Seperti
yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, hadits mardûd (yang tertolak) secara garis besar disebabkan oleh dua hal; yang pertama
adalah perawi yang gugur dalam sanad (as saqth min al isnâd), dan yang kedua adalah celaan pada diri sang perawi (ath tha’n fi ar râwi).
As-saqth min al-isnâd terbagi kepada saqth dzhâhir dan saqth khafiy. Dan diantara bentuk saqth dzhâhir adalah al-mu’allaq.
Hadits al-mu’allaq (المعلق) adalah hadits yang gugur sejak permulaan sanadnya seorang perawi atau lebih secara berurutan.
Permulaan
sanad adalah ujung yang terdekatnya dari arah kita, yaitu syaikh (guru)
dari penulis buku. Disebut “permulaan sanad” karena kita memulai membaca
hadits dengannya.
Diantara bentuk-bentuk hadits mu’allaq adalah;
1. Dihapus seluruh sanad kemudian dikatakan –misalkan- : Bersabda Rasulullah ﷺ
2. Diantaranya juga adalah dengan menghapus/menggugurkan seluruh sanad kecuali nama shahabat atau shahabat dan tabi’i.
Contoh hadits mu’allaq adalah hadits yang diriwayatkan al-Bukhary dalam permulaan bâb mâ yudzkar fî al fakhidz (bab : Apa yang Disebutkan tentang Paha). Al-Bukhary berkata : "Dan berkata Abu Musa : Nabi ﷺ menutup kedua lututnya ketika Utsman datang."
Hukum Hadits Mu'allaq
Hadits
mu’allaq tertolak karena ia kehilangan salah satu syarat dari
syarat-syarat diterimanya sebuah hadits, yaitu bersambungnya sanad (ittishâl as sanad),
dengan hilangnya/gugurnya penyebutan seorang perawi atau lebih dari
sanad sementara kita tidak mengetahui keadaan/status dari perawi
tersebut.
Hadits-hadits Mu'allaq dalam Kitab ash-Shahihain
Hukum tertolaknya hadits mu'allaq berlaku untuk hadits-hadits secara mutlak. Namun, jika kasus itu ada pada sebuah kitab yang penulisnya komitmen hanya menuliskan hadits-hadits shahih saja seperti kitab Shahih al-Bukhary atau Shahih Muslim, maka yang seperti ini memiliki hukum tersendiri.
1. Hadits yang disebutkan dengan redaksi "al-jazm" (memastikan) seperti "berkata" ( قاَل ), "menyebutkan" ( ذَكر ), "menceritakan" ( حَكى ), maka yang seperti ini dipastikan keshahihannya dari orang yang mengucapkannya.
2. Jika disebutkan dengan redaksi "at-tamridh" (bentuk pasif) seperti "dikatakan" ( قِيلَ ), "disebutkan" ( ذُكِرَ ), "diceritakan" ( حُكِيَ ), maka ini tidak dihukumi keshahihannya kepada orang yang mengucapkannya. Perkataan itu bisa saja shahih, hasan atau dha'if, namun tidak ada hadits yang sangat lemah karena keberadaannya dalam kitab yang disebut sebagai "ash-shahih". Untuk memastikan keshahihannya adalah dengan mencari sanad dari riwayat tersebut dan menghukuminya dengan kekuatan atau kelemahan sanad itu.
Wallahu a'lam.
(Syaikh Dr. Muhammad ath-Thahhan, Taysir al-Mushthalah)
0 tanggapan:
Posting Komentar