Sponsors

12 Oktober 2015

Firqah Al-Mu'tazilah

Sebelum munculnya Mu’tazilah sebagai sebuah firqah (sekte) pemikiran di tangan Washil bin Atha’, telah terjadi perdebatan yang merupakan bibit awal pemikiran Mu’tazilah. Perdebatan tersebut beredar pada persoalan-persoalan berikut,
  1. Perkataan bahwa manusia sepenuhnya bebas dan dialah yang menciptakan perbuatannya sendiri. Pendapat ini dimunculkan oleh Ma’bad al-Juhani yang ikut dalam pemberontakan Abdurrahman bin al-Asy’ats terhadap pemerintahan Abdul Malik bin Marwan. Ma’bad dibunuh oleh al-Hajjaj pada tahun 80 H setelah gagalnya pemberontakan tersebut. Pendapat ini pula yang disebutkan oleh Ghailan ad-Dimasyqi pada masa Umar bin Abdil Aziz, dan ia dibunuh oleh Hisyam bin Abdil Malik.
  2. Perkataan bahwa al-Quran adalah makhluk dan penolakan terhadap sifat-sifat Allah Ta’ala. Pemikiran ini dibawa oleh al-Jahm bin Shofwan, dan ia dibunuh oleh Salim bin Ahwaz di Merv pada tahun 128 H.
  3. Diantara orang-orang yang mendakwakan penolakannya terhadap sifat-sifat Allah adalah al-Ja’ad bin Dirham yang dibunuh oleh Khalid bin Abdillah al-Qusari, gubernur Bani Umayyah di Kufah.
Setelah itu, muncullah Mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran melalui Washil bin ‘Atha al-Ghazzal (80-131 H) yang dahulunya merupakan murid al-Hasan al-Bashri, kemudian ia berpisah dari majelis al-Hasan setelah mengemukakan pendapatnya bahwa pelaku dosa besar berada pada satu diantara dua kedudukan/status (manzilah baina al manzilatain) yaitu bukan mukmin dan bukan pula kafir, dan dia kekal di Neraka jika belum bertaubat sebelum kematiannya. Firqah Mu’tazilah yang dinisbatkan pada Washil bin 'Atha disebut al-Washiliyah.

Karena prinsipnya yang sangat mengagungkan akal dalam memahami persoalan-persoalan aqidah, Mu’tazilah terpecah ke dalam banyak sekte walaupun semuanya sepakat dalam 5 prinsip pokoknya yang akan dijelaskan. Setiap sekte akan datang dengan bid’ah baru yang membuatnya berbeda dari sekte lainnya, dan menisbatkan dirinya dengan tokohnya.

Pada masa pemerintahan Abbasiyah, Mu’tazilah muncul di masa pemerintahan al-Ma’mun, ketika ia menganut paham tersebut melalui Bisyr al-Mirrisi, Tsumamah bin Asyras dan Ahmad bin Abi Du’ad. Nama terakhir ini merupakan seorang tokoh bid’ah mazhab i’tizâl di zamannya, biang dari munculnya fitnah perkataan bahwa al-Quran adalah makhluk dan menjabat hakim agung di masa al-Mu’tashim.

Di masa fitnah tersebut, Imam Ahmad telah menolak perintah al-Ma’mun untuk mengakui bid’ah ini. Ia akhirnya dipenjara, disiksa dan dicambuk pada masa al-Mu’tashim setelah wafatnya al-Ma’mun. Imam Ahmad berdiam di penjara selama dua setengah tahun dan kemudian dikembalikan ke rumahnya. Beliau berstatus sebagai "tahanan rumah" sepanjang pemerintahan al-Mu’tashim dan putranya, al-Watsiq.

Ketika al-Mutawakkil memangku jabatan khilafah (232 H), ia membela Ahlussunnah, memuliakan Imam Ahmad dan menghentikan masa kekuasaan Mu’tazilah dalam pemerintahan dan usaha mereka untuk memaksakan aqidahnya dengan kekuatan selama masa 14 tahun.

Pada masa kerajaan Syiah, Bani Buwaih tahun 334 H di Persia, semakin eratlah hubungan antara Syiah dan Mu’tazilah. Mu’tazilah semakin mendapatkan tempat di bawah naungan kerajaan ini. Ditunjuklah al-Qadhi Abdul Jabbar, tokoh senior Mu’tazilah di masanya sebagai qadhi (hakim) Ray pada tahun 360 H dengan perintah ash-Shahib bin Abbad, perdana menteri Mu’ayyid ad-Daulah al-Buwaihi, dan ia tergolong penganut Rafidhah dan sekaligus penganut paham Mu'tazilah.

Setelah itu, hampir saja pemikiran i’tizâl hilang sebagai sebuah pemikiran tersendiri, selain apa yang diambil dan diyakini oleh sebagian sekte-sekte Syiah dan lainnya dari pemikiran-pemikiran mereka.

Pada masa sekarang, pemikiran i’tizal kembali dihidupkan oleh sebagian penulis dan pemikir yang tergolong dalam neo-Mu’tazilah yang sangat mengagungkan dan memuliakan akal/logika.

Pokok Utama Keyakinan Mu'tazilah

Pada permulaannya, Mu’tazilah datang dengan dua pemikiran bid’ah;

Pertama, perkataan bahwa seorang manusia memiliki pilihan secara mutlak  dalam setiap perbuatannya, dan dialah yang menciptakan perbuatannya itu. Diantara tokoh yang sangat menonjol dalam pemikiran ini pada permulaannya adalah Ghailan ad-Dimasyqi di masa pemerintahan Umar bin Abdil Aziz hingga masa Hisyam bin Abdil Malik. Ia dibunuh oleh Hisyam disebabkan bid’ahnya tersebut.

Kedua, perkataan bahwa pelaku dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, akan tetapi fasik. Dia berada diantara dua kedudukan (manzilah baina al-manzilatain). Demikianlah keadaannya di dunia. Adapun di Akhirat, maka dia tidak akan pernah masuk Surga karena dia tidak beramal dengan amal ahli Surga, bahkan dia kekal dalam Neraka. Menurut mereka, tidak ada halangan untuk menyebut orang itu “muslim” dari sisi lahirnya dan mengucapkan syahadatain, akan tetapi dia tidak bisa disebut “mukmin”.

Kemudian setelah itu, Mu’tazilah menetapkan dan menyepakati mazhab mereka dalam lima prisip dasar yaitu at-tauhîd, al-‘adl (keadilan), al-wa’d wa al-wa’îd (janji dan ancaman), al-manzilah baina al-manzilatain dan al-amr bil ma’rûf wa an-nahy ‘anil munkar.

1. At-Tauhîd

Ringkasnya menurut pandangan bid’ah mereka; Allah Ta’ala harus disucikan dari penyerupaan dengan makhlukNya, tidak ada seorang pun yang menandingi Dia dalam kekuasaanNya dan tidak berlaku baginya apa yang berlaku bagi para hamba. Ungkapan seperti ini adalah kebenaran, akan tetapi mereka membangun diatasnya keyakinan yang batil, diantaranya bahwa Allah tidak bisa dilihat pada Hari Kiamat karena konsekuensinya adalah menafikan (meniadakan) sifat, dan sifat itu bukanlah sesuatu selain Dzat-Nya, karena –menurut mereka- jika tidak demikian, maka Dzat yang qadim (terdahulu tanpa permulaan) tersebut akan berbilang. Karenanya mereka tergolong kelompok yang mengingkari sifat-sifat Allah Ta’ala. Demikian juga, dengan pemikiran batilnya itu mereka mengambil kesimpulan bahwa al-Quran adalah makhluk ciptaan Allah karena mereka menafikan dariNya sifat al-Kalam (berbicara).

2. Al-‘Adl

Maknanya menurut mereka bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan para hamba, dan Dia juga tidak menyukai kerusakan. Bahkan, para hamba itu melakukan apa yang mereka perintahkan sendiri dan berhenti dari apa yang mereka larang sendiri dengan qudrah (kemampuan) yang Allah jadikan dan adakan dalam diri-diri mereka. Dia tidak memerintahkan kecuali dengan apa yang Dia inginkan dan tidak melarang kecuali dari apa yang Dia benci. Dia adalah pelindung bagi setiap kebaikan yang diperintahkanNya dan berlepas dari setiap keburukan yang dilarangNya. Dia tidak membebankan kepada para hamba kecuali apa yang mereka mampu dan Dia tidak menginginkan dari mereka selain apa yang ada dalam upaya dan kemampuan mereka. Pendapat seperti ini muncul karena rancunya mereka dalam membedakan antara iradah (kehendak) Allah al-kauniyyah dan iradahNya yang syar'i (al-iradah as-syar’iyyah).

3. Al-Wa’d wa Al-Wa’îd

Yang mereka maksudkan dengan prinsip ini bahwa Allah akan memberi balasan kebaikan kepada orang yang melakukan kebaikan dan membalas pelaku keburukan dengan keburukan, dan Dia sekali-kali tidak akan mengampuni bagi pelaku dosa besar kecuali jika dia bertaubat.

4. Al-Manzilah baina Al-Manzilatain

Yaitu keyakinan mereka bahwa pelaku dosa besar berada pada satu kedudukan antara iman dan kekafiran, bukan mukmin dan bukan pula seorang yang kafir. Aqidah ini telah ditetapkan sejak permulaan oleh syaikh Mu’tazilah, Washil bin Atha’.

5. A-Amr bi Al-Ma’rûf wa An-Nahy ‘an Al-Munkar

Mereka telah menetapkan wajibnya perkara ini bagi orang-orang mukmin dalam rangka menyebarkan dakwah Islam, hidayah bagi orang yang sesat dan petunjuk bagi orang yang lalai, setiap orang sesuai dengan kemampuannya; yang memiliki penjelasan dengan penjelasannya, seorang alim dengan ilmunya, yang memiliki senjata dengan senjatanya, dan seterusnya. Akan tetapi, hakikat dari prinsip ini sebenarnya adalah perkataan mereka tentang wajibnya memberontak terhadap penguasa muslim jika dia telah menyelisihi dan menyimpang dari kebenaran!

Diantara prinsip pokok aqidah Mu’tazilah adalah bersandar sepenuhnya kepada akal dalam berargumen terhadap aqidah yang mereka yakini. Dan diantara akibat buruknya dari perkara ini, mereka menghukumi baik buruknya sesuatu dengan akal mereka. Demikian pula mereka menta’wil (menafsirkan) sifat-sifat Allah dengan apa yang mereka anggap cocok dengan akalnya. Dan sudah dimaklumi bahwa Mu’tazilah menafikan seluruh sifat-sifat Allah Ta’ala.
 
Karena pengagungan terhadap akal itu juga sehingga tokoh-tokoh mereka berani mencaci para pembesar Shahabat dan menuduh mereka berdusta. Washil bin Atha’ mendakwakan bahwa salah satu dari dua kelompok yang terlibat dalam perang Jamal adalah fasik. Entah kelompok Ali bin Abi Thalib, Ammar bin Yasir, al-Hasan, al-Husain dan Abu Ayyub, atau kelompok Aisyah, Thalhah dan az-Zubair. Mereka bahkan menolak persaksian para Shahabat yang mulia tersebut dengan mengatakan, “Persaksian mereka tidak diterima!”.

Disebabkan oleh ketergantungan mereka kepada akal dan jauhnya mereka dari dalil-dalil shahih yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah, mereka pun terpecah kedalam banyak firqah (sekte).

Demikianlah Mu’tazilah, mereka telah mengubah agama ini kepada kumpulan persoalan rasio dan argumen-argumen mantiq, disebabkan pengaruh besar yang masuk dalam keyakinan mereka yang berasal dari filsafat Yunani, terkhusus mantiq Arsitoteles.

Wallahu a’lam.

------------------------

Sumber tulisan : Al Mausû’ah al Muyassarah fî al Adyân wa al Madzâhib wa al Ahzâb al Mu’âshirah, WAMY, cet. tahun 1424.

0 tanggapan:

Posting Komentar