27 Desember 2015
Hadits Munqathi’
Menurut istilah, hadits al-munqathi’ (المنقطع) adalah hadits yang tidak bersambung sanadnya, dalam bentuk apapun.
Penjelasan
Dari
definisi diatas, munqathi’ mencakup semua hadits yang terputus
sanadnya di bagian manapun, baik sejak permulaan sanad, di akhirnya,
atau di pertengahannya, sehingga masuk pula di dalamnya hadits-hadits mursal, mu’allaq dan mu’dhal.
Namun, para ulama mushthalah
generasi terakhir mengkhususkan munqathi’ untuk sanad yang tidak masuk
dalam definisi atau bentuk mursal, mu’allaq atau mu’dhal. Demikian juga
definisi yang umum digunakan di kalangan generasi awal para ulama mushthalah.
Dengan ini dipahami bahwa munqathi’ adalah istilah umum untuk semua jenis inqithâ’
dalam sanad kecuali dalam tiga bentuk, yaitu : hilangnya permulaan
sanad, atau hilangnya akhir sanad atau gugurnya dua perawi secara
berurutan di bagian manapun dari sanad.
Kemudian
yang perlu dipahami juga, terputusnya sanad dalam istilah munqathi’ bisa
terjadi di satu tempat dari sanad, dan bisa juga lebih dari itu; dua
atau tiga tempat.
Contoh Hadits Munqathi'
روى عبد الرزاق عن الثوري عن أبي إسحاق عن زيد بن يثيعٍ عن حذيفة مرفوعًا : إن وليتموها أبا بكرٍ فقويٌّ أمينٌ
Diriwayatkan Abdurrazzaq, dari ats-Tsauri, dari Abu Ishaq, dari Yazid bin Yutsai’, dari Hudzaifah secara marfu’, “Jika kalian mengangkat Abu Bakr, maka ia adalah seorang yang kuat lagi amanah.”
Riwayat
ini telah hilang/gugur dalam sanadnya seorang perawi di pertengahan
sanad, yaitu Syuraik, yang gugur diantara ats-Tsauri dan Abu Ishaq.
Ats-Tsauri
tidak pernah mendengar dari Abu Ishaq secara langsung, dan hanya
mendengarkannya dari Syuraik, dan Syuraik mendengarkannya dari Abu
Ishaq.
Jenis inqithâ’
seperti ini tidak masuk dalam definisi mursal, mu’allaq dan tidak juga
mu’dhal. Dan inilah yang dimaksud sebagai hadits munqathi’ dalam
pembahasan kita ini.
Hukum Hadits Munqathi'
Hadits
munqathi’ dha’if dengan kesepakatan ulama karena tidak terpenuhinya satu
syarat dari syarat-syarat diterimanya sebuah hadits, yaitu ittishâl as-sanad (sanad yang bersambung), dan juga karena ketidak tahuan tentang status perawi yang hilang dalam sanad.
20 Desember 2015
Darah Nifas
Nifas
adalah darah yang keluar dari seorang wanita saat melahirkan dan setelah
melahirkan. Darah nifas merupakan darah yang tertahan dan tidak bisa
keluar dari rahim selama masa kehamilan.
Tidak ada batasan minimal bagi masa nifasnya seorang wanita. Adapun batas maksimalnya adalah 40 hari menurut mayoritas ulama.
Dalil yang mereka gunakan adalah hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha,
ia berkata, “Dahulu para wanita di masa Rasulullah ﷺ berdiam setelah
nifasnya (melahirkan) selama 40 hari atau 40 malam.” (Diriwayatkan oleh
Abu Dawud no. 307, At-Tirmidzi no. 139 dan Ibnu Majah no. 648. Hadits yang memiliki kelemahan dalam sanadnya, dan diperselihkan tentang layak tidaknya untuk naik ke level “hasan”, namun
mayoritas ulama mengamalkan isi hadits ini).
Berkata Imam at-Tirmidzi rahimahullahu, “Telah bersepakat para ulama dari kalangan
Shahabat, Tabi’in dan orang-orang yang datang setelah mereka bahwa
wanita-wanita yang nifas meninggalkan shalat selama 40 hari, kecuali
jika dia melihat dirinya suci sebelum itu, maka dia mandi dan
melaksanakan shalat.”
Para ulama
juga bersepakat bahwa hukum wanita yang menjalani masa nifas sama
dengan wanita haid dalam semua perkara yang dihalalkan atau diharamkan,
kecuali dalam persoalan ‘iddah. Karena ‘iddahnya wanita nifas telah
berakhir dengan melahirkan bayinya.
Jika
seorang wanita hamil keguguran, hukum nifas berlaku atasnya jika janin
yang gugur itu telah berbentuk manusia dan darah tetap keluar setelah
itu. Masa yang memungkinkan untuk melihat bentuk tersebut adalah pada
masa 3 bulan kehamilan. Minimalnya dalam masa 81 hari.
Jika
wanita yang keguguran tersebut hanya mengeluarkan gumpalan darah yang
belum berbentuk manusia, hal itu tidak dianggap sebagai darah nifas dan
tidak berlaku baginya hukum-hukum nifas. Tetap wajib baginya shalat,
puasa Ramadhan dan suami tetap boleh menggaulinya.
Begitupun dalam kasus nifas pada kelahiran bedah (caesar),
hukumnya sama dengan wanita-wanita yang mengalami nifas karena
persalinan normal. Jika dia melihat darah keluar dari kemaluannya, dia
tetap wajib meninggalkan shalat, puasa dan tidak digauli suami hingga
dia suci. Sebaliknya hukum-hukum tersebut tidak berlaku jika tidak ada
darah yang keluar darinya.
Walahu a’lam.
09 Desember 2015
Mengundang & Melayani Tamu
Saat mengundang seseorang ke rumah kita, ada adab-adab yang harus diperhatikan dan dijaga oleh kita sebagai tuan rumah. Demikian pula saat melayaninya sebagai tamu di rumah kita. Berikut adalah hal-hal penting yang selayaknya diamalkan berkenaan dengan perkara tersebut,
1. Hendaknya mengundang orang-orang shalih yang bertakwa dan bukannya justru mengundang orang-orang fasik. Nabi ﷺ bersabda,
لا تصاحب إلا مؤمنًا ولا يأكل طعامك إلا تقيٌّ
“Jangan engkau berteman kecuali dengan seorang mukmin dan jangan menyantap hidanganmu kecuali orang yang bertakwa.” (HR. Al-Bukhary).
2. Tidak
mengkhususkan undangan hanya untuk orang-orang kaya tanpa menyertakan
orang-orang miskin. Nabi ﷺ bersabda,
شر الطعام طعام الوليمة، يدعى إليها الأغنياء دون الفقراء
“Seburuk-buruk makanan adalah makanan resepsi. Diundang padanya orang-orang kaya tanpa menyertakan orang-orang fakir.” (Hadits muttafaq ‘alaihi).
3. Tidak
memaksudkan undangan tersebut untuk kesombongan dan kebanggaan.
Hendaknya Anda meniatkan undangan itu untuk meneladani Nabi ﷺ dan
memberi kebahagiaan kepada saudara-saudara muslim.
4. Jangan membiarkan tamu bekerja melayani Anda di rumah Anda sendiri, karena hal itu sama sekali tidak termasuk dalam etika kesopanan.
5. Jangan menampakkan kejenuhan di hadapan tamu. Perlihatkan padanya kebahagiaan
Anda atas kunjungannya, dengan wajah yang berseri dan ucapan yang baik.
6. Bersegeralah menghidangkan jamuan untuk tamu karena hal itu termasuk dalam memuliakan tamu.
7. Jangan terburu-buru membereskan makanan dari meja sebelum tamu Anda selesai dari hajatnya.
8. Dianjurkan mengantar tamu sampai ke pintu, karena hal itu termasuk dalam kesempurnaan pelayanan Anda terhadap tamu.
08 Desember 2015
Adab Berkunjung & Bertamu
Berikut ini adalah beberapa adab yang harus dijaga oleh seorang muslim saat diundang, bertamu dan berkunjung ke rumah orang lain :
1. Memenuhi undangan dan tidak menunda-nundanya kecuali karena uzur. Dalam hadits shahih, Nabi ﷺ bersabda,
من دُعي إلى عُرسٍ أو نحوه فليُجب
“Siapa yang diundang kepada sebuah resepsi atau yang semacamnya hendaknya dia memenuhinya.” (HR. Muslim).
2. Tidak
membeda-bedakan antara undangan yang datang dari orang kaya atau orang
miskin. Tidak memenuhi undangan orang miskin akan melukai perasaannya.
3. Jangan
terlambat memenuhi undangan hanya karena alasan sedang berpuasa. Bahkan
seharusnya ia tetap datang. Nabi ﷺ bersabda,
من دُعي إلى طعامٍ وهو صائمٌ فليُجب، فإن شاء طَعِمَ وإن شاء تَرَكَ
“Siapa
yang diundang kepada jamuan makan sementara ia sedang berpuasa,
hendaknya ia penuhi undangan itu. Jika dia mau dia boleh makan, jika
tidak, dia boleh tinggalkan.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan al-Albani)
4. Jika telah membuat janji berkunjung, jangan
sampai membuat orang yang mengundang menunggu lama kehadiran diri Anda, dan
jangan pula datang terlalu cepat hingga membuatnya kaget karena belum mempersiapkan diri untuk menyambut Anda.
5. Jika
Anda bertamu dan menginap di rumahnya, maka jangan menginap lebih dari
tiga hari. Kecuali jika tuan rumah mendesak untuk tetap tinggal lebih
dari tiga hari tersebut.
6. Pergi dengan hati yang lapang dan memaafkan kekurangan yang dia dapatkan dari pelayanan tuan rumah.
7. Mendoakan orang yang menjamunya setelah selesai makan. Diantara doa yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ dalam persoalan ini adalah,
اللهُمّ بَارِكْ لَهُم فِيْمَا رَزَقْتَهُم وَاغْفِرْ لَهُم وَارْحَمْهُم
Allâhumma bârik lahum fîmâ razaqtahum, wa_ghfir lahum, wa_rhamhum.
“Ya Allah, berkahi mereka dalam rezki yang Engkau anugerahkan kepada mereka, ampuni mereka dan sayangi mereka.” (HR. Muslim).
Jika berkait dengan undangan berbuka puasa, disunnahkan mendoakan orang yang menjamu dengan doa,
أفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَائِمُوْنَ وَأكَلَ طَعَامَكُمُ الأبْرَارُ وصَلَّتْ عَلَيْكُمُ المَلاَئِكَةُ
Afthara ‘indakum ash shâ-imûn, wa akala tha’âmukum al abrâr, wa shallat ‘alaikum al malâ-ikah.
“Telah
berbuka pada kalian orang-orang yang berpuasa, telah menyantap makanan
kalian orang-orang yang shalih, dan mudah-mudahan malaikat bershalawat
atas kalian.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan an-Nasa’i dalam ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, dishahihkan al-Albani dalam Shahîh Sunan Abî Dâwûd).
06 Desember 2015
Menuntut Ilmu Syar’i bagi Muslimah
Tidak
diragukan bahwa ilmu penting bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun
perempuan. Dengan ilmu seorang muslim beribadah kepada Rabb-nya diatas
kebenaran dan petunjuk yang diridhai Allah subhanahu wa ta’ala.
Namun,
ilmu sangat luas dan bertingkat-tingkat. Seorang muslim, laki-laki
maupun perempuan dituntut untuk mempelajari dan mengetahui ilmu yang
dengannya dia bisa menegakkan agamanya, seperti persoalan thaharah,
shalat, puasa dan sebagainya.
Sebagian
ilmu terkadang tidak dibutuhkan kecuali di saat tertentu ketika muslim
itu akan menunaikan kewajibannya, seperti ibadah haji.
Yang
paling besar tanggungjawabnya terhadap persoalan menuntut ilmu dan
mengajarkannya adalah kaum laki-laki, karena merekalah yang
bertanggungjawab terhadap urusan keluarga perempuannya. Laki-laki juga
lebih mudah keluar rumah untuk urusan penghidupan dan menuntut ilmu,
tidak sebagaimana keadaan perempuan yang dituntut untuk berdiam di rumah
karena tanggungjawabnya yang besar dalam rumah dan juga karena
statusnya sebagai fitnah bagi kaum laki-laki. (Baca juga : Wanita adalah aurat)
Karenanya,
bukanlah hal yang dianjurkan dalam Islam untuk secara sengaja
mengeluarkan kaum wanita dari rumahnya untuk dakwah dan menuntut ilmu
tanpa ada hajat yang memang “penting” untuk hal tersebut.
Setinggi-tingginya
ilmu yang dimiliki seorang wanita, tanggungjawabnya terhadap rumah,
suami dan anak-anaknya tidak mungkin diabaikan dengan dalih untuk
menambah ilmu dan mengajarkan ilmu kepada sesama kaum wanita.
Ya,
terkadang memang dibutuhkan beberapa orang wanita yang memiliki
kompetensi dalam ilmu untuk sebuah hajat yang dibutuhkan komunitas
wanita di masyarakat kita, tapi jika sampai secara sengaja memotivasi
dan memobilisasi kaum muslimah keluar rumah untuk menuntut ilmu yang
melebihi hajat yang diperlukan untuk menunaikan kewajiban, maka hal itu
bukanlah sunnah para as-Salaf ash-Shalih. Apalagi jika para muslimah
diharuskan hadir di majelis-majelisnya kaum laki-laki.
Katakanlah
seandainya pun ada hijab yang membatasi antara dua jenis manusia
tersebut, tapi fitnah wanita tidaklah hilang hanya karena adanya hijab
itu. Mereka masih nampak dan mungkin saja bercampur saat diluar ruangan.
Kami tidak ingkari jika itu dilakukan dalam momen tertentu, tapi jika
dilakukan rutin pada setiap hari atau pekannya, sangat jelas hal itu
akan membawa pada kemungkaran yang lain lagi.
Para ulama
menyebutkan bolehnya seorang wanita hadir dalam shalat berjamaah jika
keluarnya itu tidak mendatangkan fitnah untuk dirinya dan orang lain.
(Lihat diantaranya perkataan Imam asy-Syaukani dalam Nail al-Authâr, III/140-141).
Dan berkata Imam Ibnul Jauzi rahimahullahu,
“Sepantasnya seorang wanita tidak keluar rumah jika hal itu
memungkinkan baginya. Andai ia selamat dalam persoalan dirinya (saat
keluar rumah), belum tentu manusia akan selamat dari (fitnah)nya. Jika
ia terpaksa harus keluar rumah, ia keluar dengan izin suami dalam
penampilan yang sederhana, mengambil jalannya di tempat-tempat yang
kosong bukan jalan-jalan besar dan pasar, menjaga agar suaranya tidak
terdengar dan berjalan di pinggiran jalan bukan di tengah-tengahnya.” (Kitab Ahkâm an-Nisâ’, hal. 39).
Berikut adalah kutipan nasehat Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafidzhahullahu
ketika beliau ditanya tentang para wanita membaca al-Quran secara
berjamaah di masjid untuk pengajaran dan mengulang-ulangi hafalan; maka
beliau menjawab, “Demi Allah, tidak diragukan bahwa wanita (berdiam) di
rumah. Baik dalam urusan shalat atau mempelajari al-Quran. Diamnya
mereka di rumah –tidak diragukan- bahwa itulah hukum asalnya. Adapun
jika kita biasakan mereka keluar (dengan dalih) untuk mempelajari
al-Quran, saya tidak tahu bagaimana hal itu?!… Yang seperti ini
menjadikan mereka nantinya tidak akan peduli lagi untuk berdiam di
rumah… Saya memandang bahwa pengajaran kaum wanita dilakukan di rumah,
shalat mereka di rumah; itulah hukum asalnya dan lebih selamat untuk
mereka… Sekarang ini, mereka (kaum laki-laki) membiarkan para wanitanya
dan mengeluarkan mereka dari rumah-rumahnya,,, dengan kendaraan dan
pergi (begitu saja)… Wanita suka keluar, datang dan pergi (sesuka
hatinya)… Sekarang kalian telah membuka pintu kesempatan itu untuk
mereka. Mereka akhirnya tidak terbiasa lagi dengan rumah. Tidak
menginginkan (diam di) rumah. Dengan dalih bahwa mereka mau belajar…
Saya tidak mengerti bagaimana itu (bisa terjadi)!… Saya memandang bahwa
perkara ini selayaknya ditinggalkan, dan para wanita berdiam di rumah.
Apa yang telah mereka pelajari telah mencukupi insyaallah, dan
tidak ada hajatnya mereka berlebihan memperdalam ilmu di majelis ta’lim
dan (sebagainya)…” (Rekaman fatwa dalam situs web Syaikh al-Fauzan, no.
8485, dinukil dari “Hukm Khurûj al-Mar’ah li ad-Da’wah” hal. 80).
Syaikh
tentu saja tidak mengingkari pentingnya ilmu bagi kaum wanita. Yang
beliau ingkari adalah ketika niat suci itu telah membawa kepada
kebiasaan baru para wanita untuk suka keluar rumah dan tidak betah lagi
berdiam dalam rumahnya. Cukuplah bagi seorang wanita memiliki ilmu
syar’i yang dengannya ia melaksakanan kewajiban-kewajiban ibadahnya
kepada Rabb-nya, dan selebihnya hendaknya ia beribadah kepada Allah
dengan berdiam dalam rumah, melayani suami, mengurus urusan rumah dan
anak-anaknya.
Mungkin
akan ada yang mengatakan, “Kebutuhan telah sangat mendesak bagi para
wanita untuk belajar dan mendakwahi kaum wanita, sementara berdiam di
rumah tidak lagi mencukupi untuk kebutuhan tersebut. Kepada siapa kita
akan meninggalkan kaum wanita untuk belajar agamanya? Apakah kita akan
membiarkan mereka dalam kesyirikan? Apakah kita akan biarkan mereka
dalam bid’ah? Apakah…?”
Kami jawab
: Sungguh aneh! Bagaimana dahulu para wanita shahabiyat yang mulia itu
belajar?! Bagaimana keadaan generasi wanita Islam sepanjang masa sebelum
datangnya masa modern ini yang mengajarkan kebebasan bagi para wanita
untuk keluar rumah?!
Orang yang
beribadah kepada Allah diatas ilmu dan memahami sifat-sifatNya yang
mulia akan meyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah Maha Mengetahui
dan Maha Bijaksana. Dia akan mengadakan untuk para wanita orang yang
akan mengajarkan mereka dan mendatangkan kepada mereka ilmu, walaupun
mereka berada di rumahnya! Dan itu sangat nampak di zaman sekarang.
Ceramah dan pengajaran oleh para ulama senior dan para da’i bisa diikuti
oleh para wanita dari rumahnya tanpa harus meninggalkan keluarganya.
Adapun rekaman ceramah dan pelajaran agama dari para ulama dan para da’i
begitu banyak tersebar dan mudah didapatkan. Saking banyaknya,
seseorang tidak memiliki waktu untuk mengumpulkan seluruhnya! Bahkan
umurnya habis, ceramah dan pelajaran itu tidak bisa dia selesaikan!
Bukanlah
termasuk kebenaran mencampakkan diri dan keluarga kepada kebinasaan
dengan menyelisihi petunjuk para Salaf hanya demi untuk menyelamatkan
orang lain!
Semoga Allah menjaga kita dari keburukan diri-diri kita sendiri.
Semua
orang mungkin saja berniat baik dan ingin berbuat kebaikan. Tapi
hendaknya setiap kita waspada agar jangan sampai dakwah kebaikan itu
akan berujung pada keburukan baru yang tidak kita harapkan hanya karena
karena kita selalu longgar dalam menerapkan aturan-aturan Allah atas
nama niat baik, mashlahat dan kepentingan dakwah.
Wallahul musta’an.
03 Desember 2015
Penindasan terhadap Kaum Muslimin di Makkah
Tidak cukup hanya dengan tuduhan batil, pendustaan dan menyakiti Rasulullah ﷺ, Quraisy bahkan menunjukkan puncak kekejian dan kebengisannya, khususnya terhadap orang-orang lemah dari kaum muslimin.
Berkata Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu : Yang pertama kali menampakkan keislamannya tujuh orang; Rasulullah ﷺ, Abu Bakr, Ammar dan ibunya, Sumayyah, Shuhaib, Bilal dan Miqdad.
Adapun Rasulullah ﷺ, maka Allah melindunginya dengan perantaraan pamannya. Abu Bakr, dilindungi oleh kaumnya.
Yang
sisanya, mereka ditangkap orang-orang musyrik, dipakaikan baju besi dan
dipanggang di bawah terik matahari. Tidak ada seorang pun dari
orang-orang lemah itu kecuali diperlakukan sesuka hati mereka, kecuali Bilal.
Jiwanya begitu murah dalam menanggung siksaan karena Allah dan juga
murah dalam pandangan kaumnya, dan akhirnya mereka menyerahkannya kepada
anak-anak yang mengambilnya dan mengaraknya di lembah Makkah
sementara Bilal hanya mengatakan, “Ahad… Ahad…!”[1]
Abu Bakr akhirnya membeli Bilal dan membebaskannya.[2]
Urwah
menyebutkan bahwa Zunairah hilang penglihatannya, dan ia termasuk satu
dari orang-orang yang disiksa karena Allah, namun ia enggan kecuali
berpegang teguh pada Islam. Orang-orang musyrik berkata, “Tidak ada
yang memberikan penyakit pada matanya kecuali al-Laat dan al-‘Uzza!” Ia
berkata, “Apakah demikian?! Demi Allah, bukanlah seperti itu!” Maka
Allah kemudian mengembalikan penglihatannya.[3]
Abu
Bakr radhiyallahu 'anhu suka membebaskan orang-orang lemah dari budak-budak muslim.
Ayahnya, Abu Quhafah, berkata, “Kalau engkau membebaskan para lelaki
yang kuat niscaya mereka akan melindungimu.” Abu Bakr menjelaskan bahwa
ia melakukan semata-mata mengharapkan Wajah Allah, bukan mencari
perlindungan. Maka turunlah ayat,
فأمَّا مَن أعْطَى واتَّقىَ وَصَدَّقَ بالحُسْنىَ فَسَنُيَسِّرُهُ لِليُسْرىَ
“Adapun
orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan
membenarkan adanya pahala yang terbaik (Surga), maka Kami kelak akan
menyiapkan baginya jalan yang mudah.”; sampai pada firmanNya,
وَمَا لِأحَدٍ عِنْدَهُ مِن نِعْمَةٍ تُجْزىَ إلاّ ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الأعْلىَ وَلَسَوْفَ يَرْضىَ
“Padahal,
tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus
dibalasnya. Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari
keridhaan Rabbnya Yang Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat
kepuasan.”[4]
Riwayat-riwayat
yang banyak juga menyebutkan tentang berbagai siksaan yang menimpa
Ammar dan keluarganya, dan itu cukup sebagai penguat untuk menetapkan
kisah tersebut dari sisi sejarah. Para ahli tafsir juga menyebutkan
bahwa ayat,
إلاّ مَن أكْرهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنُّ بالإيْمَانِ
“Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa).”[5]; turun berkait dengan Ammar.[6]
Termasuk yang disiksa karena Allah adalah Khabbab bin al-Aratt, sampai-sampai ia meminta agar Rasul ﷺ berdoa kepada Allah untuk memberi keringanan dan pertolongan bagi orang-orang yang lemah.
Khabbab berkata : Aku mendatangi Rasulullah ﷺ
sementara ia sedang (berbaring) beralaskan selimut, di bawah bayangan
Ka’bah. Dan kami telah mendapatkan siksaan dari orang-orang musyrik. Aku
berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau berdoa untuk kami?”
Beliau pun duduk dengan wajah yang memerah. Beliau ﷺ bersabda, “Sungguh
ada orang sebelum kalian yang disisir dengan sisir besi yang merobek daging dan urat yang membungkus tulangnya. Hal itu sama sekali
tidak memalingkannya dari agamanya. Sungguh, Allah pasti akan
menyempurnakan agama ini sehingga seorang pengendara akan berjalan dari
Sana’a ke Hadhramaut, dia tidak takut kecuali kepada Allah!”[7]
Tidak
diragukan lagi bahwa kaum muslimin, walaupun mereka dalam posisi yang
lemah, mereka pun punya keinginan untuk membela diri. Dan yang nampak,
sikap diam kaum muslimin telah membuat sebagian mereka marah, khususnya
para pemudanya. Abdurrahman bin ‘Auf dan kawan-kawannya pernah
mendatangi Nabi ﷺ, mereka berkata,
“Wahai Nabiyyullah, kami dahulu dalam kemuliaan ketika kami masih
musyrik. Ketika kami beriman, kami justru menjadi hina?!”
Beliau ﷺ bersabda, “Aku diperintahkan untuk memaafkan. Jangan sekali-kali kalian memerangi kaum itu!”
Ketika
Allah telah menyelamatkan beliau ke Madinah dan memerintahkan mereka
berperang, mereka justru enggan. Maka Allah turunkan ayat,
ألَمْ تَرَ إلىَ الَّذِيْنَ قِيْلَ لَهُم كُفُّوا أيْدِيَكُم
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka : Tahanlah tanganmu (dari berperang)!”[8].[9]
Rasulullah ﷺ
memerintahkan para shahabatnya untuk menahan diri dan bersabar, tidak
membalas keburukan dengan keburukan, permusuhan dengan permusuhan, demi
untuk menjaga hidup mereka dan keberlangsungan dakwah di masa mendatang.
Beliau ﷺ sangat menjaga agar dakwah yang baru itu tidak hancur oleh
kekuatan musuh yang sangat menginginkan terjadinya bentrokan antara dua
kekuatan tersebut yang dengannya mereka akan menyelesaikan urusan ini.
Akan tetapi, kebijaksanaan dakwah Islam telah menggugurkan maksud mereka
itu.[10]
————————
[1] HR. Ahmad dengan sanad yang hasan
[2] HR. Al-Bukhary dan Ibnu Syaibah
[3] Ibnu Ishaq, as-Siyar wa al-Maghazi, dari riwayat mursal Urwah bin az-Zubair
[4] QS. Al-Lail ayat 5-21
[5] An-Nahl ayat 106
[6] Ath-Thabari dalam Tafsir (XIV/182) dengan sanad yang hasan dari mursal Abu Ubaidah bin Muhammad bin Ammar bin Yasir
[7] HR. Al-Bukhary
[8] QS. An-Nisa ayat 77. Ayat ini turun di Madinah, dan mengisyaratkan apa yang terjadi di Makkah dahulu ketika diperintahkan untuk tidak berperang
[9] Ath-Thabari dalam Tafsir (V/170-171)
[10] Disadur dari as-Sîrah an-Nabawiyyah ash-Shahîhah, Dr. Akram Dhiya’ al-Umari. Untuk mengetahui hal yang berkait dengan keshahihan/kelemahan riwayat-riwayat dalam Sirah Nabawiyah, disarankan merujuk ke buku tersebut
01 Desember 2015
Hadits Mu’dhal
Hadits al-mu’dhal (المعضل) menurut istilah adalah hadits yang gugur dari sanadnya dua orang perawi atau lebih secara berurutan.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dalam kitab Ma’rifah Ulûm al Hadîts
(hal. 46) dengan sanadnya sampai kepada al-Qa’nabi, dari Malik bahwa telah sampai
kepadanya bahwa Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata : Rasulullah ﷺ bersabda,
للمملوك طعامه وكسوته بالمعروف، ولا يُكلف من العمل إلا ما يطيق
“Hak seorang hamba sahaya adalah makanan dan pakaiannya dengan cara yang ma’ruf, serta tidak dibebani pekerjaan kecuali apa yang dalam kemampuan.”
Berkata al-Hakim : Hadits ini mu’dhal dari Malik. Ia meriwayatkannya seperti itu dalam kitab al-Muwaththa’.
Hadits
tersebut mu’dhal karena gugur secara berurutan dua orang perawi antara
Malik dan Abu Hurairah. Kita bisa mengetahui hilangnya nama dua perawi
tersebut dari riwayat hadits yang ada pada selain kitab al-Muwaththa’,
yaitu “… dari Malik, dari Muhammad bin ‘Ijlan, dari ayahnya, dari Abu
Hurairah.” (Ma’rifah Ulûm al Hadîts, hal. 47)
Hukum Mu'dhal
Hadits mu’dhal adalah hadits dha’if, dan bahkan statusnya lebih buruk daripada munqathi’ dan mursal, karena banyaknya perawi yang hilang dalam sanadnya.
Antara Mu’dhal dan Mu’allaq
1. Mu’dhal
memiliki kesamaan dengan mu’allaq dalam satu bentuk, yaitu ketika
dihapuskan dari permulaan sanadnya dua orang perawi secara berurutan.
Dalam kasus ini, hadits tersebut adalah hadits mu’dhal sekaligus
mu’allaq.
2. Mu’dhal dan mu’allaq akan berbeda dalam dua bentuk berikut ini;
- Jika dihilangkan pada pertengahan sanad dua orang perawi secara berurutan, maka ini disebut mu’dhal dan bukan mu’allaq.
- Jika dihapuskan seorang perawi pada permulaan sanad, maka ini adalah mu’allaq dan bukan mu’dhal.
(Sumber : Taysîr Mushthalah al Hadîts, ath-Thahhan)
29 November 2015
Pembicaraan Seorang Wanita dengan Lelaki yang Bukan Mahram
Apa hukumnya pembicaraan seorang wanita dengan pemilik toko pakaian atau
penjahit? Kami berharap kata-kata nasehat yang baik untuk kaum wanita.
Jawab :
Pembicaraan seorang wanita dengan pemilik
toko, yaitu pembicaraan yang sebatas hajat dan tidak ada fitnah padanya,
tidaklah mengapa. Sejak dahulu para wanita berbicara kepada kaum
laki-laki dalam berbagai keperluan dan urusan pada batasan-batasan yang
dibutuhkan.
Adapun jika pembicaraan itu disertai dengan tawa, candaan dan
suara-suara yang mengundang fitnah, maka hal itu haram, tidak boleh
dilakukan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada istri-istri nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam, -radhiyallahu ‘anhunna,
وَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَع الَذِيْ فىْ قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوْفًا
“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah
perkataan yang baik.” (QS. Al-Ahzab ayat 32).
Makna “perkataan yang baik” adalah apa yang dianggap baik oleh
manusia dalam batasan keperluan. Adapun yang lebih dari itu, yaitu
dengan tertawa, bercanda, suara yang mengundang fitnah dan lain-lainnya,
atau dengan membuka wajahnya, menyingkap kedua lengan atau kedua
telapak tangannya; semua ini adalah perkara-perkara yang haram, mungkar
dan termasuk sebab-sebab yang membawa kepada fitnah, serta membawa
kepada jatuhnya (seseorang) kepada perbuatan keji (zina).
Wajib bagi seorang wanita muslimah yang takut kepada Allah ‘azza wa jalla untuk
bertakwa kepada Allah, dan jangan pernah berbicara kepada laki-laki
dengan ucapan yang membangkitkan keinginan (buruk) mereka terhadap
dirinya, yang menjadikan fitnah bagi hati-hati mereka, serta (wajib)
menjauhi perkara ini. Jika dia memiliki keperluan untuk pergi ke toko
atau suatu tempat yang padanya ada laki-laki, maka hendaknya dia
berhijab, menutup diri dan beradab dengan adab-adab Islam. Jika dia
berbicara kepada laki-laki, maka berbicaralah dengan pembicaraan yang
baik yang tidak ada padanya fitnah dan keraguan.
(Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, hafidzhahullahu)
—————————
Sumber : Al-Muntaqa min Fatawa asy-Syaikh Shalih bin Fauzan, III/156-157
25 November 2015
Atas Nama “Mashlahat Dakwah”
Diantara
tipuan syaitan terhadap sebagian aktivis dakwah adalah pelegalan hal-hal
yang menyimpang dari prinsip dasar keyakinan agama mereka atas nama
mashlahat dan kepentingan dakwah!
Atas nama
mashlahat dakwah, gambar dan foto tokoh yang dibanggakan dalam suatu
jama’ah boleh dipajang dengan berbagai macam gaya dan bentuknya. Padahal
banyak para ustadznya dan kader dakwah sejatinya yang masih menganggap
tabu persoalan foto, tapi anehnya sepertinya tidak ada masalah jika
berkait dengan kepentingan pencitraan lembaga dan tokohnya.
Atas nama
kepentingan dakwah, dibenarkan berkawan dan bermesraan dengan siapa saja
selama dia masih muslim tanpa peduli bagaimana prinsip dasar aqidah dan
manhajnya.
Atas nama
dakwah, para aktivis wanitanya diharuskan keluar rumah untuk ikut andil
dalam memperjuangkan “dakwah” (baca : jamaah/lembaga/organisasi)
walaupun itu harus mengorbankan rumahnya[1]. Kami tidak berbicara
tentang wanita yang keluar untuk belajar dan menuntut ilmu syar’i dalam
batas-batas yang diperlukan dan tidak menyita waktu dan tenaganya. Yang
kami bicarakan adalah eksploitasi para akhawat untuk bekerja
mati-matian demi kepentingan rekrutmen kader untuk mencapai jumlah
tertentu demi kebanggaan dan ketenaran!
Atas nama
kemashlahatan dakwah, majelis ilmu tidak lagi dianggap penting dan
efektif kalau tidak bisa mengumpulkan banyak massa yang akan direkrut
menjadi kadernya.
Atas nama
kepentingan dakwah pula kualitas kader tidak lagi menjadi perhatian
penting karena semuanya diharuskan sibuk untuk memperbanyak jumlah.
Atas nama
dakwah, ketulusan dalam berjuang harus ternoda oleh semangat untuk
pencitraan lembaga dan para ustadznya agar dikenal di kalangan
masyarakat. Lagi-lagi untuk sebuah kepentingan.
Atas nama
kepentingan dakwah, para kader diarahkan untuk bepartisipasi dalam
pemilihan kepala daerah dengan mendukung calon tertentu. Tidak ada yang
salah jika tujuannya memang benar untuk kemashlahatan Islam dan kaum
muslimin. Tapi kalau dukungan itu dengan imbalan pemberian “bantuan
materi” si calon?! Kami jadi ragu, jangan-jangan dukungan itu hanya
untuk mashlahat jamaah si pendukung calon tersebut.
Agama ini adalah agama rabbânî
yang Allah telah menjadikan tujuannya adalah sebaik-baik tujuan. Dan
Dia menjadikan sarana untuk mewujudkan tujuan tersebut sebagai sarana
yang mulia dan terhormat.
Allah tidak akan mungkin menjadikan kemenangan dakwah ini tegak diatas manhaj yang bukan berasal dari manhaj dakwah Nabi ﷺ.
Penggunaan wasilah dan sarana apa saja yang menyelisihi manhaj rabbânî
yang telah digariskan oleh Rasulullah ﷺ dalam dakwah beliau adalah
bentuk penyimpangan dari jalan kebenaran dan pelecehan terhadapnya.
Bahkan, walaupun sebagian wasilah itu bisa mendatangkan sedikit manfaat
menarik dalam pandangan para pengikut dakwah tersebut.
Para ulama
kita dahulu telah menetapkan sebuah kaedah penting, bahwa “akhir umat
ini tidak akan pernah baik kecuali dengan perkara yang telah menjadikan
baik generasi awalnya”.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullahu ditanya, “Apakah wajib mendapatkan sebagian mashlahat, baik yang bersifat wajib kifa’i atau ‘aini, jika jalan menuju kepada mashlahat tersebut terdapat perkara-perkara yang menyimpang dan diharamkan?”
Beliau rahimahullahu menjawab,
“Tidak boleh! Karena tidak ada dalam Islam kaedah yang mengatakan ‘tujuan membolehkan segala cara’.
Bahkan Islam telah menyebutkan lebih dari satu dalil dalam Kitab-Nya
dan sunnah nabiNya – ﷺ – bahwa rezki yang telah Allah tetapkan untuk
seseorang, tidak boleh seorang muslim mencari jalan untuk mendapatkannya
dengan jalan yang diharamkan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits
(riwayat) al-Hakim dan lainnya dari sabda Nabi ﷺ,
إِنَّ مَا عِنْدَ الله لَا يُنَالُ بِالحَرَامِ
‘Apa yang berada di sisi Allah tidak boleh didapatkan dengan cara yang haram.’
Rezki yang
berasal dari Allah, yang dia itu tidak seperti kedudukan shalat dan
yang semacamnya dari kewajiban-kewajiban yang fardhu ‘ain, rezki itu
diusahakan seorang muslim semata-mata untuk memelihara dirinya dari
meminta-minta kepada manusia. Andai ia mencukupkan diri dengan rezki
yang halal dan tidak berusaha yang selain itu, ia tidak dianggap sebagai
orang yang lalai, karena mencari rezki sebagaimana yang kami sebutkan
semata-mata agar seorang manusia bisa menjaga dirinya dari meminta-minta
kepada manusia.
Jika saja
usaha untuk mendapatkan rezki itu tidak boleh dengan cara yang haram
dengan dalil hadits yang sudah dikenal, yaitu sabdanya, ‘Apa yang di sisi Allah tidak boleh diusahakan dengan cara yang haram’;
maka lebih pantas lagi, dan lebih layak lagi bahwasannya tidak
dibolehkan seorang muslim, bahkan seluruh muslim, dan bahkan sebuah
jamaah Islam, yang ingin mendakwahi manusia untuk mengamalkan Kitab
Allah dan sunnah Rasulullah ﷺ; sangat layak bagi mereka untuk tidak
menghalalkan sebagian perkara yang diharamkan untuk mewujudkan sebagian
dari tujuan-tujuan mereka. Karena hal itu kebalikan dari firman Allah tabâraka wa ta’âlâ seperti,
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ
‘Barangsiapa
yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan
keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.’ (QS. Ath-Thalaq ayat 2 & 3).
Itu dari satu sisi.
Di sisi lain, kita berbeda dari seluruh jamaah-jamaah dan kelompok-kelompok. Kita bukanlah kelompok (hizb),
dan kita bukanlah koalisi (gabungan beberapa kelompok)… Kita adalah
kaum muslimin, dan kita berusaha untuk berjalan dalam Islam kita ini di
atas manhaj para Salafush shalih kita, radhiyallâhu ‘anhum ‘ajma’în.
Setiap
kita mengetahui dengan pasti bahwa mereka suatu waktu dahulu tidak
pernah terlintas dalam benak mereka, apalagi untuk mewujudkan itu dalam
kehidupan mereka, bahwa mereka akan menghalalkan sebagian perkara haram
demi untuk mewujudkan sebagian tujuan-tujuan islami… Bagaimana bisa (itu
dilegalkan)?! Sementara ayat tadi mengatakan,
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ
‘Barangsiapa
yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan
keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.’ (QS. Ath-Thalaq ayat 2 & 3).
Lisan
orang yang mengucapkan bolehnya melakukan sebagian pelanggaran untuk
mewujudkan sebagian tujuan-tujuan syar’i; ucapan mereka itu bertolak
belakang dengan ayat tersebut. Yaitu ucapan mereka bahwa ‘siapa yang
bertakwa kepada Allah di masa kini, yang ingin menerapkan hukum-hukum
Allah seluruhnya, maka dakwahnya akan sangat terbatas dan sempit.
Karenanya telah menjadi keharusan untuk melanggar sebagian perkara yang
tidak diizinkan Rasul sehingga kita bisa melebarkan dakwah ini!’
Saya
katakan, di sana ada peringatan yang mengingatkan tentang adanya
keburukan yang berbahaya jika para pengemban dakwah kebenaran tidak
memperbaiki urusan mereka sebelum dia menjadi semakin runyam. Yaitu kami
mendengar dari waktu ke waktu bahwa mereka selalu saja melakukan
pelanggaran-pelanggaran yang banyak dalam jalan yang mereka sebut
sebagai penyebaran dakwah!”[2]
Penggunaan
istilah “mashlahat dakwah” pada saat ini dalam banyak kasus adalah
pemutar balikan fakta untuk kepentingan tertentu dari orang-orang yang
menggunakannya. Seorang da’i dalam pergerakan Islam besar di abad ini
pernah memperingatkan bahaya dari penggunaan istilah tersebut. Beliau
berkata, semoga Allah mengampuni dan merahmatinya, “(Ungkapan) mashlahat
dakwah telah berubah menjadi berhala yang dipuja oleh para pengikut
dakwah dan mereka mulai melupakan manhaj dakwah yang prinsip. Wajib bagi
para pengikut dakwah untuk istiqamah diatas jalan dakwah tersebut dan
benar-benar teliti menempuh jalan itu, tanpa harus menoleh kepada
hasil-hasil yang terkadang mengganggu pikiran mereka bahwa padanya ada
bahaya yang akan mengancam dakwah dan para pengikutnya… Satu-satunya
bahaya yang wajib mereka khawatirkan adalah bahaya penyimpangan dari
manhaj dikarenakan oleh salah satu dari sebab-sebab, baik penyimpangan
itu banyak atau sedikit. Allah lebih tahu dari mereka persoalan
mashlahat dan mereka tidak dibebankan untuk hal itu. Mereka hanya
dibebankan satu perkara, yaitu jangan sekali-kali menyimpang dari
manhaj, jangan sekali-kali melenceng dari jalan ini!”[3]
Kami tidak
pernah mengingkari istilah mashlahat dakwah. Yang kami ingkari adalah
penggunaan istilah itu untuk kepentingan yang selain kepentingan Islam
dan kaum muslimin. Tidak boleh memanfaatkan istilah “mashlahat dakwah”
untuk kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok yang sempit.
Sehingga digambarkan kepada para pengikutnya bahwa kepentingan pribadi
dan kelompoknya itulah dia mashlahat dan kepentingan dakwah atau
sebaliknya. Sebagaimana juga tidak boleh menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuan-tujuan dakwah yang mulia.
Kita
telah berkomitmen terhadap diri-diri kita bahwa kita tidak akan
melakukan perkara yang diharamkan, tidak akan meninggalkan apa yang
diwajibkan, dan tidak akan melakukan bid’ah demi untuk mashlahat dakwah!
Karena Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan kita untuk istiqamah![4]
Allah Ta’ala berfirman,
فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ
“Maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepadaNya dan mohonlah ampun kepadaNya.” (QS. Fushshilat ayat 6).
Dan Dia berfirman mengajak kepada sikap istiqamah,
إِنَّ
الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ
عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلاَّ تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا
بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ، نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي
أَنفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ، نُزُلا مِّنْ غَفُورٍ
رَّحِيمٍ
“Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan Tuhan kami ialah Allah dan mereka
meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka
(dengan mengatakan), ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu
bersedih, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah
dijanjikan Allah kepadamu’. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam
kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang
kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.
Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Fushshilat ayat 30-32).
—————————
Footnotes :
[1]
Para ulama membolehkan seorang wanita yang memilliki kapasitas ilmu
syar’i untuk keluar rumah berdakwah di kalangan wanita, mengajarkan
mereka urusan agamanya. Tapi dengan syarat hal itu dilakukan dengan izin
suami dan tidak mengabaikan urusan rumah, suami dan anak-anak. Anehnya
di zaman ini, seorang muslimah baru saja mengenal Islam, dan waktu,
tenaga dan pikirannya dieksploitasi habis-habisan untuk mengurus dan
memperjuangkan kepentingan lembaga yang mereka sebut “dakwah”!!
[2] Rekaman no. 401 dari Silsilah al-Hudâ wa an-Nûr
[3] Afrâh ar-Rûh, Sayyid Quthb rahimahullahu
[4] Al-Makhraj min al-Fitnah, Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullahu
21 November 2015
Haram Menyentuh Tubuh Wanita dalam Ruqyah
Diantara
fenomena umum yang mulai nampak dalam metode pengobatan ruqyah adalah
ketika si peruqyah menyentuh pasien wanitanya dengan dalih untuk
mengusir jin. Perbuatan seperti ini haram karena wanita adalah aurat dan
melihat aurat diharamkan dalam Islam, dan lebih diharamkan lagi jika
sampai menyentuh aurat tersebut.
Dan hukum itu berlaku umum baik si peruqyah menyentuhnya dengan kaos tangan atau tanpanya.
Para ulama
di Al-Lajnah ad-Dâimah li al-Buhûts al-‘Ilmiyyah wa al-Iftâ’ (Lembaga
Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi) ditanya tentang hukum
menyentuh badan wanita, baik tangannya, dahinya atau lehernya secara
langsung tanpa alas, dengan dalih untuk menekan dan mempersempit jin
yang ada padanya, terutama bahwa sentuhan yang seperti itu juga terjadi
dari para dokter di rumah sakit?
Mereka
menjawab, “Tidak boleh bagi peruqyah menyentuh sesuatu pun dari badan
wanita yang diruqyahnya, karena itu akan mendatangkan fitnah. Dia cukup
membaca tanpa harus menyentuh. Terdapat perbedaan antara pekerjaan
peruqyah dengan dokter. Karena dokter terkadang tidak memungkinkan
baginya melakukan tindakan medis kecuali dengan memegang tempat yang
akan diobati. Ini berbeda dengan seorang peruqyah karena yang dia
lakukan –yaitu membaca dan meniup- tidak mengharuskan adanya sentuhan.”
(Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, I/90-91).
Berkata
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullahu, “Saya ingatkan
saudara-saudara saya yang meruqyah dengan bacaan dari perbuatan
meletakkan tangan-tangan mereka di badan wanita, baik secara langsung
atau dengan menggunakan alas. Jika Allah menghendaki kebaikan dari
bacaan mereka, maka itu akan terjadi tanpa harus memegang.” (Fatâwâ Nûr
‘ala ad-Darb, II/22, asy-Syamilah).
Maka
selayaknya seorang peruqyah bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benar
takwa dengan menjaga komitmennya terhadap perintah-perintah Allah dan
larangan-laranganNya. Waspadalah terhadap makar syaitan untuk
menjerumuskan manusia kepada fitnah dengan berbagai macam cara. Bahkan
dari jalan yang dianggap baik dalam pandangan seorang manusia, tapi
dengannya ia terjerumus kepada fitnah dalam agama dan dunianya. Jangan
sampai pengobatan syar’i itu terkotori oleh perkara-perkara mungkar yang
diharamkan Allah dengan menyingkap aurat dan menyentuh apa yang Dia
larang dan haramkan.
Wa billâhi at-taufîq.
16 November 2015
Pembunuhan dan Peledakan di Negeri-negeri Kafir
Pertanyaan untuk Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafidzhahullahu :
Semoga
Allah melimpahkan kebaikan kepada Anda. Apakah pembunuhan dan aksi
peledakan pada fasilitas pemerintah di negara-negara kafir adalah sebuah
keharusan dan termasuk jihad?
Beliau menjawab :
Pembunuhan
dan perusakan adalah tindakan yang tidak dibolehkan, karena itu akan
mendatangkan keburukan bagi kaum muslimin, pembunuhan dan pengusiran.
Rasul ﷺ ketika beliau di Makkah sebelum hijrah, beliau diperintahkan untuk menahan diri.
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّواْ أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ
“Tidakkah
kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka : Tahanlah
tanganmu (dari berperang), dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.” (QS. An-Nisa’ ayat 77).
Beliau
diperintahkan menahan diri untuk tidak memerangi orang-orang kafir
karena beliau belum memiliki kemampuan untuk memerangi mereka.
Kalau
seandainya mereka (kaum muslimin) membunuh seorang kafir, niscaya
orang-orang kafir akan memerangi mereka sampai tidak tersisa seorang
pun, menghabisi mereka hingga tidak tersisa seorang pun. Karena orang
kafir lebih kuat dari kaum muslimin dan kaum muslimin berada dalam
kekuasaan mereka. Pembunuhan orang kafir akan berakibat pada pembunuhan
orang-orang muslim yang hidup di negeri tersebut, sebagaimana yang
kalian saksikan dan dengarkan sekarang. Yang seperti ini bukanlah bagian
dari dakwah, dan bukan pula termasuk jihad fi sabilillah.
Demikian
pula perusakan dan peledakan, itu hanya akan membawa keburukan kepada
kaum muslimin sebagaimana yang telah terjadi. Dan ketika Rasul ﷺ telah
berhijrah, dan beliau memiliki tentara dan orang-orang yang membelanya,
maka saat itulah beliau diperintahkan berjihad terhadap orang-orang
kafir.
Apakah
Rasul ﷺ dan para shahabat ketika mereka dahulu berada di Makkah, apakah
mereka melakukan tindakan-tindakan teror itu? Sekali-kali tidak! Bahkan
mereka dilarang melakukannya.
Apakah
mereka menghancurkan harta benda milik orang-orang kafir ketika mereka
berada di Makkah? Sekali-kali tidak! Mereka dilarang melakukannya, dan
hanya diperintahkan untuk berdakwah dan menyampaikan.
Adapun peperangan, itu hanya terjadi di Madinah ketika Islam telah memiliki sebuah negara.”
(Fatâwâ al A-immah fî an Nawâzil al Mudalhamah, hal. 41-42)
08 November 2015
Mihrab Masjid dalam Pandangan Ulama Salaf
Sangat umum di kalangan kaum muslimin,
ketika membangun masjid, maka mereka akan membuatkan cekungan di bagian
depan masjid, atau ruangan khusus sebagai tempat berdiri imam yang
disebut mihrab. Mereka mengira bahwa apa yang mereka lakukan itu sesuai
dengan apa yang dimaksudkan ayat,
فَخَرَجَ عَلىَ قَوْمِهِ مِنَ المِحْرَابِ
“Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya.” (QS. Maryam ayat 11).
Pandangan seperti ini adalah pandangan yang keliru. Karena mihrab
dalam bahasa Arab bermakna tempat shalat. Sedangkan dinding yang
melengkung atau menjorok ke depan di bagian kiblat masjid tidak disebut
sebagai mihrab. Ini adalah perkara baru yang terjadi di kaum muslimin
dengan meniru kebiasaan dan tradisi orang-orang di luar mereka dari kalangan Ahli Kitab.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullahu berkata, “Masjid Rasulullah ﷺ tidak memiliki mihrab.”[1]
Manshur bin al-Mu’tamir mengatakan bahwa Ibrahim an-Nakha’i membenci shalat di tempat yang cekung (yang dikhususkan) untuk imam.[2]
Sufyan ats-Tsauri rahimahullahu mengatakan, “Kami tidak menyukainya.”[3]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu mengatakan,
“Makruh hukumnya bersujud dalam mihrab karena itu menyerupai apa yang
dilakukan Ahlul Kitab. Mereka mengkhususkan tempat untuk imamnya.”[4]
Al-Qârry berkata, “Mihrab adalah perkara baru setelah (masa) Rasulullah ﷺ. Karenanya, para as-Salaf ash-Shalih tidak menyukai membuat mihrab.”[5]
Dengan penjelasan ini, alangkah baiknya
jika kaum muslimin tidak lagi membiasakan membuat mihrab di
masjid-masjid yang mereka bangun. Kalau mihrab itu sudah terlanjur ada, maka
sebaiknya tidak digunakan untuk shalat. Imam bisa shalat dengan posisi
yang agak mundur di luar mihrab dan tidak berada dalam mihrab tersebut.
Kami juga mengingatkan para pemuda yang
bersemangat ingin mengamalkan sunnah, hendaknya mereka bijak menyikapi
fenomena seperti ini dan jangan membuat polemik baru di masyarakat.
Hukum mihrab ini makruh dan tidak sampai pada keharaman. Para Salaf
telah melihat mihrab di masjid-masjid mereka dan tidak pernah dinukil
bahwa mereka memerintahkan untuk menghancurkan mihrab tersebut. Mereka
tetap shalat di masjid itu atau memimpin shalat, tetapi tanpa
menggunakan mihrabnya. Demikianlah yang disebutkan dari perbuatan Imam
al-Hasan al-Bashri rahimahullahu.
Wallahu a'lam.
(Sumber : Tis’ûn Khatha’an fî al Masâjid, Syaikh Wahid bin Abdissalam Bali)
----------------------
Footnotes :
[1] Fathul Bâry, syarah hadits no. 497
[2] Mushannaf Abdirrazzâq (II/413)
[3] Mushannaf Abdirrazzâq (II/413)
[4] Iqtidhâ’ ash Shirât al Mustaqîm (I/351)
[5] ‘Aun al Ma’bûd, syarah hadits no. 485
[2] Mushannaf Abdirrazzâq (II/413)
[3] Mushannaf Abdirrazzâq (II/413)
[4] Iqtidhâ’ ash Shirât al Mustaqîm (I/351)
[5] ‘Aun al Ma’bûd, syarah hadits no. 485
05 November 2015
Menghadiahkan Bacaan Quran untuk Mayit
Para ulama berbeda pendapat dalam persoalan menghadiahkan pahala bacaan Al-Quran kepada orang yang sudah meninggal, apakah
sampai pahalanya atau tidak?
Pendapat yang terpilih dari dua pendapat
ulama, bahwa “hadiah” bacaan tersebut tidaklah sampai kepada si mayit.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
“Dan tidak ada (pahala) bagi manusia kecuali apa yang diusahakannya.” (QS. An-Najm: 39).
Juga berdasarkan sabda Nabi ﷺ ,
إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية وعلم ينتفع به وولد صالح يدعو له
“Jika seorang anak Adam meninggal,
maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu
yang bermanfaat atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim).
Imam Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya mengenai firman Allah dalam surat An-Najm ayat 39, “Berdasarkan ayat ini, Imam Syafi’i dan pengikutnya mengambil
kesimpulan hukum bahwa bacaan (Al-Qur’an) tidak sampai jika pahalanya
dihadiahkan kepada mayit, karena itu bukan amal dan jerih payahnya. Oleh
karenanya, Rasulullah ﷺ tidak
menganjurkan dan tidak mengajak umatnya untuk itu dan tidak pula memberi
petunjuk baik secara jelas atau isyarat. Tidak pula hal itu dinukil
dari seorang pun dari para shahabat radhiyallahu 'anhum. Jika hal
itu suatu kebaikan, pasti mereka akan mendahului kita (dalam perkara itu). Dalam masalah ibadah, hendaknya membatasi dengan perkara yang
telah dikhususkan oleh dalil, tidak diperkenankan mengalihkannya dengan
berbagai macam qiyas dan logika. Adapun doa dan shadaqah, hal itu telah
disepakati sampainya pahalanya (kepada mayat) karena dengan tegas dinyatakan dalam
syariat.” (Tafsir Ibnu Katsir, IV/258).
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu
pernah ditanya tentang menghadiahkan bacaan Al-Qur’an dan shadaqah
untuk ibu, baik (beliau dalam kondisi) hidup atau mati? Beliau menjawab:
“Kalau bacaan Al-Qur’an, para ulama
berbeda pendapat, apakah pahala sampai kepada mayit? Para ulama berbeda
dalam dua pendapat. Yang terkuat adalah (pahala itu) tidak sampai karena
tidak ada dalilnya. Dan karena Rasulullah ﷺ
tidak pernah melakukannya terhadap orang-orang yang telah wafat dari
kalangan umat Islam seperti puteri-puteri beliau yang telah wafat saat
beliau ﷺ masih hidup. Sepengetahuan kami, hal itu tidak pernah dilakukan para shahabat radhiyallahu ‘anhum.
Yang lebih utama bagi orang mukmin adalah meninggalkan hal itu dan
tidak membacanya untuk mayit maupun untuk yang masih hidup. Begitu juga
tidak melakukan shalat untuk mereka, dan juga amalan sunnah dengan
berpuasa untuk mereka. Karena semuanya itu tidak ada dalilnya.
Asal dari ibadah adalah tauqifi (hanya membatasi pada dalil) yang ada perintahnya dari Allah subhanahu wa ta’ala atau rasul-Nya ﷺ dalam syari’atnya. Sementara sedekah, hal itu bermanfaat bagi yang hidup maupun mati dengan kesepakatan (ijma’)
umat Islam. Begitu juga dengan doa, bermanfaat bagi yang hidup maupun
mati dengan kesepakatan umat Islam. Orang yang masih hidup, tidak
diragukan lagi bahwa sedekah dan doa bermanfaat baginya. Orang yang
berdoa sementara kedua orang tuanya masih hidup, keduanya bisa mengambil
manfaat dengan doanya tersebut, begitu juga dengan sedekah akan
bermanfaat ketika keduanya masih hidup.
Menunaikan haji untuknya kalau mereka
lemah karena sudah tua atau sakit yang tidak mungkin sembuh, juga
bermanfaat baginya. Karena telah ada ketetapan dari beliau ﷺ ,
bahwa seorang wanita bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah
telah mewajibkan haji, sementara ayahku sudah tua, tidak
mampu melakukan perjalanan. Apakah saya (boleh) menunaikan haji
untuknya?” Beliau ﷺ menjawab, “Tunaikanlah haji untuknya.”
Kemudian, ada juga orang lain yang
datang kepada Nabi ﷺ dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku
sudah tua, tidak mampu menunaikan haji dan (naik) kendaraan. Apakah
(boleh) saya menunaikan haji dan umrah untuknya?” Beliau menjawab, “Tunaikan haji untuk ayahmu dan lakukanlah umrah.”
Ini adalah dalil bahwa menghajikan
mayit atau orang yang masih hidup tapi lemah karena usianya atau wanita
lemah karena sudah tua renta adalah boleh. Demikianlah, sedekah, doa,
haji atau umrah untuk mayit dan orang yang sudah tidak mampu, semuanya
ini bermanfaat baginya menurut pendapat seluruh ahli ilmu. Begitu juga
puasa untuk mayit, kalau dia mempunyai kewajiban puasa baik karena
nadzar, kaffarah atau puasa Ramadhan, berdasarkan keumuman
sabda beliau ﷺ , “Barangsiapa yang meninggal dunia dan mempunyai beban puasa, maka walinya yang (menggantikan) puasanya.” (hadits Muttafaq ‘alaih).
Begitu pula hadits-hadits lain yang
semakna. Akan tetapi barangsiapa yang terlambat puasa Ramadhan karena
alasan yang dibenarkan agama seperti sakit, bepergian kemudian meninggal
dunia sebelum ada kesempatan mengqadha’nya, maka tidak (perlu)
digantikan puasanya, juga tidak perlu memberikan makanan, karena dia memiliki
udzur yang syar’i.” (Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Syaikh Ibn Baz, IV/348)
Demikianlah penjelasan dari sebagian ulama, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi ﷺ dan para shahabatnya, radhiyallahu ‘anhum.
Wallahu a'lam.
03 November 2015
Al-Qira’at
Al-Quran adalah wahyu yang diturunkan. Diterima oleh Rasulullah ﷺ dari Jibril, dari Rabb Yang Maha Mulia, Allah subhanahu wa ta'ala.
Al-Quran ini tidak diambil setelah beliau ﷺ kecuali dengan metode talaqqi (periwayatan secara langsung). Nabi ﷺ telah membacakan kepada para Shahabat yang mulia beberapa qira’ah (bacaan) yang berbeda-beda, yang beliau mengambilnya langsung dari Jibril 'alaihissalam. Qira’ah-qira’ah ini diambil dan diriwayatkan oleh manusia –setelah generasi Shahabat- secara turun temurun dari generasi ke generasi, hingga akhirnya terkumpul dan terbatas pada nama beberapa orang yang mereka adalah silsilah periwayatan yang bersambung dalam talaqqi dan penyampaiannya (al-adâ’). Sedikit pun mereka tidak memiliki wewenang dalam menambah sesuatu atau mengurangi, karena semua qira’ah ini turun dari sisi Allah Ta’ala.
Berikut adalah sedikit penjelasan tentang epuluh qira'ah yang diterima dan diakui tersebut :
Al-Quran ini tidak diambil setelah beliau ﷺ kecuali dengan metode talaqqi (periwayatan secara langsung). Nabi ﷺ telah membacakan kepada para Shahabat yang mulia beberapa qira’ah (bacaan) yang berbeda-beda, yang beliau mengambilnya langsung dari Jibril 'alaihissalam. Qira’ah-qira’ah ini diambil dan diriwayatkan oleh manusia –setelah generasi Shahabat- secara turun temurun dari generasi ke generasi, hingga akhirnya terkumpul dan terbatas pada nama beberapa orang yang mereka adalah silsilah periwayatan yang bersambung dalam talaqqi dan penyampaiannya (al-adâ’). Sedikit pun mereka tidak memiliki wewenang dalam menambah sesuatu atau mengurangi, karena semua qira’ah ini turun dari sisi Allah Ta’ala.
Para ulama telah menetapkan beberapa syarat bagi diterimanya suatu qira’ah dalam periwayatan, yaitu,
- Tulisannya (rasm) sesuai dengan rasm Mushaf Utsmani, yaitu mushaf yang ditulis oleh komite yang dibentuk oleh Khalifah Utsman radhiyallahu ‘anhu untuk menyalin kembali mushaf al-Quran
- Selaras dengan kaedah-kaedah bahasa Arab
- Sanad/jalan periwayatannya adalah mutawatir, diriwayatkan oleh jamaah yang berjumlah banyak, dari jamaah yang sepertinya, yang mustahil mereka akan bersepakat dalam kedustaan
Berikut adalah sedikit penjelasan tentang epuluh qira'ah yang diterima dan diakui tersebut :
Pertama :
Qira’ah yang disepakati bahwa riwayatnya kuat dan mutawatir.
Yang telah disepakati dalam masalah ini yaitu 7 qira’ah yang dikenal
sebagai al Qirâ-ât as Sab’. Ketujuh qira’ah tersebut adalah yang dinisbatkan kepada para imam berikut,
- Nafi', yaitu Nafi' bin Abdirrahman bin Abi Nu’aim al-Laitsi (w. 169 H), imam penduduk Madinah. Ia mengambil qira’ah dari Abu Ja’far al-Qârri, dari 70 orang ahli Madinah. Dan dari Nafi', qira'ahnya diambil oleh Qâlûn (Isa bin Minâ bin Wardan al-Madani, wafat tahun 220 H) dan Warasy (Utsman bin Sa'id bin Abdullah al-Mishri, imam ahli qira'ah Mesir di masanya, wafat tahun 197 H)
- Ibnu Katsir, yaitu Abdullah bin Katsir ad-Dâri al-Makki (w. 120 H), imam para qurra’ (penghafal al-Quran) di Makkah. Ia mengambil bacaannya dari al-Mughirah bin Syihab dari Utsman bin ‘Affan.
- Abu 'Amr bin al-Alâ', Zabban bin al-'Ala' bin 'Ammar at-Tamimi al-Bashri (w. 154 H), imam dalam bahasa dan adab dan juga salah seorang imam qira'ah sab'ah. Ia meriwayatkan bacaannya dari Mujahid dan Sa’id bin Jubair (keduanya murid Ibnu Abbas)
- Ibnu ‘Amir (Abdullah bin ‘Amir al-Yahshabi, Abu Imran, wafat tahun 118 H), imam para qurra’ di Syam. Bertahun-tahun ia mengimami kaum muslimin di al-Jami al-Umawi, Damaskus, dan Khalifah Umar bin Abdil Aziz bermakmum di belakangnya. Ia mengambil qira’ahnya dari al-Mughirah bin Syihab dari Utsman.
- ‘Ashim bin Abi an-Nujud al-Kufi al-Asadi (w. 127 H), yang mengambil qira’ah dari Ibnu Mas’ud, imam ahli qira'ah di Kufah. Darinya qira’ah itu diambil oleh Hafsh bin Sulaiman (qari' penduduk Kufah dan murid 'Ashim yang paling mengenal qira'ah 'Ashim, wafat 180 H), Syu'bah bin 'Ayyasy al-Asadi (193 H) dan lainnya.
- Hamzah bin Habib al-Kufi (w. 156 H). Ia sempat menjumpai masa kehidupan beberapa shahabat, dan barangkali saja ia pernah melihat mereka. Diantara tokoh yang mengambil qira'ah darinya adalah Khallad bin Khalid asy-Syaibani (seorang yang tsiqah dan imam dalam qira'ah dan) dan Khalaf bin Hisyam al-Asadi al-Baghdadi (w. 229 H) yang mengambil qira'ah dari Salim bin Isa dan Abdurrahman bin Hammad, dari Hamzah. Khalaf telah memilih untuk dirinya sebuah qira'ah yang ia riwayatkan secara tersendiri, sehingga ia dianggap bagian dari sepuluh qira'ah yang diakui.
- Al-Kisa’i, yaitu Ali bin Hamzah al-Kisa’i an-Nahwi al-Kufi (w. 189 H), imam dalam bahasa dan nahwu, dan salah satu imam ahli qira'ah. Telah meriwayatkan darinya jumlah yang sangat banyak.
Kedua :
Qira’ah yang diperselisihkan tentang status mutawatirnya, yaitu tiga qira’ah
yang menyempurnakan qira’ah yang tujuh diatas menjadi sepuluh. Ketiganya
adalah,
- Abu Ja’far al-Madani, Yazîd bin al-Qa’qâ’ al-Makhzumi al-Qârri (w. 130 H), imam ahli Madinah dalam qira'ah
- Ya’qub al-Bashri, Abu Muhammad Ya’qub bin Ishaq al-Hadhrami al-Bashri (w. 205 H), pakar qira'ah kota Bashrah
- Khalaf al-Baghdadi, Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Tsa’lab bin Khalaf (w. 229 H), yang telah disebutkan biografinya
Seperti yang
telah dijelaskan, pendapat yang benar dan terpilih bahwa
qira’ah-qira’ah ini juga mutawatir dan diamalkan. Para ulama ushul, para fuqaha' dan lain-lain telah bersepakat bahwa tidak ada qira'ah yang mutawatir yang lebih dari sepuluh qira'ah ini.
Kesimpulannya, tujuh qira'ah adalah mutawatir dengan kesepakatan para ulama, tiga qira'ah adalah qira'ah yang benar dan diterima menurut pendapat yang kuat dan terpilih, sementara empat bacaan yang selebihnya adalah qira'ah yang syâdzdzah menurut kesepakatan ulama. Keempat qira'ah itu adalah riwayat para imam berikut ini,
- Muhammad bin Abdirrahman bin Muhaishin al-Makki (w. 123 H)
- Yahya bin al-Mubarak al-Yazidi (w. 202 H)
- Al-Hasan bin Abil Hasan Yasar al-Bashri (w. 115 H), dan
- Sulaiman bin Mihran al-A'masy al-Kufi (w. 148 H)
Wallahu a'lam.