Sebelum munculnya Mu’tazilah sebagai sebuah firqah
(sekte) pemikiran di tangan Washil bin Atha’, telah terjadi perdebatan
yang merupakan bibit awal pemikiran Mu’tazilah. Perdebatan tersebut
beredar pada persoalan-persoalan berikut,
- Perkataan bahwa manusia sepenuhnya bebas dan dialah yang menciptakan perbuatannya sendiri. Pendapat ini dimunculkan oleh Ma’bad al-Juhani yang ikut dalam pemberontakan Abdurrahman bin al-Asy’ats terhadap pemerintahan Abdul Malik bin Marwan. Ma’bad dibunuh oleh al-Hajjaj pada tahun 80 H setelah gagalnya pemberontakan tersebut. Pendapat ini pula yang disebutkan oleh Ghailan ad-Dimasyqi pada masa Umar bin Abdil Aziz, dan ia dibunuh oleh Hisyam bin Abdil Malik.
- Perkataan bahwa al-Quran adalah makhluk dan penolakan terhadap sifat-sifat Allah Ta’ala. Pemikiran ini dibawa oleh al-Jahm bin Shofwan, dan ia dibunuh oleh Salim bin Ahwaz di Merv pada tahun 128 H.
- Diantara orang-orang yang mendakwakan penolakannya terhadap sifat-sifat Allah adalah al-Ja’ad bin Dirham yang dibunuh oleh Khalid bin Abdillah al-Qusari, gubernur Bani Umayyah di Kufah.
Setelah
itu, muncullah Mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran melalui Washil
bin ‘Atha al-Ghazzal (80-131 H) yang dahulunya merupakan murid al-Hasan
al-Bashri, kemudian ia berpisah dari majelis al-Hasan setelah
mengemukakan pendapatnya bahwa pelaku dosa besar berada pada satu
diantara dua kedudukan/status (manzilah baina al manzilatain) yaitu bukan
mukmin dan bukan pula kafir, dan dia kekal di Neraka jika belum
bertaubat sebelum kematiannya. Firqah Mu’tazilah yang dinisbatkan
pada Washil bin 'Atha disebut al-Washiliyah.
Karena
prinsipnya yang sangat mengagungkan akal dalam memahami
persoalan-persoalan aqidah, Mu’tazilah terpecah ke dalam banyak sekte
walaupun semuanya sepakat dalam 5 prinsip pokoknya yang akan dijelaskan.
Setiap sekte akan datang dengan bid’ah baru yang membuatnya berbeda
dari sekte lainnya, dan menisbatkan dirinya dengan tokohnya.
Pada masa pemerintahan Abbasiyah, Mu’tazilah muncul di masa pemerintahan al-Ma’mun,
ketika ia menganut paham tersebut melalui Bisyr al-Mirrisi, Tsumamah bin
Asyras dan Ahmad bin Abi Du’ad. Nama terakhir ini merupakan seorang
tokoh bid’ah mazhab i’tizâl di zamannya, biang dari munculnya fitnah perkataan bahwa al-Quran adalah makhluk dan menjabat hakim agung di masa al-Mu’tashim.
Di masa
fitnah tersebut, Imam Ahmad telah menolak perintah al-Ma’mun untuk
mengakui bid’ah ini. Ia akhirnya dipenjara, disiksa dan dicambuk
pada masa al-Mu’tashim setelah wafatnya al-Ma’mun. Imam Ahmad berdiam di
penjara selama dua setengah tahun dan kemudian dikembalikan ke
rumahnya. Beliau berstatus sebagai "tahanan rumah" sepanjang pemerintahan
al-Mu’tashim dan putranya, al-Watsiq.
Ketika
al-Mutawakkil memangku jabatan khilafah (232 H), ia membela Ahlussunnah,
memuliakan Imam Ahmad dan menghentikan masa kekuasaan Mu’tazilah dalam
pemerintahan dan usaha mereka untuk memaksakan aqidahnya dengan kekuatan
selama masa 14 tahun.
Pada masa
kerajaan Syiah, Bani Buwaih tahun 334 H di Persia, semakin eratlah
hubungan antara Syiah dan Mu’tazilah. Mu’tazilah semakin mendapatkan
tempat di bawah naungan kerajaan ini. Ditunjuklah al-Qadhi Abdul Jabbar,
tokoh senior Mu’tazilah di masanya sebagai qadhi (hakim) Ray
pada tahun 360 H dengan perintah ash-Shahib bin Abbad, perdana menteri
Mu’ayyid ad-Daulah al-Buwaihi, dan ia tergolong penganut Rafidhah dan sekaligus penganut paham Mu'tazilah.
Setelah itu, hampir saja pemikiran i’tizâl
hilang sebagai sebuah pemikiran tersendiri, selain apa yang diambil dan
diyakini oleh sebagian sekte-sekte Syiah dan lainnya dari
pemikiran-pemikiran mereka.
Pada masa sekarang, pemikiran i’tizal
kembali dihidupkan oleh sebagian penulis dan pemikir yang tergolong
dalam neo-Mu’tazilah yang sangat mengagungkan dan memuliakan
akal/logika.
Pokok Utama Keyakinan Mu'tazilah
Pada permulaannya, Mu’tazilah datang dengan dua pemikiran bid’ah;
Pertama,
perkataan bahwa seorang manusia memiliki pilihan secara mutlak dalam
setiap perbuatannya, dan dialah yang menciptakan perbuatannya itu.
Diantara tokoh yang sangat menonjol dalam pemikiran ini pada
permulaannya adalah Ghailan ad-Dimasyqi di masa pemerintahan Umar bin
Abdil Aziz hingga masa Hisyam bin Abdil Malik. Ia dibunuh oleh Hisyam
disebabkan bid’ahnya tersebut.
Kedua, perkataan bahwa pelaku dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, akan tetapi fasik. Dia berada diantara dua kedudukan (manzilah baina al-manzilatain).
Demikianlah keadaannya di dunia. Adapun di Akhirat, maka dia tidak akan
pernah masuk Surga karena dia tidak beramal dengan amal ahli Surga,
bahkan dia kekal dalam Neraka. Menurut mereka, tidak ada halangan untuk
menyebut orang itu “muslim” dari sisi lahirnya dan mengucapkan syahadatain, akan tetapi dia tidak bisa disebut “mukmin”.
Kemudian setelah itu, Mu’tazilah menetapkan dan menyepakati mazhab mereka dalam lima prisip dasar yaitu at-tauhîd, al-‘adl (keadilan), al-wa’d wa al-wa’îd (janji dan ancaman), al-manzilah baina al-manzilatain dan al-amr bil ma’rûf wa an-nahy ‘anil munkar.
1. At-Tauhîd
Ringkasnya
menurut pandangan bid’ah mereka; Allah Ta’ala harus disucikan dari
penyerupaan dengan makhlukNya, tidak ada seorang pun yang menandingi Dia
dalam kekuasaanNya dan tidak berlaku baginya apa yang berlaku bagi para hamba. Ungkapan seperti ini adalah kebenaran, akan tetapi mereka membangun
diatasnya keyakinan yang batil, diantaranya bahwa Allah tidak bisa
dilihat pada Hari Kiamat karena konsekuensinya adalah menafikan
(meniadakan) sifat, dan sifat itu bukanlah sesuatu selain Dzat-Nya,
karena –menurut mereka- jika tidak demikian, maka Dzat yang qadim
(terdahulu tanpa permulaan) tersebut akan berbilang. Karenanya mereka
tergolong kelompok yang mengingkari sifat-sifat Allah Ta’ala. Demikian
juga, dengan pemikiran batilnya itu mereka mengambil kesimpulan bahwa
al-Quran adalah makhluk ciptaan Allah karena mereka menafikan dariNya
sifat al-Kalam (berbicara).
2. Al-‘Adl
Maknanya
menurut mereka bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan para hamba, dan
Dia juga tidak menyukai kerusakan. Bahkan, para hamba itu melakukan apa
yang mereka perintahkan sendiri dan berhenti dari apa yang mereka larang
sendiri dengan qudrah (kemampuan) yang Allah jadikan dan adakan
dalam diri-diri mereka. Dia tidak memerintahkan kecuali dengan apa yang
Dia inginkan dan tidak melarang kecuali dari apa yang Dia benci. Dia
adalah pelindung bagi setiap kebaikan yang diperintahkanNya dan berlepas dari setiap keburukan yang dilarangNya. Dia tidak membebankan
kepada para hamba kecuali apa yang mereka mampu dan Dia tidak
menginginkan dari mereka selain apa yang ada dalam upaya dan kemampuan
mereka. Pendapat seperti ini muncul karena rancunya mereka dalam
membedakan antara iradah (kehendak) Allah al-kauniyyah dan iradahNya yang syar'i (al-iradah as-syar’iyyah).
3. Al-Wa’d wa Al-Wa’îd
Yang
mereka maksudkan dengan prinsip ini bahwa Allah akan memberi balasan
kebaikan kepada orang yang melakukan kebaikan dan membalas pelaku
keburukan dengan keburukan, dan Dia sekali-kali tidak akan mengampuni bagi pelaku
dosa besar kecuali jika dia bertaubat.
4. Al-Manzilah baina Al-Manzilatain
Yaitu
keyakinan mereka bahwa pelaku dosa besar berada pada satu kedudukan
antara iman dan kekafiran, bukan mukmin dan bukan pula seorang yang
kafir. Aqidah ini telah ditetapkan sejak permulaan oleh syaikh
Mu’tazilah, Washil bin Atha’.
5. A-Amr bi Al-Ma’rûf wa An-Nahy ‘an Al-Munkar
Mereka
telah menetapkan wajibnya perkara ini bagi orang-orang mukmin dalam
rangka menyebarkan dakwah Islam, hidayah bagi orang yang sesat dan
petunjuk bagi orang yang lalai, setiap orang sesuai dengan kemampuannya;
yang memiliki penjelasan dengan penjelasannya, seorang alim dengan
ilmunya, yang memiliki senjata dengan senjatanya, dan seterusnya. Akan
tetapi, hakikat dari prinsip ini sebenarnya adalah perkataan mereka
tentang wajibnya memberontak terhadap penguasa muslim jika dia telah
menyelisihi dan menyimpang dari kebenaran!
Diantara
prinsip pokok aqidah Mu’tazilah adalah bersandar sepenuhnya kepada akal
dalam berargumen terhadap aqidah yang mereka yakini. Dan diantara akibat
buruknya dari perkara ini, mereka menghukumi baik buruknya sesuatu
dengan akal mereka. Demikian pula mereka menta’wil (menafsirkan)
sifat-sifat Allah dengan apa yang mereka anggap cocok dengan akalnya.
Dan sudah dimaklumi bahwa Mu’tazilah menafikan seluruh sifat-sifat Allah
Ta’ala.
Karena pengagungan terhadap akal itu juga sehingga tokoh-tokoh mereka berani
mencaci para pembesar Shahabat dan menuduh mereka berdusta. Washil bin
Atha’ mendakwakan bahwa salah satu dari dua kelompok yang terlibat dalam
perang Jamal adalah fasik. Entah kelompok Ali bin Abi Thalib, Ammar bin
Yasir, al-Hasan, al-Husain dan Abu Ayyub, atau kelompok Aisyah, Thalhah
dan az-Zubair. Mereka bahkan menolak persaksian para Shahabat yang
mulia tersebut dengan mengatakan, “Persaksian mereka tidak diterima!”.
Disebabkan
oleh ketergantungan mereka kepada akal dan jauhnya mereka dari
dalil-dalil shahih yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah, mereka
pun terpecah kedalam banyak firqah (sekte).
Demikianlah
Mu’tazilah, mereka telah mengubah agama ini kepada kumpulan persoalan
rasio dan argumen-argumen mantiq, disebabkan pengaruh besar yang masuk
dalam keyakinan mereka yang berasal dari filsafat Yunani, terkhusus
mantiq Arsitoteles.
Wallahu a’lam.
------------------------
Sumber tulisan : Al Mausû’ah al Muyassarah fî al Adyân wa al Madzâhib wa al Ahzâb al Mu’âshirah, WAMY, cet. tahun 1424.
0 tanggapan:
Posting Komentar