1. Definisi
Hijab ( حجاب ) adalah bentuk mashdar yang bermakna tertutup atau terhalang.
Menurut istilah syar’i, hijab adalah seorang wanita menutup seluruh badan dan perhiasannya, yang dengannya menghalangi orang-orang yang bukan mahramnya untuk melihat sesuatu dari badannya atau perhiasan yang dipakainya.
2. Dengan apa wanita berhijab?
Dengan meneliti dalil-dalil syar’i, maka hijab tersebut dengan dua hal :
Pertama : Hijab dengan berdiam dalam rumah
Kedua : Hijab dengan pakaian, dan pakaian ini terdiri atas “jilbab” dan “khimar”
3. Pengertian “Jilbab” dan “Khimar” serta cara pemakaiannya
Khimar ((خمار adalah bentuk mufrad. Bentuk jama’ (plural)nya adalah khumur (خمر). Maknanya beredar pada kata “tertutup”.
Cara penggunaannya adalah dengan meletakkannya diatas kepala kemudian melingkarkannya di leher dengan bentuk yang melingkari wajah. Kain yang tersisa dari lingkaran tersebut diletakkan di wajah, leher dan dadanya.
Jilbab ( جلباب ) adalah kain tebal yang menutupi wanita dari kepalanya sampai kedua telapak kakinya, menutupi seluruh badan, pakaian dan perhiasannya. Inilah yang sering disebut aba’ah (abaya) yang umum digunakan wanita di jazirah Arab.
Cara penggunaannya adalah menaruhnya diatas kepala yang menutupi khimar dan seluruh badannya dan perhiasannya sampai menutupi telapak kaki.
Dengan ini bisa dipahami bahwa syarat dari abaya dengan fungsinya yang disebutkan tadi adalah :
a. Tebal, tidak tipis.
b. Tidak bersentuhan langsung dengan kulit.
c. Longgar, tidak memperlihatkan bentuk tubuh.
d. Terbuka dari bagian depannya saja, dan lubang tersebut tidak terlalu besar.
e. Penggunaannya dari atas kepala, bukan dari atas pundak. Karena penggunaannya diatas pundak menyelisihi apa yang dinamakan jilbab yang diwajibkan Allah atas wanita-wanita mukminah, karena hal itu memberikan gambaran bentuk tubuh dan juga menyerupai laki-laki dalam penggunaan gamis mereka.
f. Abaya tersebut tidak boleh berhias.
g. Dan penggunaan abaya ini harus dari atas kepala sampai ke mata kaki. Dengan ini diketahui bahwa penggunaan yang hanya menutupi sampai lutut tidak bisa disebut sebagai jilbab yang syar’i.
4. Dalil-dalil Wajibnya Berhijab, termasuk Menutup Wajah dan Kedua Tangan.
Telah diketahui bahwa amalan yang diwariskan turun-temurun semenjak masa Shahabat radhiyallahu ‘anhum dan generasi yang datang setelah mereka adalah hujjah syar’i yang wajib diikuti dan diterima. Telah berlaku ijma’ amali yang diwariskan diantara para wanita mukminah untuk selalu berdiam di rumah-rumah mereka dan tidak keluar kecuali untuk sebuah keperluan, dan tidak keluar kepada laki-laki asing (yang bukan mahram) kecuali dalam keadaan berhijab dengan tidak membuka wajah atau sesuatupun dari badannya, atau bertabarruj dengan perhiasan.
Ini adalah dua ijma’ yang telah diwariskan dan diketahui semenjak permulaan Islam, masa Shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Ijma’ ini telah disebutkan para imam, diantaranya al Hafidz Ibnu Abdil Barr, Imam an Nawawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan lain-lain. Amalan ini terus berlangsung sampai pertengahan abad XIV Hijriah, ketika Daulah Islamiyah runtuh dan tercerai-berai kedalam banyak negara.
Berkata al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari (IX/224) : ”Senantiasa kebiasaan para wanita sejak dahulu sampai sekarang untuk menutup wajah-wajah mereka dari orang asing”.
Berikut ini kami akan tegakkan hujjah atas hal tersebut :
Pertama : Dalil-dalil dari al Qur’an
1. QS. Al Ahzab ayat 32-33. Dalam dua ayat ini terdapat dalil-dalil yang mewajibkan hijab dan menutup wajah dari tiga sisi :
- Larangan untuk merendahkan suara ketika berbicara dengan laki-laki. Larangan ini termasuk sebab untuk menjaga kemaluan, dan hal itu tidak mungkin terealisasi kecuali dengan adanya rasa malu, kehormatan diri dan menjaga etika. Dan makna-makna tersebut ada dalam hijab.
- Firman Allah yang artinya : ”Dan berdiamlah di rumahmu”. Karena rumah ibarat pakaian yang menutup badan.
- Firman Allah yang artinya : ”Dan janganlah kamu berhias seperti perhiasan jahiliyyah dahulu”, yaitu dengan banyak keluar, atau keluar dengan berhias, memakai wewangian, membuka wajah atau memperlihatkan keindahan dan perhiasan yang diperintahkan untuk ditutupi.
2. Ayat hijab (al Ahzab ayat 53-55). Disebut ayat hijab karena ayat inilah yang pertama kali turun tentang kewajiban berhijab bagi Ummahatul Mu’minin dan seluruh wanita muslimah. Diturunkan pada bulan Dzulqa’dah tahun V Hijrah. Ketika ayat ini turun, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghijab istri-istrinya dari laki-laki asing, dan demikian juga para shahabat, dengan menutup badan mereka dari kepala sampai mata kaki, dan menutup segala perhiasan yang berada di badan. Hijab ini adalah kewajiban umum bagi setiap wanita mukminah yang berlaku sampai hari Kiamat.
3. Ayat hijab kedua yang memerintahkan untuk menurunkan jilbab sampai ke wajah (al Ahzab ayat 59).
Berkata Imam as Suyuthi rahimahullah : ”Ini adalah ayat hijab yang wajib untuk seluruh wanita. Dalam ayat ini ada kewajiban untuk menutup kepala dan wajah”.
Makna jilbab yang termasuk di dalamnya menutup wajah, itulah makna pertama yang bisa tertangkap dari ayat ini. Karena anggota tubuh yang nampak dari wanita di masa jahiliyyah adalah wajah. Maka Allah menyuruh istri-istri Nabi dan kaum mukminin untuk menutupnya dengan menurunkan ( يدنين ) jilbab ke kepala. Karena kata (idnaa’) disambung dengan huruf (‘alaa) yang mengandung makna (irkhaa’) yaitu menurunkan.
4. Dua ayat dalam surat an Nur (ayat 30-31)
5. Keringanan yang diberikan untuk al Qawa’id dari kalangan wanita (an Nur ayat 60), yaitu wanita-wanita tua yang sudah memasuki masa menopause. Mereka dibolehkan untuk menanggalkan pakaian yang disebutkan Allah dalam ayat hijab, yaitu boleh menampakkan wajah dan kedua tangan.
Hijab Muslimah di Bosnia, Eropa Timur pada tahun 1941
Kedua : Dalil-dalil dari as Sunnah.
1. Dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata : ”Dahulu para pengendara lewat sementara kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan berihram. Jika mereka telah sejajar dengan kami, maka salah seorang dari kami akan menurunkan jilbabnya dari kepalanya ke wajahnya. Jika mereka telah lewat, kami kembali menyingkapnya”. (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, ad Daruquthni dan al Baihaqi).
Inilah penjelasan dari Aisyah tentang wanita-wanita shahabat yang sedang berihram bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam dua perkara yang saling bertentangan; yaitu wajibnya menutup wajah bagi wanita dan wajibnya membuka wajah bagi wanita yang sedang berihram untuk haji atau umrah.
Jika seorang wanita yang sedang berihram berada dengan laki-laki asing, maka dia mengamalkan hukum asal yaitu wajibnya berjilbab dan menutup wajah. Jika laki-laki asing tidak ada, maka wanita ini wajib menyingkap wajahnya dalam keadaan ihramnya tersebut. Dalil ini sangat jelas –alhamdulillah- tentang wajibnya hijab bagi wanita mukminah.
2. Dari Asma’ bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata :”Dahulu kami menutup wajah kami dari laki-laki …” (Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, dishahihkan oleh al Hakim, dan disepakati oleh adz Dzahabi)
3. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata : ”Semoga Allah merahmati wanita-wanita Muhajirah yang pertama. Ketika turun ayat :’Dan hendaknya mereka menurunkan khimar ke dadanya’ (an Nur ayat 30), mereka merobek gorden dan ber-ikhtimar ( اختمرنا ) dengannya”. (Diriwayatkan oleh al Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Jarir dalam Tafsir, al Hakim, al Baihaqi dan lain-lain).
Berkata al Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (VIII/490) :”Perkataannya ‘ikhtamarna’ (memakai khimar) maknanya adalah mereka menutup wajah-wajahnya”.
4. Hadits Aisyah tentang kisah al-Ifki (tuduhan dusta bahwa Aisyah berzina). Dalam hadits tersebut ada perkataan Aisyah : ”Dan dia –yaitu Shofwan bin Mu’aththal- dahulu pernah melihatku sebelum turunnya ayat hijab, maka aku terbangun dengan istirja’-nya ketika dia mengenalku. Maka aku pun menutup ( خَمَّرْتُ ) wajahku darinya dengan jilbabku”.
5. Hadits-hadits yang memberi keringanan bagi orang yang melamar untuk melihat wanita yang akan dilamarnya. Haditsnya sangat banyak diriwayatkan oleh sekelompok Shahabat. Diantaranya hadits Jabir yang melihat wanita yang akan dilamarnya dengan cara sembunyi-sembunyi (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan al Hakim, ia berkata : Hadits shahih menurut syarat Imam Muslim)
Kesimpulan dalil hadits ini sangat jelas dari beberapa segi :
- Hukum asalnya adalah berhijabnya wanita dari laki-laki.
- Keringanan bagi pelamar untuk melihat wanita yang akan dilamar adalah dalil akan adanya kewajiban hijab. Jika para wanita terbuka wajahnya, tidak ada perlunya diberikan rukhshah (keringanan).
- Pelamar –yaitu Jabir- bersusah payah untuk bersembunyi demi untuk melihat sesuatu yang bisa menarik minatnya untuk menikahi wanita tersebut. Jika para wanita terbuka wajahnya setiap masuk dan keluar rumah, niscaya tidak dibutuhkan bersembunyi untuk melihat pinangannya. Wallahu a’lam.
Ketiga : Qiyas yang sangat jelas (al Qiyaas al Jilliy al Muththarid). Diantaranya adalah :
- Perintah untuk menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, sementara membuka wajah adalah anggota tubuh yang paling mungkin untuk bisa dilihat sehingga tidak bisa menjaga kemaluan (yaitu bisa mengantarkan kepada dosa zina disebabkan daya tarik wajah).
- Larangan untuk menghentakkan kaki agar tidak terdengar perhiasannya, sementara membuka wajah lebih besar fitnahnya dari hal tersebut.
- Larangan untuk merendahkan suara, sementara membuka wajah lebih besar fitnahnya.
- Perintah untuk menutup dua telapak kaki, lengan, leher, rambut dengan dalil dan ijma’, sementara membuka wajah lebih besar daya tariknya untuk membawa kepada fitnah dan kerusakan.
5. Bagaimana Hijab itu Hilang dari Kaum Muslimin?
Ketika Daulah Islamiyah runtuh di paruh pertama dari abad IV Hijriah dan terpecah menjadi negara-negara kecil, mulailah imperialisme Barat kafir memasuki dunia Islam dengan berbagai macam syubhat dan usaha untuk mengalihkan kaum muslimin dari pengaruh Islam kepada kekufuran.
Keburukan pertama yang menghantam umat ini adalah dengan melepaskan hijab dari wajah-wajah kaum muslimat. Ini terjadi di Mesir untuk pertama kalinya ketika gubernur Mesir, Muhammad Ali Basya mengirim beberapa delegasi untuk belajar di Perancis. Diantara para duta ini adalah penasehatnya : Rifa’ah Rafi’ ath Thahthawi (wafat 1290 H). Setelah kembali ke Mesir, Rifa’ah mulai menebar benih pertama ke arah “emansipasi wanita”. Perbuatannya ini diikuti oleh beberapa tokoh yang terpedaya dengan budaya Barat dan sebagian orang-orang kafir, diantaranya:
Seorang Kristen, Markus Fahmi (w. 1374 H) dalam bukunya “al Mar-ah fi asy-Syarq” (Wanita di Timur), yang bertujuan untuk melepaskan hijab dan menghalalkan ikhtilath.
Ahmad Lutfi as-Sayyid (w. 1382 H), orang yang pertama kali memasukkan gadis-gadis Mesir ke kampus-kampus yang bercampur baur dengan laki-laki, dengan wajah-wajah yang terbuka, untuk pertama kalinya dalam sejarah Mesir. Dia dibantu oleh seorang profesor yaitu Thaha Husain (w. 1393 H)
Ikut pula menanggung dosa dalam fitnah ini salah satu pentolannya : Qasim Amin (w. 1326 H), pengarang buku “Tahrir al Mar-ah” (Emansipasi Wanita). Qasim Amin mendapat tentangan keras dari para ulama, bahkan sebagian mereka –di Mesir, Syam dan Iraq- menghukuminya sebagai murtad. Terjadilah beberapa kejadian yang membawanya menulis buku “al Mar-ah al Jadidah” (Wanita Modern), yang maksudnya adalah : merubah wanita muslimah menjadi wanita Eropa !!
Dia dibantu dalam usaha ini oleh Malikah Nazli Abdurrahim Shabri. Wanita ini telah menjadi penganut Kristen dan murtad dari Islam sebagaimana disebutkan dalam buku “Malikah Nazli” karangan al Mahlawi.
Kemudian, orang yang merealisasikan pemikiran Qasim Amin : Sa’ad Zaghlul (w. 1346 H), dan saudaranya Ahmad Fathi Zaghlul (w. 1332 H)
Setelah itu muncul gerakan wanita di Kairo yang menuntut kebebasan bagi kaum perempuan tahun 1337 H dibawah pimpinan Huda Sya’rawi (w. 1367 H). Awal perkumpulan mereka terjadi di Gereja Markus Mesir tahun1338 H. Huda Sya’rawi menjadi wanita muslim Mesir pertama yang melepaskan hijab –kita berlindung kepada Allah dari kebinasaan- dalam sebuah kisah yang membuat hati berduka. Kisahnya ketika Sa’ad Zaghlul kembali dari Inggris dengan bekal yang cukup untuk merusak Islam, dibuatlah dua barisan untuk menyambutnya. Satu barisan laki-laki, satunya lagi barisan wanita. Ketika turun dari pesawat, dia menuju ke barisan wanita berhijab dan disambut oleh Huda Sya’rawi yang mengenakan hijab untuk dilepaskan. Maka Sa’ad pun mengulurkan tangannya –alangkah celakanya kedua orang ini!!-, dan melepaskan hijab dari wajah Huda Sya’rawi. Semua wanita dalam barisan pun serentak melepaskan hijab dari wajah-wajah mereka.
Hari kesedihan yang kedua : Shafiyyah bintu Musthafa Fahmi -istri Sa’ad Zaghlul yang setelah menikah mengganti namanya menjadi Shafiyyah Hanim Sa’ad Zaghlul menurut kebiasaan orang-orang kafir Eropa-, saat itu berada dalam sebuah demonstrasi kaum wanita di Kairo di depan Istana Nil. Dia melepaskan hijab bersama beberapa wanita dan menginjak-nginjak hijab tersebut serta membakarnya. Karena itulah lapangan tersebut sampai sekarang disebut sebagai “Maidan at Tahrir” (Lapangan Kebebasan) !!
Demikianlah, tokoh-tokoh celaka dari Mesir berlanjut : Ihsan Abdul Quddus, Musthafa Amin, Najib Mahfudz, Thaha Husain. Dari kalangan Nasrani : Syibli Syumail, Farah Anton. Mereka juga diperkuat oleh surat kabar, yang merupakan sarana media pertama untuk menyebarkan fitnah ini, hingga akhirnya diterbitkan sebuah majalah dengan nama “Majallah as Sufur” (Sufur dalam bahasa Arab artinya membuka wajah) sekitar tahun 1318 H.
Begitulah permulaan yang sangat buruk dari lepasnya hijab di umat ini dengan dilepaskannya hijab dari wajah. Semua keterangan ini dijelaskan dengan rinci dalam buku “al Mu-aamarah ‘ala al Mar-ah al Muslimah” (Konspirasi terhadap Wanita Muslimah) karya Dr. Ahmad Faraj dan buku “Audatul Hijaab” (Kembalinya Hijab) karya Syaikh Muhammad bin Ahmad Isma’il.
Gerakan ini terus bergerak maju ke berbagai belahan dunia Islam dalam waktu yang sangat singkat, hingga akhirnya muncul undang-undang yang mengharuskan membuka wajah dan melepaskan hijab.
Di Turki, Attaturk (w. 1356) mengeluarkan undang-undang yang mewajibkan dilepaskannya hijab pada tahun 1338. Tahun 1348, keluar undang-undang sipil yang menjiplak undang-undang sipil Swiss, yang melarang poligami dan lain-lain. Dalam masa yang singkat, wanita Turki telah berubah menjadi saudara kembar wanita-wanita Swiss. Na’udzu bi_llah..
Di Iran, pemerintah Rafidhah, Rezha Pahlevi menerbitkan aturan yang mewajibkan dilepaskannya hijab pada tahun 1344.
Di Afghanistan, Muhammad Aman mengeluarkan dekrit yang melarang hijab.
Di Albania, Ahmad Zogho juga mengeluarkan peraturan yang melarang pemakaian hijab.
Di Tunisia, Presiden Abu Raqibah (Bourgheba) yang wafat tahun 1421, mengeluarkan undang-undang yang melarang hijab dan mempidanakan orang yang berpoligami. Siapa yang melanggar, dihukum penjara selama setahun dan membayar denda. Dia juga menetapkan peraturan baru yang bertentangan dengan Syari’at, yaitu memberikan kebebasan bagi wanita jika telah berumur 20 tahun untuk menikah tanpa persetujuan kedua orang tuanya.
Dalam sebuah majalah, “al-Arabi”, diplubikasikan sebuah tema tentang Tunisia, dan padanya terdapat gammbar sebuah papan reklame yang terpampang di jalan-jalan. Setiap papan reklame itu memiliki dua gambar yang salah satunya menggambarkan sebuah keluarga muslimah yang mengenakan hijab dan diberi tanda ( x ). Gambar yang lainnya adalah sebuah keluarga yang bergaya seperti keluarga Eropa dan tertulis dibawahnya : “Jadilah Seperti Mereka!”.
Di Iraq, dosa ini ditanggung oleh dua tokohnya, yaitu az Zahawi dan ar-Rashafi.
Dan dengarkan sebuah hari yang menyedihkan di Aljazair. Pada tanggal 13 Mei 1958, khatib Jumat dipaksa untuk meyerukan dilepaskannya hijab dalam khutbahnya. Setelahnya, berdirilah seorang gadis Aljazair yang berseru dengan pengeras suara untuk melepaskan hijab. Gadis ini yang pertama memulai dan diikuti oleh gadis-gadis lain –yang mengkoordinir acara tersebut- melepaskan hijab-hijab mereka. Kisah ini terjadi juga di kota Wahran (Oran). Dan terjadi di ibukota negara : Aljazair (Algiers). Dibelakang semua ini, ada media yang mempublikasikannya secara besar-besaran.
Di Syam dengan empat bagiannya : Libanon, Yordania, Syria dan Palestina, juga merebak hal yang serupa di tangan kaum Baath dan kaum Nasionalis Arab.
Adapun di India dan Pakistan, dahulu keadaan para wanita muslimah dalam keadaan yang sangat mulia dengan hijab dan kehormatannya. Namun dipermulaan tahun 1370 H, mulailah gerakan emansipasi wanita dengan dua slogan utamanya : Kebebasan dan Persamaan! Untuk usaha ini, telah diterjemahkan buku karya Qasim Amin, “Tahrir al-Mar-ah”. Dan dibelakang semua ini ada media massa yang mengajak kepada pembauran di sekolah dan melepaskan hijab. Hingga akhirnya Anak Benua India sampai kepada keadaan yang tidak bisa kita adukan kecuali kepada Allah saja. Semua ini terpaparkan dengan jelas dalam buku “Atsar al-Fikri al-Gharbiy fi Inhiraf al-Mujtama’ al-Muslim fi Syibhi al-Qaarrah al-Hindiyah” (Pengaruh Pemikiran Barat dalam Penyimpangan Masyarakat Muslim di Anak Benua India) karya Khadim Husain.
Di zaman kejayaan Islam, orang-orang kafir pun meniru kebiasaan kaum muslimin. Foto ini adalah foto pemakaman Kaisar Austria, Franz Josephs I pada tahun 1916. Nampak wanita kerajaan mengenakan niqab.
[Tulisan diatas disadur dari buku “Hiraasah al Fadhiilah” karya Syaikh Dr. Bakr bin Abdillah Abu Zaid rahimahullah (wafat tahun 1430 H). Mantan anggota Hai-ah Kibaaril Ulama (Dewan Ulama-ulama Besar) dan anggota Lajnah Daa-imah lil Buhuuts al ‘Ilmiyyah wal Iftaa’ (Lembaga Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa) Kerajaan Saudi Arabia]
0 tanggapan:
Posting Komentar