, perkara ini bukanlah alasan yang layak
untuk bolehnya membuat bid’ah dalam agama.
Kelima;
Berkumpul
untuk zikir; ini adalah alasan yang rusak dan batil, karena berkumpul
untuk berzikir dengan satu suara tidaklah dikenal di kalangan para
Salaf. Adapun puji-pujian dengan paduan satu suara, maka ini adalah
bid’ah yang buruk dan tidak dilakukan kecuali orang yang bingung dalam
agamanya, wal ‘iyadzu bi_Llahi.
Walaupun sebenarnya juga, kaum muslimin
telah (dan akan selalu) berkumpul pada setiap malam dan siang sepanjang
tahunnya untuk shalat-shalat berjamaah di masjid-masjid dan juga
menghadiri majelis-majelis ilmu. Karenanya, mereka tidak butuh kepada
majelis tahunan untuk mendengarkan tabuhan-tabuhan dan menyantap makanan
dan minuman yang umumnya faktor pendorongnya adalah keinginan-keinginan
jiwa dan syahwat.
(Sumber: Al-Inshâf fî mâ Qîla fî al-Maulid min al-Ghuluww wa al-Ijhâf, Syaikh Abû Bakr bin Jâbir al-Jazâ’irî)
03 Desember 2016
Termasuk Syirik Kecil : Riya’ dalam Amalan
Menurut istilah, riya’ adalah ketika
seorang manusia memperlihatkan amal shalih dihadapan orang lain, atau
membagus-baguskannya, atau memperlihatkan pada mereka tampilan yang
disukai agar mereka memujinya dan mengagungkannya dalam diri-diri
mereka.
Siapa yang
mengerjakan amalan karena mengharapkan Wajah Allah dan riya’ secara
bersamaan, maka dia telah mempersekutukan Allah bersama dengan yang
selain Dia dalam amalan tersebut.
Adapun
jika dia mengerjakannya dan tidak ada tujuan dari perbuatannya tersebut
selain untuk mendapatkan pujian manusia, maka pelakunya berada dalam
bahaya yang sangat besar. Sebagian ulama mengatakan bahwa dia telah
terjatuh pada kemunafikan dan kesyirikan yang mengeluarkannya dari
agama.
Riya’ memiliki beberapa bentuk, diantaranya :
1. Riya’ dengan amalan, seperti riya’nya seorang yang shalat dengan memanjangkan ruku dan sujudnya.
2. Riya’
dengan ucapan, seperti –misalkan- menyebutkan begitu banyak dalil untuk
menampakkan banyaknya ilmu yang dimiliki agar disebut sebagai seorang
yang berilmu.
3. Riya’ dengan penampilan, seperti membiarkan bekas sujud di dahi untuk riya’.
Sangat
banyak dalil yang menunjukkan haramnya riya’ dan buruknya balasan bagi
pelakunya, dan perbuatan itu bisa merusak amalan yang menyertainya.
Diriwayatkan oleh Mahmud bin Labid radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda,
إن أخوف ما أخاف عليكم الشرك الأصغر
“Sesungguhnya, sesuatu yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil!”
Mereka bertanya, “Apakah syirik kecil itu wahai Rasullullah?”
Beliau menjawab,
الرياء، يقول الله عز وجل لهم يوم القيامة إذا جزي الناس بأعمالهم : اذهبوا إلى الذين كنتم تراؤون فى الدنيا، هل تجدون عندهم جزاءً؟
“Riya’!
Allah akan berfirman kepada mereka pada Hari Kiamat jika manusia
dibalas dengan amal-amal perbuatan mereka : Pergilah kalian kepada yang
dahulu kalian berlaku riya di dunia! Apakah kalian mendapatkan pahala di
sisi mereka?” (HR. Ahmad)
Dalam riwayat lainnya, Mahmud berkata : Nabi ﷺ keluar dan berkata,
أيها الناس، إياكم وشرك السرائر
“Wahai manusia, jauhilah syirik tersembunyi!”
Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah syirik tersembunyi itu?”
Beliau menjawab,
يقوم الرجل فيصلي فيزين صلاته جاهدًا لما يرى من نظر الناس إليه، فذلك شرك السرائر
“Seorang
laki-laki berdiri shalat dan ia bersungguh-sungguh membagus-baguskan
shalatnya karena apa yang ia lihat dari pandangan manusia kepadanya.
Itulah syirik tersembunyi.” (HR. Ibnu Khuzaimah, dihasankan Al-Albani)
Wallahul musta’an.
30 November 2016
Syirik Kecil (Asy-Syirk Al-Ashghar)
Syirik ashghar adalah setiap apa yang padanya terdapat jenis kesyirikan, akan tetapi tidak sampai pada level syirik akbar.
Hukumnya bisa disimpulkan sebagai berikut :
1. Syirik ashghar termasuk dosa-dosa besar (kabâir adz-dzunûb), bahkan termasuk dosa-dosa besar yang paling besarnya setelah pembatal-pembatal tauhid.
2. Syirik
ini sangat mungkin membesar yang membawa pelakunya sampai kepada level
syirik akbar yang mengeluarkannya dari Islam. Pelakunya berada pada
bahaya besar karena bisa membawanya dari melakukan syirik kecil hingga
mengeluarkannya dari Islam.
3. Syirik
ini jika menyertai suatu amal shalih maka dia akan membatalkan
pahalanya. Sebagaimana halnya riya’ dan keinginan duniawi semata-semata
dalam sebuah amal shalih yang dilakukan seorang manusia. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meriwayatkan dari Rabb-nya ‘azza wa jalla,
أنا أغنى الشركاء عن الشرك، من عمل عملاً أشرك فيه معي غيري تركته وشركه
“Aku
adalah Dzat yang paling cukup dari sekutu. Siapa yang mengamalkan satu
amalan yang dia mempersekutukan Aku padanya bersama yang selain Aku,
niscaya Aku tinggalkan dia bersama sekutunya!” (HR. Muslim)
26 November 2016
Pembagian Tauhid Bukanlah Bid'ah Ibnu Taimiyyah
Sebuah
fitnah yang sering dilontarkan oleh orang-orang yang membenci dakwah
Salafiyyah adalah perkataan mereka bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu
(wafat tahun 728 H) adalah orang yang pertama kali membagi tauhid
menjadi tiga bagian; Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid
Al-Asma' wa Ash-Shifat. Mereka mengatakan bahwa pembagian tersebut
adalah bid'ah yang tidak dikenal di kalangan para Salaf sebelum
datangnya Ibnu Taimiyah.
Perkataan
ini merupakan bukti akan dangkalnya ilmu dan pengetahuan orang-orang
tersebut. Dan untuk sebagian besarnya kami yakin hanya menukil dari
perkataan sebagian tokoh mereka yang dilandasi oleh sikap fanatisme
terhadap mazhab atau golongan tertentu.
Bahkan, kitab-kitab para Salaf telah menyebutkan pembagian tersebut baik dengan penyebutan yang sangat jelas atau dalam bentuk isyarat kepada hal itu. Berikut kami kutipkan sebagian perkataan para imam dan ulama sebelum generasi Ibnu Taimiyah yang menyebutkan pembagian tauhid secara jelas.
Bahkan, kitab-kitab para Salaf telah menyebutkan pembagian tersebut baik dengan penyebutan yang sangat jelas atau dalam bentuk isyarat kepada hal itu. Berikut kami kutipkan sebagian perkataan para imam dan ulama sebelum generasi Ibnu Taimiyah yang menyebutkan pembagian tauhid secara jelas.
*****
1. Abu Hanifah An-Nu'man bin Tsabit rahimahullahu (wafat tahun 150 H)
Beliau -semoga Allah merahmatinya- berkata dalam kitab "Al-Fiqh Al-Absath"
hal. 51, "Dan Allah dimintai dari arah (yang Dia berada di) atas, dan
bukannya arah bawah; karena arah bawah sama sekali tidak termasuk dalam
sifat Rububiyah dan Uluhiyah."
2. Imam Abu Ja'far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari rahimahullahu (wafat tahun 310 H)
Beliau berkata dalam kitab tafsirnya yang terkenal, "Jami' Al-Bayan fi Ta'wil Aay Al-Quran",
dalam tafsir Surat Muhammad ayat 19, "Allah Yang Maha Tinggi
penyebutan-Nya berfirman kepada nabi-Nya; Ketahuilah wahai Muhammad,
bahwasannya tidak ada sesembahan yang layak dan pantas baginya sifat
Uluhiyah, yang boleh bagimu dan bagi para makhluk untuk beribadah
kepadanya kecuali Allah yang Dia adalah Pencipta seluruh makhluk,
Pemilik segala sesuatu, yang beriman kepada-Nya segala sesuatu yang
selain Dia terhadap sifat Rububiyah-Nya..."
3. Imam Al-Muhaddits Al-Hafidz Ibnu Hibban Al-Busti rahimahullahu (wafat tahun 354 H)
Imam Ibnu Hibban rahimahullahu berkata dalam mukaddimah kitabnya "Raudhah Al-'Uqala' wa Nuzhah Al-Fudhala'";
"Segala pujia bagi Allah yang bersendirian dengan keesaan uluhiyah-Nya,
yang berbangga dengan keagungan rububiyah-Nya, yang memegang jiwa-jiwa
seluruh alam dengan ajal-ajalnya dan (memegang) alam ini dengan segala
keadaan dan perubahannya, yang menganugerahkan kepada mereka berbagai
macam karunia-Nya, yang melimpahkan kepada mereka kesempurnaan
nikmat-Nya. Dzat yang telah menciptakan para makhluk di saat Dia
menginginkannya tanpa ada penolong dan pemberi petunjuk. Yang telah
menciptakan manusia sebagaimana yang Dia inginkan tanpa penyerupaan dan
kesamaan. Maka berlakulah hal itu atas mereka dengan qudrah (kekuasaan) dan masyi'ah (keinginan)-Nya, dan terwujud dengan 'izzah (kemuliaan) dan iradah (kehendak)-Nya..."
4. Imam Abu Abdillah Ubaidillah bin Muhammad bin Baththah Al-Ukbari rahimahullahu (wafat tahun 387 H)
Beliau berkata dalam kitabnya "Al-Ibanah 'an Al-Firqah An-Najiyah wa Mujanabah Al-Firaq Al-Madzmumah"
hal. 693-694, "... Yang demikian itu, bahwa prinsip keimanan kepada
Allah yang wajib diimani para hamba dalam menetapkan keimanan
terhadap-Nya ada tiga macam;
Pertama; Seorang hamba meyakini rabbaniyah-Nya yang dengan hal itu dia menyelisihi ahli Ta'thil yang tidak menetapkan (meyakini adanya) Pencipta.
Kedua;
Meyakini wahdaniyyah (keesaan)-Nya yang dengannya dia menyelisihi
mazhab-mazhab para pelaku kesyirikan, yang mengakui adanya Pencipta
namun mereka mempersekutukan-Nya dengan yang lain dalam ibadah.
Ketiga;
Meyakini bahwa Dia disifatkan dengan dengan sifat-sifat yang tidak
boleh, melainkan Dia harus disifatkan dengan-Nya dari sifat-sifat; ilmu,
kekuasaan (qudrah), kebijaksanaan (hikmah) dan segenap apa yang Dia sifatkan tentang Diri-Nya dalam Kitab-Nya.
Karena
kita telah mengetahui bahwa sebagian besar dari orang-orang yang
mengakui-Nya dan mengesakan-Nya dengan ucapan yang mutlak, dia terkadang
menyimpang dalam (iman kepada) sifat-sifat-Nya sehingga penyimpangannya
itu menjadi cela dalam tauhidnya.
Dan
karena juga, kita telah mendapatkan Allah Ta'ala telah berbicara kepada
hamba-Nya dengan mengajak mereka kepada keyakinan dan mengimani setiap
hal dari tiga perkara ini."
5. Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi rahimahullahu (wafat tahun 671 H)
Beliau menyatakan dalam kitab tafsirnya, Al-Jami' li Ahkam Al-Quran
(I/72), "Allah adalah nama bagi sebuah Wujud yang Hak, yang
mengumpulkan seluruh sifat-sifat ilahiyyah, yang disifatkan dengan
sifat-sifat rububiyah, yang bersendirian dengan wujud yang hakiki, tiada
ilah (yang hak) selain Dia subhanahu."
Nah,
setelah semua pemaparan ini, adakah fitnah itu masih harus terus
dihembuskan hanya karena kebencian kepada kepada dakwah Salafiyyah?
Semoga Allah selalu membimbing kita dijalan kebenaran yang diridhai-Nya. Amin.
-----------------------
Sumber : Al-Qoul As-Sadid fi Ar-Radd 'ala Man Ankara Taqsim At-Tauhid, Syaikh Dr. Abdul Razzaq bin Abdul Muhsin Al-'Abbad.
20 November 2016
Pembicaraan Antar Lawan Jenis untuk Sebuah Hajat
Apa
hukumnya pembicaraan seorang wanita dengan pemilik toko pakaian atau
penjahit? Kami berharap kata-kata nasehat yang baik untuk kaum wanita.
Jawab :
Pembicaraan
seorang wanita dengan pemilik toko, yaitu pembicaraan yang sebatas
hajat dan tidak ada fitnah padanya, tidaklah mengapa. Sejak dahulu para
wanita berbicara kepada kaum laki-laki dalam berbagai keperluan dan
urusan pada batasan-batasan yang dibutuhkan.
Adapun
jika pembicaraan itu disertai dengan tawa, candaan dan suara-suara yang
mengundang fitnah, maka hal itu haram, tidak boleh dilakukan. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman kepada istri-istri nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa aalihi wasallam, -radhiyallahu 'anhunna;
وَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَع الَذِيْ فىْ قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوْفًا
"Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah
orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang
baik." (QS. Al-Ahzab ayat 32)
Makna
"perkataan yang baik" adalah apa yang dianggap baik oleh manusia dalam
batasan keperluan. Adapun yang lebih dari itu, yaitu dengan tertawa,
bercanda, suara yang mengundang fitnah dan lain-lainnya, atau dengan
membuka wajahnya, menyingkap kedua lengan atau kedua telapak tangannya;
semua ini adalah perkara-perkara yang haram, mungkar dan termasuk
sebab-sebab yang membawa kepada fitnah, serta membawa kepada jatuاnya
(seseorang) kepada perbuatan keji (zina).
Wajib bagi seorang wanita muslimah yang takut kepada Allah 'azza wa jalla
untuk bertakwa kepada Allah, dan jangan pernah berbicara kepada
laki-laki dengan ucapan yang membangkitkan keinginan (buruk) mereka
terhadap dirinya, yang menjadikan fitnah bagi hati-hati mereka, serta
(wajib) menjauhi perkara ini. Jika dia memiliki keperluan untuk pergi ke
toko atau suatu tempat yang padanya ada laki-laki, maka hendaknya dia
berhijab, menutup diri dan beradab dengan adab-adab Islam. Jika dia
berbicara kepada laki-laki, maka berbicaralah dengan pembicaraan yang
baik yang tidak ada padanya fitnah dan keraguan.
(Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, hafidzhahullahu)
----------------------------
Sumber : Al-Muntaqa min Fatawa Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan, III/156-157
13 November 2016
Aqidah Ahlussunnah tentang Al-Quran Al-Karim
Ahlussunnah wal Jama’ah beriman bahwa Al-Quran
adalah kalam (perkataan) Allah, hurufnya dan maknanya. Dari-Nya bermula dan
kepada-Nya dia akan kembali. Diturunkan bukan sebagai makhluk ciptaan. Allah
mengucapkannya dengan hak, mewahyukannya kepada Jibril, dan Jibril
‘alaihissalam membawanya turun kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Al-Quran diturunkan oleh Allah Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui dengan lisan Arab yang jelas. Dinukil kepada
kita dengan jalan periwayatan yang mutawatir, yang tidak tersentuh oleh
keraguan sedikit pun. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنَّهُ لَتَنْزِيْلُ رَبِّ
اْلعَالَمِيْنَ، نَزَلَ بِهِ الرُّوْحُ الأَمِيْنَ، عَلىَ قَلْبِكَ لِتَكُوْنَ مِنَ اْلمُنْذِرِيْنَ، بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِيْنٍ
"Dan sesungguhnya Al-Quran ini benar-benar
diturunkan oleh Rabb semesta alam. Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin
(Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang diantara
orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas." (QS. Asy-Syu’arâ’ ayat 192-195)
Al-Quran Al-Karim tertulis dalam Al-Lauh Al-Mahfûdzh, dihafalkan dalam dada, terbaca oleh lisan dan dicatat dalam
lembaran. Allah Ta’ala berfirman,
بَلْ هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِى
صُدُوْرِ الَّذِيْنَ أُوتُوا اْلعِلْمَ
"Sebenarnya, Al-Quran itu adalah ayat-ayat yang
nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang
mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim." (QS. Al-Ankabût
ayat 49).
Dan firman-Nya,
إنَّهُ لَقٌرْآنٌ كَرِيْمٌ، فِى
كِتَابٍ مَكْنُوْنٍ، لَا يَمَسُّهُ إِلَّا اْلمُطَهَّرُوْنَ، تَنْزِيْلٌ مِن رَّبِّ اْلعَالَمِيْنَ
"Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang
sangat mulia, pada Kitab yang terpelihara (Lauh Mahfudzh), tidak menyentuhnya
kecuali hamba-hamba yang disucikan. Diturunkan dari Rabb semesta alam." (QS. Al-Wâqi’ah ayat 77-80)
Al-Quran adalah mu’jizat terbesar yang abadi
bagi Nabi Islam, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan dia adalah kitab
samawi yang terakhir. Tidak akan dihapus dan diganti. Allah telah menanggung
penjagaannya dari segala bentuk perubahan, tambahan atau pengurangan sampai Dia
mengangkatnya kembali menjelang Hari Kiamat nanti.
Allah Ta’ala berfirman,
إنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ
وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran,
dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (QS. Al-Hijr ayat 9)
Al-Quran tidak diturunkan sekaligus kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, diturunkan
berangsur-angsur sesuai dengan kejadian tertentu, atau sebagai jawaban atas
pertanyaan, atau sesuai dengan tuntutan keadaan selama 23 tahun.
Al-Quran terdiri atas 114 surat; 86 diantaranya
diturunkan di Mekkah dan 28 diturunkan di Madinah.
Al-Quran telah ditulis di masa Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, dengan pengawasan beliau. Dimana beliau memiliki
penulis-penulis wahyu dari kalangan sahabat-sahabat pilihan radhiyallahu
‘anhum, yang menuliskan setiap apa yang turun dari Al-Quran dan dengan
perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian di masa Abu Bakr
radhiyallahu ‘anhu, Al-Quran dikumpulkan dalam sebuah mushaf, dan di masa Utsman
radhiyallahu ‘anhu dikumpulkan dalam satu bacaan.
Ahlussunnah wal Jama’ah sangat peduli dengan
pengajaran Al-Quran, hafalan, tilawah (bacaan) dan tafsir serta pengamalannya.
Allah Ta’ala berfirman,
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ
مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُوا اْلأَلْبَابِ
"Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan
kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan
supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran." (QS. Shâd ayat
29)
Mereka beribadah kepada Allah dengan membacanya,
karena pada bacaan setiap hurufnya ada satu kebaikan sebagaimana yang
dikabarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya,
من قرأ حرفًا من كتاب الله فله به حسنة، والحسنة بعشر أمثالها، ولا أقولُ ألم حرفٌ، ولكن ألف حرفٌ، و لام حرفٌ، و ميم حرفٌ
"Barangsiapa
membaca satu huruf dari Kitab Allah, baginya satu kebaikan dengan satu
huruf tersebut. Dan satu kebaikan dengan sepuluh kali lipatnya. Saya
tidak mengatakan Alif Lam Mim satu huruf; akan tetapi Alif satu huruf,
Lam satu huruf dan Mim satu huruf." (HR. At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albani).
Ahlussunnah wal Jama’ah tidak membolehkan
penafsiran Al-Quran dengan logika semata-mata, karena hal itu termasuk berkata-kata
atas nama Allah tanpa ilmu dan termasuk perbuatan syaitan. Allah Ta’ala
berfirman,
وَلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوَاتِ
الشَيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِيْنٌ، إِنَّمَا يَأمُرُكُمْ بِالسُّوْءِ وَالفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُوْلُوا عَلىَ اللهِ مَالَا
تَعْلَمُوْنَ
"Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu
berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu
ketahui." (QS. Al-Baqarah ayat 168-169)
Bahkan mereka menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran itu sendiri, kemudian dengan Sunnah, kemudian dengan perkataan
Sahabat, kemudian dengan perkataan Tabi’in, dan kemudian dengan bahasa Arab
yang dengannya Al-Quran diturunkan.
Wa bi_Llâhi at-taufîq.
------------------
Sumber :
05 November 2016
Prinsip Aqidah Salaf dalam Interaksi terhadap Ahli Bid'ah
Di antara prinsip pokok aqidah As-Salaf Ash-Shalih, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah; mereka membenci Ahlul-Ahwaa’ wal-Bida’,
yang melakukan bid’ah dalam agama ini.
Ahlussunnah tidak mencintai
mereka, tidak bersahabat dengan mereka, tidak mendengar perkataan
mereka, tidak duduk bersama mereka, tidak berdebat dengan mereka dalam
agama ini, memelihara telinga dari mendengarkan kebatilan-kebatilan
mereka, serta menjelaskan dan memperingatkan umat akan keburukan mereka.
Berikut ini adalah beberapa wasiat para ulama dalam memperingatkan umat dari bahaya Ahli Bid’ah :
- Berkata Amirul mukminin Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Akan ada orang-orang yang mendebat kalian dengan syubhat-syubhat Al-Qur’an. Bantahlah mereka dengan as-Sunnah. Karena Ashabus-Sunnah, merekalah yang paling paham dengan Al-Qur’an.” [1]
- Berkata Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu, “Jangan kalian duduk bersama para pengikut hawa nafsu (ahli bid’ah). Karena duduk bersama mereka akan membuat hati berpenyakit.” [2]
- Berkata Imam Ahmad bin Sinan Al-Qoththon rahimahullah, “Tidaklah ada di dunia ini seorang mubtadi’, melainkan dia membenci Ahli Hadits. Jika seseorang berbuat bid’ah, akan dicabut dari hatinya manisnya hadits.” [3]
- Pernah dikatakan kepada Imam Ahmad : Disebutkan kepada Ibnu Qutailah di Mekkah tentang Ahli Hadits, ia berkomentar : Ahli Hadits adalah kaum yang buruk! Maka Imam Ahmad berdiri dan berkata, “Zindiq, zindiq, zindiq …”, sampai ia masuk ke dalam rumahnya. [4]
- Al-Imam Abdullah bin Al-Mubarak berdoa, “Ya Allah … jangan Engkau beri kekuatan bagi Ahli Bid’ah dalam diriku hingga hatiku mencintainya!” [5]
- Berkata Amirul Mukminin fil-Hadits, Sufyan Ats-Tsaury, “Barangsiapa memberikan pendengarannya kepada seorang Ahli Bid’ah sementara ia tahu orang itu adalah Ahli Bid’ah, maka akan dicabut dari dirinya ‘ishmah, dan ia diserahkan kepada dirinya sendiri.” [6]
- Berkata Imam Al-Auza’iy, “Jangan berikan kesempatan kepada Ahli Bid’ah untuk berdebat, yang akan mewariskan keragu-raguan dalam hati-hati kalian.” [7]
- Berkata Imam Ahlussunnah, Ahmad bin Hanbal, “Tidak sepantasnya Ahlul Bida’ wal-Ahwaa’ dijadikan penolong dalam urusan-urusan kaum muslimin. Karena yang demikian adalah kemudharatan besar bagi agama.” [8]
- Diriwayatkan dari Ayyub As-Sakhtiyaniy bahwasannya ia berkata, “Tidaklah bertambah kesungguhan Ahli Bid’ah melainkan akan semakin menjauhkannya dari Allah. Dan Ahli Bid’ah ini dinamakan Khawarij.” Ia juga berkata, “Sesungguhnya Khawarij itu berbeda dalam nama, tetapi mereka satu (sepakat) dalam (mengangkat) senjata (terhadap penguasa).” [9]
- Dari Ja’far bin Muhammad : Saya mendengar Qutaibah berkata, “Jika engkau melihat seseorang mencintai Ahli Hadits, seperti Yahya bin Sa’id, Abdurrahman bin Mahdy, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahoyah … -dan ia menyebut beberapa nama-; maka sungguh ia berada diatas Sunnah. Barangsiapa yang menyelisihi mereka, ketahuilah bahwa dia adalah seorang mubtadi’!” [10]
- Berkata Imam Adz-Dzahaby, ”Jika engkau melihat seorang mutakallim mubtadi’ berkata, ’Jauhkan kami dari al-Kitab dan hadits-hadits, dan berikan kami akal (logika)’, ketahuilah bahwa dia adalah Abu Jahl! Jika engkau melihat seorang penganut at-tauhidy (wihdatul wujud) berkata, ’Jauhkan kami dari dalil naqli dan akal, dan berikan kami cita rasa dan cinta’, ketahuilah bahwa dia adalah Iblis yang muncul dalam rupa manusia, atau telah masuk dalam dirinya. Jika engkau takut, larilah darinya! Jika tidak, bergumullah dengannya, duduki dadanya, bacakan padanya ayat Kursi, dan cekiklah lehernya!!” [11]
Semoga Allah Yang Maha Mulia melindungi kaum muslimin dari bahaya dan keburukan Ahli Bid'ah. Amin.
________________________________
Footnotes :
[1] Riwayat Imam Al-Laalikaa’i dalam Syarh Ushuul I’tiqaad, dan Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah
[2] Riwayat Imam Al-Laalikaa’i dalam Syarh Ushuul I’tiqaad, dan Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah
[3] At-Tadzkirah, Imam An-Nawawy
[4] Syarhus-Sunnah, Imam Al-Barbahaary
[5] Imam Al-Laalikaa’i dalam Syarh Ushuul I’tiqaad
[6] Ibnu Wadhdhah dalam Al-Bida’
[7] Ibnu Wadhdhah dalam Al-Bida’
[8] Manaaqib Al-Imaam Ahmad, Ibnul Jauzy
[9] Al-I’tisham oleh Asy-Syaathiby dan Al-Bida’ oleh Ibnu Wadhdhah
[10] Imam Al-Laalikaa’i dalam Syarh Ushuul I’tiqaad
[11] Siyar A’laam An-Nubalaa’, Adz Dzahabi
28 Oktober 2016
Tabarruk; Definisi & Pembagiannya
Definisi
Tabarruk (at-tabarruk)
adalah meminta keberkahan berupa tambahan kebaikan dan pahala, dan
setiap apa yang dibutuhkan oleh seorang hamba dalam urusan agama maupun
dunianya. Keberkahan tersebut diperoleh dengan sebab materinya yang
penuh keberkahan, atau masa dan tempat yang berkah, dan keberkahan itu
diketahui dengan dalil syar'i yang jelas atau diperoleh dengan cara yang
benar dari petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Kaedah Umum dalam Persoalan Tabarruk
- Keberkahan seluruhnya berasal dari Allah, sebagaimana rezki, kemenangan dan keafiatan berasal dari Allah. Karenanya, keberkahan tidak diminta kecuali dari Allah, dan mengharapkan keberkahan dari selain-Nya adalah kesyirikan.
- Apa yang disebutkan oleh Syari'at bahwa padanya ada keberkahan, baik itu orang, materi, ucapan ataupun perbuatan, maka semuanya itu semata-mata sebab untuk didapatkannya keberkahan dan bukan sumber dari keberkahan tersebut.
- Yang menunjukkan ada atau tidaknya keberkahan dengan sebab sesuatu atau pada sesuatu, maka itu adalah dalil syar'i, bukan yang selainnya.
Contoh untuk Tabarruk yang Masyru' (Disyari'atkan)
- Bertabarruk dengan diri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan peninggalan yang berasal dari diri/jasad beliau.
- Bertabarruk dengan perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan serta bentuk-bentuk yang disyari'atkan. Jika seorang muslim melakukan salah satunya untuk mencari kebaikan dengan sebabnya, mengikuti Sunnah dalam melakukannya, maka dia akan memperoleh kebaikan dan keberkahan sesuai dengan kadar niat dan usahanya. Diantaranya adalah dengan dzikir kepada Allah, membaca Al-Quran, termasuk juga diantaranya berkumpul saat makan, maka dari pinggiran nampan dan menjilat jari selesai makan.
- Tabarruk masyru' dengan tempat, seperti bertabarruk dengan masjid-masjid secara umum, dengan Al-Masjid Al-Haram, Al-Masjid An-Nabawi, Al-Masjid Al-Aqsha dan Masjid Quba' secara khusus karena keempat masjid ini memiliki keistimewaan tersendiri. Keberkahan tersebut diperoleh dengan shalat, beribadah dan beramal shalih di dalamnya, bukan dengan mengusap-usap dinding atau tempat-tempat tertentu dari masjid-masjid tersebut. Diantara tempat-tempat yang diberkahi adalah kota-kota Makkah dan Madinah serta negeri Syam.
- Tabarruk dengan zaman/masa, seperti bulan Ramadhan, Lailatul Qadr, sepertiga malam terakhir, hari Jum'at dan sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah.
- Tabarruk dengan beberapa jenis makanan atau minuman yang disebutkan dalil tentang keberkahannya seperti minyak zaitun, susu, kurma, habbah sauda' (jinten hitam), makan sahur, demikian juga seperti halnya madu dan air zam-zam.
Secara umum, sebab terbesar untuk keberkahan ini adalah iman dan ketakwaan. Allah Ta'ala berfirman,
وَلَوْ أنَّ أهْلَ القُرَى ءَامَنُوْا وَاتَقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَمَاءِ وَالأرْضِ
"Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi." (QS. Al-A'raf ayat 96)
Tabarruk yang Terlarang
Yaitu
bertabarruk dengan sesuatu yang tidak memiliki dalil syar'i dalam
Al-Quran maupun Sunnah, atau ada dalil yang melarang untuk bertabarruk
dengannya, seperti bertabarruk dengan berthawaf di kuburan, berdoa
kepada orang-orang yang sudah wafat atau orang yang tidak berada di
tempat, bertabarruk dengan pohon-pohon, batu-batu, lautan, gunung, tanah
atau dinding kuburan (yang diklaim sebagai milik) para nabi dan
orang-orang shalih, demikian juga bertabarruk dengan diri/jasad
orang-orang alim dan shalih; yang seperti ini tidak boleh dilakukan,
karena keberkahan itu diambil dengan mengambil ilmu dari mereka dan
mengambil faedah dari petunjuk dan akhlak mereka.
(Disadur dari "Kalimat fi Asy-Syafa'ah wa Ath-Thiyarah wa At-Tabarruk wa At-Tama'im", Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd)