Sponsors

25 Agustus 2015

Hukum Mahram bagi Wanita dalam Perjalanan Haji

Ibadah haji menjadi wajib atas setiap muslim jika telah terpenuhi lima syaratnya, yaitu Islam, berakal, baligh, merdeka dan memiliki kemampuan dalam kesehatan fisik, harta dan keamanan perjalanan. Apabila kelima syarat ini telah ada pada seorang muslim baik laki-laki maupun perempuan, maka ia dituntut untuk bersegera menunaikannya.

Namun bagi seorang wanita, ada syarat tambahan disamping lima syarat tersebut, yaitu adanya mahram yang menemaninya dalam perjalanan haji. Jika wanita itu tidak bisa mendapatkan mahram, tidak ada kewajiban haji atas dirinya.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu ia berkata : Saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,

لا يخلونَّ رجلٌ بامرأةٍ إلا ومعها ذو محرمٍ، ولا تسافر المرأة إلا مع ذي محرمٍ

Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang wanita kecuali bersamanya ada mahram. Dan jangan sekali-kali seorang wanita melakukan safar kecuali bersama mahram.”

Maka berdirilah seorang laki-laki dan berkata, “Wahai Rasulullah, istriku telah pergi untuk berhaji, sementara aku telah mendaftarkan diriku pada perang ini dan itu.”

Beliau ﷺ bersabda,

انطلقْ فحُجَّ مع امرأتك

Pergilah, berhajilah bersama istrimu.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim)

Pendapat ini adalah pendapat dalam mazhab Hanafiyah dan Hanabilah.

Dalam mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah, mahram bukanlah syarat dalam haji, akan tetapi mereka mensyaratkan keamanan perjalanan dan adanya kawan perempuan yang terpercaya. Hal itu berlaku dalam haji yang wajib saja. Adapun dalam haji yang sunnah, semua sepakat bahwa wanita itu haram pergi berhaji tanpa mahram.

Sementara mazhab Dzhahiriyah membolehkan seorang wanita yang tidak memiliki suami atau mahram, atau suaminya enggan menemaninya, untuk pergi berhaji tanpa mahram.

Diantara dalil yang mereka gunakan adalah sabda Nabi ﷺ,

يوشك أن تخرج الظعينة من الحيرة تؤم البيت لا جوار معها لا تخاف إلا الله

Hampir tiba masanya seorang wanita keluar dari Hirah menuju ke Baitullah, tidak ada yang menjaganya, dia tidak takut kecuali takutnya kepada Allah.” (HR. Al-Bukhary).

Jawaban untuk hadits ini bahwa hadits tersebut adalah kabar nabawi tentang apa yang akan terjadi di masa mendatang berkait dengan rasa aman dan kedamaian, dan tidak ada kaitannya dengan masalah safarnya seorang wanita tanpa mahram.

Mahram seorang wanita adalah suaminya atau laki-laki yang haram menikahinya untuk selamanya disebabkan oleh pertalian nasab seperti saudaranya, saudara ayah atau ibunya (paman) atau anak saudara/saudarinya; atau oleh sebab persusuan seperti saudara sepersusuannya, atau oleh sebab perkawinan seperti suami ibunya (ayat tiri) atau anak suaminya (anak tiri).

Namun, jika seandainya terjadi seorang wanita pergi haji tanpa mahram, maka hajinya sah dan ia berdosa karena melanggar perintah Nabi untuk tidak melakukan safar tanpa mahram.

Wallahu a’lam.

———————

(Sumber : Shahîh Fiqh as-Sunnah wa Adillatuh)

2 tanggapan:

Bagaimana dengan hadits ini:
Hadits Bukhari Nomor 1727
و قَالَ لِي أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ هُوَ الْأَزْرَقِيُّ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَذِنَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِأَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي آخِرِ حَجَّةٍ حَجَّهَا فَبَعَثَ مَعَهُنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ

Dan telah berkata, kepadaku Ahmad bin Muhammad dia adalah Al Azraqiy telah menceritakan kepada kami Ibrahim dari bapaknya dari kakeknya bahwa, “Umar radliallahu 'anhu memberi izin (untuk menunaikan haji) kepada para isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pada akhir haji yang dia lakukan, lalu ia mengutus 'Utsman bin 'Affan dan 'Abdurrahman bin 'Auf bersama mereka.” (HR. Al-Bukhari).

كان عُمَرُ بنُ الخَطَّابِ رَضيَ اللهُ عنه شَديدًا في الحقِّ، ولا يَخافُ في اللهِ لَومةَ لائمٍ، وإذا ظهَرَ الحقُّ في غَيرِ ما يَرى عاد إليه مِن فَورِه.
وفي هذا الحَديثِ يُخبِرُ التابعيُّ إبراهيمُ بنُ عبدِ الرَّحمنِ بنِ عَوفٍ أنَّ أميرَ المؤمنينَ عمَرَ بنَ الخطَّابِ رَضيَ اللهُ عنه أذِنَ لأزواجِ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بالحجِّ في آخِرِ حَجَّةٍ حَجَّهَا، حيث كان عمرُ بنُ الخَطَّابِ رَضيَ اللهُ عنه لا يَسمَحُ لهن بالحجِّ بعْدَ أنْ أصبَحَ خَليفةَ المُسلِمينَ؛ اعتمادًا على قولِه تعالى: {وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ} [الأحزاب: 33]، وكان يرَى تَحريمَ السَّفرِ عليهنَّ أولًا، ثمَّ ظهَرَ له الجوازُ، فأذِن لهنَّ في آخِرِ خِلافتِه، فخرَجْنَ للحجِّ إلَّا أمَّ المؤمنينَ زَينبَ بنتَ جَحشٍ رَضيَ اللهُ عنها، وأمَّ المؤمنينَ سَوْدةَ بنتَ زَمعةَ رَضيَ اللهُ عنها، فكان نِساءُ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَحجُجْنَ إلَّا هما؛ فقد فقالتَا: «لا تُحرِّكُنا دابَّةٌ بعْدَ قَولِ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: هذه، ثُمَّ ظُهورَ الحُصْرِ»، كما جاء في مُسنَدِ أحمَدَ. والحُصرُ هي ما يُنسَجُ مِن جَريدٍ وما شابَهَ ليُبسَطَ ويُفرَشَ في البيتِ. والمعْنى المرادُ: أنَّ هذه حَجَّةُ الفَريضةِ، وبعْدَها يَلزَمْنَ بُيوتَهنَّ، ويَجلِسْنَ على ظُهورِ الحَصيرِ المفروشِ في بُيوتِهنَّ ولا يَخرُجْنَ، وقد تَأوَّلَت بَعضُ أمَّهاتِ المؤمنينَ أنَّ المرادَ بالحديثِ أنَّه لا يَجِبُ عليهنَّ غيرُ تلك الحَجَّةِ، ولكنْ ما زاد فهو تَطوُّعٌ، ويُؤيِّدُ ذلك قولُه صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ في صَحيحِ البخاريِّ مِن حَديثِ أمِّ المؤمنينَ عائشةَ رَضيَ اللهُ عنها: «لَكُنَّ أفضَلُ الجِهادِ؛ حَجٌّ مَبرورٌ».
وقد أرسَلَ معهنَّ عمرُ رَضيَ اللهُ عنه لمَّا سَمَحَ لهنَّ بالحجِّ عثمانَ بنَ عفَّانَ وعبدَ الرَّحمنِ بنَ عوفٍ رَضيَ اللهُ عنهما، وكان معهنَّ نِسوةٌ ثِقاتٌ، فقُمْنَ مَقامَ المَحرَمِ، أو أنَّ كلَّ الرِّجالِ مَحرَمٌ لهنَّ؛ لأنَّهنَّ أمَّهاتِ المؤمنينَ، وكان عُثمانُ يُنادي: «ألَّا يَدْنوَ منهنَّ أحدٌ، ولا يَنظُرَ إليهنَّ إلَّا مدَّ البصَرِ وهُنَّ في الهوادِجِ على الإبلِ»، كما في السُّننِ الكَبيرِ للبَيهقيِّ.

Posting Komentar