30 Juni 2012
Antara Musa dan Yunus 'alaihimassalam
Berkata Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam
kitab "Madârij as-Sâlikîn Baina Manâzil Iyyâka Na’budu wa Iyyâka Nasta’în"
:
Aku mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –semoga
Allah mensucikan ruhnya- berkata :
"Lihatlah kepada Musa –shalawat dan salam dari Allah
untuknya-; ia telah melempar lempengan-lempengan yang tertulis padanya firman
Allah yang dituliskan-Nya dengan Tangan-Nya hingga hancur berkeping-keping,
menarik janggut seorang nabi yang sepertinya yaitu Harun, menampar mata
Malaikat Maut hingga lepas dan 'mengkritik' Rabb-nya saat malam Isra’ dalam
persoalan Muhammad; sementara Rabb-nya menanggung semua itu untuknya,
mencintainya dan memuliakannya, karena ia telah berjuang untuk Allah dengan
perjuangan yang besar dalam menghadapi musuh terbesar-Nya, menyampaikan perintah-Nya
dan memperbaiki bangsa Koptik (Qibti) dan Bani Israil dengan sekuat tenaga.
Perkara-perkara ini ibaratnya sehelai rambut di tengah lautan yang luas.
Dan lihatlah kepada Yunus bin Matta 'alaihissalam
yang tidak memiliki kedudukan sebagaimana halnya Musa. Ia telah membuat marah
Rabb-nya sekali saja, maka Rabb-nya menghukumnya dan mengurungnya di perut
ikan. Rabb-nya tidak menanggung untuknya seperti yang Dia tanggung untuk Musa".
Sangat jauh perbedaan antara orang yang datang dengan
sebuah kesalahan sementara dia tidak memiliki kebaikan-kebaikan yang bisa
memberikan syafaat untuknya, dan orang yang datang dengan sebuah kesalahan
kemudian datanglah kebaikan-kebaikannya sebagai pemberi syafa’at. Sebagaimana
dikatakan :
وإذا الحبيب أتى بذنبٍ واحـــدٍ # جـاءتْ محـاسنه بألفِ شفيــعٍ
Jika seorang kekasih datang dengan sebuah dosa
Datanglah
kebaikan-kebaikannya dengan seribu syafa’at
Amal-amal shalih akan menjadi syafa’at bagi pemiliknya di
sisi Allah dan menjadi pengingat baginya jika dia terjatuh pada kesulitan.
Allah Ta’ala berfirman tentang Dzun Nun (Yunus ‘alaihissalam) :
فلولا أنه كان من
المسبحين، للبث في بطنه إلى يوم يبعثون
"Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk
orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya dia akan tetap tinggal di
perut ikan itu sampai hari berbangkit". (QS. Ash-Shaaffaat
ayat 143-144)
Dan (tentang) Fir’aun, karena dia tidak memiliki
kebaikan yang mendahuluinya untuk menjadi syafa’at baginya, ia berkata :
آمنتُ أنه لا إله إلا
الذي آمنتْ به بنو إسرائيل
"Aku beriman bahwa tidak ada Tuhan melainkan
Tuhan yang diimani oleh Bani Israil..”
Maka Jibril berkata kepadanya :
الآنَ و قدْ عصيتَ
قبلُ و كنتَ من المفسدين
"Apakah sekarang (baru kamu beriman), padahal
sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang
yang berbuat kerusakan". (Lihat QS. Yunus ayat 90 dan 91)
(Sumber : Tahdzîb Madârij as
Sâlikîn, oleh Abdul Mun’im Shalih al ‘Uliy al ‘Izzi,
hal. 296-297)
******
Sahabat,
Bekerja, berjuang dan persembahkanlah yang terbaik untuk Allah dan agama-Nya, barangkali saja Dia berkenan memaafkan segala kekurangan kita dalam penghambaan kita terhadap-Nya...
28 Juni 2012
Bid'ah Hasanah menurut Imam Asy-Syafi'i rahimahullahu
Diantara syubhat yang sering dilontarkan untuk
melegalkan "bid’ah hasanah" adalah perkataan Imam Abu Abdillah Muhammad bin
Idris Asy Syafi’i rahimahullahu. Imam Asy Syafi’i dikenal sebagai
seorang imam yang sangat tinggi komitmennya terhadap Sunnah, tapi anehnya,
perkataan beliau sering sekali dijadikan hujjah oleh sebagian kalangan untuk
berdalil akan adanya bid’ah hasanah tanpa mau memahami makna perkatannya
tersebut.
Diriwayatkan dari Imam Asy Syafi’i rahimahullahu,
bahwa beliau berkata :
"Bid’ah itu ada dua; bid’ah mahmûdah
(terpuji/hasanah) dan bid’ah madzmûmah (tercela/dhalâlah).
Yang sesuai dengan As-Sunnah adalah yang terpuji, dan yang menyalahi As-Sunnah
itulah yang tercela". [Manâqib Asy Syâfi’i, oleh Imam Al Baihaqi, I/468,
Al Bâ’its fi al Bida’ wa al Hawâdits, oleh Abu Syâmah, hal. 94]
Beliau juga berkata :
"Al-Muhdatsât (perkara-perkara
baru) itu ada dua macam. Perkara baru yang diada-adakan yang menyelisihi Kitab,
Sunnah, atsar atau ijma’ maka ini adalah bid’ah yang sesat. Dan apa yang
diada-adakan dari kebaikan yang tidak menyelisihi sesuatu pun dari (keempat
perkara) itu, maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela". [Fatâwâ Asy
Syâthib, I/138]
******
Jawaban untuk syubhat ini adalah sebagai berikut :
Pertama
Kita tidak dibenarkan untuk mempertentangkan
perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan perkataan orang
lain, siapa pun orangnya. Perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
adalah hujjah (argumen) yang jelas bagi perkataan siapa saja dan bukan
sebaliknya bahwa perkataan orang lain menjadi hujjah bagi perkataan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam.
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma
berkata :
"Tidak ada seorang pun melainkan pendapatnya bisa
diterima atau ditinggalkan, kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam".
[Jâmi’ al ‘Ulûm wa al Hikam, VI/28]
Kedua
Jika kita memperhatikan perkataan Imam Asy
Syafi’i dengan seksama, maka tidak diragukan bahwa yang beliau maksudkan
sebagai "bid’ah mahmudah" adalah makna secara bahasa bukan makna menurut syara’
(istilah Syari’at). Dengan dalil, bahwa setiap bid’ah yang terjadi dalam agama
maka sudah tentu dia akan bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah.
Imam Asy-Syafi’i dalam perkataanya itu telah
membatasi kata "bid’ah mahmudah" dengan sesuatu yang tidak menyelisihi Al-Kitab
dan As-Sunnah. Sedangkan setiap bid’ah (perkara baru) yang terjadi dalam agama
pasti menyelisihi firman Allah Ta’ala :
اليوم أكملت لكم دينكم
"Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu
agamamu". [QS. Al Maidah ayat 3]
Dan juga bertentangan dengan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam :
من أحدث فى أمرنا هذا ما ليس منه فهو ردّ
"Barangsiapa mengada-adakan sesuatu yang baru
dalam urusan (agama) kami ini apa yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak".
[HR. Al-Bukhary dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu ‘anha]
Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullahu
berkata :
"Yang dimaksud Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
mengenai apa yang telah kami kemukakan, bahwasannya asal bid’ah yang tercela
adalah apa-apa yang tidak mempunyai asal dalam Syari’at sebagai tempat kembali
kepadanya. Inilah yang dimaksud dengan 'bid’ah' menurut Syari’at. Adapun 'bid’ah mahmudah'; yakni yang sesuai dengan As-Sunnah, yaitu apa-apa yang ada
asalnya berupa sunnah sebagai tempat merujuk kepadanya. Dan yang dimaksud oleh
beliau hanyalah merupakan pengertian ‘bid’ah’ secara bahasa, bukan menurut
syara', sebab dia sesuai dengan As-Sunnah". [Shifah Ash Shofwah, II/256]
Ketiga
Yang
diketahui dari Imam Asy Syafi’i rahimahullahu, bahwasannya beliau adalah
orang yang sangat tinggi semangatnya dalam mengikuti Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dan beliau sangat marah terhadap orang yang menolak hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Disebutkan bahwa beliau pernah
berkata saat ditanya tentang suatu persoalan : "Telah diriwayatkan dalam
masalah ini, begini dan begini dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam".
Orang
yang bertanya berkata kepada beliau : "Wahai Abu Abdillah, apakah engkau
mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh hadits itu?"
Imam
Asy Syafi’i terperanjat dan bergetar seraya berkata :
"Aneh
orang ini… Bumi mana yang akan aku pijak dan langit mana lagi yang akan
menaungiku jika aku meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
suatu hadits lalu aku tidak berfatwa dengannya?! Tentu aku akan menjunjungnya
diatas pendengaran dan pandanganku". [Siyar A’lâm an Nubalâ’, X/34]
Bagaimana
mungkin kita akan berprasangka terhadap beliau yang telah kita kenal
komitmennya terhadap Sunnah, bahwa beliau akan menyelisihi sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam;
كل بدعة ضلالة
"Setiap
bid’ah adalah sesat".
Bahkan
selayaknya bagi kita untuk membawa perkataan beliau kepada kemungkinan terbaik
yang tidak ada pertentangan dengan ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam; yaitu dengan meyakini bahwa "bid’ah" yang beliau maksudkan adalah
dalam makna bahasa.
******
Telah diriwayatkan dari Imam Asy Syafi'i rahimahullahu perkataan-perkataan berikut ini :
"Jika
kalian mendapati di dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka berkatalah dengan Sunnah
tersebut dan tinggalkanlah apa yang aku ucapkan". [Riwayat Al Harawi dalam "Dzamm
al Kalâm", Al Khatib dalam "Al Ihtijâj bi asy Syâfi’i", dan Ibnu
‘Asakir dalam "Târikh Dimasyq"]
"Setiap
hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka itu adalah
perkataanku, walaupun kalian tidak pernah mendengarkannya dariku". [Riwayat
Ibnu Abi Hatim dalam "Al Jarh wa at Ta’dîl"]
"Apa
saja yang aku katakan lalu datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam sesuatu yang shahih yang menyelisihi perkataanku, maka hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih didahulukan dan jangan
kalian taklid kepadaku!" [Riwayat Ibnu Abi Hatim, Abu Nu’aim dalam "Hilyah al
Auliyâ’" dan Ibnu ‘Asakir]
"Setiap
masalah yang telah sah padanya kabar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam menurut Ahli An Naql (Ahli hadits), yang menyelisihi apa
yang aku katakan, maka sungguh aku rujuk dari pendapatku dalam hidupku ini dan
setelah matiku nanti". [Riwayat Abu Nu’aim dan Al Harawi]
******
Nah,
setelah memahami perkataan Imam Asy Syafi’i dan semua riwayat-riwayat yang
shahih dari beliau untuk tidak taklid pada dirinya, apakah orang-orang yang
mengaku sebagai “pengikut mazhab Syafi’i” masih mau mendahulukan perkataan Sang
Imam diatas perkataan Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam?
Tidak
ada pilihan lain bagi mereka selain mengatakan sebagaimana yang disabdakan oleh
Nabi yang mulia;
كل بدعة ضلالة وكل
ضلالة فى النار
"Setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan di neraka".
Anehnya,
sebagian mereka masih memaksakan kehendaknya bahwa makna "kullu" tidaklah
mencakup semua bid’ah dengan menyebutkan beberapa dalil (atau tepatnya; "berdalih"), tapi mereka tidak mau menerapkan itu pada makna hadits yang
selanjutnya; "Setiap kesesatan di neraka"…
Adakah kesesatan yang mengantarkan ke surga? Mengapa mereka bisa membagi bid’ah
menjadi dua bagian dengan alasan bahwa kata "kullu" tidak mesti bermakna "semua/seluruh", tapi tidak menerapkan kaedah itu pada bagian kedua dari hadits
tersebut? Wallahul musta'an. Semoga
Allah menyelamatkan kita dari taklid dan kejahilan.
--------------------------------------
Sumber : Al Luma’ fi Ar Radd ‘alâ Muhassiniy Al Bida’, Abdul
Qayyum bin Muhammad Asy Syaibani.
27 Juni 2012
Indahnya Islam
Panglima Qutaibah ibnu Muslim al-Bâhily adalah seorang
panglima besar yang telah menaklukkan negeri-negeri di Asia Tengah sampai
perbatasan China. Diantara negeri-nengeri yang ditaklukkan tersebut adalah
Samarkand. Negeri ini ditaklukkan oleh kaum muslimin tanpa memberikan pilihan
terlebih dahulu kepada penduduknya untuk memeluk Islam, berdamai atau
berperang.
Setelah berlalu dua puluh tahun dari penaklukannya tersebut, Umar
bin Abdul Aziz rahimahullahu diangkat menjadi Khalifah. Penduduk Samarkand mendengar tentang
keadilan Sang Khalifah. Maka mereka pun mendatangi gubernur Samarkand saat itu,
Sulaiman bin Abi as-Sirry dan berkata :
”Qutaibah dahulu telah berkhianat,
bersikap aniaya dan merampas negeri kami, dan sekarang Allah telah
membangkitkan keadilan. Izinkanlah kami untuk mendatangi Amirul Mukminin dan
mengadukan kezaliman yang menimpa kami”.
Setelah mendapatkan izin, mereka
mengirim delegasi kepada Khalifah di Damaskus mengadukan perkara mereka.
Mendengar pengaduan tersebut, Umar bin Abdul Aziz mengirim surat kepada Gubernur
Sulaiman bin Abi as-Sirry yang isinya :
”Penduduk Samarkand telah mengadukan
kezaliman yang menimpa mereka dan serangan yang dilakukan Qutaibah yang telah
mengusir mereka dari negerinya. Jika sampai suratku ini padamu, angkatlah
seorang qadhi (hakim) yang akan mengadili perkara mereka ini. Jika dia
memenangkan perkara mereka, maka kembalikanlah mereka ke negerinya sebagaimana
dahulu dan kalian kembali ke tempat kalian sebelum Qutaibah memenangkan perang”.
Gubernur memilihkan untuk mereka seorang qadhi besar di masanya
yaitu Jâmi’ bin Hâdhir al-Qâdhy an Nâjy. Dalam sebuah persidangan besar, Sang Qadhi akhirnya memutuskan dalam sidang
tersebut bahwa seluruh orang Arab dan balatentara Islam yang ada di Samarkand
harus keluar dari negeri itu dan mengembalikan seluruh perjanjian mereka dengan
cara yang jujur. Semuanya harus dimulai dengan perjanjian yang baru atau
kemenangan baru dengan sebuah perang yang terhormat.
Mendengar keputusan hakim tersebut, penduduk Samarkand heran dan merasakan kekaguman yang luar biasa. Mereka pun akhirnya
berkata:
”Kami ridha dengan keadaan kami sekarang…”.
Ya... Pada akhirnya penduduk Samarkand lebih memilih untuk
hidup dibawah naungan kaum muslimin setelah melihat keadilan Islam...
*****
Andai saja kaum muslimin memahami ajaran agamanya dengan benar, pastilah Islam akan benar-benar akan menjadi agama yang dikagumi dan dianut oleh banyak penduduk dunia.
Andai saja para pelaku teror atas nama jihad memahami ajaran Islam yang benar sesuai tuntunan al Quran dan Sunnah; memahami bagaimana seharusnya memperlakukan musuh dengan cara yang terhormat; memahamai bagaimana seharusnya seorang muslim menghormati perjanjian dan aturan main dalam perang; niscaya Islam akan semakin berjaya dan tidak akan tertuduh sebagai agama yang menyukai kekerasan.
Mengapa harus selalu berpikir untuk membalas keburukan musuh dengan keburukan yang sama? Bukankah hal yang "wajar" jika mereka melakukan tindakan biadab layaknya binatang buas karena mereka bukanlah orang-orang yang beragama? Apakah kita harus ikut menjadi sama buruknya seperti mereka hanya karena berperang atas nama dendam?
Demi Allah, kami tidak akan berperang kecuali dengan nilai-nilai Islam yang mulia... Karena, nilai itulah yang membedakan kita dengan orang-orang kafir...
Hanya kepada Allah kami mengadukan kebodohan sebagian pemuda umat ini. Wallahul musta'an.
=======================
24 Juni 2012
Hukum Yoga
Yoga berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti "penyatuan". Maknanya adalah "penyatuan dengan alam" atau "penyatuan dengan Sang Pencipta". Yoga merupakan salah satu dari enam ajaran dalam filsafat Hindu, yang menitikberatkan pada aktivitas meditasi atau pertapaan dimana seseorang memusatkan seluruh pikiran untuk mengontrol panca inderanya dan tubuhnya secara keseluruhan. [1]
Masyarakat kita mengenal yoga sebagai sebuah senam, yang juga digunakan sebagai salah satu pengobatan alternatif. Umumnya dilakukan dengan olah pernapasan dan meditasi.
Nah, bagaimana Islam memandang yoga tersebut? Berikut kami kutipkan beberapa fatwa dari beberapa lembaga fatwa di dunia. Semoga bermanfaat.
Fatwa Darul Ifta' Mesir
Gerakan senam semata-mata yang bermanfaat untuk
kesehatan tubuh atau sebagian anggota badan, tidaklah salah dan tidak haram,
akan tetapi hal ini tidak dinamakan sebagai yoga. Apa yang disandarkan kepada
nama ini (yoga) semestinya dikaitkan dengan konsep "guru" (mursyid), konsep
"cakra" (titik-titik pusat) dan konsep "energi" (tenaga tertinggi). Semuanya ini adalah
konsep-konsep yang berkait erat dengan keberhalaan dan kesyirikan. Adapun hanya
gerakan senam semata-mata maka ia tidak dinamakan dengannya (yoga). Jika ada
ritual gerakan peribadatan dalam yoga yang disamarkan seolah-olah hanya gerakan
senam biasa, maka ini merupakan bentuk “penyamaran”, namun sesungguhnya gerakan
tersebut adalah gerakan yoga yang tidak diperbolehkan dari sisi Syari’at. Hal
tersebut termasuk dalam bab menamakan sesuatu dengan yang bukan namanya, tapi
sebenarnya hakikatnya adalah sama.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda : "Akan ada manusia di kalangan umatku yang meminum arak yang mereka namakan
dengan yang bukan namanya". Riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah dari Abu Malik al Asy’ari
rradhiyallahu ‘anhu.
Dalam riwayat ad Darimi dari ’Aisyah
radhiyallahu ‘anha disebutkan : "Mereka menamakannya dengan selain namanya lalu
menghalalkannya (yaitu arak)." [2]
Fatwa dari Islamweb.net :
Yoga bukanlah hanya senam badan semata-mata, akan
tetapi dia adalah ibadah yang dipersembahkan oleh pelakunya kepada matahari (sebagai
tuhan yang) selain Allah Ta’ala. Yoga tersebar ke seluruh India sejak masa yang
lama. Nama senam ini berasal dari bahasa Sanskrit (sastanja surya nama sakar),
yang bermaksud sujud kepada matahari dengan delapan titik di tubuh. Latihan-latihan
yoga dimulai dengan kedudukan pertama yang menggambarkan penghormatan kepada
yang disembah yaitu matahari. Latihan-latihan ini semestinya diiringi dengan beberapa
ucapan yang dengan jelas menyebutkan tentang penyembahan matahari dan menghadap
ke arahnya.
Jika ada yang bertanya : Bagaimanakah jika
mengamalkan latihan-latihan ini tanpa menghadap ke arah matahari dan melafazkan
ucapan-ucapan yang disebutkan (mantera)? Jawabannya : Jika sekiranya
latihan-latihan ini bersih dari ucapan-ucapan keberhalaan dan menghadap ke arah
matahari serta tunduk dan hormat kepadanya, maka yang seperti tidak dinamakan
yoga. Sebaliknya ia adalah senam biasa yang dilakukan oleh semua bangsa. Karenanya,
tidak ada larangan untuk melakukannya ketika itu, dengan tetap menjaga dua
perkara berikut :
- Menyelisihi susunan posisi-posisi yang disebutkan dalam yoga serta memasukkan beberapa posisi-posisi yang baru didalamnya untuk menghindarkan unsur penyerupaan
- Tidak melakukannya pada waktu yang biasa dilakukan oleh agama Hindu seperti pada saat terbitnya matahari. [3]
Fatwa dari Majelis Agama Islam Singapura :
Yoga adalah termasuk diantara perkara-perkara
bid’ah yang digolongkan ke dalam bid’ah dhalalah (sesat) . Yoga
mengandung unsur-unsur agama Hindu. Segala perkara yang mengandungi unsur-unsur
syirik dan bisa merusakkan kepercayaan (iktikad) seperti yang menganjurkan
kepada "persemadian" kepada yang bukan mengingati Allah adalah dilarang dan
hukumnya haram. [4]
Dengan penjelasan ringkas ini, kiranya seorang muslim lebih berhati-hati dalam setiap perkara yang mungkin saja akan menjerumuskannya kepada kesesatan dan kesyirikan tanpa disadarinya. Terlebih lagi, latihan pernapasan membuka peluang untuk masuknya jin kedalam tubuh para pelakunya. Sangat mungkin "kesehatan" dan "kesembuhan" yang diharapkan dari yoga tersebut justru akan berujung bencana. Semoga Allah melindumgi umat dari kesesatan ajaran-ajaran diluar Islam.
======================
Referensi :
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Yoga
[2] www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=4194
[3] http://www.islamweb.net/ver2/fatwa/ShowFatwa.php?Option=FatwaId&lang=A&Id=1043
[4] http://www.muis.gov.sg/websites/rservices/opendocall.asp?type=I&sno=266
23 Juni 2012
Mengapa Mereka Dendam Kepada Kerajaan Saudi?
Syaikh Musa Nashr
hafizhahullahu berkata :
Allah telah
menjadikan negeri Makkah dan Madinah sebagai tempat yang aman hingga hari Kiamat,
semenjak Allah memerintahkan kepada kekasih-Nya Nabi Ibrahim agar mengumumkan
kepada manusia untuk menunaikan ibadah haji, mereka datang ke Baitul Haram
(Ka’bah) dari segala penjuru negeri ; sebagaimana Allah berfirman :
وأذن
فى الناس بالحج يأتوك رجالا وعلى كل ضامر يأتين من كل فج عميق
"Dan berserulah kepada
manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan
berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru
yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka." [QS. Al-Hajj
: 27]
Dan Allah berfirman
sembari memberi nikmat kepada penduduk negeri Haramain :
أولمْ نمكن لهم حرمًا
ءامنًا يُجبى إليه ثمرات كل شيئ
"Dan apakah Kami tidak
meneguhkan kedudukan mereka dalam daerah Haram (tanah suci) yang aman, yang
didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh-tumbuhan)." [QS.
Al-Qashash : 57]
Demikian juga firman-Nya :
فليعبدوا رب هذا
البيت، الذي أطعمهم من جوع وءامنهم من خوف
"Maka hendaklah mereka
menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada
mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan." [QS. Quraisy
: 3-4]
Pelajaran dalan ayat itu
diambil dari keumuman lafaz, (dan) bukan dari kekhususan sebab, walaupun
sebagian ayat ini turun pada kaum musyrikin Makkah, hanya saja ayat ini
mencakup kepada penduduk Makkah hingga hari kiamat. Demikianlah Allah
berkehendak untuk Rumah-Nya agar senantiasa menjadi tempat dengan kedamaian dan
keamanan, agar orang yang berhaji, berumrah dan orang yang berkunjung, datang
ke negeri itu dengan tanpa merasa takut dan gelisah.
Akan tetapi para da’i
dan penyeru peledakan tidak ingin suasana seperti itu terjadi. Yang mereka
inginkan adalah goncangnya keamanan negeri Al-Haramain. Mereka melanggar ayat-ayat
dan hadits-hadits yang memperingatkan akan larangan mengganggu kaum muslimin,
menakut-nakuti dan membunuh mereka!!
Maka bagaimanakah
jika hal itu (yaitu mengganggu, menakut-nakuti dan membunuh kaum muslimin)
terjadi di tempat yang paling suci dan paling mulia di muka bumi ini, yaitu
negeri Makkah yang aman dan
daerah sekitarnya?!
Allah Ta'ala berfirman :
ومن
يرد فيه بإلحادٍ بظلمٍ نذقه من عذاب أليم
"Dan siapa yang
bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami
rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih." [QS. Al-Hajj : 25]
Sesungguhnya hanya
sekedar berniat melakukan kejahatan di Makkah adalah sebuah kejahatan dan dosa
yang besar, maka bagaimanakah dengan mereka yang menumpahkan darah yang haram
di negeri Al-Haram?!
Bagaimanakah halnya
orang yang meletakkan dan menaruh senjata dan bahan peledak dalam tumpukan
mushaf Al-Qur’an, dan menyangka bahwasanya hal ini adalah jihad dan pengorbanan?!
Sungguh,
orang-orang yang zalim itu, yang berusaha membuat kerusakan di negeri
Al-Haramain (Saudi Arabia) dan negeri Islam lainnya, pada hakikatnya mereka itu
adalah orang-orang yang berkhidmat kepada musuh-musuh Islam dari kalangan
Yahudi dan Nasrani serta seluruh musuh-musuh Islam, karena musuh-musuh Islam
itu bergembira dan menabuh genderang bahkan menari-nari ketika gangguan menimpa
negeri Islam, khususnya negeri Islam, yang memelihara dan menjaga Makkah dan
Madinah, negara yang menyebarkan aqidah Tauhid di negeri Arab dan selain negeri
Arab.
Maka kenapa
penyerangan yang keji ini dilakukan dari dalam dan dari luar, atas negeri
Al-Haramain? Karena Saudi Arabia adalah benteng terakhir bagi Islam, dan karena
di negeri itu pula ditegakkan syariat Allah diatas asas Kitabullah dan sunnah
Rasul-Nya, dan karena di negeri itu disebarkan tauhid ke segenap penjuru bumi.
Maka (negeri ini)
harus diperangi serta dilemahkan, dan disibukkan dengan fitnah-fitnah!! (Negeri
itu) harus digoncangkan keamanannya, karena kegoncangan kepercayaan pada negeri
itu dan menampakkannya dalam keadaan lemah dari menjaga tempat-tempat yang
suci, benar-benar akan mencegah para jama’ah haji dan pengunjung serta orang
yang berumrah untuk mendatanginya.
Maka lemahlah
perekonomiannya, dan tersibukkan negeri Saudi Arabia dari kewajibannya yang
suci yaitu melayani dua tempat suci (Makkah dan Madinah) melayani Islam dan
kaum muslimin.
Kemudian mereka yang
menuduh negeri itu dengan kezaliman dan kedustaan, (bahwa Kerajaan Saudi Arabia )
membina teroris, diri merekalah yang bergembira dengan perbuatan orang-orang bodoh pembunuh dari
kalangan kaum Khawarij masa kini, maka lihatlah bagaimana mereka (orang kafir
yang menuduh negeri Saudi Arabia membina teroris dan kaum Khawarij yang
meledakkan Al-Haramain) bertemu dalam satu sasaran dan satu tujuan, walaupun
tanpa disengaja?!
Maha benar Allah ketika Dia berfirman :
ولن ترضى عنك اليهود
ولا النصارى حتى تتبع ملتهم، قل إن هدى الله هو الهدى، ولئن اتبعت أهواءهم بعد
الذي جاءك من العلم ما لك من الله من ولي ولا نصير
"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah : ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)’. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu." [QS. Al-Baqarah : 120]
Musuh-musuh Islam di
timur dan barat tidak meridhai kecuali umat ini meninggalkan agamanya
sebagaimana terkelupasnya ular dari kulitnya, baik pemerintah ataupun
rakyatnya, dan (mereka menginginkan) umat Islam menyerupai negeri Barat baik
dalam aqidahnya, peradabannya, kebudayaannya dan akhlaknya.
Dan perkara ini,
dengan izin Allah, tidak akan terjadi selama pada kita terdapat Kitabullah dan
Sunnah nabi-Nya, dan selama pada kita terdapat ulama rabbani yang menyuruh
berbuat baik dan melarang dari kemungkaran, berjihad dengan lisan mereka,
jari-jemari mereka dan keterangan mereka, mereka benamkan setiap fitnah
Khawarij dan ahli bid’ah yang sesat, dan mereka memperingatkan dari persekongkolan
musuh-musuh Islam, menasehati para penguasa kaum muslimin dengan cara yang baik
dan cara yang paling lurus, dengan kelembutan dan hikmah, agar mereka dapat
membantu para penguasa melawan syaitan dan mereka tidak membantu syaitan melawan
penguasa kaum muslimin. Mereka (para ulama itu) akan mendo’akan penguasa kaum
muslimin dengan kebaikan, dan tidak mendoakan penguasa dengan kejelekan dan
kebinasaan.
Semoga Allah menjaga
negeri Al-Haramain khususnya dan negeri-negeri Islam secara umum dari segala
rencana-rencana jahat yang dilakukan oleh musuh-musuh kita yang nampak atau
dari kalangan kaum muslimin yang bersembunyi dibelakang Islam –menurut dakwaan
mereka, dan Allah benci dan berlepas diri dari mereka dan amal perbuatan
mereka, dan (kekuatan) Allah meliputi mereka semua, tiada sesembahan yang hak
melainkan Dia dan tiada Rabb selain Dia.
Sumber :
Majalah
Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi No. 08/Th. II/1424H, 21-22. Terjemahan dari
http ://www.m-alnaser.com
13 Juni 2012
Meruqyah dengan Al-Quran
Sekarang ini pembacaan Al-Qur'an untuk meruqyah banyak
sekali diperdebatkan. Sebagian orang berkata: "Tidak boleh meruqyah dengan
membacakan Al-Qur'an kecuali seorang ahli ilmu syar'i". Sebagian lainnya
berkata: "Boleh dilakukan oleh siapa saja yang hafal Al-Qur'an, lurus
aqidahnya, termasuk orang baik-baik dan bertakwa". Mohon kiranya Anda sudi
menjelaskan masalah ini dan hukum Syar'i yang berkaitan dengannya.
Dijawab oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al Munajjid hafidzhahullahu :
Yang benar adalah ruqyah ini boleh
dilakukan oleh setiap orang yang bisa membaca Al-Qur'an dengan bagus, memahami
maknanya, lurus aqidahnya, baik amalannya dan luhur akhlaknya. Tidak mesti
harus mengetahui masalah-masalah parsial dan tidak pula harus menyelami
disiplin-disiplin ilmu lainnya. Berdasarkan kisah Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu yang
meruqyah orang yang tersengat kalajengking, orang-orang berkata :
"Sebelumnya kami tidak tahu kalau beliau bisa meruqyah." Atau
sebagaimana yang disebutkan dalam hadits riwayat Al-Bukhari (No:2276) dan
Muslim (No:2201).
Hendaklah orang yang meruqyah meluruskan niatnya, yaitu
menolong saudaranya sesama muslim, bukan karena ingin mendapat harta dan imbalan.
Supaya Al-Qur'an yang dibacakannya saat meruqyah dapat memberi kesembuhan.
Wallahu a'lam.
Dinukil dari kitab Al-Lu'lu'
Al-Makin kumpulan Fatwa Syaikh Bin Jibrin rahimahullahu hal 22.
11 Juni 2012
Wahai Putriku...
Putriku Tercinta...
Aku seorang yang telah berusia hampir 50 tahun. Hilang sudah masa remaja, impian dan khayalan. Aku telah mengunjungi banyak negeri, dan menjumpai banyak orang. Aku telah merasakan pahit getirnya dunia. Oleh karena itu, dengarkanlah nasehat-nasehatku.
Kami telah menulis dan mengajak kepada perbaikan moral sampai pena menjadi tumpul, mulut letih dan kami tidak menghasilkan apa-apa. Keburukan semakin bertambah. Para wanita keluar dengan pakaian merangsang tanpa rasa malu lagi. Kami belum menemukan jalan untuk memperbaikinya. Semuanya kembali kepadamu. Kuncinya ada di tanganmu.
Siapa Penyebabnya?
Benar, lelakilah yang memulai langkah pertama dalam lorong dosa. Tetapi, jika engkau tidak setuju, dia tidak akan berani. Andaikan bukan karena sikap lemah lembutmu dihadapannya, niscaya dia tidak akan bertambah parah. Engkaulah yang membuka pintu dan mempersilahkan dia masuk. Ketika dia telah mencuri, engkau berteriak : Maling... maling... tolong...!
Demi Allah... dalam khayalan seorang pemuda, dia tidak melihat seorang gadis kecuali dia telah telanjangi pakaiannya. Begitulah, jangan engkau percaya apa yang dikatakannya bahwa dia tidak akan melihat seorang gadis kecuali akhlaknya. Dia akan berbicara kepadamu sebagai seorang sahabat.
Demi Allah... dia berdusta! Senyuman yang diberikan pemuda itu kepadamu, kehalusan budi bahasa dan perhatiannya, semua itu tidak lain hanyalah perangkap rayuan untuk mencapai tujuannya. Setelah itu apa yang terjadi? Apa, wahai putriku?
Kalian berdua sesaat berada dalam kenikmatan. Kemudian engkau ditinggalkan, dan selamanya engkau akan merasakan penderitaan akibat kenikmatan itu. Pemuda tadi akan mencari mangsa lain, sementara engkaulah yang menanggung beban kehamilan dalam perutmu. Jiwamu menangis, wajahmu tercoreng. Selama hidupmu, engkau akan berkubang dalam kehinaan.
Seandainya...
Seandainya saja, ketika pertama kali bertemu engkau palingkan wajahmu dan menghindarinya; jika saja ketika dia merayumu, engkau lepaskan sepatumu dan engkau lemparkan ke wajahnya; jika saja semua ini engkau lakukan, niscaya semua orang akan membelamu dan anak-anak nakal itu tidak akan mengganggu gadis-gadis lagi. Jika saja pemuda itu benar-benar menginginkan kebaikan, maka dia akan mendatangi orang tuamu untuk melamarmu secara baik-baik.
Cita-cita wanita tertinggi adalah pernikahan. Wanita, bagaimana pun juga status sosial, kekayaan, popularitas dan prestasinya; sesuatu yang sangat didambakannya adalah menjadi istri yang baik serta ibu rumah tangga yang terhormat.
Tidak ada seorang pun yang mau menikahi wanita yang buruk. Seorang lelaki hidung belang ketika akan menikah tidak akan memilih wanita nakal. Dia akan memilih wanita yang baik-baik, karena dia tidak akan rela bila istrinya dan ibu anak-anaknya adalah seorang wanita yang tidak bermoral.
Emansipasi
Mereka yang suka menggembar-gemborkan emansipasi dan pergaulan bebas atas nama kemajuan adalah pembohong jika dilihat dari dua sebab :
Pertama; semua itu mereka lakukan untuk memberikan kepuasan pada diri mereka, memberikan kenikmatan untuk melihat anggota-anggota tubuh yang terbuka, dan kenikmatan-kenikmatan lain yang mereka bayangkan. Mereka tidak berani berterus terang. Oleh karena itu, mereka memakai kedok dengan menggunakan kalimat-kalimat yang mengagumkan yang tidak memiliki arti sama sekali; kemajuan, modernisasi, kehidupan bebas, dan seterusnya.
Kedua; mereka berdusta karena mereka menjadikan Eropa sebagai kiblat. Mereka tidak bisa melihat kebenaran kecuali apa yang datang dari Paris, London, Berlin dan New York. Sekalipun itu berupa dansa, pergaulan bebas, pamer aurat dan telanjang. Itulah kebenaran. Sementara kebatilan menurut mereka adalah segala sesuatu yang datang dari Timur, sekolah-sekolah Islam dan masjid-masjid, walaupun itu berupa kehormatan, kemuliaan, kesucian dan petunjuk. Kata mereka, pergaulan bebas itu dapat mengurangi nafsu birahi dan menekan libido seksual. Untuk menjawab ini Saya serahkan pada mereka yang telah mencoba pergaulan bebas di sekolah-sekolah, seperti Rusia yang atheis dan jauh dari agama. Bukankah mereka telah meninggalkan percobaan ini setelah melihat bahwa hal tersebut sangat-sangat merusak?!
Saya tidak berbicara dengan para pemuda. Saya tidak mau mereka mendengar. Saya tahu, mereka akan mencemooh saya karena telah menghalangi mereka dari kenikmatan. Saya hanya berbicara kepada kalian, putri-putriku. Ketahuilah wahai putriku, yang akan menjadi korban semua ini adalah engkau.
Bila seorang gadis telah jatuh, tak seorang pun diantara mereka yang mau menyingsingkan lengannya untuk mengangkatmu dari lembah kehinaan. Mereka hanya memperebutkan kecantikan si gadis, apabila telah hilang manisnya, mereka pergi meninggalkannya persis seperti anjing yang meninggalkan bangkai yang tidak tersisa dagingnya sedikit pun.
Inilah nasehatku padamu. Inilah kebenaran. Selain ini jangan percaya. Sadarlah bahwa di tanganmulah -bukan di tangan kami kaum laki-laki- kunci pintu perbaikan. Perbaikilah diri kalian, niscaya ummat ini akan menjadi baik.
10 Juni 2012
Disiplin Ruhiyah dan Fighting Spirit
Ada dua hal yang seharusnya menjadi aktivitas rutin setiap proklamator kebenaran. Senantiasa menjaga disiplin ruhiyahnya dan memiliki fighting spirit (motivasi dan semangat berjuang yang kuat) dalam menjaga karakter militan dan menunaikan kewajibannya.
Disiplin Ruhiyah
Setiap kita yang berjalan di atas jalan perjuangan mutlak memiliki persiapan diri yang optimal. Bekalan fisik saja tidaklah cukup, melainkan perlu kesiapan ruhiyah yang prima. Salah satu syarat penting terjaganya militansi adalah kuatnya hubungan dan keyakinan dengan Kebesaran Allah Ta’ala. Kita harus meyakini bahwa setiap kali kita melakukan sebuah bentuk kesia-siaan, setiap itu pula terjadi penurunan kadar militansi dalam diri kita. Inilah rahasia besar militansi seorang pejuang. Menyandarkan kekuatan dirinya dari kekuatan menjaga hubungannya dengan Allah Ta’ala.
Maka lihatlah kondisi kita hari ini. Sebesar apa persiapan ruhiyah yang kita lakukan dalam menjalani kerasnya pertarungan. Lihatlah bagaimana lingkungan menjebak dan melemahkan setiap upaya penghambaan diri serta saudara kita. Lalu bagaimana mungkin kita bisa bertahan dan ikut menjadi sandaran saudara-saudara kita, ketika diri sendiri diselimuti kelemahan iman dan keyakinan yang tipis akan pertolongan Allah Yang Maha Perkasa.
Dengan demikian, disiplin ruhiyah dengan agenda-agenda penguatannya menjadi sebuah kebutuhan. Takarlah sendiri kebutuhan ruhiyah kita. Kita tetapkan waktunya kemudian kita jalankan dengan segenap kesungguhan. Selama ini belum menjadi prioritas penting dalam diri kita, maka militansi kita pun masih dalam kondisi dipertanyakan. Lantas bagaimana kita mesti menghadap kepada Allah untuk menjelaskan status kita sebagai da’i.
Fighting Spirit
Lebih bermakna sebagai keteguhan sikap untuk totalitas dalam menjalankan amanah dakwah. Ada perasaan bangga dengan keimanan yang dimiliki, serta menginginkan setiap diri di sekitar kita memiliki hal yang sama. Selain itu ada semangat untuk melakukan beragam upaya demi mencapai tujuan dakwah.
Semangat seperti ini juga diarahkan untuk senantiasa membawa frame dakwah dalam setiap aktivitas kehidupan. Selalu mampu mencari peluang-peluang dakwah dalam semua keadaan di sekitar kita. Dan merumuskannya untuk mencapai target tertinggi.
Fighting spirit lebih bermakna sebagai perasaan yang tidak cepat puas dengan hasil dakwah yang dicapai. Terutama jika hasil tersebut diperoleh belum dengan usaha maksimal. Senantiasa menganggap bahwa untuk setiap kemungkaran maka prioritasnya adalah merubah dengan tangan. Tidak menjadi mudah untuk sekedar membenci dengan hati, ketika tahu ada peluang untuk berbuat lebih dari itu. Sehingga tujuan aktivitasnya adalah mencapai yang terbaik yang bisa dicapai.
*****
Dua hal sederhana inilah yang senantiasa ada dalam diri seorang da’i militan. Kuat hubungannya dengan Allah dan besar semangatnya dalam beramal. Setiap dua hal tersebut terjaga dalam diri, maka biarkanlah lingkungan ini berubah, menjadi baik atau buruk, diri kita tetap akan bertahan dengan nilai militansi yang tidak akan berkurang sedikitpun. Inilah yang ada dalam diri para shahabat Rasulullah dan generasi-generasi awal dakwah. Dipentaskan dalam kehidupan untuk menjadi contoh buat generasi selanjutnya. Maka apakah kita akan ikut melemah dengan kelemahan lingkungan kita. Akankah kita ikut tercemar semua pengaruh buruk budaya yang kini mewarnai kehidupan. Akankah kita ikut gugur bersama tumbangnya saudara-saudara yang dulu pernah dekat dengan kita dalam dakwah. Ataukah kita membuktikan bahwa kita berbeda dengan mereka. Bahwa kitalah pewaris generasi perkasa. Yang akan dihimpun Allah dalam barisan di bawah bendera Abu Bakar as-Shiddiq radhiallahu ‘anhu di padang perhitungan.
Sekarang saatnya pembuktian. Saatnya menjadi berbeda dengan semua generasi lemah. Saatnya mengambil kesempatan untuk bergabung dengan barisan kemenangan. Biarkan saja semua yang lemah. Biarkan saja mereka yang tipis keyakinannya. Tinggalkan saja mereka yang besar keraguannya. Komitmen militansi kita tegas, "Jika hanya ada satu orang yang harus berjihad di jalan Allah kalian akan menemukan akulah orangnya".
Wallahu a’lam bish shawwab.
07 Juni 2012
Imam Syar'i Tidak Mesti Seorang Khalifah
Karena kejahilan terhadap ajaran agama, sebagian orang yang memiliki ghirah (semangat) untuk ber-Islam meyakini bahwa kepemimpinan kaum muslimin hanya boleh dipegang oleh satu orang saja yang disebut sebagai "khalifah", sebagaimana yang terjadi di masa Khulafa' Rasyidun.
Pemikiran seperti ini sering diributkan oleh sebagian kelompok yang memiliki visi untuk -menurut klaim mereka- mendirikan dan menegakkan khilafah atau menegakkan Syariat Islam. Sampai-sampai mereka tidak pernah mau mengakui pemerintahan-pemerintahan Islam yang ada saat ini dan menganggapnya sebagai pemerintah yang tidak sah dalam pandangan Syar'i. Anehnya, sebagian besar mereka juga hanya mampu berkoar-koar, tidak pernah memahami ajaran Islam yang sebenarnya dan akhirnya juga, mau tidak mau, harus hidup di bawah kekuasaan pemerintahan yang dianggapnya tidak sah bahkan murtad dalam pandangan sebagian mereka. Wallahul musta'an.
Pemikiran seperti ini sering diributkan oleh sebagian kelompok yang memiliki visi untuk -menurut klaim mereka- mendirikan dan menegakkan khilafah atau menegakkan Syariat Islam. Sampai-sampai mereka tidak pernah mau mengakui pemerintahan-pemerintahan Islam yang ada saat ini dan menganggapnya sebagai pemerintah yang tidak sah dalam pandangan Syar'i. Anehnya, sebagian besar mereka juga hanya mampu berkoar-koar, tidak pernah memahami ajaran Islam yang sebenarnya dan akhirnya juga, mau tidak mau, harus hidup di bawah kekuasaan pemerintahan yang dianggapnya tidak sah bahkan murtad dalam pandangan sebagian mereka. Wallahul musta'an.
Idealnya, kaum muslimin harus berada dibawah sebuah kepemimpinan syar'i yang menerapkan hukum-hukum Allah dan mengayomi seluruh kepentingan Islam dan kaum muslimin. Hal ini adalah perkara yang pasti dan dituntut dalam ajaran Islam. Namun, itu bukan berarti kemudian kita harus berkutat dengan prinsip ini dan mengabaikan realita yang ada, dengan dalil-dalil aqli dan naqli yang sangat kuat, yang membolehkan adanya lebih dari satu imam bagi kaum muslimin di satu masa tertentu.
Berikut kami akan kutipkan perkataan para imam dan ulama Islam tentang persoalan ini. Semoga pembaca bisa memahami perkataan mereka dengan baik, dan hanya kepada Allah kami memohon petunjuk kepada jalan-Nya yang lurus.
*****
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu :
"Sunnah bagi kaum muslimin memiliki satu imam, sedangkan yang lainnya hanyalah sebagai wakil-wakilnya. Seandainya umat Islam mesti keluar dari keadaan yang demikian karena kemaksiatan sebagian penguasanya dan ketidakberdayaan atau karena persoalan lainnya, maka umat ini boleh memiliki lebih dari satu imam. Namun demikian, mereka tetap wajib menegakkan hukum dan menjaga hak-hak rakyatnya". [1]
"Sunnah bagi kaum muslimin memiliki satu imam, sedangkan yang lainnya hanyalah sebagai wakil-wakilnya. Seandainya umat Islam mesti keluar dari keadaan yang demikian karena kemaksiatan sebagian penguasanya dan ketidakberdayaan atau karena persoalan lainnya, maka umat ini boleh memiliki lebih dari satu imam. Namun demikian, mereka tetap wajib menegakkan hukum dan menjaga hak-hak rakyatnya". [1]
Imam al 'Allamah Muhammad bin Isma'il al Amir ash Shan'ani rahimahullahu menerangkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, yaitu hadits :
من خرج من الطاعة وفارق الجماعة فمات ميتةً جاهليةً
من خرج من الطاعة وفارق الجماعة فمات ميتةً جاهليةً
"Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jamaah kemudian dia mati, maka matinya sebagaimana kematian orang di masa Jahiliyah". [2];
Beliau berkata :
"Yang dimaksud dengan ketaatan adalah ketaatan kepada khalifah yang telah disepakati. Berarti yang dimaksud khalifah disini adalah khalifah yang berada di tiap-tiap negeri, di saat manusia belum menyepakati seseorang untuk menjadi khalifah bagi seluruh negeri Islam. Pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah, bahkan penduduk tiap-tiap negeri mengurusi segala urusannya secara mandiri. Seandainya hadits ini dipahami bahwa khalifah disini adalah khalifah yang telah disepakati oleh seluruh kaum muslimin, maka sedikit sekali faedah yang dapat diambil dari hadits diatas". [3]
"Yang dimaksud dengan ketaatan adalah ketaatan kepada khalifah yang telah disepakati. Berarti yang dimaksud khalifah disini adalah khalifah yang berada di tiap-tiap negeri, di saat manusia belum menyepakati seseorang untuk menjadi khalifah bagi seluruh negeri Islam. Pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah, bahkan penduduk tiap-tiap negeri mengurusi segala urusannya secara mandiri. Seandainya hadits ini dipahami bahwa khalifah disini adalah khalifah yang telah disepakati oleh seluruh kaum muslimin, maka sedikit sekali faedah yang dapat diambil dari hadits diatas". [3]
Dengan ini bisa kita pahami, bahwa siapa saja yang berkuasa di tiap-tiap negeri Islam pada masa sekarang, maka dia wajib ditaati dalam perkara yang ma'ruf. Sama saja entah dia bergelar sebagai raja, sultan, presiden, perdana menteri atau gelar-gelar lainnya. Karena yang menjadi inti persoalan adalah kekuasaannya yang berdaulat atas sebuah negeri kaum muslimin.
Berkata al Imam al 'Allamah Muhammad ibn Ali asy Syaukani rahimahullahu :
"Adapun setelah tersebarnya Islam, wilayahnya semakin luas dan semakin berjauhan jarak antara tiap daerah, maka telah dimaklumi bahwa beberapa negeri telah dikuasai oleh seorang imam (penguasa) atau raja, dan begitu pula di negeri lain. Dan (terkadang), kekuasaan sebagian mereka dalam perintah dan larangannya tidak memiliki pengaruh di negeri lain dan (di sebagian) negeri-negeri yang berada dalam kekuasaannya. Maka tidak mengapa jika terdapat beberapa penguasa atau raja (dalam satu masa), dan wajib bagi penduduk negeri yang diterapkan didalamnya perintah dan larangannya untuk taat kepada setiap penguasa (yang berkuasa di negerinya) setelah berbai’at kepadanya.
"Adapun setelah tersebarnya Islam, wilayahnya semakin luas dan semakin berjauhan jarak antara tiap daerah, maka telah dimaklumi bahwa beberapa negeri telah dikuasai oleh seorang imam (penguasa) atau raja, dan begitu pula di negeri lain. Dan (terkadang), kekuasaan sebagian mereka dalam perintah dan larangannya tidak memiliki pengaruh di negeri lain dan (di sebagian) negeri-negeri yang berada dalam kekuasaannya. Maka tidak mengapa jika terdapat beberapa penguasa atau raja (dalam satu masa), dan wajib bagi penduduk negeri yang diterapkan didalamnya perintah dan larangannya untuk taat kepada setiap penguasa (yang berkuasa di negerinya) setelah berbai’at kepadanya.
Demikian juga keadaannya penguasa di negeri lain. Jika datang orang yang memberontak terhadapnya di negeri yang telah tegak kekuasaannya dan telah dibai’at oleh penduduknya, maka hukuman bagi pemberontak tersebut adalah hukuman mati bila tidak mau bertaubat. Dan tidak wajib bagi penduduk di negeri lain untuk mentaatinya atau masuk dalam kekuasaannya disebabkan oleh jarak yang jauh.
Karena terkadang tidak sampai berita tentang penguasa atau raja ke tempat-tempat yang jauh, sehingga tidak diketahui siapa yang masih berkuasa atau yang telah wafat. Maka pembebanan untuk taat dengan keadaan yang seperti ini adalah pembebanan yang diluar kemampuan, dan perkara ini telah diketahui oleh siapa saja yang memiliki pengetahuan tentang keadaan manusia dan negeri-negeri.
Camkanlah ini karena sesungguhnya inilah yang paling sesuai dengan kaedah-kaedah Syari’at, dan sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh dalil. Tinggalkanlah olehmu setiap ucapan yang menyelisihinya. Karena perbedaan antara keadaan kekuasaan negeri-negeri Islam di permulaan Islam dengan keadaannya di masa sekarang lebih jelas daripada matahari di siang bolong.
Dan berkata Syaikhul Islam Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu :
"Para imam dari setiap mazhab telah bersepakat bahwa siapa saja yang berkuasa atas suatu negeri atau beberapa negeri, maka ia memiliki hukum sebagai imam (penguasa) dalam segala perkara. Jika tidak demikian halnya, maka dunia ini tidak akan pernah tegak. Karena manusia sejak masa yang panjang sebelum Imam Ahmad hingga masa kita sekarang tidak pernah bersatu dibawah kepemimpinan seorang imam. Dan mereka tidak pernah mengetahui ada seorang pun dari para ulama yang pernah menyebutkan bahwa suatu hukum tidak akan sah kecuali dengan adanya seorang al-Imâm al A’dzham (Khalifah)”. [5]
"Para imam dari setiap mazhab telah bersepakat bahwa siapa saja yang berkuasa atas suatu negeri atau beberapa negeri, maka ia memiliki hukum sebagai imam (penguasa) dalam segala perkara. Jika tidak demikian halnya, maka dunia ini tidak akan pernah tegak. Karena manusia sejak masa yang panjang sebelum Imam Ahmad hingga masa kita sekarang tidak pernah bersatu dibawah kepemimpinan seorang imam. Dan mereka tidak pernah mengetahui ada seorang pun dari para ulama yang pernah menyebutkan bahwa suatu hukum tidak akan sah kecuali dengan adanya seorang al-Imâm al A’dzham (Khalifah)”. [5]
*****
Apa yang disebutkan oleh para imam tersebut memiliki realita yang sangat jelas bahkan di masa ketika para Sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam masih hidup. Ketika Abdullah bin az Zubair radhiyallahu 'anhuma mendakwakan dirinya sebagai khalifah di Makkah dan dibaiat oleh beberapa negeri Islam, Abdul Malik bin Marwan kembali membangkitkan Khilafah Bani Umayyah yang sempat vakum sepeninggal Mu'awiyah bin Yazid bin Mu'awiyah. Jadilah umat Islam di saat itu memiliki dua khalifah yang berbeda dan saling bersaing memperebutkan kekuasaan.
Kondisi seperti ini juga terjadi ketika berdiri Kerajaan Fathimiyyah (Bani Ubaid) di Mesir yang mendakwakan khilafah, sementara umat Islam juga masih memiliki Khilafah Abbasiyah yang berkuasa di Baghdad dan juga Khilafah Bani Umayyah di Andalusia (Spanyol).
*****
Dengan berbagai kutipan dan realita yang terjadi di masa Shahabat dan masa para ulama yang telah lewat, menjadi sangat nyata bagi orang yang berakal bahwa imam atau penguasa muslim yang lebih dari satu untuk beberapa negeri Islam adalah boleh dalam kondisi darurat.
Keberadaan imam (penguasa) yang lebih dari satu itu sah dalam pandangan syar'i, sebagaimana sahnya al Imam al A'dzham (khalifah) pada masanya. Ia berhak menegakkan hukum, berhak untuk didengar dan ditaati, serta haram hukumnya memberontak terhadapnya.
Keberadaan imam (penguasa) yang lebih dari satu itu sah dalam pandangan syar'i, sebagaimana sahnya al Imam al A'dzham (khalifah) pada masanya. Ia berhak menegakkan hukum, berhak untuk didengar dan ditaati, serta haram hukumnya memberontak terhadapnya.
Wallahul musta'an.
==============
[1] Majmû Fatâwâ Ibn Taimiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, XXXV/175-176
[3] Subul as Salâm al Mûshilah ilâ Bulûgh al Marâm, Imam Ash-Shan'ani, III/499
[4] as Sail al Jarrâr al Mutadaffiq ‘alâ Hadâ’iq al Azhâr, Imam asy Syaukani, IV/ 512
[5] ad Durar as Sunniyyah, kumpulan beberapa ulama Nejd, IX/ 5
==============
Footnotes :
[1] Majmû Fatâwâ Ibn Taimiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, XXXV/175-176
[2] HR. Muslim dalam ash Shahîh, Kitab al Imârah
[3] Subul as Salâm al Mûshilah ilâ Bulûgh al Marâm, Imam Ash-Shan'ani, III/499
[4] as Sail al Jarrâr al Mutadaffiq ‘alâ Hadâ’iq al Azhâr, Imam asy Syaukani, IV/ 512
[5] ad Durar as Sunniyyah, kumpulan beberapa ulama Nejd, IX/ 5