Ad-dha’îf adalah lawan kata dari al-qawiyy (kuat).
Menurut
istilah, hadits dha’if adalah hadits yang tidak mengumpulkan sifat
hadits hasan, karena hilangnya salah satu dari syarat-syaratnya.
Istilah dha'if adalah istilah umum yang digunakan untuk semua jenis hadits yang tertolak keshahihannya (al-khabar al-mardûd).
Hadits
dha’if memiliki tingkatan yang berbeda-beda selaras dengan kelemahan
perawinya, sebagaimana halnya dalam hadits shahih. Diantaranya ada
hadits yang adh-dha’îf jiddan, diantaranya adalah al-wâhiy, diantaranya adalah al-munkar, dan yang paling buruknya adalah al-maudhû’ (palsu).
Contoh
dari hadits dha’if adalah hadits yang diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dari
jalan “Hakim al-Atsram” dari Abu Tamimah al-Hujaimi, dari Abu Hurairah,
dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,
من أتى حائضًا أو امرأةً فى دبرها أو كاهنًا فقد كفر بما أنزل على محمدٍ
“Siapa
yang mendatangi (menggauli) wanita haid, atau mendatangi wanita di
duburnya, atau mendatangi dukun, maka sungguh dia telah kafir terhadap
apa yang diturunkan kepada Muhammad.”
At-Tirmidzi
mengatakan setelah meriwayatkan hadits ini : “Kami tidak mengetahui
hadits ini kecuali dari haditsnya Hakim al-Atsram, dari Abu Tamimah
al-Hujaimi, dari Abu Hurairah.”
Kemudian ia berkata : “Muhammad (yaitu Imam al-Bukhary) mendha’ifkan hadits ini dari sisi sanadnya.”
Hadits ini
dilemahkan karena padanya terdapat rawi yang bernama Hakim al-Atsram
yang dianggap lemah oleh para ulama. Berkata al-Hafidz Ibnu Hajar
tentang orang ini : “Padanya ada kelemahan.”
Hukum Meriwayatkan Hadits Dha’if
Menurut
para ulama hadits dan yang selain mereka, boleh meriwayatkan
hadits-hadits dha’if, dan mengabaikan sanadnya tanpa penjelasan
kelemahannya –selain hadits maudhu’ yang tidak boleh meriwayatkannya
kecuali dengan penjelasan kepalsuannya- dengan dua syarat, yaitu :
1. Tidak berkait dengan aqidah, seperti sifat-sifat Allah
2. Tidak berkait dengan penjelasan hukum-hukum Syari’at yang berkait dengan halal dan haram
Yaitu, boleh meriwayatkannya dalam perkara yang seperti nasehat, targhîb dan tarhîb,
kisah dan yang semacamnya. Pendapat ini diriwayatkan dari sebagian imam
seperti Sufyan ats-Tsauri, Abdurrahman bin Mahdi dan Ahmad bin Hanbal.
Yang perlu diperhatikan, jika Anda meriwayatkannya tanpa penyebutan sanad, selayaknya tidak mengatakan : “Bersabda Rasulullah ﷺ …”. Akan tetapi, ucapkanlah : “Diriwayatkan dari Rasulullah ﷺ …”, atau “Telah sampai kepada kami dari beliau…”, dan yang semacamnya.
Tujuannya, agar jangan sampai memastikan penisbatan hadits tersebut kepada Rasulullah ﷺ sementara Anda mengetahui kelemahannya.
Hukum Mengamalkan Hadits Dha’if
Ulama
berselisih tentang masalah ini. Jumhur ulama mengatakan bolehnya
mengamalkan hadits dha’if dalam keutamaan-keutamaan amal (fadhâ-il al a’mâl), akan tetapi dengan tiga syarat, yaitu :
1. Kelemahannya tidak terlalu berat
2. Hadits itu memiliki asal dalam hadits shahih yang bisa diamalkan
3. Tidak meyakini kebenarannya dari Rasulullah ﷺ saat mengamalkannya, yaitu dengan mengambil prinsip kehati-hatian
Kitab-kitab yang Masyhur dalam Penjelasan Hadits-hadits Dha’if
Untuk kitab yang ditulis berkait dengan penjelasan para perawi yang dha’if seperti kitab adh-Dhu’afâ’ oleh Ibnu Hibban dan Mîzân al-I’tidâl oleh adz-Dzahabi.
Sementara kitab yang ditulis dalam beberapa jenis hadits dha’if secara khusus seperti kitab al-Marâsil oleh Abu Dawud dan kitab al-‘Ilal oleh ad-Daruquthni.
(Taysîr Mushthalah al Hadîts, ath-Thahhan)
0 tanggapan:
Posting Komentar