Sponsors

23 Agustus 2015

Sutrah yang Selayaknya ada Antara Orang Shalat dan Kuburan

Dalam pertemuan ke XVI Majelis Hai’ah Kibar al-Ulama yang diselenggarakan di kota Thaif, yang dimulai pada hari Sabtu, 12 Syawwal sesuai kalender Ummul Qura tahun 1400 H sampai 21 Syawwal, membahas persoalan sutrah (pembatas shalat) yang selayaknya ada diantara orang shalat dengan kuburan yang ada di depannya, dengan landasan apa yang telah ditetapkan pada pertemuan ke XV. Ketika Majelis mempelajari surat Yang Mulia Ketua Umum Komite Riset Ilmiah, Fatwa, Dakwah dan Penyuluhan yang ditujukan kepada Sekretaris Jenderal Haiah Kibar al-Ulama no. 5/1/3084 tertanggal 12/10/1399 H, yang redaksinya sebagai berikut :

Dengan melihat kondisi bagian utara Masjid Ibnu Abbas di Thaif yang tidak terpisahkan dari kuburan yang terletak di sebelah baratnya kecuali hanya sebuah dinding masjid, sementara pintu-pintu dan jendela-jendela sebelah barat menghadap ke arah kuburan, maka mereka menyampaikan persoalan ini kepada Majelis untuk meminta pendapat dan menuliskan surat kepada Pemerintah untuk membuatkan jalan yang akan memisahkan antara masjid dan kuburan. (selesai);

Majelis dalam pertemuan itu memandang perlunya Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa menyiapkan pembahasan seputar persoalan : Sutrah apa yang mencukupi, yang wajib ada antara orang shalat dengan kuburan yang ada di depannya. Ketika Majelis menelaah pembahasan tersebut dan mendengarkan kepada perkataan dan pendapat para ulama tentang persoalan ini, dan memperhatikan realita yang ada di Masjid Ibnu Abbas di Thaif serta kuburan yang terletak di hadapan kiblat orang shalat di bagian utaranya; sebagian anggota Majelis memandang bahwa dinding masjid tidak mencukupi sebagai sutrah bagi orang yang shalat di dalamnya. Karenanya, selayaknya dibuatkan dinding lainnya yang khusus untuk kuburan, dibuatkan jalan untuk pejalan kaki diantara keduanya, dan dipindahkan kuburan yang berada di jalan tersebut jika padanya masih terdapat sisa dari tulang belulang jenazah.
 
Sementara anggota lainnya berpendapat bahwa dinding bagian depan masjid telah mencukupi sebagai sutrah bagi orang yang shalat di dalamnya, karena orang yang shalat menghadap dinding, dan dinding itu disandarkan pada masjid bukan pada kuburan. Dikarenakan juga bahwa pembuatan dinding lain dan pembukaan jalan antara kuburan dan dinding masjid akan berkonsekuensi pada pembongkaran kubur tanpa ada hal darurat yang mengharuskan hal tersebut. Akan tetapi, selayaknya ditutup dua pintu yang berada di dinding itu, dan ditinggikan jendela-jendela yang ada padanya sehingga orang shalat tidak melihat kuburan, dan dibuatkan pintu di bagian kecil dari dinding, bukan di depannya yang berada kuburan, untuk tempat masuknya imam saat Jumat dan tempat masuknya jenazah untuk dishalatkan.

Dengan pendapat terakhir yang merupakan pendapat mayoritas anggota Majelis, maka ditetapkanlah keputusan sesuai dengan pandangan mereka. Wallâhul muwaffiq.

Washallallâhu wasallam ‘alâ abdihî wa rasûlihî Muhammad.

Haiah Kibar al-Ulama

Ketua Majelis :
Abdul Razzaq Afifi

Anggota :
Abdul Aziz bin Baz, Abdullah bin Muhammad bin Humaid, Abdullah Khayyath, Sulaiman bin Ubaid, Abdul Aziz bin Shalih, Muhammad bin Ali al-Harakan, Rasyid bin Khunain, Muhammad bin Jubair, Ibrahim bin Muhammad Alu asy-Syaikh, Abdullah bin Ghudayyan, Shalih bin Ghushun, Abdul Majid Hasan, Abdullah bin Qu’ud, Abdullah bin Mani’, Shalih bin Luhaidan.

(Buhûts Hai-ah Kibâr al ‘Ulamâ)

Sumber : Islam Today

0 tanggapan:

Posting Komentar